Share

Bab 5-Tas little ponny

Haha ... Dirgantara tertawa ngakak melihat wajah kedua sahabatnya yang penuh dengan jepitan jemuran, sementara yang ditertawakan hanya mendengkus kesal.

"Puas banget ketawanya, Bang Di," ujar Rain dari arah dapur.

"Camilan hari ini bakso goreng ala Rain dan Sarah," lanjutnya sangat bangga dengan kreasi yang ia buat kali ini.

Setelah menaruh piring dan gelas-gelas itu di meja, tawa Rain langsung menggelegar kala melihat wajah kedua sahabatnya yang sudah penuh dengan jepitan.

Baik Samudra maupun Bintang hanya bisa mendengkus kesal menerima kekalahan.

"Mainnya sudah dulu, sekarang ayo makan," perintah Rain sudah seperti seorang ibu yang mengingatkan anak-anaknya yang keasyikan bermain.

Bintang membuang napasnya dengan sangat keras seraya melepaskan jepitan-jepitan yang masih menempel di wajahnya, begitupun dengan Samudra.

Namun, pemuda itu dikejutkan dengan pergerakan Rain yang tiba-tiba duduk di sampingnya lalu mengulurkan tangannya untuk membantu melepaskan jepitan-jepitan tersebut.

Samudra sempat terpaku beberapa saat karena selama mereka bersahabat, baru kali ini ia bisa melihat wajah gadis itu dari jarak yang sangat dekat.

Pemuda itu sampai-sampai menahan napasnya kala jantungnya berdebar lebih cepat.

"Ada apa dengan jantungku?" pikirnya.

"Pasti sakit ya?" tanya Rain sedikit meringis kala membayangkan bagaimana jika jepitan-jepitan itu menempel di wajahnya.

Sedangkan yang ditanya masih dengan keterdiamannya.

Sampai suara dehaman berat Dirgantara mengembalikan kesadarannya yang sempat menghilang.

Samudra memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan debaran jantungnya.

Setelah cukup tenang, perlahan ia membuka matanya kembali dan hal pertama yang ia lihat adalah senyuman manis gadis itu.

Sialnya debaran itu kembali lagi bahkan lebih parah dari sebelumnya.

Samudra sempat berpikir apakah itu adalah gejala serangan jantung? tetapi, jika memang benar, kenapa ia tidak merasakan sakit?

"Sudah cukup tatap-tatapannya," celetuk Bintang dan langsung mendapat delikan tajam dari Rain.

"Ya ampun wajahmu sampai merah, Sam," ujar Rain setelah kembali memperhatikan wajah pemuda itu.

"Apakah itu sakit?" Ia mengulangi pertanyaan yang belum dijawab oleh Samudra.

Pemuda itu menggeleng sebagai jawaban. Lalu dengan cepat ia mengambil salah satu gelas yang ada di sana dan hendak meminumnya.

Namun, sebelum gelas itu benar-benar menempel di bibirnya, Rain sudah terlebih dahulu mengambilnya.

"Ini bukan punyamu," kata Rain seraya menyimpan kembali gelas tersebut dan memberikan gelas yang benar.

Sebagai informasi saja kalau pemuda itu alergi dengan susu sapi. Perutnya akan langsung menolak cairan berwarna putih tersebut yang bisa mengakibatkan bulak-balik toilet, muntah-muntah, bahkan sampai demam.

"Thank." Balasnya seraya mengambil gelas yang benar lalu meminumnya.

Sungguh ia tak pernah merasa secanggung ini pada gadis itu sebelumnya.

Tingkah laku Samudra kali ini benar-benar terlihat berbeda. Pemuda itu lebih banyak diam tidak seperti biasanya.

Dan sepertinya Sarah menyadari perubahan sikap sepupunya itu sehingga ia memutuskan untuk bertanya.

"Kenapa?" tanya Sarah.

Seakan tahu maksud pertanyaan sepupunya, Samudra hanya mengangkat bahunya serta kembali menyentuh dadanya yang masih berdebar-debar.

***

Hari ini Angkasa sedang menemani adiknya untuk membeli tas impiannya.

Pilihannya jatuh pada tas little ponny berwarna pink dengan hiasan gantungan ekor kuda serupa.

