“Lihat aku, Nathan. Kau yakin tidak mau menikah denganku? Tidakkah kau tertarik dengan tubuhku?”
Suara Aubree berbisik sensual di telinga Nathan, berusaha menggoda pria yang ada di hadapannya. Tatapan Aubree tak lepas menatap manik mata Nathan seolah dirinya telah tenggelam dalam keindahan manik mata pria itu. Degup jantungnya berpacu begitu keras, seakan melompat dari tempatnya. Jarak Aubree dan Nathan begitu dekat dan intim. Bahkan rasanya Aubree tak ingin menghentikan hari ini. Anggap saja dia gadis yang tak waras. Aubree tak peduli. Selagi Nathan ada di dekatnya maka apa pun akan Aubree lakukan.
Nathan mengembuskan napas kasar mendengar ucapan gila sosok gadis di hadapannya. Sejenak, Nathan terdiam menatap lekat-lekat manik mata hijau Aubree. Sebenarnya gadis di hadapannya ini memiliki paras yang cantik. Nathan tak akan menampik akan hal itu. Aubree memiliki anik mata hijau yang indah, rambut pirang tergerai panjang, wajah cantik dan mulus tanpa noda sedikit pun. Bahkan ketika kulit Nathan tanpa sengaja menyentuh kulit gadis ini, dia merasakan kulit gadis yang ada di hadapannya ini begitu lembut seperti bayi yang baru dilahirkan. Hanya saja semua kelebihan dari sosok gadis di hadapannya ini tertutupi dengan sifat gilanya. Well, Nathan masih cukup waras untuk memilih seorang gadis yang akan mendampinginya. Dia tak mungkin memilih gadis gila ini.
“Jika kau butuh psikiater, aku akan memberikan salah satu psikiater terbaik untuk mengobati gangguan kejiwaanmu,” tukas Nathan penuh dengan penekanan. Sorot matanya kian menajam dan penuh peringatan pada Aubree.
Senyuman anggun di wajah Aubree terlukis. Gadis itu sedikit mendongakkan wajahnya. Jaraknya dengan Nathan sangat dekat. Bahkan bibirnya nyaris bersentuhan dengan bibir Nathan. Hidung mancung mereka saling bersentuhan. Manik mata hijau Aubree menatap sensual tatapan tajam dari manik mata cokelat Nathan.
“Aku tidak membutuhkan psikiater, Nathan. Yang aku butuhkan adalah dirimu,” bisik Aubree sensual di depan bibir Nathan.
Nathan menggeram penuh emosi. Detik selanjutnya, Nathan menjauh dari Aubree. “Kau memang sudah gila! Terlalu lama aku di sini, aku bisa tidak waras sepertimu!” tukasnya yang hendak melangkah. Namun, gerak Aubree begitu cepat. Gadis itu segera mengambil ponsel Nathan dari saku milik pria itu. Lalu …
“Apa kau bisa pergi dari sini tanpa ponselmu, Tuan Nathan Lucero Afford?” Suara Aubree dengan nada yang menggoda bercampur menantang. Kini gadis itu menunjukkan ponsel Nathan.
Nathan langsung membalikkan tubuhnya mendengar ucapan Aubree. Refleks, dia terkejut kala ponsel miliknya ada di tangan Aubree. Nathan tak menyadari Aubree mengambil ponselnya dari saku celananya.
Nathan berdecak kesal. “Kembalikan ponselku!”
“Tidak. Aku tidak akan mengembalikannya. Aku masih mau di sini bersama denganmu. Kau tidak boleh pergi.” Aubree langsung menyembunyikan ponselnya ke belakang tubuhnya.
Nathan menggeram kesal bercampur dengan umpatan di mulutnya. Dengan cepat, dia mendorong tubuh Aubree hingga terbentur ke dinding. Pria itu menghimpit tubuh Aubree dengan tubuhnya. Lalu Nathan segera merampas kembali ponsel miliknya yang ada di belakang tubuh gadis itu.
“Jangan lagi menggangguku!” desis Nathan penuh dengan peringatan. Pria itu langsung melangkah pergi meninggalkan Aubree di ruangan kosong dan gelap itu. Pun Aubree bergeming. Gadis itu melukiskan senyuman di wajahnya kala Nathan pergi darinya.
