Selepas magrib, Ibu sudah terlihat bersiap menunggu di ruang tengah. Indah masih bersiap, belum keluar dari kamar Ibu. Mas Aris juga belum terlihat pulang.
Aku dan Bunda duduk di depan televisi seperti biasa, hanya bedanya kami duduk di bawah, Ibu duduk di sofa. Tak berapa lama Indah keluar dari kamar."Kamu ikut, ganti baju," perintah Ibu padaku. "Ngapain di ajak Bu?" tanya Indah pada Ibu, terlihat tak suka."Buat kasih bukti, kalau kita nggak cuman lihat-lihat aja. Biar mingkem itu mulut emaknya," bisik ibu, namun dengan suara jelas."Malas, pergi aja sendiri," balas Bunda."Tuh, kan. Ada yang ngaku kalah sebelum berperang," cibir Ibu.Mendengar cibiran Ibu, Bunda merasa tak terima, langsung menarikku ke kamar dan berganti pakaian. "Bunda luar biasa," ucapku sambil merapikan rambutku setelah memoles sedikit wajahku dengan bedak dan lipstik."Ningrum, Ibumu juga." Bunda menahan tawanya. Bagaimana tidak kompak, mereka bersama sejak kecil, nenekku dan nenek mas aris juga bersahabat. Jadilah kami seperti keluarga sendiri. Pernikahanku dan mas Aris bukan hasil perjodohan. Kami sama-sama menyimpan rasa sejak lama. Dan akhirnya ketika kami utarakan untuk menikah semua menyambut dengan begitu bahagia.Siapa menyangka, dengan mudahnya mas Aris menduakan cinta. Bukan hanya pacaran tapi sebuah pernikahan siri. Heran juga kenapa orang tua Indah mendukung begitu saja, sedangkan mereka tau kalau mas Aris sudah berkeluarga."Woi, jangan lama-lama," teriak Ibu dari luar kamar. Aku dan Bunda saling berpandangan dan kembali memasang wajah tak suka."Mulut apa petasan sih, dar dor dar dor," oceh Bunda saat keluar kamar."Kayak mo kondangan aja, pake dandan lama," balas Ibu sambil bangun dari duduknya."Halah ….""Bunda sudah," ucapku ke Bunda, menggoyang tangannya untuk memintanya diam. "Maaf, Bu," lanjutku meminta maaf kepada Ibu. Ibu hanya mengangkat sudut bibir atasnya.•••Dalam perjalanan tak henti-hentinya Bunda dan Ibu membuat keributan. Yang tak tau pasti mengira mereka benar-benar sedang bertengkar. Indah membawa kami ke sebuah toko elektronik terbesar di kota ini. Mata Ibu dan Bund dibuat melotot melihat isi toko, kalau yang itu benar tak dibuat-buat. "Indah, sayang ini apa?" tunjuk Ibu pada sebuah juicer keluaran terbaru. "Buat bikin jus itu, Bu," jelas Indah."Oh, Blender," sebut Ibu."Hampir sama, tapi beda. Ini ampasnya keluar terpisah," jelas Indah lagi."Oh gitu, bagus ya," ucap Ibu sambil mengamati benda itu. "Mana bisa, menantuku yang itu belikan kayak gini.""Ibu mau?" tanya Indah terpancing. Ibu mengangguk pelan dan memasang senyum. Indah segera memanggil salah satu pelayan dengan melambaikan tangannya."Mbak, mau yang ini ya," ucapnya pada pelayan toko tersebut."Baik, Kak," jawab mbak pelayan toko."Siapa dulu dong, mantu kesayangan, terimakasih ya cantik," ucap Ibu setelah si pelayan pergi.Bunda memajukan bibir bawahnya. Ibu tertawa puas. Kami menuju ruang khusus televisi, berbagai merk dan ukuran berbaris rapi di dalam ruangan, seorang pelayan menyambut kami dan mulai menjelaskan kelebihan tiap barang yang terpajang.Bunda memberi kode untuk kami keluar ruangan, suara Ibu menahan langkah kami."Mau, kemana?" tanya Ibu, dengan senyum kemenangan. Apakah kedua wanita ini dulunya pemain film, pandai sekali mereka bersandiwara."Hmm, kenapa? Nggak kuat lihatnya. Apa aku bilang, jangankan cuma tivi seluruh isi toko mantuku sanggup beli," ucap Ibu mendekat ke arah kami. Indah mengekor Ibu. Senyum puas tersungging di bibir bergincu