Entah untuk keberapa kalinya gadis itu melihat benda bulat yang terus berputar dan mengeluarkan suara berulang.
Tik! Tik! Tik!
"Terjadi lagi," katanya dengan helaan napas bosan, kesal dan kecewa.
"Tapi, kenapa selama ini?" tanyanya entah pada siapa.
Binar sudah menunggu Dirgantara selama dua jam, tetapi sampai saat ini pemuda itu belum juga terlihat bahkan tidak membalas pesannya jika benar dia datang terlambat.
Padahal gadis itu sudah memutuskan jawaban yang ditanyakan pemuda itu tempo hari. Namun, melihat sikap pemuda itu ia kembali ragu, apakah Dirgantara serius atau justru hanya mempermainkannya?
***
"Ah, sial! Ini sdah telat banget." Pemuda itu berkendara dengan sangat cepat.
Setelah sampai, secepat mungkin ia memparkirkan motornya di sembarang tempat tidak peduli dengan teguran petugas parkir serta beberapa orang yang ada di sana. Karena yang ada dipikirannya sekarang ini hanyalah menemui gadis yang pasti sekaran
Saat Baskara membuka matanya dia terkejut karena tidak berada di kamarnya melainkan disebuah ruangan serba putih yang paling dibencinya. Dia juga baru menyadari bahwa tangannya sudah dipasang infusan."Siapa yang membawaku ke sini? Aku harus pergi dari sini." Pemuda itu langsung mencabut paksa infusannya, tetapi kondisinya masih lemah bahkan untuk sekedar berdiri.Kalau saja seseorang terlambat menangkap tubuhnya yang limbung, mungkin Baskara sudah merasakan dinginnya lantai rumah sakit ini.Baskara mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang menangkapnya. Pupil matanya membesar ketika dia tau siapa orang itu."Ayah," gumamnya. “ini benar Ayah?“Babas bodoh! Tidak mungkin lah,” pemuda itu berdebat dengan pikirannya sendiri."Mau ke mana? Kondisi kamu masih lemah," ucap pria dewasa itu seraya membantu Baskara kembali ke ranjangnya.Pemuda itu masih saja tergeming seraya terus menatap wajah ayahnya tanpa berkedip. Wa
Rain menatap langit malam dari balik jendela kamar. Membayangkan saat pemuda itu meyakinkannya bahwa hujan tidaklah buruk. Tiba-tiba ponselnya bergetar dan tertulis nama Samudra di sana. Gadis itu segera mengangkatnya seraya membenarkan posisi rambutnya, padahal tidak saling bertatap muka. "Hallo," ucap Rain. "Sudah tidur?" tanya Samudra di sebrang sana. Gadis itu hanya mendengkus seraya menutup jendela kamarnya."Belumlah. Kalau sudah tidur masa bisa angkat telepon." "Haha!"Gadis itu menyunggingkan bibirnya ketika mendengar pemuda itu tertawa. "Bisa saja kan saat aku menelponmu kamu langsung bangun," ujar Samudra mulai menggodanya. "Mohon maaf, kenapa Bapak inigeerbanget, ya?" balas Rain meski sekuat mungkin ia menahan agar tidak tertawa. Mereka terus berbicara tanpa henti, sampai pemuda itu memintanya membuka jendela kamarnya. Dengan perasaan berdebar Rain meng
Wira dan Gita merasa keheranan denganmoodanak-anaknya hari ini. Putra sulungnya terlihat berseri-seri sedangkan putri bungsunya terlihat murung dan gelisah."Rain," Panggil wanita itu dengan lembut seraya menyentuh kedua tangan putri bungsunya.Gadis itu mengangkat kepalanya sebagai respon lalu kembali menatap ponselnya, mengabaikan makanan di depannya."Masakan Mama tidak enak ya, Sayang?" tanya Gita memasang raut sedih.Rain langsung menggeleng dan memakannya. "Mama bercanda nih, orang ini enak banget. ""Maafkan Rain, Ma." Gadis itu merasa bersalah karena sudah mengabaikan masakan yang dibuat ibunya."Rain tidak bermaksud mengabaikan masakan Mama, tapi perut Rain lagi kurang baik," alibinya."Astagfirullah, kenapa tidak bilang dari tadi kalau perut kamu tidak enak? Kalau tahu gitu Mama belikan obat," kata Gita dengan sifat keibuannya. Terlihat sekali wanita paruh bay aitu menghkawatirkan anak bungsunya.
