Mobil sudah berangkat meninggalkan rumah. Tiba-tiba seseorang memeluk Reno dari belakang.
“Aku yang kamu bohongi, kenapa dia yang kamu temani sampai pergi? Bahkan dia udah nggak kelihatan.”
“B—bel, l—lepasin. Nanti ke—”
“Ke apa? Ketahuan?”
Bella melepaskan tangannya. Reno pun berbalik arah. Dilihatnya Bella yang sedang melipat tangan ke arahnya.
“Sayang, hei … bukan gitu. Aku cuma khawatir aja kalau nanti—”
“Khawatir? Baik … kamu khawatir dengan dia. Terus kamu nggak khawatir sama aku? Kamu nggak hargain aku, Mas?”
“Bel! Astaga, ikut aku!”
Reno menarik tangan Bella ke dalam. Meski para pelayan melihat, keduanya tidak perduli. Karena ternyata ini bukan merupakan kali pertama mereka menunjukkan bahwa keduanya benar-benar memiliki hubungan yang lain.
Tak ada satupun pelayan yang berani mengatakan itu pada Carrista. Karena mereka sudah diancam oleh Reno.
“Papa … Tante … Mau ke mana?”
Keduanya berhenti saat mendengar suara Tyara di sana. Reno menoleh ke sumber suara. Terlihat sang buah hati sedang menatapnya dengan wajah yang bingung.
“Ada apa, Sayang? Hm? Papa mau ke ruang kerja. Tante Bella makanya ikut karena kerjaan ini juga termasuk kerjaan Tante. Kan Tante sekretaris Papa sekarang.”
Keduanya memanfaatkan situasi untuk menjadi atasan dan bawahan karena memang sejak tiga bulan yang lalu Bella sudah menjadi asisten Pribadinya.
Tyara mendengarnya hanya menganggukkan kepala tanpa merasa curiga. Maklum saja, anak cantik ini masih berusia lima tahun. Tentu yang ada di pikirannya hanya bermain dan belajar dengan baik.
Reno dan Bella pun pergi setelah itu. Mereka masuk ke dalam ruangan kerja milik Reno. Sebenarnya, di ruangan itu pun tak hanya meja, lemari, laptop dan alat kerja lainnya saja. Tetapi, juga ada kamar mandi dan kasur untuk beristirahat sejenak.
Reno mengunci pintu ruangannya. Lalu, ia hampir Bella yang saat ini duduk di atas kasur.
“Sayang ….”
“Sudahlah, Mas! Kenapa kita harus sembunyi? Aku capek diam-diam begini. Aku juga capek jadikan William kambing hitam biar hubungan kita nggak ketahuan.”
“Tadi malam Carrista pulang dadakan. Jangankan kamu, aku pun juga kaget. Tyara juga sama kagetnya. Sayang … aku mau kasih tahu kamu, tapi Carrista sudah mulai curiga.”
“Apa?” Bella langsung melirik Reno.
“Tyara bahas kamu di depan dia. Makanya dia curiga. Untung aja aku berhasil yakinin dia kalau di antara kita nggak ada apa-apa.”
Bella menghela napasnya. Dia sedikit lebih tenang sekarang. “Tapi aku capek, Mas!”
“Dari awal, hubungan kita didasarkan oleh suka sama suka tanpa mengharapkan status. Kenapa kamu jadi gini? Kamu mau aku pisah dengan Carrista? Nggak, Bell. Kami punya Tyara. Dan lagi, kamu udah tunangan dengan William!”
“Kenapa harus aku yang ngalah?”
“Bel—”
“Aku yang lebih dulu kenal kamu, Mas Reno! Dia yang rebut kamu dari aku.”
“Carrista nggak salah, Bella! Kami bertemu, saat kamu putusin aku. Aku nggak tahu kalau dia teman kamu.”
“Terus begitu tahu, kenapa nggak di akhiri saja? Ingat nggak, waktu kamu dikenali dengan aku?”
Reno diam sejenak. Dia kembali teringat pada saat mereka mengakhiri hubungannya. Ya, Bella ‘lah yang menyakitinya dan memutuskan hubungan padahal Reno sudah memaafkannya saat mengetahui Bella selingkuh.
