“Mas!”
Suara ketukan pintu berbunyi. Terdengar suara manis dari istri tercinta di ambang pintu. Olahraga belum selesai dilakukan, keringat jagung pun masih keluar. Namun, kedua insan ini terpaksa harus menghentikan kegiatannya dengan terengah-engah.
“Shit! Kenapa dia pulang?” gerutu Bella.
“Lekas pakai pakaian kamu, sebelum ketahuan!” Reno mengecup kening Bella, “nanti kita sambung lagi, Sayang.”
Bella pun menjadi luluh. Ia langsung memakai kembali pakaiannya.
“Mas, sedang apa kamu?” teriak Carrista.
“Aku ketiduran, Sayang. Sebentar aku bukain!” sahut Reno.
Bella yang di sampingnya langsung berbisik, “terus aku harus ke mana?”
Reno menjadi bingung. Dilihatnya pintu kamar mandi terbuka, “masuk ke kamar mandi aja!”
Satu menit berlalu, Bella pun sudah masuk ke dalam toilet. Sudah merasa aman, Reno mengatur napas lalu perlahan ia buka kuncinya.
“Sayang, kenapa cepat sekali pulangnya?”
Carrista mengernyitkan alis. “Mas nggak suka aku pulang?”
Reno mengecup bibirnya. “Biar nggak bawel!”
“Mas Reno,” rengek Carrista.
“Ada yang ketinggalan, ya?” tanya Reno.
Carrista mengangguk, lalu masuk ke dalam ruangan tersebut. “Tadinya, aku cuma mau ambil draf yang ketinggalan. Tapi, tiba-tiba aku kepikiran sama Mas Reno. Mungkin rindu, makanya langsung ke sini.”
Reno tergelak tawa mendengarnya. “Aku juga. Tapi kalau kita senam di sini sekarang, apa kamu nggak terlambat?”
Carrista menepuk jidatnya. Hampir saja ia melupakan bahwa dirinya akan pergi rapat bersama client nya.
“Lupa, ya?” Lanjut Reno sambil mencubit gemas hidung Carrista.
“Aku ingat, tapi … hm, tunggu. Ini bukannya tas Bella?”
“Tas Bella? I—itu tas Bella? Astaga … aku kira tas kamu. Pasti ketinggalan pas kemarin meeting.”
“Meeting? Kalian meeting di sini?”
“Kalau urgent aja, Sayang.”
“Berdua?”
Reno menganggukkan kepala dengan pelan. Dia bingung menjawab apa lagi sekarang. Melihat wajah Carrista saja sudah membuatnya merinding saat ini.
“T—tapi kami nggak ngapa-ngapain, Sayang. Jangan suudzon, kamu jangan curigai. Aku nggak mungkin—”
Ucapan Reno terhenti saat mendengar Carrista tertawa geli. “Mas kenapa gugup, sih? Iya, aku tahu kamu nggak bakal ngapa-ngapain sama dia. Kamu suami aku, dia sahabat aku. Wajar kalau kalian dekat, ‘kan?”
Reno mengangguk. “Sayang … kamu tenang aja. Aku tahu batasan. Janji suci, nggak mungkin aku ingkar.”
“Aku percaya kamu, Mas!”
Reno duduk di meja kerjanya. Sementara itu, tanpa ia ketahui ternyata Carrista sudah berjalan menuju toilet. Ia berusaha membuka pintunya, tetapi tak kunjung berhasil.
“Mas, kenapa pintu kamar mandinya nggak bisa dibuka?”
Seketika pria itu tersedak. Lalu buru-buru mendekati Carrista. “Sayang, pintunya rusak dari kemarin. Aku lupa bilang ke kamu, lupa juga benerin. Astaga, untung kamu ingatin!”
“Ya ampun, ya sudah nanti aku panggil tukang.”
“Nggak usah, Carrista. Nanti aku suruh mang Udin aja.”
Carrista pun mengangguk sambil tersenyum. “Baiklah, aku berangkat dulu.”
“Love you, Sayang.”
“Love you too!” sahut Carrista.
