"Dia presiden PA? Pantesan, ketua OSIS. Biar gampang dapet surat izin dari sekolah untuk naik gunung," bisik Rangga pada Nayla.
"Hushh..." tegur Nayla.
"Dan juga wakil presiden PA Galih Kusuma," lanjut Erga. Lalu seorang cowok dari sebelah kiri melambaikan tangan sambil tersenyum.
Prokk! Prok! Prokk!
"Sekertaris PA kita Nona cantik Agustina Putri." Teriak Erga penuh semangat.
Tina dengan penuh pesona melambaikan tangan pada anggota baru, auranya semakin membuat kaum cowok bersorak.
"La, itu Tina kita sekertaris PA?" Rangga mengguncang lengan Nayla karena kaget, baru ini dia ketinggalan berita.
"Gue juga baru tahu, Ga. Lo kan temennya, harusnya gue yang nanya!" Ujar Nayla bingung, Tina dan Beca sama sekali nggak cerita.
Prook! Prokkk! Prokk...
"Dan juga pawang kita yang nggak ganti-ganti Kang Deni." Erga lebih sopan karena menghargai.
Laki-laki berumur sekitaran 37 tahun itu melambaikan tangan tanpa senyum. Rambut gondrong yang terlihat gimbal membuatnya mirip dengan Limbad.
"Kita sambut yang selalu ditunggu-tunggu!! Mantan alumni presiden Pecinta alam kita, Raka Nicholas Ciputra." Erga menoleh kanan kiri mencari. "Mana dianya ya," gumam Erga.
Raka Nicholas Ciputra, nama itu tidak asing di telinga Nayla. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Udara menjadi dingin di ruangan itu.
Tidak lama seorang cowok muncul dari sebelah kanan. Cara jalannya kayak ngelihat model cowok jalan di catwalk diiringi lagu IM ON FIRE song Liar. Semua mata tertuju padanya, dengan imej bad boynya tetap saja selalu mendapatkan sambutan paling meriah.
"Ganteng banget."
"Alumni terfavorit dahh."
Para siswi berdecak kagum melihat laki-laki tanpa senyum itu.
"Kalau itu gue kenal La, dari Sabang sampe Marauke pasti pada tahu Raka. Dia alumni legendaris sekolah kita," ujar Rangga. Nayla seakan berhenti bernafas melihat Raka, apalagi sambutan meriah tertuju pada cowok itu. Matanya nggak berkedip melihat cowok dengan celana robek itu.
"Baiklah, sekarang kita mulai perkenalan untuk calon anggota baru. Gue serahin ke Presiden kita yang sekarang, Reno."
Kepala otak Nayla seakan berputar-putar. Satu hari dua kali bertemu dengan cowok brengsek itu. Nggak berbeda dengan Nayla, Raka juga sama. Pandangannya ke arah Nayla, bibirnya menorehkan segaris senyum tipis. I see you...
Reno memegang mix memandang ke arah calon anggota baru dan berkata, "Gue akan nunjuk kalian satu persatu maju ke depan untuk memperkenalkan diri dan kasih alasan kenapa kalian masuk ekskul PA."
Apes dah nasib gue, Nayla meruntuki dirinya.
"Kamu ... Sini maju." Reno menunjuk wanita bertubuh agak gemuk sebelah kiri.
"Nama aku Fera," ucap Fera, walaupun agak sedikit gemuk Fera kelihatan lincah.
"Yakin mau masuk ekskul ini?" tanya Reno. Fera mengangguk pasti.
"Kasih alasan."
"Aku mencintai keindahan Mahameru, Ka."
Reno bertepuk tangan ringan. "Ok, silakan duduk. Lanjut sebelahnya."
"Nama Dinda, alasannya biar nambahin pengalaman."
"Mia, alasan aku mau ikut karena ada ka Reno," tersenyum ke arah Reno.
"Cieeeeecieee," satu angkatan Reno tertawa menggodanya.
"Aku Desy. Alasan aku karena mau megang ular," kata Desy dengan semangat.
