Sinar matahari sangat menyengat menusuk sampai ke tulang putih, menyengat keseluruhan tubuh. Nggak ada murid lagi di luar kelas kecuali Nayla yang berdiri di depan tiang bendera. Menjalankan hukuman dari Bu Maya.
Cewek itu menundukkan kepala saat ada yang lewat. Terkadang melipat tangannya di depan dada sambil menatap lurus ke depan. Kalau sudah bosan dia mengubah posisi berdirinya sambil bergumam dalam hati, terlihat dari bentukan bibirnya yang menahan kesal.
"Anak yang punya yayasan tapi keliatan kayak preman. Pertama kali ketemu udah sial. Liat aja ketemu lagi gue cubit ginjalnya biar nggak sok cool gitu."
Tiba-tiba matanya terhenti pada pria yang berada ditingkat dua sebelah sudut kanan. Matanya silau karna cahaya matahari tapi berusaha melihat dengan jelas orang itu yang sedari tadi memang sudah berdiri di situ.
Mata mereka saling bertemu, seperti ada petir diantara mata mereka. Cowok brengsek itu.
Teng... Teng.
Bel pertukaran pelajaran. Tina dan Beca buru-buru ke depan pintu memanggil Nayla untuk masuk kelas. Hukuman Nayla hanya dalam jam pelajaran Bu Maya.
"Sial banget sih lo, La." Tina prihatin, ia memegang tangan Nayla dan sebelah lagi Beca yang megang.
"Lo pasti capek. Mana lagi cuaca panas. Bisa kena daya hidrasi," ucap Beca.
"Gue gakpapa kok." Nayla merasakan tenggorokannya kering.
Seorang cowok agak kemayu menghampiri mereka. Rangga salah satu cowok yang selalu cepat mendapatkan gosip disekitaran sekolah "Sabar ya cin, tuh ibu ubanan kadang nggak punya pri kemanusiaan dan keadilan."
Nayla menatap Rangga dengan perasaan aneh, lalu mengangguk pelan. Tidak telihat senyum pada bibirnya karena masih kesal.
"Tenang aja Rangga nggak gigit La, dia temen kita juga. Sebangku gue, anaknya emang suka timbul tenggelam," ujar Tina tertawa.
"Enak aja! Lo kira gue tuyul."
"Makanya rajin-rajin sekolah, biar ada yang kenal lo," decak Beca pada Rangga.
Seorang guru masuk ke dalam kelas. Tanda jam pelajaran baru akan dimulai. Mereka membubarkan diri, kembali ke tempat duduk masing-masing.
* Nayla *
Pulang sekolah mereka datang ke basecamp PA. Bukan hanya Nayla, Beca, juga Tina ternyata Rangga juga ikut karena tidak tahan dengan bujukan ke tiga kawannya itu.
Seperti kata Beca ekskul PA dipenuhi cogan-cogan alumni mereka. Nggak salah kalau mau cuci mata ke ekskul ini. Apalagi alumni mereka pakai baju bebas, tambah deh bikin betah.
Beca menghampiri seseorang berambut pendek dengan kaos oblong oversize. "Bel. Kawan gue mau daftar, bagi formulir," pinta Beca pada gadis tomboi itu.
"Nahh gitu dong rekrut anggota baru," puji Abel. Dulu, Beca sempat kesemsem sama Abel. Setelah tahu dia wanita, hatinya retak. Cowok aja kalah ganteng dari Abel.
Abel memberikan formulir pendaftaran. "Suruh isi data diri. Suruh duduk aja ntar dipanggil." Beca manggut-manggut dengan mata tak berkedip.
"Udah sana pergi!" Usir Abel. Beca manggut-manggut patuh. Kalau sajaaa...
Semua calon anggota baru duduk berbaris di lapangan depan basecamp PA. Para alumni memantau junior mereka. Tampak Nayla dan Rangga ikut duduk di lantai di bawah terik matahari. Sedangkan Beca dan Tina bersama temannya yang lain mengurus keperluan ritual mereka.
Di depan mereka beberapa senior melakukan atraksi untuk menarik perhatian anggota baru.
Di mulai dari seorang cowok dengan beraninya memainkan ular di tangannya, sontak mendapat decak kagum dan jeritan histeris dari anggota baru. Setelah itu berganti pada cowok berambut plontos menyembur api dengan minyak di mulutnya hingga api itu semakin besar naik ke atas. Gemuruh tepuk tangan pun memenuhi aula, berdecak kagum.
