Hari ini Samudra mengajak Rain pergi ke sebuah taman hiburan. Bahkan, pemuda itu sudah menyewa tempat ini khusus untuk mereka berdua agar bebas bermain apa saja tanpa gangguan dari siapapun.
"Sam, kamu serius booking tempat ini?" tanya Rain masih tidak percaya.
Pemuda itu hanya nyengir memperlihatkan barisan giginya yang rapih.
"Ih, kebiasaan. Ngapain sih? Buang-buang uang tahu," lanjutnya.
"Apa sih yang enggak buat kamu," kata pemuda itu berhasil membuat Rain tersipu.
"Sudah, dari pada kamu terus ngoceh mending sekarang nikmatin saja semua permainannya." Samudra memegang tangannya dan menariknya pergi.
Semua permainan menyenangkan sudah ada di depan mata, gadis itu bebas memilih wahana apa saja yang akan ia naiki. Namun, Rain ingat kalau sebagian permainan ini berbahaya untuk pemuda itu. Jadi dia memilih permainan yang kira-kira aman juga untuk Samudra.
"Aku mau naik komedi putar," ucap Rain dengan mata berbinar ka
Sedari tadi pemuda itu terus menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam selimut tebal. Bibirnya bergetar, matanya terasa begitu panas.Pemuda malang itu terserang demam."Dek, makan dulu, ya. Dari pulang sekolah kamu belum makan lho," ucap Bianca. Baskara hanya menggeleng lemah sembari meringkukkan tubuhnya.Wanita itu membuka selimut yang menutupi tubuh adiknya, pupil matanya membesar ketika menyadari kondisi adiknya cukup mengkhawatirkan.Keringat dingin bercucuran dari keningnya, wajahnya pucat dan bibirnya bergetar."Dingin, Kak," lirih Baskara."Astagfirullah, badan kamu panas banget. Sebentar!" Bianca berlari mengambil jaket untuk adiknya."Kita ke dokter, ya." Pinta wanita itu seraya memakaikan jaket ke tubuh panas sang adik.Lagi-lagi Baskara hanya menggeleng. Dan ini sifat yang tidak disukai oleh Bianca. Adiknya begitu keras kepala sama seperti ayahnya. Dia hanya menghela napas, jikalau pun berdebat, Bianca pasti akan kalah
Keesokan harinya keluarga Wiratmaja sudah berkumpul untuk sarapan bersama. Sedari tadi Dirgantara terus mencuri-curi pandang pada adiknya dan ternyata seseorang menyadari itu."Abang," panggil Wira. Pemuda itu langsung melihat ayahnya dengan ekspresi sedikit terkejut."Dari tadi Papa perhatikan kamu terus lirik-lirik Rain. Ada apa?" tanya pria dewasa itu.Rain yang merasa namanya disebut sontak menoleh seraya menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Ada apa Bang Di?"Dirgantara hanya menggaruk tengkuknya, bingung mau memberi alibi apa."Mmm, bukan hal yang penting kok," jawabnya, "Ma, Pa, Di berangkat. Assalamu'alaikum."Rain mengerutkan kedua alisnya seraya melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Lho, baru juga jam segini. Eh, Bang Di tunggu!"***Napas gadis itu masih naik-turun, belum beraturan. Maklum saja langkah kakaknya itu panjang dan juga cepat sehingga ia mengejarnya harus dengan berlari jika tidak ingin berangkat
Setelah semalaman Bianca tidak sadarkan diri, akhirnya pagi ini ia membuka matanya dan orang pertama yang dia cari adalah sang adik."Aku kenapa? Babas mana?" tanya Bianca pada Brisia dan juga ayahnya."Tadi malam aku menemukanmu sudah pingsan di bawah tangga," jawab Brisia acuh tak acuh."Pingsan?" Gadis itu mengernyit memegang belakang kepalanya yang terasa sakit."Babas mana?" tanya Bianca lagi.Brisia mendelik tidak suka mendengar nama Baskara disebut. "Untuk apa sih masih menanyakan anak pembawa sial itu? Tidak guna."Mata Bianca melotot, gadis itu tidak suka adiknya disebut sebagai anak pembawa sial. Rasanya sekarang ini ia ingin sekali membungkam mulut kakaknya agar berhenti mengatakan hal yang dapat menyakiti perasaan adiknya."Sudah, adik kamu baru saja siuman jangan mengajaknya bertengkar," ucap Nugroho."Babas mana Yah?" tanya gadis itu untuk kesekian kalinya."Babas di rumah," jawab pria dewasa itu seraya men
