Share

Kabur dari Rumah

Melihat itu, Farid langsung menahan tangan ayahnya. Bagaimanapun ia tak ingin wanita di rumah itu disakiti.

"Dasar anak durhaka!" pekik Pak Farid sembari berontak dari cengkraman tangan anak pertamanya.

"Astaghfirullah, Yah, istighfar! Fitri anak kita." Bu Fatimah berusaha mengingatkan suaminya yang hampir kalap dan menampar anak perempuannya. Bahkan sampai mengatakan Fitri anak durhaka.

"Anak kamu ini, disekolahin tinggi-tinggi malah kurang ajar sama orang tua!" Pak Burhan menatap Fitri nyalang.

Fitri sekarang sedang menempuh kuliah, baru semester dua. Perjalanan hidupnya masih sangat panjang. Tapi, sudah dirumitkan dengan masalah seperti ini.

"Sudahlah, bagaimanapun tanggapan kalian! Ayah akan tetap menikah lagi, karena itu nadzar Ayah!" Pak Burhan berdiri dengan amarah tergambar jelas di wajahnya.

"Nadzar apa nafsu?!" ejek Fitri yang masih tak mau kalah.

Pak Burhan melotot, anak bungsunya ini sangat kurang ajar. Padahal biasanya ia sangat manis, meski memang wataknya keras kepala. Ia tak pernah berani melawan orang tua.

Farid menghela nafas panjang, bingung dengan situasi ini. Entah harus bagaimana bersikap, karena menurutnya ayahnya itu memang mampu berpoligami. Meski disisi lain hatinya juga tak tega melihat ibunya tersakiti.

"Sudahlah, bagaimapun juga besok Ayah akan menikah! Dengan Bu Melvi!" tegas Pak Burhan, kemudian langsung pergi meninggalkan rumah.

'Aku akan menghancurkan pernikahanmu, Ayah, dan jika tetap menikah akan aku buat istrimu menderita!' gumam Fitri dalam hati.

***

Alunan suara musik dangdut terdengar samar ke rumah Bu Fatimah dari kampung sebelah. Tempat pernikahan kedua Pak Burhan dilangsungkan.

Keluarga Bu Fatimah berkumpul di rumah, kecuali Pak Burhan yang telah berangkat sejak dini hari, entah kemana.

"Bu, keburu akad! Aku mau ke sana." Fitri terus merengek meminta izin ibunya untuk dibolehkan pergi ke pernikahan ayahnya.

"Jangan gegabah, Fit, biar nanti kita bicarakan lagi secara baik-baik," ucap Bu Fatimah lembut.

Air matanya seperti telah habis karena menangis sejak pagi. Tersisa mata sembabnya yang masih merah..

Qintan mengelus punggung ibu mertuanya itu. Sejak pagi ia dan Farid telah ke rumah Bu Fatimah untuk memberi kekuatan juga menenangkan.

Qintan adalah istri Farid. Ia juga menangis merasakan pedihnya perasaan Bu Fatimah.

Sebagai mertua Bu Fatimah sangat baik pada menantunya. Apalagi Qintan sudah ditinggal meninggal oleh ibunya sejak usia sekolah dasar.

Fitri mendengus kesal. Membayangkan ayahnya dengan lancar menikah dengan Bu Melvi. Janda beranak satu yang terkenal bohay dan ramah, tepatnya mendekati genit.

"Walaupun Ibu gak mengizinkan, Fitri akan tetap pergi!" Mata Fitri memerah menahan tangis.

Semua pintu sudah dikunci agar Fitri tidak kabur.

Sebenarnya Farid juga sedih melihat ibunya merasa tersakiti. Tapi, lelaki memang lebih berpikir dengan logika. Ia pikir ayahnya mampu, ibunya juga meski sedih tidak melarang.

Qintan berdiri kemudian merangkul Fitri. Ia membawa Fitri ke kamar tamu yang kosong.

"Fit, mbak tahu ini berat buat kita semua, apalagi kamu," ucap Qintan memulai percakapan.

"Mbak." Fitri memeluk kakak iparnya dan menumpahkan tangisnya di bahu kakak iparnya tersebut.

"Pergilah, lewat jendela kamarmu, biar mbak disini bersama Ibu," bisik Qintan memberi ide.

Fitri yang sedari tadi kalut, sampai tak terpikir ide sederhana itu. Ia mengurai pelukan dan menatap Qintan. Kakak iparnya itu tersenyum sambil mengangguk memberi semangat.

"Makasih, Mbak," bisik Qintan sembari bangkit dari duduknya.

Ia segera masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Tak lupa membuat guling agar seperti orang tidur dan ditutupi selimut.

