Share

Kabur dari Rumah

Penulis: Annisa DM
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-04 11:30:18

Melihat itu, Farid langsung menahan tangan ayahnya. Bagaimanapun ia tak ingin wanita di rumah itu disakiti.

"Dasar anak durhaka!" pekik Pak Farid sembari berontak dari cengkraman tangan anak pertamanya.

"Astaghfirullah, Yah, istighfar! Fitri anak kita." Bu Fatimah berusaha mengingatkan suaminya yang hampir kalap dan menampar anak perempuannya. Bahkan sampai mengatakan Fitri anak durhaka.

"Anak kamu ini, disekolahin tinggi-tinggi malah kurang ajar sama orang tua!" Pak Burhan menatap Fitri nyalang.

Fitri sekarang sedang menempuh kuliah, baru semester dua. Perjalanan hidupnya masih sangat panjang. Tapi, sudah dirumitkan dengan masalah seperti ini.

"Sudahlah, bagaimanapun tanggapan kalian! Ayah akan tetap menikah lagi, karena itu nadzar Ayah!" Pak Burhan berdiri dengan amarah tergambar jelas di wajahnya.

"Nadzar apa nafsu?!" ejek Fitri yang masih tak mau kalah.

Pak Burhan melotot, anak bungsunya ini sangat kurang ajar. Padahal biasanya ia sangat manis, meski memang wataknya keras kepala. Ia tak pernah berani melawan orang tua.

Farid menghela nafas panjang, bingung dengan situasi ini. Entah harus bagaimana bersikap, karena menurutnya ayahnya itu memang mampu berpoligami. Meski disisi lain hatinya juga tak tega melihat ibunya tersakiti.

"Sudahlah, bagaimapun juga besok Ayah akan menikah! Dengan Bu Melvi!" tegas Pak Burhan, kemudian langsung pergi meninggalkan rumah.

'Aku akan menghancurkan pernikahanmu, Ayah, dan jika tetap menikah akan aku buat istrimu menderita!' gumam Fitri dalam hati.

***

Alunan suara musik dangdut terdengar samar ke rumah Bu Fatimah dari kampung sebelah. Tempat pernikahan kedua Pak Burhan dilangsungkan.

Keluarga Bu Fatimah berkumpul di rumah, kecuali Pak Burhan yang telah berangkat sejak dini hari, entah kemana.

"Bu, keburu akad! Aku mau ke sana." Fitri terus merengek meminta izin ibunya untuk dibolehkan pergi ke pernikahan ayahnya.

"Jangan gegabah, Fit, biar nanti kita bicarakan lagi secara baik-baik," ucap Bu Fatimah lembut.

Air matanya seperti telah habis karena menangis sejak pagi. Tersisa mata sembabnya yang masih merah..

Qintan mengelus punggung ibu mertuanya itu. Sejak pagi ia dan Farid telah ke rumah Bu Fatimah untuk memberi kekuatan juga menenangkan.

Qintan adalah istri Farid. Ia juga menangis merasakan pedihnya perasaan Bu Fatimah.

Sebagai mertua Bu Fatimah sangat baik pada menantunya. Apalagi Qintan sudah ditinggal meninggal oleh ibunya sejak usia sekolah dasar.

Fitri mendengus kesal. Membayangkan ayahnya dengan lancar menikah dengan Bu Melvi. Janda beranak satu yang terkenal bohay dan ramah, tepatnya mendekati genit.

"Walaupun Ibu gak mengizinkan, Fitri akan tetap pergi!" Mata Fitri memerah menahan tangis.

Semua pintu sudah dikunci agar Fitri tidak kabur.

Sebenarnya Farid juga sedih melihat ibunya merasa tersakiti. Tapi, lelaki memang lebih berpikir dengan logika. Ia pikir ayahnya mampu, ibunya juga meski sedih tidak melarang.

Qintan berdiri kemudian merangkul Fitri. Ia membawa Fitri ke kamar tamu yang kosong.

"Fit, mbak tahu ini berat buat kita semua, apalagi kamu," ucap Qintan memulai percakapan.

"Mbak." Fitri memeluk kakak iparnya dan menumpahkan tangisnya di bahu kakak iparnya tersebut.

"Pergilah, lewat jendela kamarmu, biar mbak disini bersama Ibu," bisik Qintan memberi ide.

