LOGINSudah menjadi rutinitas setiap jam istirahat anak-anak Nature Squad selalu berkumpul di kantin untuk berbagi cerita selama di kelas atau hanya sekadar untuk menyusun rencana sepulang sekolah. Sama halnya dengan hari ini, mereka berkumpul untuk membahas rencana selepas pulang sekolah nanti.
"Nanti siang kumpul di rumah gue, oke," ucap Dirgantara memulai pembicaraan. "Bahas apa nih? Jahat banget gak ngajak," kata Samudra yang entah muncul dari mana. "Ngapain ke sini?" tanya Bintang dengan ketus. "Astaga kalian masih marah?" Tanya pemuda itu seraya menempelkan kedua tangannya di pipi mulusnya serta memasang ekspresi sok terkejut. "Iya deh, sorry.” Lanjutnya seraya menatap satu persatu sahabatnya lalu menempelkan telapak tangannya, membuat gerakan seperti menyembah. "Dir," panggil Samudra. "Apa?" tanya Dirgantara masih bernada ketus. "Sorry," ucap Samudra dengan tulus. "Jangan diulang!" jawab Dirgantara walaupun masih sedikit kesal. Lalu ia beralih ke sahabat-sahabatnya yang lain dan melakukan hal yang sama. "Angka," panggil Samudra. "Huh! Oke," balas Angkasa tidak ingin memperpanjang masalah. "Bintang," panggil Samudra kini pada sahabat sekaligus teman sebangkunya. "Lihat nanti deh," timpal Bintang masih bernada ketus dan dingin. Bercandaan Samudra waktu itu memang sangat keterlaluan. Berpura-pura pingsan, membuat semua orang panik. Sehingga Bintang ingin memberinya sedikit pelajaran agar tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Tidak semua hal bisa dijadikan bercandaan. "Bintang." Samudra menempelkan telapak tangannya seraya mengerucutkan bibir, "maafin." Bintang mendengkus, sedikit tidak tega juga melihat Samudra terus memohon padanya. Akhirnya ia mau memaafkannya meski masih sedikit kesal dan terdengar tidak ikhlas. "Iya. Puas?” Samudra tersenyum lebar. "Nah, gitu dong." Kini pemuda itu beralih ke sahabatnya yang galaknya melebihi emak-emak yang tidak mau disalahkan gara-gara membuat jatuh pengendara lain karena naik motor saat memberi sein kiri tapi belok ke kanan. Oke, lupakan. "Babas," panggilnya dengan suara di imut-imutkan seperti perempuan. "Gue maafin abis nonjok muka lo. Sini!" balas pemuda itu sedatar dan dingin seperti biasanya. Samudra menelan Salivanya. "Ngeri Bos." Tidak ingin berlama-lama memaksa Baskara, kini Samudra harus meminta maaf kepada orang yang telah ia buat khawatir setengah mati, gadis yang kini hanya menundukkan kepalanya dan tidak berbicara sepatah katapun saat ia datang. "Rain," panggil Samudra, kini nada suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Bukannya menjawab, gadis itu malah langsung beranjak pergi dari sana sedangkan Samudra hanya diam melihat kepergiannya. Mungkin Samudra masih sedikit syok dengan respon dari Rain. "Ngapain masih di sini? Kejar sana!" perintah Dirgantara. Samudra mengangguk dan langsung berdiri serta mengejar Rain yang terus melangkahkan kakinya menjauh darinya. "Rain!" Panggil Samudra seraya memegang tangan gadis itu agar tidak terus berjalan semakin jauh. "Lepas!" Berontaknya. Samudra sedikit tertegun kala melihat mata gadis itu berkaca-kaca. "Apa dia menangis?" pikirnya, tetapi ia mencoba untuk mengabaikannya dan kembali membujuknya agar Rain memaafkannya. Jujur saja diabaikan olehnya membuat Samudra uring-uringan dan tidak memiliki semangat bahkan sekadar menarik bibirnya untuk tersenyum. "Ayolah kemarin gue cuma bercanda, masa gak mau maafin sahabat tampan lo ini?" Lagi-lagi Samudra mengerucutkan bibirnya, manik matanya mengisyaratkan bahwa dia benar-benar menyesal dengan perbuatannya tempo hari. Rain mendongakkan