"Sorry, sorryy!” tanpa melihat orang itu Nayla langsung minta maaf.
"Punya mata, kan? Dipake dong! Jangan diangguriin!" Cowok itu menepuk-nepuk baju dan celananya seakan terkena debu.
"Eh, Mas gue udah minta maaf lhoo. Lagi pun gue yang jatuh!" Nayla bersuara di bawah cowok itu. Situ kali gak punya mata!
"Emang muka gue mirip Mas Mas?" cowok itu tidak terima.
Nayla mengambil bukunya lalu bangun dari jatuhnya dan menatap cowok itu. Cewek itu mendongak karena hanya sebahu cowok itu saat berdiri sejajar.
"Mas cleaning service ya? Atau tukang renov? Mau bagusiin yang rusakk?"
"Gue? Cleaning service? Mas Mas? Liat gue jelas-jelas yahh! Apa ada tampang gue kaya kuli, hm!” cowok itu semakin tidak terima dengan tebakan Nayla.
"Biasa aja dong nggak usah ngegas!"
Nayla memperhatikan dari atas sampai bawah. Terlalu ganteng sih. Wajahnya datar, tingginya kaya pemain basket, rambutnya berantakan tapi tetap teratur, bibirnya sexy, merona nggak kaya cowok kebanyakan yang hitam karena rokok. Ini cowok kalau ikut take me out Indonesia yakin dahh semua cewek pada nyalahin lampunya buat dia.
Cowok ini makan apa biar seganteng ini? Lee Min hoo aja lewat sama dia. Tapi, pakaiannya kaya preman. Celana robek di lutut. Kaus hitamnya ditutupi jaket kulit.
“Biasa aja lihat gue, ntar mata lo bintitan!” ketusnya. Membuyarkan lamunan Nayla.
"Udah sana pergi! Gue males ngeladenin cewek kaya lo,” bentaknya. “Sana lo pergi cari mas mas tukang bakso!”
Dasar preman! Kok dia bisa masuk ke sini?
Nayla semakin curiga. Dia berlari keluar, ke arah ruang guru bukan kelasnya.
"Pak, cepetan Pak..."
Nayla membawa guru-guru yang ada di ruang guru sekalian dengan satpam juga. Seperti mau perang Nayla membawa pasukan. Mereka yang ikut juga semakin antusias saat mendengar ada seorang laki-laki berpakaian serampangan masuk kebagian sekolah.
Tiba di Perpustakaan, Nayla menunjuk cowok itu dengan semangat 45.
Seorang cowok yang sedang asyik membaca buku sambil berdiri menyender di rak buku. Pemandangan yang sempurna.Pak Bakri kepala sekolah SMA Budi Mulia membulatkan matanya melihat sosok itu. Hal serupa dengan cowok itu, kaget diserbu banyaknya orang.
Akhirnya mereka berkumpul di ruang guru.
"Nayla... ini Raka Nicholas Ciputra anak dari pemilik yayasan sekolah SMA Budi Mulia.” Pak Bakri memperkenalkan.
Mati gue. Bunuh aja gue, bunuh.
Raka melipat tangannya di depan dada, menatap tajam ke arah Nayla. Gadis itu tertunduk malu.
"Lo anak baru ya?" ketus Raka.
“I-iya.”
"Pantesan."
Dengan wajah menjual Raka Nicholas Ciputra, nggak ada murid yang nggak kenal dengan dia. Terutama kaum hawa. Ditambah lagi embel-embel anak pemilik yayasan yang dijidatnya. Semakin membuat populer alumni SMA Budi Mulia tahun kemarin ini. Jadi sangat mudah untuk Raka keluar masuk sekolah ini.
"Udah jam pelajaran di kelas ngapain masih kelayapan di luar?" Ketus Raka.
Semua mata guru melirik ke arah Nayla. Gadis itu menelan ludah merasa terintimidasi.
"Saya cari bu...kuu.... " Ringis Nayla, teringat jam ini adalah jam pelajaran Bu Maya. Guru yang sangat killer.
"Pak maaf. Saya permisi ke kelas dulu yah.” Nayla bergegas meninggalkan ruang guru tanpa menghiraukan apa-apa lagi. Di kepalanya hanya Bu Maya yang terbayangkan. Guru itu orang Sunda, seharusnya ibu ini orang yang lembut karena biasannya Sunda lembut.
Nayla berlari menelusuri koridor sekolah menuju kelasnya."Gara-gara cowok brengsek itu." Nayla bergumam sendiri.
