Home / Rumah Tangga / Neraka Yang Kau Ciptakan / 4. Kamu bukan milikku.

Share

4. Kamu bukan milikku.

Author: Ai Bori
last update Last Updated: 2025-07-03 22:51:29

“Mas!”

Suara ketukan pintu berbunyi. Terdengar suara manis dari istri tercinta di ambang pintu. Olahraga belum selesai dilakukan, keringat jagung pun masih keluar. Namun, kedua insan ini terpaksa harus menghentikan kegiatannya dengan terengah-engah. 

“Shit! Kenapa dia pulang?” gerutu Bella. 

“Lekas pakai pakaian kamu, sebelum ketahuan!” Reno mengecup kening Bella, “nanti kita sambung lagi, Sayang.”

Bella pun menjadi luluh. Ia langsung memakai kembali pakaiannya. 

“Mas, sedang apa kamu?” teriak Carrista. 

“Aku ketiduran, Sayang. Sebentar aku bukain!” sahut Reno. 

Bella yang di sampingnya langsung berbisik, “terus aku harus ke mana?”

Reno menjadi bingung. Dilihatnya pintu kamar mandi terbuka, “masuk ke kamar mandi aja!”

Satu menit berlalu, Bella pun sudah masuk ke dalam toilet. Sudah merasa aman, Reno mengatur napas lalu perlahan ia buka kuncinya.

“Sayang, kenapa cepat sekali pulangnya?”

Carrista mengernyitkan alis. “Mas nggak suka aku pulang?”

Reno mengecup bibirnya. “Biar nggak bawel!”

“Mas Reno,” rengek Carrista. 

“Ada yang ketinggalan, ya?” tanya Reno. 

Carrista mengangguk, lalu masuk ke dalam ruangan tersebut. “Tadinya, aku cuma mau ambil draf yang ketinggalan. Tapi, tiba-tiba aku kepikiran sama Mas Reno. Mungkin rindu, makanya langsung ke sini.”

Reno tergelak tawa mendengarnya. “Aku juga. Tapi kalau kita senam di sini sekarang, apa kamu nggak terlambat?”

Carrista menepuk jidatnya. Hampir saja ia melupakan bahwa dirinya akan pergi rapat bersama client nya.

“Lupa, ya?” Lanjut Reno sambil mencubit gemas hidung Carrista. 

“Aku ingat, tapi … hm, tunggu. Ini bukannya tas Bella?”

“Tas Bella? I—itu tas Bella? Astaga … aku kira tas kamu. Pasti ketinggalan pas kemarin meeting.”

“Meeting? Kalian meeting di sini?”

“Kalau urgent aja, Sayang.”

“Berdua?”

Reno menganggukkan kepala dengan pelan. Dia bingung menjawab apa lagi sekarang. Melihat wajah Carrista saja sudah membuatnya merinding saat ini. 

“T—tapi kami nggak ngapa-ngapain, Sayang. Jangan suudzon, kamu jangan curigai. Aku nggak mungkin—”

Ucapan Reno terhenti saat mendengar Carrista tertawa geli. “Mas kenapa gugup, sih? Iya, aku tahu kamu nggak bakal ngapa-ngapain sama dia. Kamu suami aku, dia sahabat aku. Wajar kalau kalian dekat, ‘kan?”

Reno mengangguk. “Sayang … kamu tenang aja. Aku tahu batasan. Janji suci, nggak mungkin aku ingkar.”

“Aku percaya kamu, Mas!”

Reno duduk di meja kerjanya. Sementara itu, tanpa ia ketahui ternyata Carrista sudah berjalan menuju toilet. Ia berusaha membuka pintunya, tetapi tak kunjung berhasil. 

“Mas, kenapa pintu kamar mandinya nggak bisa dibuka?”

Seketika pria itu tersedak. Lalu buru-buru mendekati Carrista. “Sayang, pintunya rusak dari kemarin. Aku lupa bilang ke kamu, lupa juga benerin. Astaga, untung kamu ingatin!”

“Ya ampun, ya sudah nanti aku panggil tukang.”

“Nggak usah, Carrista. Nanti aku suruh mang Udin aja.”

Carrista pun mengangguk sambil tersenyum. “Baiklah, aku berangkat dulu.”

