Butik dua lantai bernuansa gold adalah milik Carrista. Butik tersebut mencerminkan ciri khas kemewahan dan keanggunan setiap produknya.
Carrista memiliki nuansa butik yang berbeda di setiap cabang. Semua tergantung minat yang disuka oleh konsumennya.
Mobil sudah terparkir di depan. Mang Udin membukakan pintu mobilnya. Carrista pun keluar sambil mengatakan, “nggak perlu ditunggu, Mang! Nanti saya telepon kalau sudah selesai.”
“Baik, Bu.”
Mang Udin pun pergi dari butik tersebut. Carrista masuk ke dalam dan langsung disambut oleh seorang pria bernama Diva di siang hari sedangkan Deva merupakan namanya di malam hari.
“Carrista, yuhuuu!” Diva yang merupakan asisten pribadi Carrista pun mendekatinya.
“Dev, ya ampun. Kamu ngagetin aku aja!”
“Dev Dav Dev Dav Dev. You know sekarang jam berapa? Ini siang bolong, Shay. Call me—”
“Diva! Yes, i know. Padahal aku sengaja panggil Dev. Tuh, lihat! Pelanggan ada yang cantik, siapa tahu—”
“Siapa bilang aku suka wanita? Errgh!” Deva tampak kesal dengan Carrista.
Hal itu membuat Carrista tertawa geli mendengarnya. Di sini ‘lah hatinya suka terhibur.
“Cantik, jangan marah. Ayo kita ke ruangan saja.”
“Nah, gitu dong. Aku udah cantik ‘kan, Carrista? Soalnya, client kita ini pria tulen berbidang enam pax.”
“Astaga! Kamu mau godain dia? Awas kalau mempengaruhi kerja sama kita!”
“Tenang! Aku main cantik.”
Tak lama kemudian, client yang ditunggu pun datang. Benar kata Deva, pria itu tampak tampan dan rupawan. Hanya saja, itu tak ternilai di mata Carrista.
Setelah selesai acara meeting bersama. Carrista izin untuk pergi terlebih dahulu. Dia buru-buru pergi karena tak sabar ingin bertemu anak dan suaminya.
Carrista menelpon mang Udin dan memberitahu bahwa dirinya menunggu sang supir di toko roti yang berada tak jauh dari butiknya. Carrista berencana untuk membelikan Tyara roti kesukaannya.
Untuk menghindari rasa jenuhnya, Carrista memasang earphone di telinga dan langsung mencari lagu kesukaannya.
Carrista terus berjalan tanpa memperdulikan keadaan. Tiba-tiba suara kericuhan terjadi, seorang pencuri menarik tasnya lalu berlari sekuat mungkin. Carrista yang terkejut, hanya bisa berlari mengejar sambil berteriak.
Karena memakai sepatu dengan tapak yang cukup tinggi, Carrista pun tersandung dan tak sengaja menabrak pohon hingga kepalanya terbentur buah nangka yang tak sengaja jatuh.
Carrista tidak tahu lagi apa yang terjadi. Pandangan menjadi gelap dan semakin lama ia menjadi tak sadarkan diri.
***
“Tidaaaaaaak!”
Carrista berteriak di ruang asing. Dia baru saja membuka mata, tetapi, bukan kamarnya yang ia lihat. Bukan pula ruang kerjanya yang terlihat.
“Aku dimana? Aku dimana?”
Dia kembali berteriak. Namun, tak ada satu orang pun yang datang menghampirinya. Dilihatnya lagi ke sekeliling. Tiba-tiba dia berpikir hal buruk yang mungkin telah terjadi. Carrista menatap ke bawah yang tertutup oleh selimut.
Hatinya sedikit lega saat melihat pakaiannya masih terpasang dengan sempurna. Bertepatan dengan itu, seseorang membuka pintu kamar tersebut. Carrista langsung menutup badannya.
“ Who are you?” teriak Carrista. Dia sengaja memakai bahasa asing karena melihat wajah pria itu seperti bukan wajah lokal.
Pria tampan nan gagah masuk ke dalam kamar itu. Dia tak perduli dengan pertanyaan Carrista yang berada di hadapannya.