Fitri yang sedari tadi kalut, sampai tak terpikir ide sederhana itu. Ia mengurai pelukan dan menatap Qintan. Kakak iparnya itu tersenyum sambil mengangguk memberi semangat.

"Makasih, Mbak," bisik Qintan sembari bangkit dari duduknya.

Ia segera masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Tak lupa membuat guling agar seperti orang tidur dan ditutupi selimut.

Setelah itu, pelan-pelan ia membuka jendela kamarnya yang menghadap langsung ke taman depan rumah. Ia membukanya sepelan mungkin agar tak menimbulkan suara.

Ia kemudian mengendap-endap seperti maling yang takut ketahuan. Tanpa membawa apapun Fitri segera ke pangkalan ojek dan minta di antar ke kampung sebelah.

"Bang, cepet!" titah Fitri sepanjang jalan.

"Iya, Neng, ini udah ngebut!" jawab tukang ojek yang mengendarai motor tuanya.

Perjalanan ke kampung sebelah hanya butuh waktu lima belas menit. Tapi, jalannya masih rusak. Jadi, agak lama untuk sampai.

"Sah!"

"Sah!" gema para tamu yang hadir di pesta pernikahan tersebut.

"Ah, sial, telat!" Fitri menggerutu, sambil memukul-mukul jok motor tukang ojek yang kulitnya sudah robek-robek.

"Neng, Abang tahu itu jok dah jelek, robek-robek lagi. Tapi, gak usah dipukulin Neng, kasian," ucap Bang Karmin dengan wajah memelas.

Sebenarnya ia kasihan melihat Fitri, langganan ojeknya kalau ke kampus. Ia juga kenal dekat dengan keluarganya karena masih satu kampung. Bahkan anak-anaknya mengaji diajar oleh Bu Fatimah..

"Maaf, Bang," ujar Fitri, sambil mengerucutkan bibir.

"Bang, bantu saya ngacak-ngacak pesta itu, yuk!" ajak Fitri kemudian.

"Jangan pakai cara brutal, Neng. Entar yang ada Neng diamankan petugas satpam, tuh!" tunjuk Bang Karmin dengan mulutnya yang memang aslinya sudah maju.

"Terus, gimana?!" tanya Fitri tak sabar.

"Biar Abang bantu, Neng!" Bang Karmin tersenyum lebar ketika mendapatkan ide. Memamerkan giginya yang agak tonggos dan kekuningan.

"Gimana, Bang?!" desak Fitri tidak sabar. Setidaknya rasa kesalnya pada sang ayah sedikit terbalaskan.

"Gini ... " Bang Karmin membisikkan idenya pada Fitri.

Fitri tersenyum dan mengangguk. Tak sangka ide Bang Karmin lumayan cemerlang.

"Ya sudah, Bang. Cepet beli yang diperlukan. Nih, saya kasih uangnya." Fitri tak sabar untuk melakukan aksi yang sudah direncanakan.

Bang Karmin pergi sebentar ke tempat penjualan pakan binatang. Letaknya di pasar yang tak jauh dari sana.

Tak sampai setengah jam, ia sudah kembali ke tempat Fitri berada. Wajahnya nampak sumringah dengan kantong plastik hitam yang dicantolkan di motor.

"Siap, Neng, ayo!" Bang Karmin turun dari motornya.

"Ayo, Bang. Mumpung lagi rame-ramenya," sahut Fitri dengan begitu bersemangat.

Bang Karmin menemani Fitri masuk ke pesta. Pernikahan itu digelar di halaman rumah ibunya Bu Melvi. Memang agak luas di sana.

Para tamu yang hadir berbisik-bisik saat melihat Fitri masuk. Tentunya karena mereka tahu bahwa Fitri adalah anak Pak Burhan.

"Itu bukannya Fitri ya? Ngapain ke sini?"

"Kayaknya mau ucapin selamat."

"Ah, masa iya, tega betul. Kan bapaknya nikah lagi."

Begitulah kira-kira yang dibicarakan para warga. Mereka penasaran dengan apa yang akan terjadi. Bahkan yang sedang makan pun menatap Fitri yang masih berjalan dan mengantre menuju ke pelaminan.