“Love you, Sayang.”

“Love you too!” sahut Carrista. 

Wanita itu hendak keluar, tetapi tertahan saat Reno memanggilnya kembali. “Carrista!”

Ia pun menoleh. Reno menyatukan jarinya hingga berbentuk hati. “Love you to the moon and back.”

Carrista tidak menjawab. Dia hanya tersenyum manis sambil pergi. Sementara Reno langsung menghela napasnya dengan dalam. Dia merasa bahwa ujiannya kali ini telah selesai. 

Bella pun keluar dari tempat persembunyiannya. Dia bertepuk tangan sambil berjalan mendekati Reno. 

“Love you to the moon and back. Dih, cuih!” 

Suara itu membuat Reno menatap Bella yang sedang mengejeknya. Dia mendekat dan langsung memeluk kekasih gelapnya itu. 

“Sayang, kamu harus ngertiin aku. Kalau nggak gitu, nanti dia curiga!”

“Kamu takut kehilangan dia? Terus gimana dengan aku?”

“Jangan suruh aku memilih. Aku nggak akan memilih karena aku nggak mau kehilangan kalian berdua. Kamu lebih dulu masuk ke hati aku, sedangkan dia pun juga mengisi kekosongan yang pernah kamu sia-siakan. Bella, aku benar-benar nggak bisa kehilangan satu di antara kalian!”

“Maka, jadikan aku wanita yang paling beruntung.”

Reno tersenyum lalu menggendong Bella di depan. “Apa kamu masih merasa kurang beruntung?”

“Kamu bukan milikku.”

“Sayang, meski kita tak bisa bersatu, tapi kita masih bisa terus bersama, sejalan dan satu tujuan layaknya sepasang sepatu, ‘kan?”

Ucapan Reno berhasil membuat Bella luluh. Detik itu juga mereka kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti tadi.  

Sementara Carrista, kini sedang berada di dalam perjalanan. Dia termenung sampai-sampai sang supir memerhatikan dirinya. 

“Cuacanya tidak mendung, Bu,” ujar Mang Udin. 

Carrista langsung menoleh, “yang bilang mendung siapa, Mang?”

“Kirain cuacanya yang mendung, rupanya sorot mata Ibu. He-he-he. Maaf, Bu, kalau boleh mamang kepo, Ibu lagi banyak pikiran, ya?”

“Mungkin. Memangnya kelihatan ya, Mang?”

“Pantas, atuh. Wajah Bu Carrista mencerminkan segalanya.”

“Mang, laki-laki kalau lagi bohong itu dilihat dari apanya?”

Mang Udin tersedak. Sepertinya dia paham dengan pertanyaan atasannya tersebut. Namun, mau bagaimana lagi. Tak bisa ia katakan karena saat ini dia sedang bekerja di kediaman mereka. 

“Mang Udin!” Seru Carrista setelah beberapa saat. Tampak Carrista sedikit kesal diabaikan karena baginya saat ini jawaban Mang Udin cukup penting untuk dijadikan referensi.

“I—iya, Bu? Oh, iya, bohong lihat dari mana, ya? Dari mana ya, Bu? Mamang juga bingung! Mamang ‘kan nggak pernah bohong.”

“Astaga, Mang! Masih aja bercanda. Saya udah nungguin jawabannya. Lagian, jawaban Mamang aja udah bohong tadi.”

Mang Udin tergelak tawa. Lalu, ia menjawab ucapan Carrista dengan serius. “Menurut Mamang, semua orang bohong gelagatnya itu sama. Nggak penting mau itu perempuan atau laki-laki. Ciri-cirinya pasti mirip semua.”

“Contohnya?”

“Kedipan mata. Biasanya, kalau ketahuan itu matanya langsung gerak nggak karuan. Terus, keringatan. Apalagi kalau dalam ruangan dingin terus dia keringatan. Itu dua gendangnya, kalau nggak lagi sakit pasti lagi cemas.”

“Terus, Mang?”

“Gelagapan. Mengarang bebas. Menggerakkan tangan. Garuk tengkuk, garuk telinga. Astaga banyak sekali, Bu. Kalau ditulis pun nggak muat satu kertas.”

“Begitu ya, Mang? Kenapa ciri-cirinya ada semua di satu kejadian?”

