Share

Bab 7

Penulis: Adny Ummi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-04 06:11:07

"M–Mas, tunggu dulu!" panggil Lestari mendekati suaminya.

"Apa lagi?" tanya Rayyan ketus sambil menghentikan langkahnya.

"Aku nggak ngerti, Mas. Bukannya kita ini suami-istri. Kenapa kok, aku dan Mas tidurnya misah?" Sungguh saat ini di kepala Lestari dipenuhi oleh tanda tanya besar.

Rayyan tersenyum sinis. "Kamu pikir saya nerima kamu karena apa, heh? Kamu itu cuma tebusan utang ayahmu! Kamu harus turuti semua apa kata saya, dan jadilah istri yang penurut. Paham?!"

"Tap–tapi, Mas."

"Cukup! Saya nggak ada waktu buat menjelaskan banyak hal sekarang. Nanti saya akan jelaskan apa-apa hak dan kewajiban kamu di rumah ini. Sekarang saya harus ke kantor!" Rayyan pun kembali melangkahkan kaki keluar rumahnya.

Dada Lestari terasa sesak seketika. Ia bingung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, dia sadar kalau dirinya hanya menjadi alat untuk menjeda pembayaran utang ayahnya. Namun, sungguh ia tidak menyangka kalau akan dianggap rendah seperti ini oleh suami yang ia sangka sebagai lelaki dewasa yang akan bersikap pengertian serta peduli terhadap dirinya.

"Nyonya ...," panggil Nunung kepada istri tuannya.

Dengan wajah sendu, Tari menoleh ke arah sang asisten.

"Nyonya maaf, saya juga heran kenapa tuan menyuruh saya menyiapkan kamar itu kemarin. Katanya itu memang untuk nyonya. Saya nggak berani bertanya kenapa kok, beda kamar dengan tuan."

"Hmm, ya sudah, Bi. Nggak apa-apa. Aku biasa kok, tidur sendirian." Lestari tersenyum getir.

Nunung pun membalas senyum itu dengan anggukan.

'Sudahlah, nggak usah dipikirkan. Toh, aku juga nggak siap sebenarnya menikah dengan orang asing seperti Mas Rayyan. Anggap saja ini jeda untuk aku bisa mengenal dia lebih jauh lagi nanti,' tukas Tari di dalam hati, menghibur diri sendiri.

*

Malam pun tiba. Jam dinding telah menunjukkan pukul 22.00 WIB.

"Mana Tari?" tanya Rayyan kepada Nunung sembari duduk tersandar di atas sofa ruang tengah rumahnya.

"Sudah masuk kamar sehabis makan malam tadi, Tuan," jawab Nunung yang barusan selesai membereskan perlengkapan dapur.

"Panggilkan dia sekarang!"

"Ta–pi mungkin Nyonya muda sudah tidur, Tuan," sahut Nunung lagi.

"Aku suruh bangunkan!" bentak Rayyan tidak mau tahu.

"Ba–baik, Tuan." Dengan cepat Nunung berlari menuju ke kamar Lestari dan mengetuk pintunya.

Cukup lama asisten rumah tangga itu mengetuk, karena memang Lestari sudah tertidur lelap.

Akan tetapi, akhirnya wanita muda itu pun muncul dengan wajah yang kuyu karena masih mengantuk. "Ada apa, Bi?" tanya Lestari sambil mengucek kedua matanya.

"Dipanggil Tuan, Nyonya," jawab Nunung apa adanya.

"Oh, Mas Rayyan sudah pulang?"

Nunung mengangguk. "Ada di ruang tengah, Nyonya."

Lestari lalu mengikat rambut sepinggangnya yang tergerai. Kemudian ia melangkah menuju ruang keluarga.

Rayyan melirik ke arah sang istri ketika wanita itu mendekat. Sungguh, ia melihat wanita muda itu semakin bertambah cantik saja dengan daster batik lengan panjang tanpa hijab seperti itu. 'Rambutnya hitam, panjang, dan bagus sekali,' pujinya di dalam hati.

"Mas sudah pulang?" Lestari menyapa sang suami yang masih tersandar setengah berbaring di sofa. Lestari meraih tangan sang suami dan mencium punggung tangan itu sambil sedikit membungkuk.