Setelah itu, pelan-pelan ia membuka jendela kamarnya yang menghadap langsung ke taman depan rumah. Ia membukanya sepelan mungkin agar tak menimbulkan suara.

Ia kemudian mengendap-endap seperti maling yang takut ketahuan. Tanpa membawa apapun Fitri segera ke pangkalan ojek dan minta di antar ke kampung sebelah.

"Bang, cepet!" titah Fitri sepanjang jalan.

"Iya, Neng, ini udah ngebut!" jawab tukang ojek yang mengendarai motor tuanya.

Perjalanan ke kampung sebelah hanya butuh waktu lima belas menit. Tapi, jalannya masih rusak. Jadi, agak lama untuk sampai.

"Sah!"

"Sah!" gema para tamu yang hadir di pesta pernikahan tersebut.

"Ah, sial, telat!" Fitri menggerutu, sambil memukul-mukul jok motor tukang ojek yang kulitnya sudah robek-robek.

"Neng, Abang tahu itu jok dah jelek, robek-robek lagi. Tapi, gak usah dipukulin Neng, kasian," ucap Bang Karmin dengan wajah memelas.

Sebenarnya ia kasihan melihat Fitri, langganan ojeknya kalau ke kampus. Ia juga kenal dekat dengan keluarganya karena masih satu kampung. Bahkan anak-anaknya mengaji diajar oleh Bu Fatimah..

"Maaf, Bang," ujar Fitri, sambil mengerucutkan bibir.

"Bang, bantu saya ngacak-ngacak pesta itu, yuk!" ajak Fitri kemudian.

"Jangan pakai cara brutal, Neng. Entar yang ada Neng diamankan petugas satpam, tuh!" tunjuk Bang Karmin dengan mulutnya yang memang aslinya sudah maju.

"Terus, gimana?!" tanya Fitri tak sabar.

"Biar Abang bantu, Neng!" Bang Karmin tersenyum lebar ketika mendapatkan ide. Memamerkan giginya yang agak tonggos dan kekuningan.

"Gimana, Bang?!" desak Fitri tidak sabar. Setidaknya rasa kesalnya pada sang ayah sedikit terbalaskan.

"Gini ... " Bang Karmin membisikkan idenya pada Fitri.

Fitri tersenyum dan mengangguk. Tak sangka ide Bang Karmin lumayan cemerlang.

"Ya sudah, Bang. Cepet beli yang diperlukan. Nih, saya kasih uangnya." Fitri tak sabar untuk melakukan aksi yang sudah direncanakan.

Bang Karmin pergi sebentar ke tempat penjualan pakan binatang. Letaknya di pasar yang tak jauh dari sana.

Tak sampai setengah jam, ia sudah kembali ke tempat Fitri berada. Wajahnya nampak sumringah dengan kantong plastik hitam yang dicantolkan di motor.

"Siap, Neng, ayo!" Bang Karmin turun dari motornya.

"Ayo, Bang. Mumpung lagi rame-ramenya," sahut Fitri dengan begitu bersemangat.

Bang Karmin menemani Fitri masuk ke pesta. Pernikahan itu digelar di halaman rumah ibunya Bu Melvi. Memang agak luas di sana.

Para tamu yang hadir berbisik-bisik saat melihat Fitri masuk. Tentunya karena mereka tahu bahwa Fitri adalah anak Pak Burhan.

"Itu bukannya Fitri ya? Ngapain ke sini?"

"Kayaknya mau ucapin selamat."

"Ah, masa iya, tega betul. Kan bapaknya nikah lagi."

Begitulah kira-kira yang dibicarakan para warga. Mereka penasaran dengan apa yang akan terjadi. Bahkan yang sedang makan pun menatap Fitri yang masih berjalan dan mengantre menuju ke pelaminan.

Bang Karmin naik lebih dulu ke pelaminan. Ia akan melakukan tugasnya yang sudah dibagi dengan Fitri.

"Wah, Pak Burhan hebat bisa nikah lagi. Emang ketampanan Bapak gak diragukan!" seru Bang Karmin dengan begitu ceria.

Mendengar pujian itu membuat hidung Pak Burhan kembang kempis. Tentu saja sebagai lelaki ia merasa bangga bisa mempersunting dua wanita sekaligus.

"Makasih, Karmin. Saya kan memang ganteng, kaya lagi!" sahut Pak Burhan dengan pongahnya.

Fitri mendengus kesal mendengar percakapan itu. 'Awas aja, setelah ini kalian akan tahu akibatnya. Lihat apa yang akan terjadi,' gumamnya dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status