Giliran empat wanita termasuk Tina dan Beca membentuk tenda dengan lihai. Mereka diajarkan juga keterampilan.
"Ok semuanya harap tenang. Gue Erga mantan wakil presiden Pecinta alam SMA ini, mengambil alih acara ini." Cowok berkulit sawo itu berdiri di depan.
Prook...prook prookkk ..
"Kasih tepuk tangan untuk presiden PA tahun ini Reno Pratama sekaligus ketua OSIS SMA Budi Mulia." Teriak Erga sambil menunjuk Reno yang sudah berdiri.
Suara tepuk tangan bergemuruh untuk cowok bersenyum menawan itu. Yang mayoritasnya dari kebanyakan cewek. Tampak Nayla ikut tepuk tangan, mengingat cowok itu yang dia lihat di kantin.
"Dia presiden PA? Pantesan, ketua OSIS. Biar gampang dapet surat izin dari sekolah untuk naik gunung," bisik Rangga pada Nayla."Hushh..." tegur Nayla."Dan juga wakil presiden PA Galih Kusuma," lanjut Erga. Lalu seorang cowok dari sebelah kiri melambaikan tangan sambil tersenyum.Prokk! Prok! Prokk!"Sekertaris PA kita Nona cantik Agustina Putri." Teriak Erga penuh semangat.Tina dengan penuh pesona melambaikan tangan pada anggota baru, auranya semakin membuat kaum cowok bersorak."La, itu Tina kita sekertaris PA?" Rangga mengguncang lengan Nayla karena kaget, baru ini dia ketinggalan berita."Gue juga baru tahu, Ga. Lo kan temennya, harusnya gue yang nanya!" Ujar Nayla bingung, Tina dan Beca sama sekali nggak cerita.Prook! Prokkk! Prokk...
Seminggu kemudianNayla sibuk mempersiapkan keberangkatannya naik gunung. Jam sudah menunjukkan pukul 7.30 Tepat seminggu yang lalu ayahnya dengan berat hati mendatangani surat izin Nayla untuk berangkat ke Gunung."Jangan lupa bawa jaket yang tebal. Selimut di bawa aja, semua makanan yang di kulkas biar di bawa Nayla juga, dia pasti kecapean, tenaganya habis. Butuh makanan yang banyak," kata Rahmat memperhatikan istrinya menyusun barang Nayla ke rancel."Bawa susu ya La, buat jaga stamina kamu di sana," ibunya memasukan minuman ke rancel Nayla. Tadinya ayahnya menyarankan membawa koper, karena tatapan tajam istrinya niatnya itu diurungkan."Mau bawa apel, Jeruk apa pisang?" Rahmat menawarkan."Bawa semua aja ya, biar nggak kelaparan di sana.""Naylaa bukan mau berangkat perang, jangan banyak-b
Kurang lebih dua jam tibalah mereka. Kang Deni, Raka dan Reno meminta izin pada warga desa Berbura yang berada di kaki gunung untuk naik gunung. Warga menyambut hangat kedatangan mereka."Kita absen dulu baru naik ke atas sebelum gelap," teriak Reno. Para alumni hanya memantau dan memberi bantuan, selanjutnya para pengurus PA yang bertindak."Udah berapa bulan gue di rumah aja, lumayan bosan. Kalau udah gitu, gunung jadi tujuan gue," ucap Doni tersenyum melihat pemandangan pepohonan."Di gunung kita bisa berdamai dengan diri sendiri, sekaligus belajar menghargai kehidupan dan alam," ucap Kang Deni yang mengenakan pakaian serba hitam. Tidak lupa ia mengelus jenggotnya."Denger Don, mencintai alam berarti menjaga kebersihan. Lo buang puntung rokok sembarangan!" semprot Erga melihat Doni baru saja membuang bekas rokoknya."Khilaf gue, beneran. Sumpah!" Doni buru-buru mengambil yang dia buang.