"Don!!" Teriak Raka, suaranya serak-serak basah. Terdengar sexy dan macho. "Kasih dia pegang ular." Membuat yang lain terkaget.
Doni membawa wanita itu untuk melihat ular. Tidak lama terdengar Desy berteriak sekeras-kerasnya, pasti ketakutan. Mereka pun terkekeh.
Tiba giliran Nayla. Dia berdiri di depan tanpa bicara. Semua menunggu suaranya. Semangat 45-nya hilang sekelip mata hanya karena Raka. Cowok seketus itu, bagaimana mungkin jadi idola yang dielu-elukan. Nayla menggigit bibirnya.
"Woii buruan, jangan tidur di situ!" teriak Raka yang sedari tadi melihat Nayla.
"Maaf, gue tarik lagi formulir gue," kata Nayla datar. Teriakan Raka semakin membuatnya tidak ingin ikutan ekskul ini.
"Kenapa?" tanya Reno terheran dan kecewa.
"Kayaknya gue nggak ada alasan untuk ada di sini."
Mendengar ucapan itu Raka geram. Matanya seperti elang yang siap memangsa. Semua yang berbisik-bisik menutup mulut saat Raka berucap. "Terus lo pikir ini tempat hiburan, iya? Suka-suka lo gitu... Kasih alasan kenapa lo mau cabut sebelum masuk!" Ucap Raka dari tempatnya dengan tatapan tajam.
Ya gara-gara Lo, bego!
"Golongan darah saya A. Cepat capek. Kayanya nggak cocok deh ikut ekskul ini. Gue pikir dari -"
"Ngapa baru mikir sekarang? Kebanyakan mikir lo, telat!! Itu bukan alasan buat gue." Raka memotong ucapan Nayla.
Cowok itu menaikan sudut bibir atas, menatap Nayla tak berkedip. Cewel ini membuatnya marah berkali-kali lipat. Raka ingin dia ada di kawasan wilayahnya.
"Kaki gue suka linu kalau jalan jauh. Gue nggak jadi ikut ekskul ini." Nayla mencari alasan.
"Lo penyakitan?" tanya Raka, menyindir. Perdebatan mereka menjadi tontonan sekeliling mereka, kalau Raka sudah angkat bicara tidak ada satu orang pun yang berani ikut campur.
"Apa penyakitan?! Enak aja bilang gue penyakitan. Gue sehat walafiat!" Nayla menaikan kedua alisnya menatap Raka.
"Ok, selesai. Berarti nggak ada alasan lo narik formulir. Tanggung jawab dengan yang lo tulis. Gue mau lo tetap ikut PA. Atau gue akan bilang lo anak mami yang penyakitan!" setelah itu Raka pergi meninggalkan lapangan disusul Erga, Mike, dan Doni di belakangnya.
Nayla mengepalkan tangan.
Ellena, cewek cantik keturunan Belanda itu memperhatikan sedari tadi. Tatapan nggak suka terlihat jelas di matanya. "Siapa yang bawa dia?" tanya Ellena pada cewek di sampingnya.
"Kawan Tina ama Beca. Anak baru sih denger-denger," mendengar itu Ellena tersenyum sinis. Menurutnya Nayla hanya cari perhatian Raka dengan cara melawan Raka.
"Acara perkenalan kita sampe sini aja. Gue bagiin selembaran kertas buat materi kalian dan surat izin untuk Minggu depan kita kemah di Gunung Rajabasa." Reno menunjukan selembaran surat izin dan materi.
"Ini materi kalian baca dan akan kami Training di Gunung nanti."
Galih dan Erick berkeliling membagikan lembaran. Reno menghampiri Nayla memberikan selembaran.
"Bisa ikut kan?" tanya Reno dengan senyum ramah.
"Kalo nggak ikut, ntar gue dibilang penyakitan atau anak mami," jawab Nayla kesal, menerima lembaran itu.