kepalanya untuk menatap ke obsidian kembar milik Samudra. "Kamu bilang bercanda?" tanya Rain dengan nada yang cukup tinggi. "Kita udah panik dan kamu bilang cuma bercanda? Otak kamu di mana? Hah!" Gadis itu benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya. Samudra kembali tertegun, ia tidak menyangka gadis itu akan semarah ini padanya. "Itu gak lucu Sam." Suara gadis itu bergetar menahan tangis dan emosi yang sedari tadi coba ia tahan. Samudra tidak sanggup melihat air mata itu. Ia langsung menarik Rain ke dalam dekapannya seraya mengusap surai panjang berwarna hitam legam milik gadis itu. "Sorry." Hanya kata itu yang dapat diucapkan Samudra. Dia benar-benar menyesali perbuatan bodohnya. "Kamu jahat!" Racaunya seraya memukul dada Samudra dengan cukup kuat. *** “Sam, kamu lupa rumah aku atau gimana?” tanya Rain setengah bercanda. “kok lama.” Sedangkan yang ditanya hanya menyipitkan matanya dan memperlihatkan barisan gigi putihnya. "Gue bawa Sarah gak papa kan?" tanya Samudra sama sekali tidak menjawab. Di belakangnya sudah berdiri seorang gadis seusia mereka. Seperti yang di rencanakan tadi, mereka kini sedang berada di rumah Dirgantara dan Rain. "Dia siapa?" Tanya Rain menunjuk Sarah dengan dagunya. Dirgantara menyenggol siku adiknya. "Yang sopan sama tamu." Gadis itu sama sekali tidak mengindahkan teguran kakaknya. Hatinya tiba-tiba panas melihat Samudra membawa gadis lain. Entahlah perasaan apa yang sedang ia rasakan saat ini, ia pun tidak tahu. "Hai, aku Sarah, sepupunya Sam," ujar gadis itu memperkenalkan diri. Rain tersenyum. "Rain," jawabnya. Entah kenapa hatinya langsung merasa lega setelah gadis itu mengenalkan diri sebagai sepupunya. "Sarah, ikut aku yuk!" ajak Rain. Gadis itu mengangguk seraya mengekor dari belakang. "Jangan jailin sepupu gue!" teriak Samudra karena jarak mereka yang cukup jauh. Rain menoleh dan ikut berteriak. "Aku bukan kamu." Pppttt... HAHA! Kedua pemuda lainnya menyemburkan tawanya sedangkan Samudra hanya bisa mendengkus kesal. "Main apa nih?" tanya Bintang setelah lelah tertawa. "Berhubung kalau Basket si Sam pasti kabur lagi, gimana kalau kita main kartu?" saran Dirgantara, tuan rumah kali ini. "Tidak boleh anak-anak! Dosa, masik neraka." sahut Samudra menirukan para Ustadz yang pernah ia tonton bersama ibunya di televisi. Baik Dirgantara maupun Bintang sama-sama memutar bola matanya malas. "Yeeee dasar PEA! Gak pakai uang lah. yang kalah hukumannya di jepit pakai jepit jemuran," sewot Dirgantara. "Oh, bilang dong. Kalau itu let's go brother." Samudra hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Si Babas sama si Angka ke mana?" tanya Bintang baru sadar kalau jumlah mereka tidak lengkap. "Si Angka katanya lagi ada urusan, terus si Babas gue gak tau ke mana." Jawab Dirgantara mulai mengocok kartu-kartu yang akan dimainkannya. "Hobi ngilangnya kumat lagi," timpal Samudra. "Bisa jadi." Tumben mereka setuju dengan pendapatnya. Mengingat memang Baskara sering sekali muncul dan pergi secara tiba-tiba seperti ... hantu? ya seperti hantu, jin, dan kawan-kawannya. Lupakan. *** "Kamu sekolah di mana? Aku baru sadar wajah kamu agak familiar," Tanya Rain sekaligus berpendapat seraya memanaskan minyak goreng. Ia berencana membuat bakso goreng untuk camilan kali ini. "Kita satu sekolahan kok, cuma semester kemarin aku ikut pertukaran pelajar ke Singapura," jawabnya sembari memperhatikan cara gadis itu memasak. "Sepertinya Rain cocok dengannya," pikir Sarah dalam hati. "Ada yang bisa aku bantu?" tanya Sarah setelah asyik dengan isi hatinya. "Mmm gak usah, bentar