Nayla, Rangga, dan Desy berjalan saling dorong-dorongan ke depan mengikuti arahan. Hanya terdengar suara jangkrik dan angin malam. Semua pohon di sekeliling tampak berwarna gelap. Mereka menebak-nebak apa yang akan terjadi dalam hati. Terlihat dari kejauhan Doni sedang menunggu di bawah pohon dengan api unggun. "Sebelum kita mulai, kita kenalan dulu. Nama gue--" "Udah kenal Ka Doni, siapa coba yang nggak kenal," potong Desy dengan senyum manis. Mereka jongkok di depan api unggun berhadapan dengan Doni. "Okeh kalau gitu," ucap Doni tersenyum bangga. "Kalian sekarang masuk ke area abang Doni, udah pada baca lembaran materi yang kemarin dibagiin, kan?" tanya Doni. "Gue kasih pertanyaan, jawab dengan benar," ucap Doni menatap ketiga juniornya. "Nggak inget
"Semuanya terima kasih untuk partisipasinya. Semoga anggota baru jangan ada yang kapok. Terus semangat mengikuti ekskul pecinta alam." Reno sang Presiden PA memberi kata sambutan."Besok pagi kita akan naik gunung sampai puncak. Kalian pasti nggak sabaran kan mau ke sana?" Semua menyahut dengan bersorak kegirangan. Mereka mengelilingi api unggun. Api itu menghangatkan tubuh mereka malam itu. Dengan syahdu mereka melantunkan lagu MAHAMERU diiringi suara gitar Raka. Raka main gitar? Nayla mendengus kesal. Cowok yang menurutnya sudah termasuk dalam deretan sempurna sebagai cowok. Dan sekarang, dia punya kelebihan lagi."La, lo mandi?" tanya Rangga. Nayla menyahut dengan menggelengkan kepalanya. "Kok rambut lo nggak kotor lagi? Tadi kan
15 menit berlalu. Perjalanan mereka masih lumayan jauh. Keringat sudah bercucuran di tubuh mereka. Sebagian orang mengambil kayu yang tergeletak untuk dijadikan tongkat. Walaupun tubuh mereka sudah kehabisan tenaga, mereka masih semangat untuk sampai ke puncak. Nayla terhenti dengan nafas tersengal-sengal, ia menundukkan kepala lalu memijit dengkulnya yang sudah mulai keram. Ini pertama kalinya cewek itu mengeluarkan tenaga paling banyak. "Nih pegang," tiba-tiba Reno memberikan kayu kokoh untuk menjadi tongkat Nayla. "Makasih." Nayla tersenyum. Ini baru cowok, nggak kayak orang sebelah, galak. Nayla melirik dengan sinis Raka yang berada tidak jauh darinya. "Ayok," ajakReno. Nayla tersentak lalu mengikuti dengan kikuk di
Raka dan kawan-kawannya asyik masak mie dengan kompor gas yang kecil ala-ala anak kemping yang mereka bawa. Cowok itu tersenyum memandang sekeliling. Hal yang paling ia rindukan. Perjalanan ke puncak, udara yang sejuk dan minum kopi bersama pendaki lain. "Pemandangannya nggak berubah ya tiap kita ke sini," ujar Doni seraya mengaduk mienya. Wajahnya serius tampak prihatin. "Lo bangun aja kolam renang di sini, Don. Biar pemandangan berubah." Ujar Erga, disambut tawa teman-temannya. "Ya hilanglah pesona gunungnya, bego!" "Lo-nya yang bego! Percuma gue kuliahin." Abel masih tergelak. Mereka saling sahut-menyahut dengan tergelak. "Eh, dari tadi gue nggak liat Ellena sama genknya?" Mike mengedarkan pandangannya m
Raka yang berada tidak jauh, menghampiri mereka dengan tatapan penasaran. "Napa Kang?" tanya Raka. "Nayla Anastasya Susanto belum keliatan. Takutnya masih di gunung. Lihat noh, gunung udah ketutup kabut." Kang Deni melihat ke arah gunung. Mereka pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Kang Deni, raut wajah mereka berubah cemas. "Kita naik ke atas sekarang!" ucap Raka tegas. Di sahut anggukan yang lain. "Reno! Lo di sini amanin semua anak-anak. Gue sama alumni naik ke atas lagi." ucap Kang Deni dengan wajah serius. "Kang, gue ikut!" Reno hendak beranjak juga. "Boy, terus siapa yang nunggu sini. Sekarang waktunya lo tunjukin jiwa pemimpin lo, anggota lo di sini juga cemas. Mereka butuh lo juga," kata Doni menepuk bahu Reno. Cowok itu mengangguk tanda paham. "Ayok Kang, kita harus c