"Sudah tahu masih tanya," cetus pria itu, "ambilkan air hangat untuk merendam kakiku sekarang."

Kedua alis Tari bertautan. Ia mencoba mencerna apa yang sang suami perintahkan. Ia masih belum bisa berpikir jernih karena baru saja terkejut bangun.

"Kamu denger nggak?!" bentak Rayyan tiba-tiba.

Tari terlonjak kaget. "De–dengar, Mas. Sebentar aku ambilkan." Sungguh, dia menjadi takut terhadap Rayyan kini. Mengapa lelaki itu bicara dengan membentak-bentak terus? Sebelumnya meski selalu dingin, pria itu tidak semengerikan ini sikapnya.

Lestari berjalan menuju ke dapur, ia dibantu oleh Nunung yang menunjukkan di mana baskom. Wanita tua itu lalu menyiapkan air untuk dijerang sebentar di atas kompor.

"Biarkan dia kerjakan sendiri, Bi!" teriak Rayyan yang bisa melihat gerak-gerik kedua wanita beda generasi di ruang dapur itu dari tempatnya bersandar.

"I–iya, Tuan!" jawab Nunung yang akhirnya memilih diam dan berdiri saja di dekat meja kompor di sana.

Lestari kemudian melanjutkan apa yang tadi dikerjakan Nunung. Ia menjerang sebentar air keran yang sudah dimasukkan ke dalam panci kecil.

Ketika mendidih, air itu pun Tari tuangkan ke dalam baskom, kemudian ia campur dengan air keran yang dingin. Setelah itu, ia meraba air dan memperkirakan suhunya.

Ketika dirasa cukup hangatnya, wanita muda itu segera membawa baskom berisi air tersebut ke hadapan sang suami. "Ini, Mas." Ia meletakkan baskom di atas lantai di depan kaki Rayyan.

"Bukakan sepatuku. Gosok-gosok dan pijat-pijat kakiku dalam air."

Lestari hanya menurut. Ia lalu berlutut dan melakukan apa yang sang suami perintahkan yakni membukakan sepatu, lalu melipat kedua celana lelaki itu sampai hampir sebatas lutut supaya tidak basah terkena air.

Rayyan melirik ke arah sang istri di hadapannya. Kemudian ia menikmati belaian serta pijatan tangan Lestari di kakinya. Meski sedikit geli dan membuat sensasi aneh di dirinya, tetapi terasa nikmat sekali pijatan wanita cantik itu.

"Lain kali kalau aku belum pulang, kamu jangan tidur dulu, paham?"

Lestari mendongak ke arah suaminya. "Maaf, tadi aku udah ngantuk banget, Mas," jawab perempuan itu.

"Aku nggak mau dengar alasan!" sergah Rayyan yang membuat Tari kembali terlonjak.

"Ba–baik, Mas." Lestari menunduk dalam. Jantungnya berdebar-debar karena berkali-kali kaget akibat suara keras suaminya.

"Pijat sampai ke betis."

Lestari pun melakukan apa yang dititahkan. Dengan ragu ia merasakan sensasi aneh karena menyentuh kaki berbulu lebat itu. Ini pertama kalinya ia menyentuh kaki lelaki lain selain kaki ayahnya. Ya, ia biasa memijat tubuh, tangan, dan kaki sang ayah ketika di rumahnya.

Sementara Rayyan, ia sampai memejamkan mata menikmati pijatan nyaman sang istri.

Setelah sekitar lima belas menit kakinya digosok dan dipijat oleh istrinya. Rayyan merasa lelahnya mereda. 'Lumayan juga ada pembantu pribadi seperti ini,' ujarnya membatin. "Sudah! Ambil handuk dan lap kaki saya!" suruhnya pada Tari.

"Di mana handuknya, Mas?" tanya wanita muda yang memang masih belum tahu di mana saja barang-barang tersimpan di rumah itu.

"Tanya Bi Nunung! Besok-besok kamu harus siapkan semuanya. Jangan sampai saya nunggu lama!"

"Iya, Mas." Lestari pun bangkit, lalu mendekati Nunung yang sudah mengambilkan handuk bersih dari sebuah bufet penyimpanan di ruang setrika.