Wanita itu hendak keluar, tetapi tertahan saat Reno memanggilnya kembali. “Carrista!”
Ia pun menoleh. Reno menyatukan jarinya hingga berbentuk hati. “Love you to the moon and back.”
Carrista tidak menjawab. Dia hanya tersenyum manis sambil pergi. Sementara Reno langsung menghela napasnya dengan dalam. Dia merasa bahwa ujiannya kali ini telah selesai.
Bella pun keluar dari tempat persembunyiannya. Dia bertepuk tangan sambil berjalan mendekati Reno.
“Love you to the moon and back. Dih, cuih!”
Suara itu membuat Reno menatap Bella yang sedang mengejeknya. Dia mendekat dan langsung memeluk kekasih gelapnya itu.
“Sayang, kamu harus ngertiin aku. Kalau nggak gitu, nanti dia curiga!”
“Kamu takut kehilangan dia? Terus gimana dengan aku?”
“Jangan suruh aku memilih. Aku nggak akan memilih karena aku nggak mau kehilangan kalian berdua. Kamu lebih dulu masuk ke hati aku, sedangkan dia pun juga mengisi kekosongan yang pernah kamu sia-siakan. Bella, aku benar-benar nggak bisa kehilangan satu di antara kalian!”
“Maka, jadikan aku wanita yang paling beruntung.”
Reno tersenyum lalu menggendong Bella di depan. “Apa kamu masih merasa kurang beruntung?”
“Kamu bukan milikku.”
“Sayang, meski kita tak bisa bersatu, tapi kita masih bisa terus bersama, sejalan dan satu tujuan layaknya sepasang sepatu, ‘kan?”
Ucapan Reno berhasil membuat Bella luluh. Detik itu juga mereka kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti tadi.
Sementara Carrista, kini sedang berada di dalam perjalanan. Dia termenung sampai-sampai sang supir memerhatikan dirinya.
“Cuacanya tidak mendung, Bu,” ujar Mang Udin.
Carrista langsung menoleh, “yang bilang mendung siapa, Mang?”
“Kirain cuacanya yang mendung, rupanya sorot mata Ibu. He-he-he. Maaf, Bu, kalau boleh mamang kepo, Ibu lagi banyak pikiran, ya?”
“Mungkin. Memangnya kelihatan ya, Mang?”
“Pantas, atuh. Wajah Bu Carrista mencerminkan segalanya.”
“Mang, laki-laki kalau lagi bohong itu dilihat dari apanya?”
Mang Udin tersedak. Sepertinya dia paham dengan pertanyaan atasannya tersebut. Namun, mau bagaimana lagi. Tak bisa ia katakan karena saat ini dia sedang bekerja di kediaman mereka.
“Mang Udin!” Seru Carrista setelah beberapa saat. Tampak Carrista sedikit kesal diabaikan karena baginya saat ini jawaban Mang Udin cukup penting untuk dijadikan referensi.
“I—iya, Bu? Oh, iya, bohong lihat dari mana, ya? Dari mana ya, Bu? Mamang juga bingung! Mamang ‘kan nggak pernah bohong.”
“Astaga, Mang! Masih aja bercanda. Saya udah nungguin jawabannya. Lagian, jawaban Mamang aja udah bohong tadi.”
Mang Udin tergelak tawa. Lalu, ia menjawab ucapan Carrista dengan serius. “Menurut Mamang, semua orang bohong gelagatnya itu sama. Nggak penting mau itu perempuan atau laki-laki. Ciri-cirinya pasti mirip semua.”
“Contohnya?”
“Kedipan mata. Biasanya, kalau ketahuan itu matanya langsung gerak nggak karuan. Terus, keringatan. Apalagi kalau dalam ruangan dingin terus dia keringatan. Itu dua gendangnya, kalau nggak lagi sakit pasti lagi cemas.”
“Terus, Mang?”
“Gelagapan. Mengarang bebas. Menggerakkan tangan. Garuk tengkuk, garuk telinga. Astaga banyak sekali, Bu. Kalau ditulis pun nggak muat satu kertas.”
“Begitu ya, Mang? Kenapa ciri-cirinya ada semua di satu kejadian?”