Bang Karmin naik lebih dulu ke pelaminan. Ia akan melakukan tugasnya yang sudah dibagi dengan Fitri.

"Wah, Pak Burhan hebat bisa nikah lagi. Emang ketampanan Bapak gak diragukan!" seru Bang Karmin dengan begitu ceria.

Mendengar pujian itu membuat hidung Pak Burhan kembang kempis. Tentu saja sebagai lelaki ia merasa bangga bisa mempersunting dua wanita sekaligus.

"Makasih, Karmin. Saya kan memang ganteng, kaya lagi!" sahut Pak Burhan dengan pongahnya.

Fitri mendengus kesal mendengar percakapan itu. 'Awas aja, setelah ini kalian akan tahu akibatnya. Lihat apa yang akan terjadi,' gumamnya dalam hati.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nazar Poligami    Pencarian Bu Melvi

    31Bu Melvi membuka matanya. Ia baru saja sadar dari bius yang disuntikkan ke tubuhnya. Netranya mengedar kesana-kemari. Ia tak mengenal tempat itu. "Duh, di mana aku?" gumam Bu Melvi dengan kepala yang masih terasa berat. Ia kembali menajamkan penglihatan. Ruangan itu nampak seperti gudang. Banyak barang-barang bekas di sana. Belum lagi debu yang begitu tebal dan membuat sesak pernapasan. Bu Melvi tidak bisa lari kemanapun. Tangan dan kakinya terikat ke sebuah kursi. Perutnya juga mulai keroncongan karena belum makan sejak pagi. "Hai, Dek Melvi sayang ...." Tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar menggema di ruangan tersebut. Pak Bastoni mendekat dengan ditemani dua bodyguard-nya. "Gimana? Mau terus di sini atau kita ke hotel?" tanya Pak Bastoni dengan tatapan nakal yang memuakkan. "Aku udah gak mau punya hubungan sama kamu, Mas! Aku capek! Gak liat waktu harus keluar cuma buat muasin kamu!" pekik Bu Melvi dengan emosi. Ya, kadang permintaan lelaki hidung belang ini membuatn

  • Nazar Poligami    Bu Melvi ditawan

    Qintan dan Bu Fatimah sampai di rumah menjelang isya. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Sehingga memakan waktu cukup lama. "Bunda, Mbak, betah banget di rumah paman. Jadi, gimana ceritanya?" tanya Fitri dengan antusias setelah menyalami tangan ibu dan kakak iparnya. "Belum juga duduk," jawab Qintan sembari menjatuhkan bobot di sofa. Bu Fatimah pun duduk di sana. Ia menghela napas sejenak. Fitri menyediakan minum untuk ibunya. "Alhamdulillah, Ibu rasanya lebih tenang. Apalagi aset kalian sudah aman. Setidaknya kalaupun rumah tangga Ibu di ujung tanduk, kalian akan tetap dapat bagian," tutur Bu Fatimah dengan senyum tulus. Baginya sekarang anak-anaknya yang terpenting. Masalah suaminya sudah nomor sekian. "Alhamdulillah ... Oh ya, Bu aku mau cerita. Tapi, belum sempat dari kemarin," ungkap Fitri teringat sesuatu. Ibunya sekarang sudah nampak lebih tenang. Bahkan mungkin jika harus kehilangan sosok suami sekalipun. Jadi, ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan hal yang di

  • Nazar Poligami    Pak Bastoni (Selingkuhan Bu Melvi)

    Bu Fatimah terdiam sejenak. Rasanya tak enak mengungkapkan alasan dari penamaan surat itu. Seperti membuka aib suaminya sendiri. "Bicarakan saja Fatimah. Ini termasuk dari salah satu ghibah yang diperbolehkan," ucap Bang Furqon meyakinkan adiknya. "Jadi begini, suami saya selalu berkata malu jika orang tahu itu dari uang saya. Juga beralasan untuk masa depan anak. Katanya gak masalah atas nama siapapun suratnya. Tapi, nyatanya satu surat tanah kebun digadai demi istri barunya. Saya tidak mau semuanya habis," jelas Bu Fatimah panjang lebar.Pak Dinan mengangguk-ngangguk sambil melihat lihat beberapa surat berharga di tangannya. Semuanya atas nama Pak Burhan. "Saya akan bantu sebisanya. Semoga saja prosesnya cepat selesai. Sehingga semuanya akan utuh menjadi milik Ibu." Pak Dinan menjawab dengan tenang. "Amiinn, semoga saja." Bu Fatimah dan yang lainnya turut mengaminkan. Sebenarnya Pak Dinan telah banyak menangani kasus seperti ini. Jadi, bukan hal baru baginya. Mereka kemudian k