Hingga kemudian, sesuatu muncul dalam benak Aubree. Suatu ide yang luar biasa dan membuat Aubree tersenyun cerdik. Kini Aubree merapikan gaun di tubuhnya, dan melangkah dengan anggun meninggalkan ruangan itu.
Di pesta, Aubree melihat banyaknya para tamu undangan yang memenuhi tempat pesta undangan makan malam yang diadakan oleh keluarganya itu. Malam semakin larut. Namun, pesta semakin meriah. Rekan bisnis keluarganya terlihat banyak yang tengah menikmati minuman mereka dan tentu membahas bisnis yang cukup membosankan bagi Aubree.
Tatapan Aubree teralih pada Nathan yang tengah mengobrol dengan rekan bisnisnya. Seperti semesta telah mendukungnya, ternyata Nathan masih ada di pesta. Hanya saja pria itu berusaha mencari celah menjauhi dirinya, dan bergabung dengan para tamu undangan lain. Detik selanjutnya, Aubree mengalihkan pandangannya pada seorang pelayan yang membawakan minuman. Aubree segera menjentikkan jemarinya memanggil sang pelayan.
“Anda ingin minum apa, Nona?” tanya sang pelayan dengan sopan kala tiba di depan Aubree.
“Antarkan minuman untuk pria yang memakai jas berwarna navy di ujung kanan.” Aubree mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya, lalu dia menuangkan serbuk obat ke dalam wine yang khusus untuk Nathan.
“Nona, ini …?” Sang pelayan menggantung ucapannya kala melihat Aubree memasukkan sesuatu di minuman itu, tapi pelayan itu tidak berani berucap karena dia mengenal Aubree adalah anak dari bosnya.
“Cukup antar saja minuman ini ke pria itu,” tukas Aubree dengan nada yang tidak mau dibantah.
Sang pelayan mengangguk cepat, menuruti permintaan Aubree. Lalu pelayan itu melangkah meninggalkan Aubree dan menghampiri Nathan. Sedangkan Aubree terus melihat pelayan itu sampai memberikan minuman pada Nathan.
Hingga ketika Nathan telah menenggak wine yang pelayan berikan, senyuman di wajah Aubree langsung terlukis. Aubree langsung mendekat pada Nathan.
“Nathan.” Aubree segera memeluk lengan Nathan kala terlihat jelas Nathan begitu pusing.
Nathan memijat pelipisnya kala merasakan sakit di kepalanya begitu menyerang. Bahkan Nathan tak menyadari kalau Aubree tengah memeluk lengannya.
“Ikut denganku, Nathan.” Aubree segera membawa Nathan menjauh. Sebelumnya, Aubree telah berpamitan pada tamu undangan yang tengah berbicara dengan Nathan tadi untuk membawa Nathan. Tentu tamu undangan itu tidak bisa melakukan apa pun. Karena memang pemilik dari pesta ini adalah keluarga Aubree.
Kini Aubree membawa Nathan ke dalam kamar, gadis itu langsung meletakkan tubuh Nathan di ranjang empuk. Kesadaran Nathan sudah melemah. Tampak senyuman di wajah Aubree terlukis kala melihat Nathan yang tengah memejamkan matanya. Jika membuka mata, maka Nathan layaknya pahatan yang sempurna. Dan jika memejamkan mata, pria di depannya itu begitu menggoda.
Aubree duduk di tepi ranjang. Gadis itu mulai mencium rahang Nathan. Aroma parfume maskulin Nathan yang sukses membuatnya berdesir. Darah Aubree seakan mendidih kala merasakan jambang Nathan bersentuhan di pipi halusnya. Napas Nathan menerpa kulitnya seperti memberikan aliran listrik yang menimbulkan sensasi liar.
Dengan berani, Aubree membawa jemari lentiknya membuka satu per satu kancing kemeja Nathan. Dada bidang pria itu membuat Aubree begitu terbakar oleh api hasrat. Namun, tiba-tiba gerak Aubree terhenti kala pelupuk mata Nathan bergerak. Aubree tampak terkejut terutama kala Nathan membuka kedua matanya.
“N-Nathan, kau—”
Nathan yang baru saja membuka mata, dia merasakan sakit di kepalanya. Pria itu segera mengendarkan pandanganya kala matanya sudah terbuka. Seketika Nathan sedikit rerkejut melihat dirinya berada di sebuah kamar. Lalu dia menatap sosok gadis yang di depannya. Pun Nathan melihat kancing kemeja bagian atasnya sudah beberapa terbuka. Raut wajah Nathan berubah. Sorot matanya tampak menajam menunjukkan kemarahan dalam dirinya.