"Vina mau ini." Gadis kecil itu memeluk tas yang telah ia pilih.

Angkasa melihat harganya, tertulis Rp 250.000-

"Benar mau ini?" tanya Angkasa memastikan adiknya tidak salah pilih.

Gadis kecil itu langsung mengangguk tanpa ragu sedikitpun.

"Mbak," panggil Angkasa pada pelayan di sana.

"Iya Mas? Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan ramah.

"Ini harganya tidak bisa kurang gitu, Mbak? Dua ratus ribu deh," pemuda itu mencoba bernegosiasi untuk mendapatkan tas tersebut dengan harga yang lebih murah.

"Aduh, maaf Mas, ini sudah harga pas," kata pelayan tersebut menolak secara halus.

"Benar tidak bisa kurang, Mbak?" tanya Angkasa tidak pantang menyerah.

"Maaf, Mas." Pelayan itu menempelkan telapak tangannya memberikan tanda bahwa tas itu benar-benar tidak bisa ditawar.

Angkasa melihat adiknya yang sudah memeluk tas impiannya, ia tidak tega jika tidak jadi membelinya.

"Ya sudah deh Mbak, saya beli. Kualitasnya bagus kan?" tanya Angkasa lagi.

Dia tidak ingin mengeluarkan uang cukup besar hanya untuk tas yang berkualitas jelek.

"Saya berani jamin Mas, soalnya ponakan dan adik saya juga pakai," kata pelayan itu meyakinkan calon pembelinya.

"Terima kasih," ucap seorang kasir setelah Angkasa mengeluarkan uang pas lalu memberikan barang belanjaannya kepada adiknya.

Gadis kecil itu terlihat begitu senang.

"Makasih, Aa." Lanjutnya mencium Angkasa beberapa kali saking senangnya mendapatkan tas baru.

"Vina janji sama Aa, kalau Vina harus lebih rajin lagi belajarnya." Ingat Angkasa langsung memangku adik kesayangannya itu.

"Siap." Gadis kecil itu menempelkan tangannya ke dahi membentuk gerakan hormat.

Setelah sampai rumah Vina langsung memamerkannya pada sang ibu.

"Ibu, lihat! Tas Vina bagus, kan?" Gadis itu menunjukan tas yang baru saja ia beli dengan sang kakak tercinta.

"Iya, bagus," jawab Maya seraya tersenyum pada gadis kecilnya itu.

"Aa, Ibu, Vina ke kamar dulu ya. Mau nunjukin tas baru Vina ke Lulu." Gadis kecil itu berlalu pergi ke kamarnya sambil bersenandung di sepanjang jalan.

Lulu adalah boneka kesayangan miliknya.

Boneka itu adalah kado ulang tahun dari Angkasa saat ia berulang tahun ke-5 tahun.

"A," panggil Maya.

"Aa, dapat uang dari mana untuk membeli tas itu?" tanyanya.

Pemuda itu menatap ibunya lalu memberikan seutas senyum untuk menenangkannya.

"Ibu tenang saja, Aa beli dengan uang halal kok," jawab Angkasa.

Ibunya tidak perlu tahu kalau ia memakai uang hasil kerja paruh waktunya untuk membeli tas tersebut.

***

Kini, Baskara sedang berada di rumah sakit tempat neneknya di rawat.

Kebetulan hari ini, ayah serta kakaknya tidak ada di sana.

"Babas," panggil wanita lansia itu.

"Iya, Nek?" Baskara memegang tangan neneknya yang sudah tidak sekencang dulu.

"Sudah makan?" tanya sang nenek dengan suara lemah.

Pemuda itu menggeleng serta balik bertanya. "Nenek butuh sesuatu?"

"Jagoan Nenek sudah besar." Bukan menjawab pertanyaan sang cucu, wanita tua itu malah berucap seraya menepuk tangan cucu kesayangannya.

Pemuda itu menatap sendu ke arahnya, menggenggam tangan lemah wanita yang sudah seperti seorang ibu untuknya.

"Nenek tinggal di tempat Babas ya, biar Babas bisa rawat nenek 24 jam," pintanya.