Bella cinta pertama Reno. Itu sebabnya dia rela disakiti asalkan terus bersama Bella. Namun, saat wanita itu menyatakan putus dan menghilang dari hidupnya, Reno pun benar-benar terpuruk.
Di saat keterpurukan itu ‘lah ia tak sengaja bertemu dengan Carrista. Gadis cantik nan polos itu berhasil menyembuhkan luka di hatinya. Tak berlama-lama untuk saling mengenal, Reno memantapkan hati untuk meminangnya.
Carrista pun memperkenalkan Reno dengan sahabatnya. “Pokoknya kamu harus kenal dengan sahabat aku, Mas!”
“Seberapa penting dia di hidup kamu?”
“Sangat penting! Dia itu selalu ada di suka duka aku, Mas. Oh iya, dia masih single. Padahal dia penyayang, tapi karena pacarnya dulu berkhianat akhirnya dia putus.”
“Hm, ya sudah. Nanti aku Carikan teman buat dia.”
“Beneran, Mas?”
“Iya, Sayang! Tapi aku nggak yakin kalau mereka jodoh karena jodoh di tangan Tuhan, bukan kita.”
Carrista tersenyum manis. Dia sedikit geli dengan ucapan calon suaminya itu. Hari ini adalah pertemuan antara sahabat Carrista dengan Reno. Sampailah mereka di sebuah cafe yang sudah dipesan Carrista.
Mereka duduk di kursi sambil membaca menu makan yang akan di pilih. Tiba-tiba seseorang memanggil Carrista dari arah belakang. “Carrista!”
Carrista menoleh dan melihat sahabatnya melambaikan tangan. “Sini!” sahut Carrista.
Gadis itu mendekat, lalu berdiri di samping Carrista. “Mas, ini sahabatku. Bella!”
Reno yang sedang melihat menu langsung menoleh. Seketika suasana hening seperti tak berpenghuni. Keduanya terkejut, tak menyangka akan dipertemukan lagi dengan keadaan seperti itu.
“Hello, kenapa pada diam?” tanya Carrista setelah beberapa detik.
Keduanya tersentak dan terlihat salah tingkah. Bella menatap sahabatnya itu. “I—ini calon suami kamu?”
“Hm. Iya. Kalian saling kenal?”
“I—”
“Enggak, Sayang. Kami belum pernah kenal!” potong Reno dengan cepat. Lalu dia mengulurkan tangannya. “Aku Reno, tunangannya Carrista!”
Bella pun membalas uluran tangan Reno. “Bella!” sahurnya.
Melihat Reno yang sekarang membuatnya menjadi menyesali perbuatannya dulu. Ya, dia menyesal meninggalkan Reno hanya demi pria yang ternyata juga berselingkuh darinya.
Selama mereka makan, hanya kecanggungan yang terlihat. Keduanya berdalih, sedang makan tidak boleh bicara. Padahal, ada luka lama yang sengaja diingat kembali.
“Aku ke toilet dulu, ya.” Carrista meninggalkan mereka.
Hening. Tak bersuara sedikitpun sampai akhirnya Bella berdehem dan mulai bertanya pada Reno.
“Ekhm. Apa kabar?” tanya Bella.
Reno tak menoleh sama sekali. “Baik!”
“Maaf.”
“Untuk apa?”
“Untuk semua luka yang aku gores.”
“Semua sudah berlalu. Aku juga udah lupa.”
“Aku nyesal, Ren. Aku nyesal ninggalin kamu demi dia, pria brengsek itu!”
“Menyesal pun percuma. Lembaran itu udah tertutup rapat sejak lama.”
“Kenapa harus Carrista, Ren?”
Reno pun menoleh. “Kenapa harus kamu, sahabatnya?”
“Apa aku benar-benar hilang di hatimu?”
“Ada atau tidaknya kamu, itu nggak penting lagi sekarang. Aku minta sama kamu, tolong rahasiakan hubungan kita yang berlalu!”
Kata-kata itu sungguh menyakitkan bagi Bella. Carrista memang sahabatnya dan dia pun tak ingin menyakiti Carrista. Namun, Reno adalah cintanya yang masih lekat di hati. Sudah di tahap hampir melupakan tetapi malah kembali di pertemukan.