Kelasnya sudah mulai dekat. Cewek itu mulai mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Jantungnya masih berdetak kencang karena takut. Dengan memberanikan diri Nayla mengetuk pintu kelas.
Tok! Tok! Tok!
Bibirnya tersenyum tipis melihat Bu Maya.
Bu Maya pun membalas senyum Nayla dengan mengangkat alis matanya yang sebelah kanan. Senyumnya memberi banyak makna."Bu--"
"Keluar! Kamu keluar dari jam pelajaran saya. Saya tidak terima alasan apa pun.” Bu Maya menghunus Nayla dengan tatapan tajam, tangannya sudah menunjukkan pintu keluar.
Nayla pasrah membalikkan badannya.
Its ok. Bisa ngadem di kantin sambil minum es. Tenggorokannya juga sudah kering. Istirahat sejenak, pikir Nayla.
"Nayla... Kamu ke depan tiang bendera. Berdiri di sana sampai jam pelajaran saya habis. Kalau kamu ke kantin atau kemanapun. Tidak akan merubah prilaku kamu. Tempat kamu di lapangan!"
"Buu.."
"Silahkan Nayla Anastasya Susanto!”
Sinar matahari sangat menyengat menusuk sampai ke tulang putih, menyengat keseluruhan tubuh. Nggak ada murid lagi di luar kelas kecuali Nayla yang berdiri di depan tiang bendera. Menjalankan hukuman dari Bu Maya. Cewek itu menundukkan kepala saat ada yang lewat. Terkadang melipat tangannya di depan dada sambil menatap lurus ke depan. Kalau sudah bosan dia mengubah posisi berdirinya sambil bergumam dalam hati, terlihat dari bentukan bibirnya yang menahan kesal."Anak yang punya yayasan tapi keliatan kayak preman. Pertama kali ketemu udah sial. Liat aja ketemu lagi gue cubit ginjalnya biar nggak sok cool gitu."Tiba-tiba matanya terhenti pada pria yang berada ditingkat dua sebelah sudut kanan. Matanya silau karna cahaya matahari tapi berusaha melihat dengan jelas orang itu yang sedari tadi memang sudah berdiri di situ.Mata mereka saling bertemu, seperti ada petir diantara mata mereka. Cowok brengsek
"Dia presiden PA? Pantesan, ketua OSIS. Biar gampang dapet surat izin dari sekolah untuk naik gunung," bisik Rangga pada Nayla."Hushh..." tegur Nayla."Dan juga wakil presiden PA Galih Kusuma," lanjut Erga. Lalu seorang cowok dari sebelah kiri melambaikan tangan sambil tersenyum.Prokk! Prok! Prokk!"Sekertaris PA kita Nona cantik Agustina Putri." Teriak Erga penuh semangat.Tina dengan penuh pesona melambaikan tangan pada anggota baru, auranya semakin membuat kaum cowok bersorak."La, itu Tina kita sekertaris PA?" Rangga mengguncang lengan Nayla karena kaget, baru ini dia ketinggalan berita."Gue juga baru tahu, Ga. Lo kan temennya, harusnya gue yang nanya!" Ujar Nayla bingung, Tina dan Beca sama sekali nggak cerita.Prook! Prokkk! Prokk...
Seminggu kemudianNayla sibuk mempersiapkan keberangkatannya naik gunung. Jam sudah menunjukkan pukul 7.30 Tepat seminggu yang lalu ayahnya dengan berat hati mendatangani surat izin Nayla untuk berangkat ke Gunung."Jangan lupa bawa jaket yang tebal. Selimut di bawa aja, semua makanan yang di kulkas biar di bawa Nayla juga, dia pasti kecapean, tenaganya habis. Butuh makanan yang banyak," kata Rahmat memperhatikan istrinya menyusun barang Nayla ke rancel."Bawa susu ya La, buat jaga stamina kamu di sana," ibunya memasukan minuman ke rancel Nayla. Tadinya ayahnya menyarankan membawa koper, karena tatapan tajam istrinya niatnya itu diurungkan."Mau bawa apel, Jeruk apa pisang?" Rahmat menawarkan."Bawa semua aja ya, biar nggak kelaparan di sana.""Naylaa bukan mau berangkat perang, jangan banyak-b
Kurang lebih dua jam tibalah mereka. Kang Deni, Raka dan Reno meminta izin pada warga desa Berbura yang berada di kaki gunung untuk naik gunung. Warga menyambut hangat kedatangan mereka."Kita absen dulu baru naik ke atas sebelum gelap," teriak Reno. Para alumni hanya memantau dan memberi bantuan, selanjutnya para pengurus PA yang bertindak."Udah berapa bulan gue di rumah aja, lumayan bosan. Kalau udah gitu, gunung jadi tujuan gue," ucap Doni tersenyum melihat pemandangan pepohonan."Di gunung kita bisa berdamai dengan diri sendiri, sekaligus belajar menghargai kehidupan dan alam," ucap Kang Deni yang mengenakan pakaian serba hitam. Tidak lupa ia mengelus jenggotnya."Denger Don, mencintai alam berarti menjaga kebersihan. Lo buang puntung rokok sembarangan!" semprot Erga melihat Doni baru saja membuang bekas rokoknya."Khilaf gue, beneran. Sumpah!" Doni buru-buru mengambil yang dia buang.