“Apa yang kau lakukan, Aubree?!” seru Nathan dengan nada tinggi dan keras.
“A-aku tadi ….” Aubree segera bangkit berdiri. Dia terpergok seperti sedang mencuri. Sial! Ini sangat memalukan. Bahkan Aubree tidak mampu menyusun kata-kata di kepalanya.
Nathan melompat turun dari tempat tidur. Dia segera mengancingkan kemejanya. Kepalanya memang masih begitu pusing. Namun, Nathan mampu mengatasi rasa sakit di kepalanya itu.
“Kau mau menjebakku, Aubree?” Suara Nathan berseru dengan nada penuh geraman kemarahan. Sorot matanya kian menajam. Bahkan terlihat seperti singa yang hendak membunuh.
“T-tidak, aku tidak menjebakmu. Tadi kau pingsan. Jadi aku membawamu ke sini saja.” Aubree membantah dengan cepat. Kepanikan melanda dirinya. Dalam hati Aubree mengumpati kebodohannya. Obat yang dia masukkan ke dalam wine itu adalah obat yang membuat orang mabuk, tapi kenapa Nathan masih sanggup membuka matanya?
“Dan kau pikir aku dengan bodohnya bisa kau tipu, Aubree Randall?” Nathan mencengkeram dengan kasar kedua rahang Aubree.
“A-aku tidak menipumu, Nathan. Kau memang pingsan tadi,” jawab Aubree sedikit merintih kala Nathan mencengkeram rahangnya. Gadis itu menyanggah seraya mendongakkan kepalanya menatap manik mata cokelat Nathan.
Nathan menggeram kala Aubree tidak mau mengaku. Tapi percuma saja, gadis di depannya ini memang sudah gila. Jika dirinya memaksa bicara, sama saja dengan dirinya sudah kehilangan akal sehatnya.
“Menjauhlah dariku! Jangan pernah kau munculkan wajahmu di depanku! Aku tidak mau melihatmu lagi!” Nathan melepas cengkeraman tangannya di rahang Aubree. Dia langsung membalikkan tubuhnya dan hendak meninggalkan Aubree. Namun …
“Bagaimana mungkin aku menjauh dari calon suamiku sendiri, Tuan Nathan Lucero Afford?!” Suara Aubree berseru dengan keras hingga membuat langkah Nathan terhenti.
Nathan bergeming. Pria itu masih memunggungi Aubree. Di detik selanjutnya, Nathan melihat Aubree dari sudut matanya dan memberikan tatapan dingin. “Otakku masih waras dalam memilih calon istri. Dan tentu itu bukan dirimu,” jawabnya seraya melanjutkan langkahnya meninggalkan Aubree di kamar itu sendirian.
Aubree menatap punggung Nathan yang mulai lenyap dari pandangannya. Tampak senyuman di wajah Aubree terlukis. “Kita lihat saja nanti, Nathan. Kau atau aku yang benar.”