“Maksudnya, Bu? Kalau Mamang boleh tahu, siapa yang berbohong?”
“Hm, nggak ada. Teman saya!”
Carrista teringat pada dua hari ini. Setiap kejadian yang ia lewati bersama Reno, selalu meninggalkan rasa penasaran. Apalagi sejak bertemu dengan Bella tadi.
“Mang Udin, menurut Mang Udin antara Bapak dengan teman saya—Bella, mereka sedekat apa?”
Keduanya bersitegang menggambarkan ada sesuatu yang telah terjadi di masa lampau. Beberapa saat kemudian, Reno mengalihkan pandangannya m wajahnya pucat, berkeringat dingin terlihat jelas. Carrista pun merasa bingung. Dia langsung menepuk tangannya satu kali sambil mengatakan, “udah pada kenal?”Reno membuka mulutnya. “U—” tetapi terhenti saat mendengar ucapan Bramasta. “Tidak. Tapi seperti tak asing, memang.”Carrista tersenyum. “Padahal wajahnya langka, kenapa bisa jadi pasaran?”Niatnya ingin memecahkan keheningan, Bramasta berdehem untuk berpamitan pulang. “Cepat sekali, apa nggak mau mampir dulu?” tanya Carrista. “Sepertinya suami kamu sibuk. Hm, maksudnya kamu perlu istirahat. Semoga lekas sembuh!” seru Bramasta. Lalu, dia melihat Reno. “Bisa pegang janji, ‘kan?”Reno mengangguk. Bramasta menatap Carrista. “Carrista, i wanna say, jangan percaya seratus persen dengan laki-laki. Sekalipun ia pasangan sendiri.”Setelah mengatakan itu, Bramasta pun masuk ke dalam mobil. Ia pergi
Butik dua lantai bernuansa gold adalah milik Carrista. Butik tersebut mencerminkan ciri khas kemewahan dan keanggunan setiap produknya. Carrista memiliki nuansa butik yang berbeda di setiap cabang. Semua tergantung minat yang disuka oleh konsumennya. Mobil sudah terparkir di depan. Mang Udin membukakan pintu mobilnya. Carrista pun keluar sambil mengatakan, “nggak perlu ditunggu, Mang! Nanti saya telepon kalau sudah selesai.”“Baik, Bu.”Mang Udin pun pergi dari butik tersebut. Carrista masuk ke dalam dan langsung disambut oleh seorang pria bernama Diva di siang hari sedangkan Deva merupakan namanya di malam hari. “Carrista, yuhuuu!” Diva yang merupakan asisten pribadi Carrista pun mendekatinya. “Dev, ya ampun. Kamu ngagetin aku aja!”“Dev Dav Dev Dav Dev. You know sekarang jam berapa? Ini siang bolong, Shay. Call me—”“Diva! Yes, i know. Padahal aku sengaja panggil Dev. Tuh, lihat! Pelanggan ada yang cantik, siapa tahu—”“Siapa bilang aku suka wanita? Errgh!” Deva tampak kesal den
“Mas!”Suara ketukan pintu berbunyi. Terdengar suara manis dari istri tercinta di ambang pintu. Olahraga belum selesai dilakukan, keringat jagung pun masih keluar. Namun, kedua insan ini terpaksa harus menghentikan kegiatannya dengan terengah-engah. “Shit! Kenapa dia pulang?” gerutu Bella. “Lekas pakai pakaian kamu, sebelum ketahuan!” Reno mengecup kening Bella, “nanti kita sambung lagi, Sayang.”Bella pun menjadi luluh. Ia langsung memakai kembali pakaiannya. “Mas, sedang apa kamu?” teriak Carrista. “Aku ketiduran, Sayang. Sebentar aku bukain!” sahut Reno. Bella yang di sampingnya langsung berbisik, “terus aku harus ke mana?”Reno menjadi bingung. Dilihatnya pintu kamar mandi terbuka, “masuk ke kamar mandi aja!”Satu menit berlalu, Bella pun sudah masuk ke dalam toilet. Sudah merasa aman, Reno mengatur napas lalu perlahan ia buka kuncinya.“Sayang, kenapa cepat sekali pulangnya?”Carrista mengernyitkan alis. “Mas nggak suka aku pulang?”Reno mengecup bibirnya. “Biar nggak bawel!