“Maksudnya, Bu? Kalau Mamang boleh tahu, siapa yang berbohong?”

“Hm, nggak ada. Teman saya!”

Carrista teringat pada dua hari ini. Setiap kejadian yang ia lewati bersama Reno, selalu meninggalkan rasa penasaran. Apalagi sejak bertemu dengan Bella tadi. 

“Mang Udin, menurut Mang Udin antara Bapak dengan teman saya—Bella, mereka sedekat apa?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Neraka Yang Kau Ciptakan   17. Teka-teki William

    William menatapnya sambil tersenyum. "Sudah lama! Tapi kamu tenang aja, semua sudah berakhir. Hubungan mereka sudah sebatas atasan dan bawahan saja. Sekarang, keluarga kamu tolong dijaga baik-baik. Aku juga gitu, akan jaga Bella dengan baik."Percaya diri sekali William mengatakan itu padanya. Carrista malah menerangkan William dengan keras saat ini. "Kamu bodoh, William!"Pria itu langsung menatapnya. "Ada apa?""Kamu pikir hubungan mereka sudah berakhir? Kalau memang sudah berakhir, saat ini aku mungkin masih terjebak dalam kebohongan yang kalian bilang sudah usai itu. Tapi sayangnya, sampai detik ini pun hubungan mereka masih lanjut.""Kamu yakin?"Carrista tersenyum getir. Dia menceritakan bagaimana pertama kali ia mengetahui perselingkuhan antara suami dengan sahabatnya sendiri. Semua bermula saat sang suami pergi mengunjungi teman lamanya yang tak lain adalah Jack dan ternyata Carrista 'lah yang menjadi teman lama Jack. William menggelengkan kepala, bukan tak menyangka teta

  • Neraka Yang Kau Ciptakan   16. Rahasia William

    Ribuan panggilan di ponsel pun diabaikan. Ratusan pesan tak dibaca sama sekali. Wanita ini menangis di dalam bathtub tanpa mengeluarkan suara. "Kenapa cinta itu menyakitkan, Tuhan? Kenapa wanita itu harus sahabatku sendiri? Mungkin kalau bukan Bella, sakitnya tidak separah ini!"Carrista sengaja tidak kembali ke apartemen miliknya dan juga tidak ke kantor. Dia memilih untuk menginap di sebuah hotel agar tidak diketahui oleh suaminya. Tiba-tiba dia menyadari bahwa selama ini Tuhan sudah memberinya isyarat. Namun, cinta nya sendiri yang menutupi kebohongan itu. Carrista berhenti menangis, dia bahkan langsung mencuci wajah dan berdiri dari sana. Dia tinggalkan kamar mandi itu dan bersiap memakai kembali bajunya. "Kenapa harus aku saja yang sakit? Mari kita hancur sama-sama!" Seru Carrista sambil tersenyum sinis. Senyuman itu tak dapat diartikan. Namun, tampak seperti ingin menghancurkan hidup yang lain. Membalas dendam, kah? Mungkin saja! Karena dia tidak ingin hancur sendirian. D

  • Neraka Yang Kau Ciptakan   15. Meninggalkan rumah

    "K—kenapa kamu nanya gitu?"Reno terperanjat kaget. Selama menikah tak pernah sang istri menanyakan hal aneh, apalagi soal berbohong. "Santai, Mas. Jangan terlalu kaku gitu. Aku cuma nanya, kenapa kamu kayak maling yang sedang ketahuan mencuri?"Reno menghela napasnya. "Sebenarnya ... kamu kenapa, Sayang? Mas lihat, hari ini kamu aneh banget.""Aku cuma nanya. Nggak salah kalau Mas jawab. Pengen aja tahu kebohongan Mas selama ini tuh apa aja. Jangankan Mas, aku juga pernah bohong sama kamu kok!" Seru Carrista sambil menjulurkan lidahnya. Hm, yah. Bukan Carrista namanya jika hanya sebuah kata saja tidak bisa membuat suaminya menjadi panas dingin sekarang. "Kamu pernah bohong sama aku?""Tentu saja!""Pernah jalan dengan siapa?""Hah?""Aku nggak marah, janji. Aku cuma pengen tahu aja. Boleh, 'kan?"Awalnya Carrista bingung, namun lama kelamaan dia mengerti sekarang. "Mas, tunggu dulu. Aku ralat dulu. Jadi maksud kamu tuh kebohongan aku itu jalan dengan orang, gitu? Memangnya ke