"Di mana tadi taruhnya, Bi?" tanya Lestari kepada Nunung.

"Di situ, Nyonya." Nunung menunjuk ke arah bufet dalam ruang setrika.

"Oh, iya." Lestari pun berbalik.

"Cepat!! Lama sekali gerakanmu itu!!"

Kembali Lestari terkejut dengan teriakan itu. Bergegas ia berlari kecil menghampiri suaminya lagi.

Rayyan melirik ke arah sang istri yang kembali berlutut. Tersingkap sedikit betis mulus sang wanita muda membuat darah lelaki itu berdesir hangat karena pemandangan indah di hadapannya.

.

.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 167 (ENDING)

    Sesampainya di rumah, Rayyan memanggil Nunung ke ruang tengah. Ia menceritakan semuanya—tentang hak rujuk, tentang kehadiran Lestari yang sangat ia rindukan.“Bi, Bibi bisa tolong saya, 'kan ...? Tolong bujuk Tari. Minta dia pulang ke rumah. Katakan padanya saya tidak ingin perceraian ini berlanjut.”Nunung awalnya ragu. “Saya nggak tahu apa masih bisa, Tuan. Tapi saya akan coba ya," ucap wanita tua itu dengan senyum kecil di wajahnya. Nunung juga berharap kalau pernikahan kedua majikannya bisa kembali terjalin. Toh, Rayyan sudah banyak berubah. Ia bukan lagi lelaki yang kasar seperti dulu.*Beberapa hari kemudian, Nunung menelepon Lestari. Suaranya pelan dan dibuat lemah.“Nya ... saya kurang enak badan. Gimana ya, Nya ... saya di rumah sendiri, nggak ada yang ngurus. Tuan Rayyan ke luar kota.”Lestari yang mendengar itu langsung panik. “Bi Nunung di rumah Mas Rayyan sekarang?” Selama ini Lestari mengira Nunung masih di rumah Gilang.“Iya. Saya sendirian, Nya ... lemas.”“Baik, Bi.

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 166

    Lestari diam sesaat, lalu mengangguk. Tidak seperti kepada Gilang, ia paham kalau dirinya masih di masa iddah dan Rayyan masih berhak atasnya, sebenarnya.Mereka lalu duduk di ruang tamu sederhana itu. Rayyan memandang sekeliling—semuanya masih tampak sama. Tapi suasananya terasa berbeda karena tidak ada lagi Dinar dan Nurmala."Mas datang ... untuk bicara tentang pernikahan kita," kata Rayyan membuka pembicaraan. Lestari menatapnya, tatapannya tenang tapi menjaga jarak. "Pernikahan yang mana, Mas? Bukannya kita sudah bercerai? Mas sudah menjatuhkan talak ke aku."Rayyan menggenggam jemari tangannya sendiri di atas lutut. "Mas salah, Tari. Mas terlalu terburu-buru. Mas tahu kamu terluka karena sikap Mas seperti itu. Mas diam juga karena terlalu sibuk membenarkan diri sendiri."Lestari menghela napas panjang. "Mas Rayyan, aku sudah lelah. Aku menunggu Mas tadinya. Tapi Mas malah ... dan saat akhirnya aku pergi, Mas juga nggak menyusul aku. Jadi, sebaiknya memang kita sudahi seperti re

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 165

    Langit Jakarta sedikit mendung saat Rayyan menapakkan kaki di lobi kantornya. Dua pekan di Singapura nyatanya tak cukup menenangkan gejolak pikirannya. Ya, bukan hanya 5 hari. Ternyata ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menenangkan diri.Pagi ini pria tampan itu kembali sebagai Presiden Direktur seperti biasanya, tetapi hatinya masih terasa seperti kapal tanpa jangkar, sebagai seorang suami yang 'gagal' mempertahankan rumah tangganya sendiri.Bobby menyambut Rayyan dengan ramah di depan lift pribadi. "Selamat datang kembali, Boss." Pria muda itu melebarkan senyumnya."Nggak usah basa-basi kamu, Bob!" Rayyan mendengkus kecil. "Gimana perkembangan terakhir di kantor? Nggak kamu obrak-abrik, 'kan, perusahaan saya?" sindir Rayyan dengan wajah dinginnya."Ya elah si Boss. Tenang ajaa. Stabil, Boss. Tapi ada hal penting soal pernikahan Bos, nih!"Rayyan memicingkan mata."Pengadilan sudah menjadwalkan sidang mediasi tiga hari lagi. Terkait permohonan cerai dari pihak Boss." Bobby menat

