Share

Nazar Poligami
Nazar Poligami
Author: Annisa DM

Nazar Pak Burhan

"Bu, Ayah sebenarnya punya nazar yang ingin ditunaikan," ucap Pak Burhan di pagi hari yang cerah.

Ia sedang duduk santai di meja makan sembari menunggu teh. Istrinya sedang sibuk membuat teh manis kesukaannya.

"Wah, nadzar apa, Yah? Kalau untuk kebaikan, nazar yang mendekatkan diri pada Allah tentu Ibu setuju." Bu Fatimah tersenyum.

Tangannya mengaduk teh manis untuk sang suami. Rutinitas pagi yang selalu dilakukannya untuk lelaki yang sudah berusia kepala lima itu.

Ia selalu mendukung segala hal baik yang dilakukan suaminya. Terlebih hal itu semakin mendekatkan suaminya pada Sang Pencipta.

"Tentu, ini adalah sebuah kebaikan yang harus disegerakan. Ayah ingin membantu seseorang." Pak Burhan berkata dengan sumringah.

"Memang Ayah nazar apa?" tanya Bu Fatimah sembari meletakan cangkir teh pada piring kecil untuk diserahkan pada suaminya.

"Nazar jika Ayah sukses dan mapan akan berpoligami seperti sunnah Rasulullah. Gimana ? Baik kan?!" Pak Burhan berkata dengan begitu entengnya.

Prang!

Seketika cangkir teh yang berada di tangan Bu Fatimah terjatuh ke lantai dan menjadi pecahan kaca. Dunia yang dipijak seakan runtuh tepat di kepalanya. Air mata luruh begitu saja dari kedua bola mata teduh miliknya. Hatinya perih bagai ditusuk sembilu.

Memang finansial keluarga mereka bisa dibilang berlebih. Nafkah dari Pak Burhan sangat mencukupi bahkan sering lebih.

Pak Burhan memiliki tiga toko grosir yang sangat maju. Lelaki itu sangat piawai dalam menjalankan bisnisnya karena dia keturunan pengusaha.

Meski begitu Bu Fatimah yang lulusan pesantren tetap mengajar ngaji di masjid dekat rumah. Semua itu dilakukannya tanpa menerima imbalan.

"Kenapa, Ma?! Memangnya salah kalau mau menjalankan sunnah Rosul kita?" Pak Burhan mendelik kesal pada istrinya yang malah menangis.

Seharusnya istri itu harus siap dimadu. Toh, itu takdirnya karena menjadi wanita. Begitulah pemikiran piciknya.

Mendengar benda jatuh dan berdenting, Fitri segera menghampiri ke dapur. Ia khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apalagi memang kedua orang tuanya sudah tak lagi muda.

"Ada apa, Bu?!" tanya Fitri panik.

Melihat kondisi ibunya seperti orang shock, ia langsung mendekati ibunya. Bu Fatimah segera menyeka air mata yang tadi sempat mengalir. Tapi, tetap saja tak bulir bening itu mengalir lagi.

"Ada apa ini?! Ayah, Ibu kenapa?! Jangan bilang Ayah bikin Ibu kesal lagi?!" tanya Fitri sedikit berteriak karena panik.

"Ayah hanya menyampaikan nazar yang harus ditunaikan," jawab Pak Burhan dengan santainya. Wajahnya tak menggambarkan rasa bersalah sama sekali.

"Nazar apa?! Gak mungkin Ibu sampai seperti ini kalau Ayah gak berulah!" desak Fitri yang kesal dengan sikap ayahnya.

"Jika Ayah sukses, akan poligami."

"Ayah sadar omongan itu menyakiti Ibu! Mana ada wanita yang mau suaminya mendua. Memang ayah mau nanti kalau aku nikah aku diduakan?!" Fitri sangat marah saat tahu ayahnya ingin menikah lagi. Matanya melotot tanpa rasa takut pada ayahnya.

Pak Burhan malah mendelik kesal mendengar ucapan Fitri. "Bu, ajarin anakmu ini bicara yang baik sama orang tua, bukanya ngajarin orang terus!" bentaknya.

Bu Fatimah masih memegang dadanya yang sangat terasa sesak. Hatinya hancur berkeping-keping karena dilukai oleh suaminya sendiri.

Tiba-tiba pintu dapur terbuka. Sosok lelaki datang dengan membawa rantang. Farid adalah anak pertama Bu Fatimah. Ia nampak kalem seperti ibunya.

"Assalamualaikum, Bu, Yah, ini ada lauk buat disini, istriku yang masak," ucap Farid yang memang telah menikah.