Setelah selesai dengan hukuman pertama, kini mereka sudah berada di lapangan untuk melaksankan hukuman kedua.“Sam, kamu yakin?” tanya Rain yang terlihat sangat cemas ketika mereka akan memulai berlari mengelilingi lapangan. Sedangkan pemuda itu hanya menaikan sebelah alisnya, bingung dengan pertanyaannya.“Kabur saja yuk!” Ajak gadis itu seraya menarik-narik tangan Samudra untuk pergi dari sana.“Apa? Ada apa denganmu? Kenapa kamu bersikap sangat aneh?” tanya pemuda itu semakin dibuat bingung dengan tingkah anehnya.“Eeuu … tidak apa-apa, hanya saja …,” ucap Rain bingung untuk melanjutkan kalimatnya. Mana mungkin kan ia bilang kalau dia merasa khawatir akan keadaan pemuda itu? Sama saja dengan bunuh diri.“Hanya saja?” tanya Samudra menunggu Rain menyelesaikan ucapannya.“Hanya saja … hanya saja aku lapar. Iya, itu,” jawab gadis itu membuat alis Sam
“Sarah, berhenti!” Pinta Samudra meninggikan suaranya seraya mengehempaskan tangannya yang masih di genggam oleh gadis itu. Kini mereka sedang berada di atas rooftop sekolah. Sarah membawanya ke sini agar bisa leluasa berbicara dengan sepupunya itu tanpa gangguan dari siapapun. “Kemari, lukamu harus segera di obati,” katanya tidak marah sama sekali ketika pemuda itu mengehempaskan tangannya dan sedikit membentaknya. “Tahan ya, ini akan terasa sedikit perih.” Lanjut gadis itu seraya akan menempelkan sapu tangannya untuk membersihkan darah di sudut bibir Samudra yang terluka. Namun, sebelum sapu tangan itu menyentuh permukaan kulitnya, tangan pemuda itu lebih dulu mengehentikannya dan kemudian menjauhkannya. “Sa, aku mohon stop bersikap berlebihan seperti ini,” pintanya merasa risih dengan perlakuan Sarah yang terlalu memperhatikan dan menjaganya. “Dan kamu stop membuatku khawatir.” Balas gadis itu kembali dengan pekerjaannya yang sempat
"Sarah, sebenarnya Sam itu siapa kamu?" tanya Angkasa membuat Sarah menaikkan sebelah alisnya, bingung akan pertanyaan pemuda itu. "Lho, kamu juga tau kan dia sepupu aku," jawabnya. "Sepupu ya?" Pemuda itu tersenyum miring, "bohong!" "Bohong? Apa maksudnya Bohong? Kenapa kamu malah nuduh aku bohong? Kamu kenapa sih? Kalau memang tidak mau berteman denganku lagi ya sudah, tapi bukan begini caranya," gadis itu menjadi kesal karena telah dianggap berbohong. "Aku cemburu!" aku Angkasa sudah tidak bisa membohongi perasaannya lagi. Setelah mengatakan itu Angkasa menarik napas Panjang dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku cemburu melihatmu pelukan dengannya. Gak ada sepupu yang memberikan perhatian lebih sampai meluk-meluk gitu. Perhatian kamu tuh seperti seorang wanita kepada lelakinya,bulshitkalau kalian tidak ada hubungan apa-apa," lanjutnya membuat Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu masih terkejut
Maya melihat putra sulungnya sedang membereskan pakaian dan beberapa perlengkapan yang akan pemuda itu bawa."Aa, yakin mau berangkat besok? Bukankah Aa bilang berangkat setelah kelulusan?" tanyanya. Pemuda itu hanya mengangguk dengan lemah."Kenapa terburu-buru sekali?” tanyanya lagi. Wanita paruh bay aitu masih merasa aneh dengan keberangkatan putranya yang tiba-tiba.“Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa lupain dia, Bu,” jawab Angkasa dalam batinnya.Tok! Tok! Tok!"Siapa yang bertamu, ya?" pikir Maya. Dia pun pergi dari kamar putranya untuk membukakan pintu."Assalamu'alaikum," ucap seseorang di luar rumah memberi salam."Wa'alaikumusalam," jawab wanita itu, "eh, Nak Sam, silakan masuk.""Angka nya ada Tante?" tanya Samudra dengan ramah.Wanita itu tersenyum memperlihatkan sifat keibuannya. "Sebentar, Tante panggilkan. Silakan duduk, Nak."Maya kembali masuk untuk memanggi
"Argh!Apa yang baru saja aku lakukan?" Netranya menerawang jauh ke laut lepas yang membentang kebiruan, membiarkan ombak menyapu kakinya. Pemuda itu masih tidak percaya dengan apa yang diakukannya, membongkar begitu saja rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat.Saat sedang melampiaskan kekesalannya tiba-tiba Samudra melihat seorang pemuda berkepala plontos berjalan ke tengah laut."Woy!!" Cegah Samudra langsung menarik tangannya dan betapa terkejutnya ketika mendengar suara pemuda itu yang terdengar seperti suara perempuan."Lepaskan aku!" bentaknya."Kamu perem--"Gadis berkepala plontos itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca lalu menghempas tangan Samudra dan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.Dengan masih keterkejutannya Samudra kembali mengejar gadis itu untuk meminta maaf karena telah menganggapnya seorang laki-laki, Samudra yakin ucapannya itu sudah membuat gadis itu tersinggung.