Aubree duduk di sebuah ruang keluarga di mansion megah bersama dengan ibunya serta rekan bisnis dari keluarganya itu. Lima tahun lalu Aubree telah kehilangan ayahnya. Dan kini dia datang ke rumah salah satu rekan bisnis dari mendiang ayahnya. Tampak para pelayan sejak tadi mondar-mandir mengantarkan makanan dan minuman serta menyajikannya ke atas meja. Terlihat Aubree duduk dengan anggun. Balutan gaun berwarna hijau dengan model tali spaghetti membuat Aubre terlihat memukau. Senyuman hangat dan menawan selalu Aubree lukiskan kala ibunya tengah membahas bisnis dengan rekan bisnis keluarganya itu. “Aubree, tunggu sebentar ya, Sayang. Putraku masih ada di jalan. Dia pasti sebentar lagi akan datang,” ujar Bianca—ibu dari pria yang dijodohkan untuknya.Hari ini adalah hari di mana Aubree menemui pria yang akan dijodohkan dengannya. Mungkin jika banyak gadis yang menolak perjodohan, lain halnya dengan Aubree. Terlihat Aubree yang sangat bersemangat dan begitu bahagia di pertemuan ini.“Tid
Nathan duduk di kursi kebesarannya seraya memijat pelan pelipisnya. Sesaat pria itu memejamkan mata lelah ketika mengingat beberapa hari lalu dirinya baru saja menyetujui perjodohan konyol. Kala itu Nathan terjebak dan tersudut. Dia tidak bisa menolak keinginan kedua orang tuanya yang menjodohkannya pada Aubree. Dan sekarang, kepala Nathan nyaris pecah memikirkan dirinya akan menikahi gadis aneh yang selalu saja mengusik hidupnya itu.Saat keluarga Aubree mengadakan pesta, Nathan hanya menggantikan orang tuanya yang berhalangan hadir. Andai saja Nathan tahu di pesta yang dia datangi itu akan membuat hidupnya ketimpa kesialan, maka Nathan lebih memilih untuk tidak menghadiri pesta itu.“Tuan Nathan.” Cedric—asisten Nathan—melangkah masuk ke dalam ruang kerja Nathan seraya membawa dokumen di tangannya.Nathan menatap dingin Cedric yang ada di hadapannya. “Ada apa, Cedric? Jangan menggangguku,” tukasnya kesal.“Maaf, Tuan, tapi saya membutuhkan tanda tangan Anda,” ujar Cedric dengan sopa
Nathan mengusap wajahnya kasar. Kepalanya nyaris pecah mengingat hari ini dirinya harus menemani Aubree memilih cincin pernikahan. Gadis aneh dan tidak waras itu telah sukses membuat hidup Nathan seakan mendapatkan kesialan bertubi-tubi. Sialnya gadis itu berani mengambil gambar mereka dalam keadaan dirinya yang terlelap. Demi Tuhan, jika saja Nathan bisa, sudah pasti Nathan melenyapkan gadis aneh itu dari muka bumi ini.Sejenak, Nathan mengatur napasnya, berusaha menurunkan emosi yang terbendung dalam dirinya. Kini Nathan tengah memikirkan cara bagaimana membatalkan hari ini. Tentu saja Nathan malas jika harus menemani gadis aneh itu hanya demi memilih cincin pernikahan yang tidak jelas.“Nathan.” Bianca melangkah masuk ke dalam kamar Nathan. Refleks, Nathan mengalihkan pandangannya kala mendengar suara ibunya.“Mom?” Nathan menatap ibunya yang mendekat padanya.“Sayang, kau tidak lupa, kan? Hari ini kau harus pergi bersama dengan Aubree memilih cincin pernikahan kalian.” Bianca beru
Sebuah restoran Thailand di Manhattan telah menjadi tempat di mana Aubree makan malam bersama dengan Nathan. Ya, sepulang dari toko perhiasan Aubree mengajak Nathan untuk makan malam di salah satu restoran Thailand yang cukup terkenal di Manhattan. Tentu Nathan terpaksa menuruti Aubree karena Nathan tak mau pusing berdebat dengan gadis aneh itu.“Nathan, buka mulutmu.” Aubree mengarahkan sendok yang berisikan Tom Yam udang pada Nathan.“Kau saja.” Nathan menyingkirkan sendok Aubree. Pria itu enggan menerima suapan dari Aubree. Padahal Nathan ingin sekali pulang setelah mengantar Aubree ke toko perhiasan. Namun, lagi dan lagi Nathan terjebak dengan gadis aneh ini. “Nathan, ayo buka mulutmu.” Aubree kembali mendesak Nathan agar pria itu mau membuka mulutnya. Memaksa adalah salah satu sifat Aubree. Well, gadis itu memang terkenal sangat keras kepala dan harus mendapatkan apa yang dia inginkan. Dalam hidup, Aubree tak pernah tidak mendapatkan apa yang dia inginkan.Nathan mengembuskan na