“Hei!” teriak Carrista lagi.
“Nggak perlu pakai bahasa asing. Ibuku dari indo, aku paham sedikit bahasa Indonesia.”
Carrista terdiam. Dia masih tidak percaya, karena wajah pria tersebut tampak seperti bule yang tidak paham betul tentang Indonesia.
“Namaku Bramasta. Apa aku harus kasih nama lengkapku?”
“Kenapa aku di sini? Kamu mau macam-macam, ya?”
Pria itu tergelak, “harusnya, kamu ucap terima kasih. Why? Cause, i help you!”
“What?”
“Makan ‘lah bubur ini dulu, sebelum dingin. Nasi yang sudah berubah menjadi bubur, itu biasa dan mudah dimakan. Tapi, kalau bubur udah berubah jadi air, harapan apalagi yang bisa kamu pikirkan? Makan saja bubur kuah!”
Carrista menjauhkan mangkuk yang telah diberikan padanya. “Aku nggak lapar. Tapi ngomong-ngomong, Malingnya—”
“Malingnya ketangkap. Tas kamu ada di meja.”
“Terima kasih.”
Carrista berusaha untuk duduk, tetapi tak mampu karena merasa kepalanya sangat sakit.
“Padahal cuma ketimpa nangka, tapi kenapa sakit banget,” gumam Carrista.
“Nangka yang jatuh bukan sembarang nangka. Ukurannya segini!” sambil menunjukkan perkiraan besar buah nangka yang jatuh tadi. Cukup besar, bahkan sangat besar. Pantas saja dapat membuat Carrista pingsan tadi.
Carrista hendak bergerak, tetapi tertahan karena pria tadi menahannya. “Kenapa?”
“Aku mau ambil ponsel di tas, keluargaku pasti nungguin aku.”
“Keluarga? Kamu sudah berkeluarga?”
“Hm.”
“Biar aku bantu ambilkan!”
Pria itu mengambilkan tas Carrista, lalu ia berikan pada wanita itu. Setelah itu ia mengulurkan tangannya.
“Kita kenalan sekali lagi. Aku Bram. Bramasta.”
“Carrista!” Sahut Carrista sambil membalas uluran tangan pria itu.
Carrista membuka ponsel, betapa terkejutnya dia saat melihat mang Udin menelponnya berkali-kali.
“Mau pulang? Biar aku antar!”
Carrista menggelengkan kepala. “Supir aku nanti jemput.”
Baru saja Carrista mengatakan itu, tiba-tiba mang Udin menelponnya dan mengatakan ia sedang mengantar Bella pulang. Cukup mengejutkan, karena saat ia balik ke rumah tadi sang suami mengatakan bahwa Bella sudah pulang dari tadi. Namun, apa yang sebenarnya terjadi?
Pintu diketuk dari luar. Bramasta mempersilakan masuk. Seorang pria memakai jas hitam mendekatinya.
“Tuan, mobil su—”
“Paham. Keluarlah dulu!” Potong Bramasta.
Pria itu pergi membuat Carrista sedikit bertanya dalam hatinya. Tuan? Siapa pria ini sebenarnya?
Carrista memang sedikit bingung. Karena jika dilihat dari penampilan, Bramasta tidak seperti seorang pejabat tinggi. Dia memakai kaos biasa, tak memiliki tanda apapun di dirinya.
“Makanlah dulu, nanti aku antar.”
Carrista kekeuh untuk tidak memakannya. Semakin Carrista menolak, semakin Bramasta memaksa. Mau tak mau, dia pun memakannya.
“Takkan ada racun di mangkuk kamu!” seru Bramasta.
Setelah beberapa menit, Carrista digendong oleh Bramasta hingga sampai di dalam mobil. Carrista merasa tidak enak, dia sedikit risih dengan perhatian singkat oleh Bramasta.
“Kenapa aku tidak di belakang saja?” tanya Carrista dengan polosnya.
“Aku bukan supir kamu!”