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 164

    Pagi-pagi sekali di rumah Gilang masih terasa sunyi, hanya terdengar suara serangga dari pekarangan dan detak jarum jam di dinding ruang tengah itu. Setelah Nunung menyuguhkan teh hangat dan camilan pagi, Gilang duduk berhadapan dengan Harun dan Delia. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah.Harun menatap Gilang dengan sorot mata yang tenang, tetapi cukup dalam dan penuh makna. "Gilang, Abah mau bicara jujur sekarang ini. Sebagai orang tua, Abah harus menanyakan ini. Delia sedang mengandung anakmu. Apa yang akan kamu lakukan?"Gilang menggenggam cangkir teh di tangannya. Uapnya perlahan mengabur di udara, seperti pikirannya sendiri."Aku tahu, Bah. Aku ... belum bisa memberi jawaban pasti saat ini," ujarnya akhirnya. "Aku masih butuh waktu untuk berpikir. Tentang semuanya."Delia menunduk, jemari tangannya bertaut di pangkuan. Harun menarik napas dalam-dalam."Abah nggak akan memaksakan kalian untuk rujuk kembali. Tapi, Abah minta satu hal saja. Tanggung jawab. Bukan hanya sampai ana

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 163

    Suasana rumah Pak Toni sore itu tampak semarak, sebab beberapa kerabatnya cukup antusias menghadapi acara hari ini. Bobby duduk di ruang tamu, mengenakan batik maroon gelap, wajahnya terlihat gugup tapi penuh harap. Di sampingnya, ayah dan ibunya tersenyum bangga, ditemani beberapa kerabat dari luar kota.“Tenang, Bob. Nggak usah tegang kayak gitu,” bisik ibunya sambil menggenggam tangan Bobby."Iya, Ma. Aku cuma gugup." Bobby melirik ke sekeliling. Ruangan itu dipenuhi keluarga besar Toni. Beberapa orang di sekitar yang tidak ia kenal, duduk bersila di lantai beralaskan permadani. Tampak suguhan kue dan teh manis di hadapan. Akan tetapi, ada satu wajah yang sebenarnya ia harapkan untuk turut hadir—Rayyan. Meski demikian, itu hanyalah harapan kosong.“Eh, Mas Bob,” sapa suara berat dari balik bahu Bobby. Toni, si tuan rumah, sembari merapikan jasnya dan berdiri di hadapan Bobby dengan senyum setengah bingung. “Mana Pak Rayyan ya, Mas? Kata Mas Bobby sudah kabari tentang acara hari ini

  • Neraka Pernikahan CEO Arogan   Bab 162

    "Bob, saya ke Singapura besok," ujar Rayyan dengan wajah yang tampak kusut. "Loh, kok, mendadak gini, Bos? Acara lamaranku gimana?" Bobby tercengang dengan ucapan bosnya barusan. Ia tadi masih di kantor ketika Rayyan tiba-tiba memanggil dan menyuruhnya datang. "Sorry, saya nggak bisa hadir. Memang ini mendadak, Mr. Harold menyerahkan kerjasama bisnis kita ke Soni. Jadi, saya mesti segera membereskan semuanya.""Oh ... gitu?" lirih Bobby sembari menghela napas. Ia pikir Rayyan akan menyuruhnya turut serta, padahal acara lamarannya yang sudah disiapkan jauh-jauh hari tentu tidak bisa dibatalkan begitu saja. "Setelah kamu lamaran, tolong urus perceraian saya dengan Tari.""Apa?!" Bobby terbelalak mendengar kejutan lainnya.Rayyan menarik napas dalam-dalam dan mendongak ke atas, kemudian ia bangkit berdiri. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Saya sudah menjatuhkan talak ke dia. Jadi, kamu segera urus perceraian saya dengan pengacara. Saya juga nggak mau ribet untuk da

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status