Nayla, Rangga, dan Desy berjalan saling dorong-dorongan ke depan mengikuti arahan. Hanya terdengar suara jangkrik dan angin malam. Semua pohon di sekeliling tampak berwarna gelap. Mereka menebak-nebak apa yang akan terjadi dalam hati. Terlihat dari kejauhan Doni sedang menunggu di bawah pohon dengan api unggun. "Sebelum kita mulai, kita kenalan dulu. Nama gue--" "Udah kenal Ka Doni, siapa coba yang nggak kenal," potong Desy dengan senyum manis. Mereka jongkok di depan api unggun berhadapan dengan Doni. "Okeh kalau gitu," ucap Doni tersenyum bangga. "Kalian sekarang masuk ke area abang Doni, udah pada baca lembaran materi yang kemarin dibagiin, kan?" tanya Doni. "Gue kasih pertanyaan, jawab dengan benar," ucap Doni menatap ketiga juniornya. "Nggak inget
"Semuanya terima kasih untuk partisipasinya. Semoga anggota baru jangan ada yang kapok. Terus semangat mengikuti ekskul pecinta alam." Reno sang Presiden PA memberi kata sambutan."Besok pagi kita akan naik gunung sampai puncak. Kalian pasti nggak sabaran kan mau ke sana?" Semua menyahut dengan bersorak kegirangan. Mereka mengelilingi api unggun. Api itu menghangatkan tubuh mereka malam itu. Dengan syahdu mereka melantunkan lagu MAHAMERU diiringi suara gitar Raka. Raka main gitar? Nayla mendengus kesal. Cowok yang menurutnya sudah termasuk dalam deretan sempurna sebagai cowok. Dan sekarang, dia punya kelebihan lagi."La, lo mandi?" tanya Rangga. Nayla menyahut dengan menggelengkan kepalanya. "Kok rambut lo nggak kotor lagi? Tadi kan
15 menit berlalu. Perjalanan mereka masih lumayan jauh. Keringat sudah bercucuran di tubuh mereka. Sebagian orang mengambil kayu yang tergeletak untuk dijadikan tongkat. Walaupun tubuh mereka sudah kehabisan tenaga, mereka masih semangat untuk sampai ke puncak. Nayla terhenti dengan nafas tersengal-sengal, ia menundukkan kepala lalu memijit dengkulnya yang sudah mulai keram. Ini pertama kalinya cewek itu mengeluarkan tenaga paling banyak. "Nih pegang," tiba-tiba Reno memberikan kayu kokoh untuk menjadi tongkat Nayla. "Makasih." Nayla tersenyum. Ini baru cowok, nggak kayak orang sebelah, galak. Nayla melirik dengan sinis Raka yang berada tidak jauh darinya. "Ayok," ajakReno. Nayla tersentak lalu mengikuti dengan kikuk di
Raka dan kawan-kawannya asyik masak mie dengan kompor gas yang kecil ala-ala anak kemping yang mereka bawa. Cowok itu tersenyum memandang sekeliling. Hal yang paling ia rindukan. Perjalanan ke puncak, udara yang sejuk dan minum kopi bersama pendaki lain. "Pemandangannya nggak berubah ya tiap kita ke sini," ujar Doni seraya mengaduk mienya. Wajahnya serius tampak prihatin. "Lo bangun aja kolam renang di sini, Don. Biar pemandangan berubah." Ujar Erga, disambut tawa teman-temannya. "Ya hilanglah pesona gunungnya, bego!" "Lo-nya yang bego! Percuma gue kuliahin." Abel masih tergelak. Mereka saling sahut-menyahut dengan tergelak. "Eh, dari tadi gue nggak liat Ellena sama genknya?" Mike mengedarkan pandangannya m