Nayla merebahkan tubuhnya ke atas kasur dengan pakaian seragam yang masih menempel di tubuhnya. Semalas itulah Nayla. Otaknya berputar mencari cara untuk mendapatkan izin ikut kegiatan pecinta alam.
tuk tuk tuk.
"Nayla...”
“Nayla...”
Perlahan Nayla membuka matanya, suara ibunya makin malam makin terdengar jelas. Nayla terduduk di kasur setengah sadar. Dia tertidur hingga tidak ingat waktu.
"Iya Maa... Bentar lagi Nayla keluar," teriaknya dari dalam.
Tiap malem keluarga mereka terbiasa makan malam bersama, dan ini adalah kesempatan yang tepat untuk Nayla bicara pada orang tuanya. Sebelum turun Nayla membersihkan diri.
"Nayla serius mau ikutan naik gunung? Sayang itu bahaya lhoo,” ucap Rahmat. Ditelannya makanan dalam mulutnya lalu minum air di gelasnya. Ditatapnya dalam-dalam anak gadis semata wayangnya. Dari dulu Nayla nggak pernah minta izin ikutan ekskul di sekolah.
"Nayla serius. Kapan lagi coba Nayla bisa ada kesempatan pergi ke alam bebas," jawab Nayla dengan manja.
"Papa nggak kasih kamu izin.” Rahmat menggelengkan kepala. Nayla mengedarkan pandangannya dan terhenti pada ibunya meminta bantuan.
"Mereka pasti ada guru pendamping. Ada surat izin sekolah kan La? Nayla kan sudah besar, dia juga butuh teman dan pengalaman," kata-kata ibunya sangat membantu. Ayahnya terdiam sejenak.
"Ok. Tapi papa harus tahu siapa saja yang ikut. Sudah lulus izin dari sekolah apa belum.” Rahmat menegaskan.
“Siap pak boss. Tenang aja alumni sekolah ikut, guru pendamping juga ada, pawangnya juga ada, terus temen sekelas Nayla juga banyak yang ikut," terlalu senang Nayla berceloteh tanpa henti.
"Palingan juga sekali ikut udah jerah. Udah deh La, lo nggak bakal tahan naik gunung. Di sana banyak nyamuk. Yang ada lo ikut nyusahin teman-teman lo." Ujar Bagas di sebelah Nayla. Baginya adiknya itu masih balita, nggak bisa dilepasin. "Anak manja sok ikut pecinta alam," ledek Bagas lagi.
"Hehh... Belum tahu ya. Im strong woman, Do Bong Soon aja kalah!” decak Nayla menarik lengan bajunya ke atas lalu menunjukan ototnya. Korban film Korea.
"Mau nanti betisnya besar? Gede kayak kaki gajah.” Bagas memanyunkan bibirnya. Belum puas kalau Nayla nggak cemberut.
“Siapa takut,” jawab Nayla.
"Siapa nanti yang mau satu tenda sama lo. Jarang mandi, bisa-bisa mereka nyium bau enggak sedap lagi.” Bagas menaikan bahunya seakan kebauan.
"Apaaan sih!" Nayla mulai sebal dengan kakak laki-lakinya. Matanya mulai berkaca-kaca. Cewek itu memukul bahu Bagas dengan tangannya kuat-kuat. Bukannya kesakitan Bagas malah tertawa riang.
"Bagas!" Rahmat melerai. Ayahnya selalu jadi pembela untuk Nayla di saat Bagas menang melawan putrinya. “ Kamu selalu saja bikin adikmu nangis, nanti kalau pisah baru ngerasa kehilangan.”
Kakak-beradik itu pun tertunduk.
* Nayla *
“Nayla...!”
Suara teriakan itu berasal dari Beca, cewek itu berlari kecil menghampiri Nayla yang berjalan di koridor. Beca tersenyum lebar lalu tangannya merangkul lengan Nayla.
“Gue seneng banget pas lo chat udah dapet izin ikut ekskul PA." Mata Beca berbinar menoleh pada Nayla.