pink menyala itu."Sayang, tak salah Aris memilihmu. Benar-benar mantu Idaman." Ibu memuji Indah di depanku. Bunda hanya melengos, aku menunduk memandangi lantai."Baru tivi aja, dah sok paling kaya sedunia," celetuk Bunda."Eh … eh, apa kamu bilang. Indah tutup mulut perempuan ini, belikan tivi yang paling bagus dan mahal. Hai sini!" Ibu memanggil pelayan yang tadi memberi penjelasan kepada kami.Pelayan pria itu datang dan menyapa kembali dengan ramah."Saya mau tivi yang paling bagus, keluaran paling baru," ucap Ibu kepada si pelayan."Ada Ibu, mari." Pelayan itu mengajak kami berjalan ke sudut lain dalam ruangan.Sebuah televisi led berlayar lebar ditunjuk oleh mas pelayan toko. Aku melongo melihat harga yang terpasang di depanya. Tiga puluh dua juta empat ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus rupiah. Aku mengerjapkan mataku. Benat hampir tiga puluh tiga juta."Wah, boleh. Ibu mau yang ini," ucap Ibu sambil mengelus tv berlayar lebar itu.Bersambung"Itu, Tante Rena, pacarnya Om Kelvin, iya kan Om?!" Gita sama saja dengan Viona. Suka menggoda Omnya. Wajahku kembali menghangat."O." Bibir wanita yang baru datang itu membulat."Butuh apa saja?" tanya Kelvin lagi.Aku menyebutkan aneka bumbu dapur, dan bahan lain yang aku butuhkan. Juga alat yang diperlukan. Panci berukuran lumayan besar telah disiapkan begitu juga bahan yang diperlukan.Untuk Ayam sengaja aku masak lebih dahulu, agar bumbunya meresap. Bukan masalah besar untuk mengerjakan semuanya. Disela memasak Ayam dan bebek rica aku mengeksekusi cabe yang baru dibawa Mbak Sari.Satu wajan penuh sambal sedang aku olah, Kelvin membantu mengikat rambutku dengan karet gelang. Dan juga memasangkan celemek padaku. "Capek sayang?" Kelvin memijat bahuku saat aku sedang mematangkan sambal di wajan."Nggak. Tapi, keringetan." Aku memperlihatkan dahiku padanya. Dia beranjak ke meja menarik beberapa tisu, dan mengelap keringatku."Bund, besok pakai urap juga?" tanyaku pada Bunda Kelvin."R
Obrolan ringan mewarnai perjalan kami. Mobil mulai memasuki komplek perumahan yang menjadi tempat tinggal Kelvin dan keluarganya. Jantungku semakin berdetak dengan kencang, telapak tangan juga terasa dingin. Aku menarik napas dalam dan menghembus perlahan, untuk mengatur hatiku.Mobil mulai sedikit melambat dan akhirnya berhenti. Huff debaran di dadaku semakin sulit aku kendalikan. Aku grogi … Kelvin membunyikan klakson mobil, satu kali. Tak berapa lama pintu pagar terbuka. Mobil kembali bergerak memasuki halaman rumah yang cukup besar itu. "Sayang, sampai." Kelvin memanggilku. Aku masih bergeming, kemudian menyentuh punggung tangannya dengan telapak tanganku yang dingin."Dinginnya," ujar Kelvin, digenggamnya tanganku kemudian."Rasanya nano - nano," ucapku kemudian."Tenang, semua akan baik - baik saja," balas Kelvin sambil mengeratkan genggamannya."Iya, Bismillah." Aku membalas dan berdoa.Aku sedikit menyapukan bedak, yang selalu aku bawa di tas. Hanya samar, agar tampak pucat
"Gombal banget, sih." Aku menggigit bibir, menahan senyum. Jujur hatiku bagai hamparan taman bunga, dengan bunga yang beraneka warna dan bermekaran dengan sempurna. "Itu ungkapan hati, Yang." Setengah berbisik, Kelvin mendekatkan bibirnya ke telingaku. Hanya setengah berbisik karena tetap terdengar oleh kedua wanita di depanku, yang tengah sibuk membungkus parcel. Terlihat keduanya saling sikut dan menahan tawa.Wajahku menghangat, Kelvin membuatku salah tingkah. "Mbak, saya tunggu di kasir depan, ya," ucapku, untuk mengalihkan fokusku dari Kelvin."Baik, Kakak." Keduanya menjawab hampir bersamaan.Aku dan Kelvin beranjak, sambil sesekali berhenti melihat aneka camilan yang terpajang di display. Mengambil beberapa yang terlihat enak. "Banyak banget?" tanya Kelvin melihat keranjangku kembali penuh."Buat anak - anak di resto, sama buat nemenin kerja," jawabu. "Ayank, nggak pengen?" tanyaku kemudian."Kalau pengen, kan tinggal nyebrang." Sambil menjawab, pria itu mengangkat alisnya