lagi juga selesai," kata Rain. "Kamu temenan sama Angka juga?" tanya Sarah membuat Rain menghentikan aktivitasnya sejenak. "Tau Angka juga? Iya kita temenan udah sekitar satu tahunan," jawabnya. Lalu berjalan ke rak sebelah kiri mengambil piring, mangkuk kecil lalu menuangkan saus sambal untuk cocolannya. "Dia teman sekelas aku," lanjut Sarah dengan santai berbeda dengan respon yang ditunjukkan Rain setelahnya. "Tunggu! Berarti kamu kakak kelas aku dong? Aduh sorry kak aku gak tau." Rain sekarang benar-benar merasa tidak sopan karena bersikap sok akrab padahal Sarah adalah kakak kelasnya. "Ih panggil Sarah aja gak papa. Aku gak gila hormat kok." Sarah berjalan ke arahnya untuk melihat Rain menuangkan saus. Ia memperhatikan Rain yang sekarang sedang menuangkan susu putih untuk lima orang dan menuangkan segelas susu yang berbeda. "Kamu udah kenal Sam lama?" tanya Sarah lagi. Sepertinya gadis itu sangat tertarik untuk membahas Samudra. "Dua tahun." Jawab Rain seraya menuangkan segelas susu kedelai. "Mmm, pantesan." Balas Sarah seraya menyilangkan tangannya di dada serta kembali memperhatikan Rain yang sedang fokus dengan pekerjaannya, "sabar-sabar ya sama sifat jail dan nyebelinnya." "Tenang udah kebal," timpal Rain. Kemudian mereka tertawa bersama. Pemuda itu memang selalu menjadi topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas.Setelah pulang dari sekolah, Samudra kembali mengantar gadis itu ke rumah sakit tempat gadis itu dirawat. Lelaki itu mencium tangan ibunya Viola ketika berpapasan di depan ruangan yang gadis itu tempati. Samudra meminta maaf karena mengajak Viola pergi sampai senja seperti ini. Namun, bukannya memarahinya, wanita paruh baya itu jusrtu mengucapkan terima kasih padanya karena telah membuat senyum putrinya kembali. Setelah itu Samudra pamit pulang. Lagi pula gadis itu sebentar lagi harus meminum obatnya dan beristirahat. Saat dilorong rumah sakit tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya ke dinding saat dadanya terasa sakit, napasnya sesak dan pandangannya tampak kabur. Samudra tidak dapat menyangkal bahwa tubuhnya kelelahan, bahkan lelaki itu lagi-lagi melupakan obat yang harus dikonsumsinya. Ia berjalan dengan langkah terseok-seok sembari sebelah tangannya digunakan untuk berpegangan pada apapun yang bisa menahan beban tubuhnya. Namun, semakin lama Samudra me
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit akhirnya mereka telah sampai ke sebuah bangunan yang tidak asing bagi Samudra, tetapi asing untuk gadis itu. Ya, mereka berdua kini sedang berada di sekolah lelaki itu sekarang. Viola menatap bangunan megah itu dengan mata yang berbinar. Senyuman indah itu tidak pernah luntur dari wajah pucatnya. “Ayo masuk!” Ajak Samudra seraya menggandeng tangannya. Viola menarik tangannya membuat lelaki itu mengerutkan keningnya. Bingung melihat wajah Viola yang terlihat cemas. “Apa mereka tidak akan mengusirku? Aku bukan siswi di sini,” ucap gadis itu menundukkan kepalanya. “Ya ampun aku pikir kenapa,” saut Samudra, “tenang saja ada puluhan siswi yang bersekolah di sini. Mereka tidak mungkin sadar kalau kamu bukan salah satu siswi di sini.” “Kamu yakin?” tanya gadis itu masih cemas akan ketahuan. “Ya,” jawab Samudra seyakin mungkin, “ayo akan aku buktikan.” Lanjutnya kembali menggenggam tan