“Gara-gara lo bujuk terus. Gue beraniin bilang sama bonyok gue ikut PA," sahut Nayla. Mereka beriringan menuju kelas.
"Duh, gue jadi sayang sama lo." Beca mendekap badan Nayla.
Rutinitas Beca sampai di kelas, selalu merapihkan penampilannya sambil berkaca. Kaca kecil yang selalu standby di dalam tasnya. Menyisir rambut dan menambahkan liptint pada bibirnya.
"Tina kok belum dateng?" Nayla mencari sosok temannya satu lagi.
"Palingan dia telat. Gue kasih tahu ya kebiasaan Tina, yaitu... Suka terlam...bat.." Ujar Beca seraya menyisir rambut lurusnya dengan lembut lalu memasang jepit rambut di kepalanya. Nayla mengangguk mengerti.
Braakkk
Tiba-tiba Erick meletakkan buku di atas meja mereka. Lebih tepatnya di depan Beca. Sejenak Erick memandangi wajah terkejut Beca lalu tersenyum jahil.
"Ntar lo bagiin ini ke anak-anak sekelas,” perintah cowok itu. Dia langsung pergi sebelum Beca membuka mulut. Beca melotot tidak terima. Tidak lama cowok itu berbalik ke posisi semula pas di depan Beca.
"Kerjaaan lo dandan mulu. Noh... jerawat lo makin keluar,” ditunjuknya jerawat di bawah bibir Beca kemudian Erick berjalan keluar tidak perduli teriakan Beca seperti pakai toa.
"Erikkk! Jangkriikkk! Awas lo ya."
"Bawa buku-buku ini! Gue bukan sekertaris kelas, enak-enak aja lo nyuruh gue, hah! Berani bayar berapa lo..."
Jerawat adalah kata-kata teranti Beca, betapa tidak, biaya yang dikeluarkan untuk perawatan wajah Beca sangat mahal. Dia selalu ikut ibunya setiap kali perawatan.
Erick terkekeh mendengar jeritan Beca."Kenapa Bek, Erik lagi?" Tina yang baru saja datang langsung duduk di bangkunya di depan kursi Nayla.
"Si brekele kurang ajar! Pagi-pagi bikin mood orang rusak!" geram Beca. Dia memelototi jerawat yang ditunjuk Erik. Kaca itu menangkap benjol kecil berwarna merah disudut bibirnya.
"Kalian itu kayak Tom and Jerry aja nggak pernah akur. Awas nanti jatuh hati." celetuk Tina. Beca dan Erick setiap bertemu tidak pernah akur, selalu ada saja yang membuat mereka ribut.
"Astaga ...Tina! Amit-amit gue sama brekele plus cungkring itu!" Beca mengetuk meja dan kepalanya bergantian pake jarinya. Tina tertawa lalu melihat ke arah Nayla yang juga sedang tertawa.
"Kata Beka, lo uda dapet izin ikut PA? Semalem dia chat gue. Gue seneng banget kita bisa satu ekskul." Tina kegirangan.
"Iya gue udah dikasih izin. Gue juga seneng bisa satu ekskul sama kalian,” sahut Nayla sumringah.
“Nanti pulang sekolah kita langsung ke basecamp PA ya. Kebetulan hari ini ada pendaftaran anggota baru,” ujar Tina disahut anggukan Nayla.
"Nggak sia-sia kemarin gue creambath sama facial, pasti nanti alumni-alumni pada ikut ngumpul.” Beca tersenyum licik. "Siapa tahu kan ada alumni yang kecantol sama kecantikan gue. Lumayan buat dipamerin sama genk-genk cewek di sini."
"Sebenarnya motif lo apa sih Bek ikut PA? Curiga gue!" Tina menautkan kedua alisnya melihat Beca.
"Kita itu harus memburu cowok anak kuliahan. Apalagi alumni kita. Yahh nggak ada masalah dong, iyakaaan? Keburu sold out semua. Denger ya, cewek anak kuliah itu pada lebay gayanya. Make-upnya pada menor-menor. Bisa tergoda mereka.”