"Ok. Gue tunggu kedatangan lo ya." Reno tersenyum lagi membuat Nayla tersipu. Ternyata kalau di lihat dari dekat Reno semakin ganteng. Matanya memandangi punggung Reno yang membagikan lembaran ke depannya.
* Nayla *
"Rak, lo tadi udah keterlaluan sama cewek yang lo teriakin tadi. Cakep-cakep dibilang penyakitan," ujar Doni, siap-siap menghidupkan motor sportnya.
Raka mengacuhkan perkataan Doni. Best friends-nya sedari dulu, bahkan mereka satu kampus tapi beda jurusan. Raka menggas motornya terus-menerus tanpa berjalan. Motor sportnya berbalut warna hitam, dengan desain full fairing dapat menarik perhatian para pecinta motor sport.
Raka membuka kaca helm, "Yakin ama gue, tuh cewek susah di omongin. Biar nggak makin jadi nantinya. Kalau didiemin ngelunjak nanti."
"Cantik mah bebas bertingkah," timpal Erga tertawa mengingat Nayla.
"Jangan galak-galak sama anak baru, lo tadi kayak mau makan dia tahu gak." Ujar Doni. "Apalagi dia imut. Bikin gemes..."
Raka melirik ke teman-temannya, percuma protes. Raka paling nggak suka anak baru banyak tingkah. Dari pertama kenal tuh cewek, udah bikin emosi.
"Lagu lama Rak, pura-pura marah padahal demen," ledek Mike tertawa sambil menghidupkan mesinnya.
"Bacot." Decak Raka.
Gelak tawa mereka menghilang diiringi derum motor mereka. Para alumni paling berpengaruh itu meninggalkan sekolah.
Bukan karena anak pemilik yayasan dan berwajah tampan Raka paling terkenal dan populer dikalangan adik tingkat, seangkatan, dan senior. Dia cowok gentle, penakluk gunung. Setia kawan dan melindungi juniornya. Bukan tipe playboy yang suka mengambil kesempatan jika ada wanita yang mengangguminya. Nggak suka ngelike foto cewek di I*******m.
Bangga tuh yang bakal jadi ceweknya.
Kilasan tentang pertemuannya dengan Jenny saat ini kembali. Jenny tidak terlalu banyak perubahan, dia sangat pintar merawat dirinya. Namanya model memang lebih berpengalaman dalam perawatan. Tubuhnya terbentuk dengan indah, tatapannya masih lembut tapi terkesan angkuh.Nayla menatap perempuan di depannya ini dengan senyum tipis, masih bingung dengan situasinya saat ini. Sepertinya semua orang terfokus padanya bukan pada Beca yang punya acara.Kemudian Nayla melirik jari manis Jenni, lalu tersenyum tipis. Dia jadi ingat pesan terakhir Jenni saat itu.Aku harap kamu mundur, Nayla. Karna kamu akan menyebabkan pertunangan aku sama Raka batal. Aku harap kamu masih punya hati nurani."Selamat ya untuk hari bahagia kamu."Nayla hanya tertegun mendengar ucapan Jenny, dia masih tak bergeming dengan balutan kebaya putih da
Mike, Doni, Erga, dan Rangga berpenampilan rapih dengan jas berwarna senada. Sebagai groomsmen mereka datang lebih awal dibanding para tamu undangan. Rangga yang paling antusias dengan acara ini sudah memegang camera sambil memasuki tempat itu. Bermaksud mengabadikan acara sakral temannya."Bro, lo kelihatan pucat banget. Nervous ya?" Rangga meledek sambil menyorot laki-laki berpenampilan serba putih itu. Wajahnya yang tampan dan berpenampilan paling menonjol itu dari tadi menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan dengan pelan. Sangking nervousnya."Jangan diganggu Ga kepala suku, dia lagi berdoa biar acaranya gak bubar karena ditolak calon pengantin." Suara itu dari Doni, karena yang di sorot tidak merespon ucapan Rangga.Rangga memberikan cameranya pada Mike untuk bergantian memvideokan, lalu dia menepuk bahu cowok yang terlihat tegang itu. "Gue mah nitip dia aja ya. Jaga baik-baik jangan sampe lepas lagi. Terus nitip keponakan yang cakep-cakep."