Sedang termenung mengingat masa lalu tiba-tiba merasakan seseorang sedang menyentuhnya. Hal itu membuat Reno menjadi sadar kembali.
Reno menoleh, “Bel, mau ngapain?”
“Aku rindu, Sayang.”
“Tapi, ah … jangan di sini.”
“Udah nggak kuat! Bukankah tadi malam dia silahturahmi dengan Carrista? Aku mau hilangkan bekasnya dulu!”
“Sayang … nikmat sekali!”
Reno malah meracu tidak jelas. Bella benar-benar terlihat ganas saat ini. Namun, terapi dari Bella sungguh menyenangkan baginya. Bahkan, Carrista saja kalah dari gadis ini padanya.
“Apa aku kalah dengan Carrista?”
“Kamu buat aku candu.”
Bella tersenyum. “Baiklah, akan kubuat kamu terus candu padaku!”
William menatapnya sambil tersenyum. "Sudah lama! Tapi kamu tenang aja, semua sudah berakhir. Hubungan mereka sudah sebatas atasan dan bawahan saja. Sekarang, keluarga kamu tolong dijaga baik-baik. Aku juga gitu, akan jaga Bella dengan baik."Percaya diri sekali William mengatakan itu padanya. Carrista malah menerangkan William dengan keras saat ini. "Kamu bodoh, William!"Pria itu langsung menatapnya. "Ada apa?""Kamu pikir hubungan mereka sudah berakhir? Kalau memang sudah berakhir, saat ini aku mungkin masih terjebak dalam kebohongan yang kalian bilang sudah usai itu. Tapi sayangnya, sampai detik ini pun hubungan mereka masih lanjut.""Kamu yakin?"Carrista tersenyum getir. Dia menceritakan bagaimana pertama kali ia mengetahui perselingkuhan antara suami dengan sahabatnya sendiri. Semua bermula saat sang suami pergi mengunjungi teman lamanya yang tak lain adalah Jack dan ternyata Carrista 'lah yang menjadi teman lama Jack. William menggelengkan kepala, bukan tak menyangka teta
Ribuan panggilan di ponsel pun diabaikan. Ratusan pesan tak dibaca sama sekali. Wanita ini menangis di dalam bathtub tanpa mengeluarkan suara. "Kenapa cinta itu menyakitkan, Tuhan? Kenapa wanita itu harus sahabatku sendiri? Mungkin kalau bukan Bella, sakitnya tidak separah ini!"Carrista sengaja tidak kembali ke apartemen miliknya dan juga tidak ke kantor. Dia memilih untuk menginap di sebuah hotel agar tidak diketahui oleh suaminya. Tiba-tiba dia menyadari bahwa selama ini Tuhan sudah memberinya isyarat. Namun, cinta nya sendiri yang menutupi kebohongan itu. Carrista berhenti menangis, dia bahkan langsung mencuci wajah dan berdiri dari sana. Dia tinggalkan kamar mandi itu dan bersiap memakai kembali bajunya. "Kenapa harus aku saja yang sakit? Mari kita hancur sama-sama!" Seru Carrista sambil tersenyum sinis. Senyuman itu tak dapat diartikan. Namun, tampak seperti ingin menghancurkan hidup yang lain. Membalas dendam, kah? Mungkin saja! Karena dia tidak ingin hancur sendirian. D
"K—kenapa kamu nanya gitu?"Reno terperanjat kaget. Selama menikah tak pernah sang istri menanyakan hal aneh, apalagi soal berbohong. "Santai, Mas. Jangan terlalu kaku gitu. Aku cuma nanya, kenapa kamu kayak maling yang sedang ketahuan mencuri?"Reno menghela napasnya. "Sebenarnya ... kamu kenapa, Sayang? Mas lihat, hari ini kamu aneh banget.""Aku cuma nanya. Nggak salah kalau Mas jawab. Pengen aja tahu kebohongan Mas selama ini tuh apa aja. Jangankan Mas, aku juga pernah bohong sama kamu kok!" Seru Carrista sambil menjulurkan lidahnya. Hm, yah. Bukan Carrista namanya jika hanya sebuah kata saja tidak bisa membuat suaminya menjadi panas dingin sekarang. "Kamu pernah bohong sama aku?""Tentu saja!""Pernah jalan dengan siapa?""Hah?""Aku nggak marah, janji. Aku cuma pengen tahu aja. Boleh, 'kan?"Awalnya Carrista bingung, namun lama kelamaan dia mengerti sekarang. "Mas, tunggu dulu. Aku ralat dulu. Jadi maksud kamu tuh kebohongan aku itu jalan dengan orang, gitu? Memangnya ke