Suasana kembali hening. Dia memikirkan suaminya yang mungkin akan marah jika melihat mereka bersama. Bramasta berdehem lalu menunjuk sebuah layar di mobilnya. “Tulis tujuan kamu di sini!”
Setelah beberapa menit, mereka telah sampai di kediaman Carrista. Begitu Carrista turun, ia di sambut dengan suaminya yang kebetulan sebelum sampai ke rumah sudah mendapatkan informasi dari Carrista bahwa wanita itu telah mengalami kecelakaan.
“Sayang, kenapa bisa begini?” tanya Reno.
Bramasta pun turun dari mobil, lalu menatap Reno dengan tajam. “Jadi kamu suaminya?”
Reno tercekat saat melihat pria itu. “K—kamu!”
William menatapnya sambil tersenyum. "Sudah lama! Tapi kamu tenang aja, semua sudah berakhir. Hubungan mereka sudah sebatas atasan dan bawahan saja. Sekarang, keluarga kamu tolong dijaga baik-baik. Aku juga gitu, akan jaga Bella dengan baik."Percaya diri sekali William mengatakan itu padanya. Carrista malah menerangkan William dengan keras saat ini. "Kamu bodoh, William!"Pria itu langsung menatapnya. "Ada apa?""Kamu pikir hubungan mereka sudah berakhir? Kalau memang sudah berakhir, saat ini aku mungkin masih terjebak dalam kebohongan yang kalian bilang sudah usai itu. Tapi sayangnya, sampai detik ini pun hubungan mereka masih lanjut.""Kamu yakin?"Carrista tersenyum getir. Dia menceritakan bagaimana pertama kali ia mengetahui perselingkuhan antara suami dengan sahabatnya sendiri. Semua bermula saat sang suami pergi mengunjungi teman lamanya yang tak lain adalah Jack dan ternyata Carrista 'lah yang menjadi teman lama Jack. William menggelengkan kepala, bukan tak menyangka teta
Ribuan panggilan di ponsel pun diabaikan. Ratusan pesan tak dibaca sama sekali. Wanita ini menangis di dalam bathtub tanpa mengeluarkan suara. "Kenapa cinta itu menyakitkan, Tuhan? Kenapa wanita itu harus sahabatku sendiri? Mungkin kalau bukan Bella, sakitnya tidak separah ini!"Carrista sengaja tidak kembali ke apartemen miliknya dan juga tidak ke kantor. Dia memilih untuk menginap di sebuah hotel agar tidak diketahui oleh suaminya. Tiba-tiba dia menyadari bahwa selama ini Tuhan sudah memberinya isyarat. Namun, cinta nya sendiri yang menutupi kebohongan itu. Carrista berhenti menangis, dia bahkan langsung mencuci wajah dan berdiri dari sana. Dia tinggalkan kamar mandi itu dan bersiap memakai kembali bajunya. "Kenapa harus aku saja yang sakit? Mari kita hancur sama-sama!" Seru Carrista sambil tersenyum sinis. Senyuman itu tak dapat diartikan. Namun, tampak seperti ingin menghancurkan hidup yang lain. Membalas dendam, kah? Mungkin saja! Karena dia tidak ingin hancur sendirian. D
"K—kenapa kamu nanya gitu?"Reno terperanjat kaget. Selama menikah tak pernah sang istri menanyakan hal aneh, apalagi soal berbohong. "Santai, Mas. Jangan terlalu kaku gitu. Aku cuma nanya, kenapa kamu kayak maling yang sedang ketahuan mencuri?"Reno menghela napasnya. "Sebenarnya ... kamu kenapa, Sayang? Mas lihat, hari ini kamu aneh banget.""Aku cuma nanya. Nggak salah kalau Mas jawab. Pengen aja tahu kebohongan Mas selama ini tuh apa aja. Jangankan Mas, aku juga pernah bohong sama kamu kok!" Seru Carrista sambil menjulurkan lidahnya. Hm, yah. Bukan Carrista namanya jika hanya sebuah kata saja tidak bisa membuat suaminya menjadi panas dingin sekarang. "Kamu pernah bohong sama aku?""Tentu saja!""Pernah jalan dengan siapa?""Hah?""Aku nggak marah, janji. Aku cuma pengen tahu aja. Boleh, 'kan?"Awalnya Carrista bingung, namun lama kelamaan dia mengerti sekarang. "Mas, tunggu dulu. Aku ralat dulu. Jadi maksud kamu tuh kebohongan aku itu jalan dengan orang, gitu? Memangnya ke