Setelah pulang sekolah Samudra tidak langsung pulang ke rumahnya ataupun pergi bersama anak-anak Nature Squad seperti yang selalu mereka lakukan. Lelaki itu pergi untuk menemui teman barunya, Viola, gadis yang sempat ia pikir sebagai laki-laki botak yang hendak bunuh diri. Tok tok tok! “Masuk,” ucap seorang wanita paruh baya dari dalam. Samudra menyembulkan kepalanya seperti seorang anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Baik wanita paruh bay aitu ataupun gadis cantik yang sedang duduk di kursi roda sama-sama tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat kelakuannya yang menggemaskan. “Ayo masuk, Nak Sam,” ujar wanita paruh baya itu lagi yang tidak lain adalah ibu dari Viola. Ia sudah cukup tahu siapa lelaki yang mengaku sebagai teman putrinya itu dan ia juga senang karena kehadiran Samudra, putrinya terlihat lebih ceria dan banyak tersenyum. Lelaki itu langsung masuk dan tidak lupa untuk menutup pintunya kembali. Kemudian ia
Sam dan Viola sama-sama menatap ke depan, melihat orang-orang yang berjalan ke sana ke mari. "Kamu serius mau menjadi bapak peri untukku?" tanya gadis itu membuat kening pemuda itu berkerut. “Bapak peri?” tanya Samudra tidak mengerti. “Bukankah kamu tadi mengatakan akan menciptakan memori indah untukku? Kupikir kamu seperti ibu peri dalam cerita dongeng, tapi berhubung kau seorang laki-laki jadi kau bapak, bukan ibu,” jawab gadis itu membuat Samudra membuka mulutnya tidak percaya bisa bertemu dengan gadis sepolos dirinya. “Iya.” Jawab pemuda itu seraya menganggukan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Caranya?" tanya Viola lagi. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya seraya mendorong kursi roda Viola, lalu dia duduk di salah satu kursi panjang dan menatap mata gadis itu dengan serius. "Mimpimu apa?" tanyanya. "Hah!" Viola mengerjap beberapa kali ketika mata mereka beradu. Dia merasa sangat gugup di tatap seperti itu.
Hari ini Baskara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit begitu pun dengan Bianca. Nugroho dengan cekatan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk kedua anaknya. Bianca yang melihat perubahan dari ayahnya itu merasa sangat bahagia sampai menitihkan air mata karena terharu, sementara Brisia tidak tau entah ke mana. Wanita itu tidak ikut menjemput kedua saudaranya."Kak Brisia mana Yah?" tanya Bianca."Entahlah. Mungkin Kakakmu sedang sibuk dengan urusannya," jawab pria dewasa itu seraya fokus menyetir.Baskara menatap kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, sedari tadi dia terus menggenggam tangan Bianca tanpa mau melepaskannya."Kak, kepalanya masih sakit?" tanya pemuda itu khawatir."Sedikit," jawab Bianca sembari memegang perban yang terlilit di kepalanya."Jangan cemas! Kakak tidak apa-apa," lanjutnya tidak ingin membuat sang adik cemas.Nugroho yang sedang fokus menyetir, mengintip ke harmonisan kakak beradik itu lewat k
Uhuk! Uhuk!Sedari tadi Rita terus batuk-batuk, dia merasakan seluruh badannya tidak enak dan suhu tubuhnya sedikit hangat, sepertinya wanita itu terserang demam.Bintang yang menyadarinya langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sup jagung kesukaan ibunya. Namun, setelah masakannya jadi dan siap untuk di antarkan dia baru menyadari bahwa ibunya tidak mungkin memakannya jika Bintang yang memberikannya.Lantas pemuda itu kembali ke atas untuk meminta bantuan Bima untuk mengantarkannya dan meminta merahasiakan bahwa sup ini Bintang yang membuatnya.Awalnya Bima tidak setuju, tetapi setelah dia melihat sorot mata adiknya, dia pun luluh.Tok tok tok!Bimamengetuk pintu kamar ibunya dengan membawa semangkuk sup jagung yang dibuatkan Bintang. Wanita itu tersenyum ketika melihat putra kebanggaannya datang."Makan dulu, Ma," ucap pemuda itu sembari duduk di pinggir tempat tidur siap menyuapi sang ibu.Wanita itu