Pintu kamar terbuka. Reno masuk ke dalam dan mencari keberadaan Carrista. Tak ada siapa-siapa, hanya suara gemercik air yang terdengar.Satu jam berlalu, Reno tetap menunggunya di sofa, tepat di depan pintu kamar mandi tersebut. Dia tampak penasaran, merasa Carrista menyembunyikan sesuatu darinya. Karena tak pernah sekalipun wanita itu mengabaikannya. Pintu kamar mandi terbuka, Carrista sedikit tersentak saat melihat Reno tertidur di sofa. Ya, saking lamanya wanita ini di dalam kamar mandi, ia malah sampai tertidur di sana. Carrista tidak membangunkannya, ia malah menganggap suaminya seakan tidak ada di sana. Ponselnya berdering membuat sang pemilik tersentak. Dia membuka mata, terlihat sebuah nama pria di sana. Namun, Reno tidak mengangkat karena melihat Carrista sedang membersihkan wajahnya di depan meja rias. Reno mendekati Carrista, "Sayang, kok nggak bilang udah siap? Mas kangen," ucapnya sambil mengecup kening Carrista. Wanita itu menoleh, "kenapa nggak diangkat?""Oh, ini
“Sudah kamu putuskan?”William duduk di samping Bella sambil menggenggam tangannya. Bella tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Aku siap, Sayang.”“Kapan?”“Kapanpun kamu mau,” ucap Bella. Kelihatannya kata-kata itu cukup meyakinkan, padahal dia sudah pasrah. Menikah dengan William juga bukanlah sebuah kesalahan, tidak ada ruginya juga bagi dia. “Kalau gitu, ayo kita pergi sekarang!”“Hm?”“Fitting baju.”“Baiklah.” William mengajak Bella pergi ke sebuah butik. Namun, siapa sangka, butik yang dimaksud adalah milik Carrista. Entah sebuah kebetulan atau memang semua adalah bagian dari rencana William. “D—di sini?” Tanya Bella. Dia benar-benar terkejut. Karena ternyata selama perjalanan, dia hanya fokus ke layar hp. “Iya. Kenapa kamu gugup?”“E—enggak. Apa nggak mau pindah tempat aja?”“Alasannya?”Bella terdiam. Tak dapat ia mengeluarkan kata-kata. William melanjutkan ucapannya. “Ini butik terkenal, Sayang.”Tiba-tiba Bella teringat saat William menolong Carrista, tak mungkin i
Pria tampan tanpa rambut sedang duduk di pojokan. Cafe tersebut terbilang cukup nyaman karena sepi pengunjungnya. Pria ini memakai baju kotak-kotak berwarna hitam putih dipadukan dengan celana jeans. Dia sedang meminum sebuah kopi hangat sambil melihat sedikit pekerjaannya. Walaupun ia sedang ada janji dengan seseorang, tetapi pekerjaannya tak bisa diabaikan.Tiba-tiba, wanita yang ia tunggu terlihat sedang membuka pintu. Dia pun melihatnya lalu tersenyum ke arah wanita tersebut. “Hallo, Jack!”“Carrista!” Pria ini berdiri dari bangkunya, lalu berpelukan selama beberapa detik dengan Carrista. “Beneran kamu, ternyata. How are you?”“Ya seperti kamu lihat. Badanku melebar!”“Kenapa nggak bilang kalau lagi di Jakarta? Kamu nggak mau temenan lagi dengan aku?”“Mana berani aku ganggu kamu. Suami kamu posesif, padahal belum pernah ketemu dengan aku.”Keduanya tertawa terbahak-bahak, mereka mengenang beberapa tahun yang lalu. Awal menikah, Jack dan Carrista masih berkomunikasi dengan baik