Pintu kamar terbuka. Reno masuk ke dalam dan mencari keberadaan Carrista. Tak ada siapa-siapa, hanya suara gemercik air yang terdengar.Satu jam berlalu, Reno tetap menunggunya di sofa, tepat di depan pintu kamar mandi tersebut. Dia tampak penasaran, merasa Carrista menyembunyikan sesuatu darinya. Karena tak pernah sekalipun wanita itu mengabaikannya. Pintu kamar mandi terbuka, Carrista sedikit tersentak saat melihat Reno tertidur di sofa. Ya, saking lamanya wanita ini di dalam kamar mandi, ia malah sampai tertidur di sana. Carrista tidak membangunkannya, ia malah menganggap suaminya seakan tidak ada di sana. Ponselnya berdering membuat sang pemilik tersentak. Dia membuka mata, terlihat sebuah nama pria di sana. Namun, Reno tidak mengangkat karena melihat Carrista sedang membersihkan wajahnya di depan meja rias. Reno mendekati Carrista, "Sayang, kok nggak bilang udah siap? Mas kangen," ucapnya sambil mengecup kening Carrista. Wanita itu menoleh, "kenapa nggak diangkat?""Oh, ini
“Sudah kamu putuskan?”William duduk di samping Bella sambil menggenggam tangannya. Bella tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Aku siap, Sayang.”“Kapan?”“Kapanpun kamu mau,” ucap Bella. Kelihatannya kata-kata itu cukup meyakinkan, padahal dia sudah pasrah. Menikah dengan William juga bukanlah sebuah kesalahan, tidak ada ruginya juga bagi dia. “Kalau gitu, ayo kita pergi sekarang!”“Hm?”“Fitting baju.”“Baiklah.” William mengajak Bella pergi ke sebuah butik. Namun, siapa sangka, butik yang dimaksud adalah milik Carrista. Entah sebuah kebetulan atau memang semua adalah bagian dari rencana William. “D—di sini?” Tanya Bella. Dia benar-benar terkejut. Karena ternyata selama perjalanan, dia hanya fokus ke layar hp. “Iya. Kenapa kamu gugup?”“E—enggak. Apa nggak mau pindah tempat aja?”“Alasannya?”Bella terdiam. Tak dapat ia mengeluarkan kata-kata. William melanjutkan ucapannya. “Ini butik terkenal, Sayang.”Tiba-tiba Bella teringat saat William menolong Carrista, tak mungkin i
Pria tampan tanpa rambut sedang duduk di pojokan. Cafe tersebut terbilang cukup nyaman karena sepi pengunjungnya. Pria ini memakai baju kotak-kotak berwarna hitam putih dipadukan dengan celana jeans. Dia sedang meminum sebuah kopi hangat sambil melihat sedikit pekerjaannya. Walaupun ia sedang ada janji dengan seseorang, tetapi pekerjaannya tak bisa diabaikan.Tiba-tiba, wanita yang ia tunggu terlihat sedang membuka pintu. Dia pun melihatnya lalu tersenyum ke arah wanita tersebut. “Hallo, Jack!”“Carrista!” Pria ini berdiri dari bangkunya, lalu berpelukan selama beberapa detik dengan Carrista. “Beneran kamu, ternyata. How are you?”“Ya seperti kamu lihat. Badanku melebar!”“Kenapa nggak bilang kalau lagi di Jakarta? Kamu nggak mau temenan lagi dengan aku?”“Mana berani aku ganggu kamu. Suami kamu posesif, padahal belum pernah ketemu dengan aku.”Keduanya tertawa terbahak-bahak, mereka mengenang beberapa tahun yang lalu. Awal menikah, Jack dan Carrista masih berkomunikasi dengan baik