"Kayanya otak lo perlu dimasukin ke kulkas. Biar dingin! Pikiran lo bisa ngeres mikirin cowok mulu!" cibir Tina.
"Lo suka cowok dewasa, Bek?” tanya Nayla heran. Setiap ucapan Beca selalu saja menggebu kalau menceritakan alumni mereka.
"Nggak dewasa-dewasa banget kali La! Cowok kuliahan itu lebih berkarisma. Dari pada kita pacaran sama putih abu- abu juga," jawab Beca bertahan dengan pendiriannya.
"Hadehh...Bek! Bisa-bisa lo dewasa sebelum waktunya." Tina tertawa kecil dan mengeleng.
“Suka-suka gue dong!
Selera-selera gue.” Beca mencak-mencak.Mendengar obrolan mereka, Nayla teringat dengan buku cetak fisika yang belum dia punya. Infonya, guru fisika adalah guru paling killer di SMA Budi Mulia.
"Eh...Gue ke Perpus dulu ya mau cari buku cetak Fisika. Masih ada waktu, kan?” Nayla bangkit sambil melihat jam tangannya.
"Mau gue temenin nggak, La?" Tina menawarkan diri.
"Nggak usah gue sendiri aja. Kemarin gue udah ke perpus."
"Oh...Yaudah. Buruan gih! Keburu masuk,” usir Beca seraya mengibaskan tangannya.
Di Sekolah lama, Nayla lebih sering menghabiskan waktu di Perpustakaan. Tenang dan nyaman. Buku-buku tersusun rapi di rak. Nayla mencari buku yang diinginkannya. Buku cetak fisika. Karena masih anak baru Nayla belum punya buku cetak untuk mengikuti pelajaran.
Teringat dengan waktu Nayla buru-buru mengambilnya.
Braaaakk
Nayla bertabrakan dengan seorang cowok. Walaupun Nayla yang menabraknya tetep saja Nayla yang terjatuh tersungkur. Badan cowok itu lebih besar darinya.
Kilasan tentang pertemuannya dengan Jenny saat ini kembali. Jenny tidak terlalu banyak perubahan, dia sangat pintar merawat dirinya. Namanya model memang lebih berpengalaman dalam perawatan. Tubuhnya terbentuk dengan indah, tatapannya masih lembut tapi terkesan angkuh.Nayla menatap perempuan di depannya ini dengan senyum tipis, masih bingung dengan situasinya saat ini. Sepertinya semua orang terfokus padanya bukan pada Beca yang punya acara.Kemudian Nayla melirik jari manis Jenni, lalu tersenyum tipis. Dia jadi ingat pesan terakhir Jenni saat itu.Aku harap kamu mundur, Nayla. Karna kamu akan menyebabkan pertunangan aku sama Raka batal. Aku harap kamu masih punya hati nurani."Selamat ya untuk hari bahagia kamu."Nayla hanya tertegun mendengar ucapan Jenny, dia masih tak bergeming dengan balutan kebaya putih da
Mike, Doni, Erga, dan Rangga berpenampilan rapih dengan jas berwarna senada. Sebagai groomsmen mereka datang lebih awal dibanding para tamu undangan. Rangga yang paling antusias dengan acara ini sudah memegang camera sambil memasuki tempat itu. Bermaksud mengabadikan acara sakral temannya."Bro, lo kelihatan pucat banget. Nervous ya?" Rangga meledek sambil menyorot laki-laki berpenampilan serba putih itu. Wajahnya yang tampan dan berpenampilan paling menonjol itu dari tadi menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan dengan pelan. Sangking nervousnya."Jangan diganggu Ga kepala suku, dia lagi berdoa biar acaranya gak bubar karena ditolak calon pengantin." Suara itu dari Doni, karena yang di sorot tidak merespon ucapan Rangga.Rangga memberikan cameranya pada Mike untuk bergantian memvideokan, lalu dia menepuk bahu cowok yang terlihat tegang itu. "Gue mah nitip dia aja ya. Jaga baik-baik jangan sampe lepas lagi. Terus nitip keponakan yang cakep-cakep."