Aubree tersenyum sumiringah bahagia kala membayangkan tentang kemarin. Ya, kemarin dia menghabiskan waktu satu harian bersama dengan Nathan. Mulai dari memilih cincin. Lalu makan malam bersama. Dan terakhir ketika dirinya ketiduran di mobil; Nathan membopongnya, serta memindahkan ke kamarnya. Aubree sudah mendengar dari pelayan kalau Nathanlah yang memindahkannya ke kamar. Sungguh, membayangkan tentang Nathan yang membopongnya membuat hari Aubree menjadi berwarna. Gadis itu terus tersenyum bahagia.“Sayang, kenapa kau senyum-senyum sendiri seperti itu?” Delina—ibu Aubree melangkah mendekat pada Aubree yang sedari tadi tak henti tersenyum.“Mom?” Aubree mengalihkan pandangannya kala melihat ibunya kini sudah duduk di sampingnya.“Apa yang membuatmu bahagia seperti ini, hm? Sudah lama rasanya Mommy tidak melihatmu sebahagia ini.” Delina membawa tangannya membelai rambut panjang Aubree. Dia memang sudah lama sekali tidak melihat putrinya tampak sebahagia ini. Sejak kepergian Hoshea—suami
BrakkkNathan membanting kasar pintu mobilnya. Pria itu turun dari mobil—dan melangkah masuk ke dalam apartemen pribadinya yang ada di Kawasan Park Avenue. Tampak raut wajah Nathan memendung kekesalan. Hari-harinya begitu sial setiap kali bertemu dengan Aubree. Keanehan, kegilaan, semua hal yang menyakut gadis itu membuat kepalanya nyaris pecah. Seperti tadi kala Aubree datang ke kantornya; gadis itu membuat masakan seperti membuat racun. Bagaimana bisa ada masakan dengan rasa seperti itu? Sungguh, apa sebenarnya kelebihan yang dimiliki gadis itu? Hanya lahir dari keluarga kaya sama saja tidak memiliki kelebihan apa pun!Dan hari ini Nathan memutuskan tidak pulang ke mansion kedua orang tuanya. Bukan tanpa alasan tapi Nathan tidak mau ayah atau ibunya menanyakan perkembangan hubungannya dengan Aubree. Lebih tepatnya Nathan enggan mendengar nama itu lagi. Hari ini dia sudah muak bertemu dengan Aubree yang menunjukan segala kegilaan gadis itu. Dia tidak mau sampai harus kembali mendenga
Nathan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang membelah kota Manhattan. Aura wajah dingin, dan terselimuti ketegasan terlihat di wajah tampan pria itu. Pandangan lurus ke depan fokus pada hamparan jalanan yang luas. Ya, hari ini Nathan terpaksa menggantikan kakaknya meeting dengan beberapa rekan bisnis keluarganya. Tak ada pilihan lain, dia pun tak bisa untuk mangkir dari meeting penting ini. Saat mobil sport yang dilajukan Nathan mulai memasuki lobby The Mark Hotel. Pria itu turun dari mobil seraya memberikan kunci mobil di tanganya pada petugas valet. Tampak para staff hotel menyapa Nathan dengan ramah. Pun Nathan mengangguk singkat merespon para sapaan para staff hotel. Detik selanjutnya, Nathan menuju ruang pertemuan di mana rekan bisnis keluarganya sudah menunggu dirinya.“Selamat pagi, Tuan Nathan.” Ruben—rekan bisnis Nathan menyapa kala Nathan memasuki ruang meeting. Pria itu langsung mengulurkan tangannya, menjabat Nathan. “Pagi, Tuan Ruben.” Nathan menyambut jabatan tan
“Apa kau cemburu, hm?”Nada sensual, dan seksi itu berada tepat di depan bibir Nathan. Napas Aubree menerpa kulit pria itu. Namun, sayangnya Nathan tak tergoda. Pertanyaan Aubree membuat aura wajah Nathan tampak menyeramkan. Sepasang iris mata cokelat Nathan terhunus begitu tajam pada iris mata hijau Aubree.“Hentikan kekonyolanmu, Aubree Randall! Aku tidak mungkin cemburu! Kau saja yang tidak waras memakai pakaian tidak sesuai tempat di mana kau datangi! Kau sedang bekerja bertemu dengan rekan bisnismu bukan ingin menjual tubuhmu!”Nathan berbicara dengan begitu sarkas. Ya, penampilan Aubree bisa dikatakan nyaris telanjang. Punggung gadis itu terekspos. Belahan dada pun terekspos. Satu lagi, panjangnya dress yang dipakai Aubree sangat minim. Entah gaya busana apa yang dipakai Aubree. Menghadiri meeting seperti ingin ke pesta di klub malam.Aubree mengangkat bahunya tak acuh. Jika banyak orang akan tersinggung mendengar ucapan Nathan, lain halnya dengan Aubree. Di mata Aubree perkataa