"Rain mana sih?" Pemuda itu terus menggerutu seraya celingukan mencari keberadaan sang adik."Kak Dirga," sapa Tia, "lagi nunggu Rain ya?""Iya. Kamu melihatnya tidak?" tanyanya.Setelah menunggu jawaban yang tidak kunjung dia dapatkan dari gadis di depannya itu, Dirga menyadari ada sesuatu yang tidak beres terlebih melihat tingkah Tia yang sedari tadi hanya memainkan ujung rambutnya seperti bingung harus menjawab apa."Hey!" Dirgantara mengibaskan tangannya di depan wajah gadis itu."Eee–ee sebenarnya dari tadi Rain tidak masuk kelas Kak," tuturnya."Hah? Maksudmu adikku bolos?" tanya Dirgantara tampak sekali terkejut dengan penuturan salah satu teman adiknya itu.Gadis itu semakin bingung harus memberi jawaban apa. Di satu sisi Tia yakin kalau Rain bukan tipikal siswi seperti itu, tapi di sisi lain dia melihat sendiri gadis itu ijin untuk pergi ke WC dan tidak kembali lagi sampai jam sekolah berakhir."Hallo," panggil D
Samudra mendongak memandang langit yang tidak secerah tadi pagi."Sepertinya akan turun hujan," ucapnya.Rain ikut mendongakkan kepala dan benar saja tidak lama kemudian air hujan mulai membasahi mereka.Ekspresi gadis itu langsung berubah serta langsung menarik Samudra untuk segera pergi dari sana."Ada apa?" tanya pemuda itu."Tidak apa-apa. Ayo!" balas Rain sembari semakin mempercepat langkahnya.Tidak apa-apa jika dikatakan oleh seorang mahluk yang bernama perempuan bisa seribu arti,setidaknya itu yang pernah Dokter Leon katakan padanya.Jika bisa memilih lebih baik dia bermain teka-teki yang ada di youtube dari pada menebak arti sebenarnya dari perkataan perempuan.Satu hal yang tidak Samudra sadari, bahwa diapun sama saja dengan Rain, selalu mengatakan tidak apa-apa meski keadaannya tidak baik-baik saja.Saking terlalu dipikirkan ia tidak sadar bahwa sekarang ini mereka sudah berteduh di sebuah halte bi
Entah untuk keberapa kalinya gadis itu melihat benda bulat yang terus berputar dan mengeluarkan suara berulang.Tik! Tik! Tik!"Terjadi lagi," katanya dengan helaan napas bosan, kesal dan kecewa."Tapi, kenapa selama ini?" tanyanya entah pada siapa.Binar sudah menunggu Dirgantara selama dua jam, tetapi sampai saat ini pemuda itu belum juga terlihat bahkan tidak membalas pesannya jika benar dia datang terlambat.Padahal gadis itu sudah memutuskan jawaban yang ditanyakan pemuda itu tempo hari. Namun, melihat sikap pemuda itu ia kembali ragu, apakah Dirgantara serius atau justru hanya mempermainkannya?***"Ah, sial! Ini sdah telat banget." Pemuda itu berkendara dengan sangat cepat.Setelah sampai, secepat mungkin ia memparkirkan motornya di sembarang tempat tidak peduli dengan teguran petugas parkir serta beberapa orang yang ada di sana. Karena yang ada dipikirannya sekarang ini hanyalah menemui gadis yang pasti sekaran
Saat Baskara membuka matanya dia terkejut karena tidak berada di kamarnya melainkan disebuah ruangan serba putih yang paling dibencinya. Dia juga baru menyadari bahwa tangannya sudah dipasang infusan."Siapa yang membawaku ke sini? Aku harus pergi dari sini." Pemuda itu langsung mencabut paksa infusannya, tetapi kondisinya masih lemah bahkan untuk sekedar berdiri.Kalau saja seseorang terlambat menangkap tubuhnya yang limbung, mungkin Baskara sudah merasakan dinginnya lantai rumah sakit ini.Baskara mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang menangkapnya. Pupil matanya membesar ketika dia tau siapa orang itu."Ayah," gumamnya. “ini benar Ayah?“Babas bodoh! Tidak mungkin lah,” pemuda itu berdebat dengan pikirannya sendiri."Mau ke mana? Kondisi kamu masih lemah," ucap pria dewasa itu seraya membantu Baskara kembali ke ranjangnya.Pemuda itu masih saja tergeming seraya terus menatap wajah ayahnya tanpa berkedip. Wa
Rain menatap langit malam dari balik jendela kamar. Membayangkan saat pemuda itu meyakinkannya bahwa hujan tidaklah buruk. Tiba-tiba ponselnya bergetar dan tertulis nama Samudra di sana. Gadis itu segera mengangkatnya seraya membenarkan posisi rambutnya, padahal tidak saling bertatap muka. "Hallo," ucap Rain. "Sudah tidur?" tanya Samudra di sebrang sana. Gadis itu hanya mendengkus seraya menutup jendela kamarnya."Belumlah. Kalau sudah tidur masa bisa angkat telepon." "Haha!"Gadis itu menyunggingkan bibirnya ketika mendengar pemuda itu tertawa. "Bisa saja kan saat aku menelponmu kamu langsung bangun," ujar Samudra mulai menggodanya. "Mohon maaf, kenapa Bapak inigeerbanget, ya?" balas Rain meski sekuat mungkin ia menahan agar tidak tertawa. Mereka terus berbicara tanpa henti, sampai pemuda itu memintanya membuka jendela kamarnya. Dengan perasaan berdebar Rain meng