Ia tinggal tak jauh dari situ, hanya beda kompleks. Masih satu perumahan. Istrinya juga sering main ke sana.

Farid masuk melalui pintu dapur, ia heran melihat keadaan yang tak seperti biasanya.

"Ada apa ini?" tanya Farid bingung.

"Tuh, Ayah, Kak, mau nikah lagi!" jawab Fitri emosi. Wajahnya terlihat begitu masam dan galak menatap ayahnya.

Cinta pertama yang selalu ia banggakan. Sekarang hatinya hancur seketika mengetahui niat ayahnya itu. Kecewa setengah mati, bahkan seolah tak dapat terobati.

"Bener, Yah?" tanya Farid memastikan.

Ia duduk di kursi hadapan meja makan. Menghela napas panjang karena masalah di rumahnya ternyata lumayan rumit.

"Iya, itu nazar Ayah, boleh dong karena Ayah merasa mampu!" Pak Burhan tak mau kalah.

Ia merasa keputusannya adalah yang paling benar. Jadi, tak ada yang bisa menghalanginya.

Fitri masih menahan amarah yang sebenarnya sudah memuncak. Matanya makin nyalang dan merah menatap sang ayah.

"Sebenarnya, nazar Ayah sah, dan jika dilihat Ayah memang mampu untuk berpoligami," ucap Farid memberi pendapat.

"Kak!" pekik Fitri, kini ia menatap tajam kakaknya.

Sementara Bu Fatimah masih diam di rangkulan Fitri. Entah apa yang harus ia katakan. Jika menyetujui, jujur ia belum sanggup. Tapi, berpisah bukan pilihan bagus menurutnya.

Bibir Bu Fatimah serasa kelu. Padahal biasanya ia sangat lancar jika diminta mengisi ceramah di pengajian ibu-ibu.

"Kakak, apa-apaan, sih! Kakak tega lihat Ibu sedih kayak gini!" Fitri semakin emosi.

Perangainya tak jauh dari Pak Burhan. Hanya saja karena beristrikan Bu Fatimah jadilah rumah tangga Pak Burhan selalu adem ayem.

"Fit, Kakak hanya menyampaikan bukan memihak. Memang secara hukum Ayah bisa berpoligami, bukankah orang yang berpoligami itu ada tiga golongan, aghniyaa, ulamaa dan majnun. Kalangan orang kaya, kalangan orang yang berilmu, dan gila. Sementara disini Ayah bisa dikatakan orang kaya asal siap adil," jelas Farid panjang lebar.

"Ayah bukan aghniyaa tapi majnun, gila! Kurang apa, sih, ibu sampai ayah berpikiran poligami?!" sergah Fitri dengan spontan karena saking emosinya.

"Kamu masih kecil dan belum menikah, kamu belum ngerti apa-apa!" bentak Pak Burhan.

"Sudah, Fitri, jangan keterlaluan, Nak, bagaimanapun dia ayahmu, harus kamu hormati," ucap Bu Fatimah dengan suara berat karena menahan tangis.

"Orang kayak Ayah gak bisa dilembutin, jadinya gini, ngelunjak!" teriak Fitri penuh amarah.

"Fitri, jaga omonganmu!" bentak Bu Fatimah.

"Tapi, Bu .... "

"Apapun masalahnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin," ucap Bu Fatimah lagi.

Fitri merengut, ia diam dan menatap nyalang pada Pak Burhan.

"Memangnya siapa calon Ayah? Atau belum ada?" tanya Farid, ia berusaha netral dan mendinginkan suasana. Siapa tahu keinginan ayahnya masih bisa diubah.

Pak Burhan malah senyum-senyum ditanya seperti itu oleh anak pertamanya. Persis orang yang sedang kasmaran.

"Bu Melvi, dia orang kampung sebelah. Rumahnya tidak jauh dari grosir Ayah," jawab Pak Burhan sumringah.

"Astaga!! Bu Melvi tukang nasi kuning yang pakaiannya ketat itu! Ayah tergoda sama perempuan murahan seperti itu!" pekik Fitri, tak habis pikir dengan calon ibu tirinya.

"Apanya yang salah, toh Bu Melvi di kerudung!" Pak Burhan tak terima dengan sikap Fitri yang merendahkan calon istrinya.

"Iya, kerudung asal nyantol di rambut!" balas Fitri sengit.

"Gak sopan, kamu, Fitri!" bentak Pak Burhan dengan tangan terangkat.

"Tampar, Yah, tampar!" tantang Fitri yang malah menyodorkan pipinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status