Wanita tua itu menggeleng lemah. "Nenek tidak apa-apa. Nenek mau menghabiskan sisa umur nenek di rumah itu, rumah kenangan nenek dengan kakekmu."

Iya, selama ini, nenek sangat mencintai kakek. Mungkin itu yang dinamakan cinta sejati. Padahal saat kakek meninggal, usia nenek masih seperempat abad, usia ayah saja belum genap 3 tahun. Besar kemungkinan jika nenek menikah lagi. Namun, kesetiannya pada kakek begitu besar. Nenek berkata, "Kalau nenek menikah lagi, nenek tidak akan bersatu dengan kakek di surga." Sungguh manisnya kisah cinta mereka.

"Nenek, jauh-jauh dari dia!" Bentak Brisia mendorong tubuh Baskara ke belakang.

"Brisia! Jaga ucapanmu," seru neneknya.

"Nenek kenapa malah membelanya?" tanya Brisia tidak terima.

"Dia itu pembunuh!" Lanjutnya seraya menunjuk pemuda itu dengan telunjuknya.

"Brisia! Babas itu adik kamu," bentak neneknya tidak terima salah satu cucunya diperlakukan seperti itu.

"Tidak! Aku tidak punya adik pembunuh. Dia sudah membunuh bunda!" sergahnya dengan penekanan di kata pembunuh.

"Brisia!" Neneknya sangat marah sampai ia meremas dadanya dengan sangat kuat dan tidak lama kemudian mata sayunya terpejam sempurna.

"Nenek," gumam Baskara dengan tubuh yang gemetaran.

"Nenek, bangun! Nenek!!" teriak pemuda itu sangat panik melihat neneknya tiba-tiba menggerang kesakitan lalu tidak sadarkan diri.

"Menjauh dari Nenek!" Seru Brisia mendorong tubuh Baskara dengan sangat kasar.

Gadis itu segera menekan tombol merah di dekat ranjang untuk memanggil dokter.

Tidak lama kemudian, dokter beserta beberapa suster datang dan langsung menanganinya.

"Tolong kalian tunggu di luar," pinta salah satu suster.

"Tolong selamatkan Nenek saya," mohon Baskara, seluruh badannya terasa begitu lemas tidak bertenaga.

Mereka semua panik menunggu dokter keluar.

Brisia sudah menghubungi ayahnya untuk memberitakan kabar buruk ini. Tidak sampai lima menit, dokter sudah keluar dengan mimik wajah yang sudah dapat dibaca.

"Maaf," ucap dokter mengusap wajahnya keras.

Brisia menangis histeris begitu pun dengan Baskara yang sama terpukulnya.

Bibirnya bergetar hebat. Satu-satunya orang yang menyayanginya, yang peduli padanya juga pergi meninggalkannya.

"Brisia." Nugroho memeluk anak perempuannya itu untuk membuatnya tenang.

"Ayah, nenek," ujar Brisia masih sangat terpukul dengan apa yang terjadi pada sang nenek.

Nugroho melihat Baskara yang juga menangis di sana, tetapi ia sama sekali tidak memedulikan keberadaan pemuda itu.

"Kenapa ninggalin Bagas secepat ini bu?" batinnya.

Tidak terasa air matanya menetes, tetapi segera dia seka, ia tidak boleh terlihat lemah di depan sang putri.

"Ayo, pulang. Kita harus mengurus pemakaman nenek." Nugroho mengelus puncak kepala Brisia.

"Ayah," panggil Baskara lirih.

"Babas boleh ikut?" tanyanya setengah memohon.

Nugroho mendorong tubuhnya ke belakang dengan keras, dan berlalu pergi sebagai jawaban bahwa ia tidak mengijinkan pumuda itu mengantarkan wanita lansia itu ke peristirahatan terakhirnya.

"Babas." Wina berlari kearahnya.

Kondisi pemuda itu sungguh tidak baik-baik aja, ia begitu terpukul atas kejadian ini.

"Yang sabar Bas, nenek sudah tenang. Beliau sudah tidak akan merasakan sakit lagi." Wina mengusap punggung pemuda itu yang sudah memeluknya erat.

*Fyi: Aa adalah sebutan kakak laki-laki dalam bahasa Sunda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status