"Mau kemana kita?" tanya Kelvin kemudian, saat kami sudah berada di dalam mobil."Pulang saja, Oh … ya, ke toko buah dulu ya."Kelvin mengajakku ke rumahnya, besok pagi - pagi sekali, aku tak akan mungkin mendapatkan toko yang buka sepagi itu."Mau belanja buah?" tanyanya kemudian."Iyap." Aku menjawab singkat.Mobil melaju keluar dari area parkir resto. Tak jauh dari resto ada toko buah, yang cukup besar, berdiri bersebelahan dengan toko roti. Kesanalah kami menuju sekarang.Tidak memerlukan waktu yang lama, mobil berbelok masuk area parkir toko yang kami tuju. Seorang tukang parkir datang untuk mengarahkan. Kami turun selepas Kelvin mematikan mesin mobil.Aku baru saja keluar mobil, saat aku dengar seperti ada yang memanggil namaku. Aku menghentikan langkah kemudian menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanya Kelvin saat melihatku celingukan."Kayak ada yang manggil." Aku menjawab, masih dengan mengedarkan pandangan."Rena." Aku dan Kelvin bersamaan menoleh ke arah kiri be
Siang setelah selesai tugas di rumah sakit, Kelvin menemaniku untuk membuat laporan di kantor polisi. Cukup menyita waktu, untung sore Kelvin tak membuka praktek, karena sabtu sore dia libur. Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Bukti rekaman CCTV juga akan menjadi barang bukti. Tentang ada orang lain dibalik kejadian ini atau tidak masih diselidiki."Capek ya?" tanya Kelvin padaku. Sesaat setelah kami masuk mobil, selepas keluar dari kantor polisi."Mayan, Ayang juga pasti capek." Aku memiringkan tubuh, menghadap ke arahnya dengan mengangkat satu kaki."Aku cowok, Yang. Kemana ini kita?" tanyanya kemudian."Balik resto ya, malam minggu mesti ramai. Ayang mau nemenin?" tanyaku kemudian."Boleh, aku temenin." Kelvin mengusap puncak kepalaku. Sebuah senyum manis terukir di bibirnya yang tampak kebiruan."Masih sakit?" Tanganku mengusap kulit memar itu."Nggak, Sayang. Kan tadi dah diobatin." Kelvin mengecup tanganku. Hatiku kembali berdebar mengingat kejadian tadi pagi."Udah y
Aku melepas alas kaki, sudah lama sekali aku tak melatihnya, tenagaku juga pasti tak seperti dulu lagi. Saat aku baru melepas alas kaki, sebuah bogem mentah mengenai wajah sang pahlawan kesiangan. Semua berteriak histeris terutama pegawai perempuan. Ini bukan sedang syuting film India dimana satu orang bisa mengalahkan puluhan orang. Tapi, apapun itu … bukan saatnya untuk jadi penonton.Baru aku beranjak memasang kuda - kuda terdengar suara mobil polisi mendekat. Beberapa polisi datang. Aku menoleh ke arah sang pahlawan kesiangan, darah segar keluar dari sudut bibirnya. Dia yang kesakitan kenapa aku yang lemas. Aku terduduk, saat mulai menyadari apa yang baru saja terjadi. Mataku mengedar ke arah pegawai, aku tak bisa membayangkan, kalau mereka tadi benar - benar dihajar oleh para pria berbadan tegap itu."Sayang, kamu nggak papa?" Pahlawanku terlihat panik melihatku, yang seolah tanpa tenaga."Stop, aku bisa sendiri. Bantu berdiri saja." Saat dia terlihat akan mengangkat tubuhku."