  • Neraka Yang Kau Ciptakan   14. Hilangnya rasa kepercayaan

    Pintu kamar terbuka. Reno masuk ke dalam dan mencari keberadaan Carrista. Tak ada siapa-siapa, hanya suara gemercik air yang terdengar.Satu jam berlalu, Reno tetap menunggunya di sofa, tepat di depan pintu kamar mandi tersebut. Dia tampak penasaran, merasa Carrista menyembunyikan sesuatu darinya. Karena tak pernah sekalipun wanita itu mengabaikannya. Pintu kamar mandi terbuka, Carrista sedikit tersentak saat melihat Reno tertidur di sofa. Ya, saking lamanya wanita ini di dalam kamar mandi, ia malah sampai tertidur di sana. Carrista tidak membangunkannya, ia malah menganggap suaminya seakan tidak ada di sana. Ponselnya berdering membuat sang pemilik tersentak. Dia membuka mata, terlihat sebuah nama pria di sana. Namun, Reno tidak mengangkat karena melihat Carrista sedang membersihkan wajahnya di depan meja rias. Reno mendekati Carrista, "Sayang, kok nggak bilang udah siap? Mas kangen," ucapnya sambil mengecup kening Carrista. Wanita itu menoleh, "kenapa nggak diangkat?""Oh, ini

  • Neraka Yang Kau Ciptakan   13. Bramasta is William

    “Sudah kamu putuskan?”William duduk di samping Bella sambil menggenggam tangannya. Bella tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Aku siap, Sayang.”“Kapan?”“Kapanpun kamu mau,” ucap Bella. Kelihatannya kata-kata itu cukup meyakinkan, padahal dia sudah pasrah. Menikah dengan William juga bukanlah sebuah kesalahan, tidak ada ruginya juga bagi dia. “Kalau gitu, ayo kita pergi sekarang!”“Hm?”“Fitting baju.”“Baiklah.” William mengajak Bella pergi ke sebuah butik. Namun, siapa sangka, butik yang dimaksud adalah milik Carrista. Entah sebuah kebetulan atau memang semua adalah bagian dari rencana William. “D—di sini?” Tanya Bella. Dia benar-benar terkejut. Karena ternyata selama perjalanan, dia hanya fokus ke layar hp. “Iya. Kenapa kamu gugup?”“E—enggak. Apa nggak mau pindah tempat aja?”“Alasannya?”Bella terdiam. Tak dapat ia mengeluarkan kata-kata. William melanjutkan ucapannya. “Ini butik terkenal, Sayang.”Tiba-tiba Bella teringat saat William menolong Carrista, tak mungkin i

  • Neraka Yang Kau Ciptakan   12. Kebohongan Reno

    Pria tampan tanpa rambut sedang duduk di pojokan. Cafe tersebut terbilang cukup nyaman karena sepi pengunjungnya. Pria ini memakai baju kotak-kotak berwarna hitam putih dipadukan dengan celana jeans. Dia sedang meminum sebuah kopi hangat sambil melihat sedikit pekerjaannya. Walaupun ia sedang ada janji dengan seseorang, tetapi pekerjaannya tak bisa diabaikan.Tiba-tiba, wanita yang ia tunggu terlihat sedang membuka pintu. Dia pun melihatnya lalu tersenyum ke arah wanita tersebut. “Hallo, Jack!”“Carrista!” Pria ini berdiri dari bangkunya, lalu berpelukan selama beberapa detik dengan Carrista. “Beneran kamu, ternyata. How are you?”“Ya seperti kamu lihat. Badanku melebar!”“Kenapa nggak bilang kalau lagi di Jakarta? Kamu nggak mau temenan lagi dengan aku?”“Mana berani aku ganggu kamu. Suami kamu posesif, padahal belum pernah ketemu dengan aku.”Keduanya tertawa terbahak-bahak, mereka mengenang beberapa tahun yang lalu. Awal menikah, Jack dan Carrista masih berkomunikasi dengan baik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status