Mobil sudah berangkat meninggalkan rumah. Tiba-tiba seseorang memeluk Reno dari belakang. “Aku yang kamu bohongi, kenapa dia yang kamu temani sampai pergi? Bahkan dia udah nggak kelihatan.”“B—bel, l—lepasin. Nanti ke—”“Ke apa? Ketahuan?”Bella melepaskan tangannya. Reno pun berbalik arah. Dilihatnya Bella yang sedang melipat tangan ke arahnya. “Sayang, hei … bukan gitu. Aku cuma khawatir aja kalau nanti—”“Khawatir? Baik … kamu khawatir dengan dia. Terus kamu nggak khawatir sama aku? Kamu nggak hargain aku, Mas?”“Bel! Astaga, ikut aku!”Reno menarik tangan Bella ke dalam. Meski para pelayan melihat, keduanya tidak perduli. Karena ternyata ini bukan merupakan kali pertama mereka menunjukkan bahwa keduanya benar-benar memiliki hubungan yang lain. Tak ada satupun pelayan yang berani mengatakan itu pada Carrista. Karena mereka sudah diancam oleh Reno. “Papa … Tante … Mau ke mana?”Keduanya berhenti saat mendengar suara Tyara di sana. Reno menoleh ke sumber suara. Terlihat sang buah
Matahari telah terbit. Ternyata, hari sudah berlalu. Carrista membuka matanya saat ia merasa sang suami sudah tidak berada di sampingnya. “Ke mana Mas Reno?” gumamnya. Carrista menatap jam dinding, sudah memasuki pukul sembilan pagi. Pantas saja sang suami sudah tidak berada di dalam kamar, pikirnya. “Padahal, kami jarang lakukan itu. Tapi, kenapa cuma aku yang kelelahan? Kenapa sepertinya Mas Reno sudah biasa?”Pikiran buruk pun mulai merajalela. Dia menggelengkan kepala. Sesaat kemudian, Carrista memilih untuk membersihkan dirinya. Setengah jam berlalu, akhirnya wanita ini sudah selesai mandi dan berpakaian dengan rapi. Pagi ini, dia ingin segera ke butiknya untuk bertemu dengan klien. Semakin cepat dia pergi, semakin cepat pula selesainya nanti. Dan pada akhirnya dapat berkumpul lagi dengan keluarga. Carrista pun menuruni anak tangga dan pergi ke dapur. Begitu sampai di dapur, ia tercengang melihat pemandangan aneh di depan mata. “Bella!” seru Carrista dengan wajah tercengang
“Kota ini masih sama, tak ada yang berubah!”Wanita ini menatap di sekitar jalan yang ia kelilingi dengan mobilnya. Mang Udin — supir yang sedang menyetir pun menatap dari kaca. Ia merasa kasihan dengan majikannya tersebut. “Benar ‘kan, Mang? Bangunannya nggak ada yang berubah!” lanjutnya lagi. “Iya, Bu. Cuma keadaan yang berubah.”“Maksudnya?” Carrisa Dealova, namanya. Dia sedikit bingung dengan ucapan Mang Udin yang sedikit memberi tanda padanya. Sementara Mang Udin, dia terlihat gelisah saat ini. Ada kebenaran yang sedang ditutupi olehnya.“Mang Udin?” Carrista memanggilnya setelah beberapa detik tak ada sahutan dari supirnya. “I—iya, Bu?”“Mamang kenapa? Lagi ada problem?”“E—enggak, Bu. Anu, maksudnya tadi keadaannya itu kayak yang lalu-lalang yang beda. Karena ‘kan tiap detiknya pasti yang lewat beda-beda.”Entah apa yang dibicarakan Mang Udin saat ini. Dia memang menjawab tanpa berpikir terlebih dahulu. Membiarkan lisannya berbicara dengan kata-kata yang tidak begitu penti