"Tunggu di situ jangan kemana-mana!"Suara cemas itu terdengar dari balik ponsel. Cewek berambut lurus sepunggung itu baru saja turun dari pesawat."Gue bisa naik taxi.""Gak bisa lo udah gue jemput." Bagas menegaskan."Gue kan udah bilang gak mau dijemput. Pokoknya gue pulang sendiri," ucapnya seraya mengambil barangnya lalu melangkah bersama para penumpang yang lainnyaSetelah 17 jam perjalanan dan untungnya hanya sekali transit. Akhirnya Nayla kembali menghirup udara di Jakarta. Jika kalian mau tahu berapa lama Nayla tinggal di London, jawabannya sangat membanggakan. Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya walaupun dengan hasil yang pas-pasan. Tapi pengalaman hidup yang dia dapat sangatlah berharga. Sambil kuliah Nayla menyibukkan dirinya dengan berkerja part time. Pekerjaan serabutan, berkali-kali dia pindah pekerjaan.Menjadi pelayan di McDonald's, penjaga toko, dan Nayl
Dear, my Boy...Untuk kamu yang selalu punya tempat di hatiku.Entah apa yang harus aku tuangkan dalam secarik kertas ini. Sekalipun ada goresan tinta yang indah, tapi nggak akan bisa mengalahkan indahnya perasaanku untuk kamu, sayang.Enggak ada yang kusesali dari hubungan ini. Bertemu dengan kamu adalah anugrah. Dan berpisah dengan kamu adalah takdir yang harus terjadi.Aku tahu, aku nggak cukup sempurna. Dan caraku mencintai kamu mungkin salah, hingga membuat wanita lain terluka. Aku sadar, aku bukanlah satu-satunya wanita yang ada tempat di hati kamu.Tapi entah kenapa, tiba – tiba saja muncul dalam pikiranku, apakah aku pantas mendampingi kamu? Apa aku bisa bahagia saat wanita lain terluka.Perpisahan ini berat, percayalah aku pun merasakannya. Tapi ini yang terbaik untuk kita. Sampai kita sama-sama
Aku mencintai kamu.Rasa ini teramat nyata hingga hati ini terlalu sakit, saat sadar kamu meninggalkanku lagi. Nayla sudah berada di bandara bersama keluarga dan teman-temannya. Sungguh, perasaannya bercampur aduk sekarang ini. Nayla menarik nafas berat, tangannya menggenggam travel bagnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia akan pergi sendiri ke tempat yang jauh.FlashbackNayla mendongak melihat Raka sudah berdiri di depannya, cowok itu menatapnya penuh perasaan."Lain kali, jangan pernah pergi sendirian. Apalagi ke tempat yang masih baru buat lo."Nayla mengangguk pelan, ia menerima uluran tangan Raka. "Janji sama gu
"Gue harus pergi sekarang." Nayla tersenyum kecil pada Jenni. Sedikit menoleh Doni. Laki-laki itu hanya diam dari tadi tapi Nayla tahu Doni sedikit terganggu dengan obrolan mereka. Nayla beranjak membuka pintu. "Nayla... Mungkin kalau nggak ada Raka diantara kita. Gue pengen lo jadi kawan gue. Seharusnya kita bisa jadi sahabat," ucap Jenni memandang Nayla yang berdiri di depan pintu.Nayla hanya mendengar itu tanpa menoleh dan pergi meninggalkan kamar Jenni. "Gue harus nelpon Raka." Ucap Doni mengambil handphone-nya dari saku celana. "Jangan berani lo ngomong apa-apa sama Raka! Bentar lagi dia ke sini, lo pergi dari sini kalau mau bikin Raka tahu tentang kepergian Nayla," bentak Jenni, dia terlalu takut kehilangan Raka. Doni menjambak rambutnya, frustasi. Jennife