  • Nazar Poligami    Komisaris

    "Ya Allah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa rasanya hatiku tidak nyaman begini? Ada apa dengan suamiku?" gumam Bu Fatimah lirih. Ia tengah berada di kamar sendiri. Namun, merasa tidak enak hati sejak kemarin. Ia belum tahu persis penyebabnya. Hanya saja pikirannya tiba-tiba teringat suaminya."Fit, kapan kamu mau ke sana lagi?" tanya Bu Fatimah lembut.Hanya Fitri yang bisa menjadi matanya saat ini. Ia begitu khawatir pada suaminya. Bagaimanapun Pak Burhan masih berstatus sebagai pendamping hidupnya. "Aku lagi sibuk ujian, Bu. Malas kalau harus tinggal di sana, nanti ajalah ya Bu? Aku mau fokus ujian dulu," jawab Fitri dengan berat hati. Ia menatap ibunya penuh harap. Sehingga dengan terpaksa Bu Fatimah mengiyakan."Semoga ujian kamu lancar ya, Sayang." Bu Fatimah membelai kepala putrinya. "Aamiin ...." Fitri tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Tak lama kemudian, pintu utama diketuk. Rupanya Qintan yang sudah nyelonong masuk sebelum dibukakan. "Bu, udah siap?" tanya Qintan de

  • Nazar Poligami    Orang Pintar

    Mobil menyusuri jalanan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter, belum beraspal, dan jarang kendaraan. Di sisi jalan jarak antara rumah satu dan yang lainnya sangat jauh. Tidak seperti di kota yang berdempet dan sesak."Kapan sampainya ini udah di pelosok desa begini loh, Dek?" tanya Pak Burhan sembari menatap ke depan. Badannya sudah pegal-pegal karena terus duduk di dalam mobil. Rasanya ia tak ingin ke tempat itu untuk kedua kalinya. "Sabar kenapa sih. Lagian aku ini yang nyetir, ribut banget," sahut Bu Melvi dengan ketus. Setelah satu jam dari jalan sepi itu, mereka tiba di sebuah rumah dari anyaman bambu. Halamannya cukup luas dengan pasir pantai yang hitam. "Sudah sampai, cepat turun!" titah Bu Melvi sembari keluar dari mobil. Pak Burhan mengikuti istrinya. Sejenak ia merenggangkan badan yang terasa begitu pegal. Mereka lalu berjalan ke pintu masuk rumah. Rumah itu sederhana dan rapi, seperti rumah desa pada umumnya. Tidak seperti rumah dukun dalam cerita-cerita film horor.

  • Nazar Poligami    Perjalanan Panjang

    "Dek, bangun! Katanya mau berangkat menemui gurumu!" Pak Burhan mengguncang tubuh Bu Melvi di pagi buta. "Entar siangan, Mas. Aku masih ngantuk banget ini!" Bu Melvi malah berbalik dan membelakangi Pak Burhan. Memang tidak biasanya ia bangun jam segitu sejak menikah. Mereka selalu bangun jika matahari sudah meninggi. "Padahal aku ingin segera bertemu guru itu, biar tokoku cepat laris," gerutu Pak Burhan yang tak digubris sama sekali oleh Bu Melvi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau istrinya sudah berkata. "Siapin sarapan dulu, gih! Biar nanti aku bangun tinggal sarapan terus berangkat!" titah Bu Melvi tanpa menoleh ke arah suaminya.Pak Burhan menurut dan lekas pergi ke dapur. Ia hanya bisa masak nasi goreng ala-ala sendiri, jadilah itu yang dimasaknya. Tapi, rasanya lumayan enak. Setelah selesai, Pak Burhan memanggil Bu Melvi untuk sarapan. Tapi, karena masih terlalu pagi Bu Melvi enggan untuk bangun. Ia masih betah bergelung di bawah selimutnya yang tebal. "Baru j

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status