"Tunggu di situ jangan kemana-mana!"Suara cemas itu terdengar dari balik ponsel. Cewek berambut lurus sepunggung itu baru saja turun dari pesawat."Gue bisa naik taxi.""Gak bisa lo udah gue jemput." Bagas menegaskan."Gue kan udah bilang gak mau dijemput. Pokoknya gue pulang sendiri," ucapnya seraya mengambil barangnya lalu melangkah bersama para penumpang yang lainnyaSetelah 17 jam perjalanan dan untungnya hanya sekali transit. Akhirnya Nayla kembali menghirup udara di Jakarta. Jika kalian mau tahu berapa lama Nayla tinggal di London, jawabannya sangat membanggakan. Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya walaupun dengan hasil yang pas-pasan. Tapi pengalaman hidup yang dia dapat sangatlah berharga. Sambil kuliah Nayla menyibukkan dirinya dengan berkerja part time. Pekerjaan serabutan, berkali-kali dia pindah pekerjaan.Menjadi pelayan di McDonald's, penjaga toko, dan Nayl
Dear, my Boy...Untuk kamu yang selalu punya tempat di hatiku.Entah apa yang harus aku tuangkan dalam secarik kertas ini. Sekalipun ada goresan tinta yang indah, tapi nggak akan bisa mengalahkan indahnya perasaanku untuk kamu, sayang.Enggak ada yang kusesali dari hubungan ini. Bertemu dengan kamu adalah anugrah. Dan berpisah dengan kamu adalah takdir yang harus terjadi.Aku tahu, aku nggak cukup sempurna. Dan caraku mencintai kamu mungkin salah, hingga membuat wanita lain terluka. Aku sadar, aku bukanlah satu-satunya wanita yang ada tempat di hati kamu.Tapi entah kenapa, tiba – tiba saja muncul dalam pikiranku, apakah aku pantas mendampingi kamu? Apa aku bisa bahagia saat wanita lain terluka.Perpisahan ini berat, percayalah aku pun merasakannya. Tapi ini yang terbaik untuk kita. Sampai kita sama-sama
Aku mencintai kamu.Rasa ini teramat nyata hingga hati ini terlalu sakit, saat sadar kamu meninggalkanku lagi. Nayla sudah berada di bandara bersama keluarga dan teman-temannya. Sungguh, perasaannya bercampur aduk sekarang ini. Nayla menarik nafas berat, tangannya menggenggam travel bagnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia akan pergi sendiri ke tempat yang jauh.FlashbackNayla mendongak melihat Raka sudah berdiri di depannya, cowok itu menatapnya penuh perasaan."Lain kali, jangan pernah pergi sendirian. Apalagi ke tempat yang masih baru buat lo."Nayla mengangguk pelan, ia menerima uluran tangan Raka. "Janji sama gu
"Gue harus pergi sekarang." Nayla tersenyum kecil pada Jenni. Sedikit menoleh Doni. Laki-laki itu hanya diam dari tadi tapi Nayla tahu Doni sedikit terganggu dengan obrolan mereka. Nayla beranjak membuka pintu. "Nayla... Mungkin kalau nggak ada Raka diantara kita. Gue pengen lo jadi kawan gue. Seharusnya kita bisa jadi sahabat," ucap Jenni memandang Nayla yang berdiri di depan pintu.Nayla hanya mendengar itu tanpa menoleh dan pergi meninggalkan kamar Jenni. "Gue harus nelpon Raka." Ucap Doni mengambil handphone-nya dari saku celana. "Jangan berani lo ngomong apa-apa sama Raka! Bentar lagi dia ke sini, lo pergi dari sini kalau mau bikin Raka tahu tentang kepergian Nayla," bentak Jenni, dia terlalu takut kehilangan Raka. Doni menjambak rambutnya, frustasi. Jennife