Share

Neraka 5

Ibu masih mengusap tv berlayar lebar itu, Indah nampak tertegun, melihat bandrol harga yang terpasang. Ibu ikut melirik, bandrol harga dan matanya ikut membulat. Dia mendekatkan wajahnya dan kembali mundur.

"Kemahalan ya sayang?" tanya Ibu pada Indah, bocah sunda* itu tersenyum masam. "Tapi, Ibu suka yang ini," tambahnya.

"I … iya, Bu. Mas aku mau yang ini ya," pinta Indah tak bersemangat.

"Bu, Indah ke toilet sebentar ya," pamitnya kemudian. Ibu hanya mengangguk dan masih fokus memandangi tv di depannya penuh kekaguman. 

"Nik, kamu mau apa?" Bisik Ibu, tanpa melihat pada Bunda, "Nduk, kamu juga sekalian."

"Rena nggak Bu," jawabku. Sejujurnya sepuas apapun hatiku melihat Indah di kerjain, tetap saja rasa sakit yang Mas Aris ciptakan tak serta merta berkurang.

"Oven yang besar itu, yang jadi satu sama kompor itu loh, Rum," jawab Bunda tanpa melihat juga.

"Beres," jawab Ibu.

Aku dan Bunda menjauh dari Ibu, sambil menunggu Indah keluar dari kamar mandi. Wajah lesu nampak sekali, meski tertutup make up tebal yang membuatnya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya.

Ibu benar-benar main tunjuk, aku sampai melongo dibuatnya. Entah berapa puluh juta uang yang Indah habiskan malam ini. Juicer, tv, over set kompor dan juga penanak nasi.

Barang-barang tersebut baru akan diantar besok siang.

Rona bahagia nampak di wajah Ibu, sebaliknya wajah Indah ditekuk dengan pandangan mata lelah, kesal dan entah apalah itu. 

Mas Aris pulang sekitar  jam sembilan malam ini, pesan masuk ke dalam ponselku. Entah dia mengirim pesan yang sama atau tidak pada Indah. Rasanya tetap saja sakit, membayangkan mereka berdua bercumbu. Ah, aku tak ingin membayangkan, namun tetap saja pikiran itu berputar di otakku.

Aku tak ingin menghakimi mas Aris, namun, selama ini aku merasa telah cukup melayaninya sebagai seorang istri. Semua kebutuhan lahir dan batin selalu aku penuhi. Apa yang mendasari sampai terjadi hubungan dan juga pernikahannya dengan Indah?

Dia memang lebih muda dariku, cantik. Namun aku juga tak kalah cantik darinya. Bukan memuji diri sendiri, namun dengan tinggi badan  165 dan berat badan 53 kilo, bentuk tubuhku bisa dikatakan ideal. Kulit juga putih, karena memang dasarnya semua keluargaku berkulit putih. 

Sedangkan Indah, tinggi badannya hanya sebahuku, namun harus aku akui dia punya kelebihan di salah satu bagian tubuhnya. Apa gara-gara itu, sampai mas Aris tergoda. Dadaku juga tidak terlalu rata, masih sesuai walau tak sebesar milik bocah itu.

Perjalanan pulang, aku memilih memejamkan mata, bersandar di lengan Bunda. Sepertinya kedua sahabat itu cukup lelah jua, tak ada perdebatan tercipta.

•••

Jam sembilan kurang sepuluh kami tiba di rumah. Mas Aris juga belum datang, nampak Indah terlihat gelisah.

"Aris kok belum pulang?" tanya Ibu pada Indah, selepas kami beristirahat di ruang tv.

"Kurang tau, Bu. Indah telepon nggak diangkat," jawab si menantu dengan bibir manyun.

Berarti mas Aris tidak memberitahu pada Indah kalau dia pulang malam. Kenapa hatiku senang, tapi tetap saja itu tak merubah rasa sakit hatiku karena penghianatannya.

"Rena, belikan Ibu nasi goreng yang di dekat taman, buat Indah sama Aris juga sekalian," perintah Ibu padaku.

"Iya, Bu. Bunda mau juga?" tanyaku sambil bangun dari duduk.

"Boleh, yang paling pedes, ya," jawab Bunda.

Aku segera beranjak mengambil dompet dan ponsel dari dalam kamar.  Ibu dan Bunda memang paling suka dengan nasi goreng pedas buatan Pak Maman.

Jaraknya tak terlampau jauh, aku berjalan melewati trotoar taman kota yang tampak ramai. Sudah malam taman masih terlihat banyak pengunjung. Warung nasi goreng pun juga masih terlihat ramai.

"Mba Rena," sapa Laras, anak Pak Maman.

"Ramai ya," balasku.

"Alhamdulillah, mbak. Oh iya pesan berapa?"

"Lima bungkus ya, pedas semua jangan lupa tambah telur dadarnya," jawabku. Laras mengacungkan jempolnya.

"Antri nggak apa-apa ya, mbak," ucapnya sedikit berteriak, karena tertutup suara kompor. Aku mengiyakan, tampak Pak Maman melambaikan tanganya ke arahku. Aku menjawabnya dengan mengangguk.

Aku memilih duduk di sebuah bangku kosong, di dekat sebuah pohon, sambil menyalakan ponselku. Berselancar di I* dan F*, memberi hiburan tersendiri bagiku.

"Hai." Sentuhan lembut di bahu, sedikit membuatku tersentak, karena aku  sedang fokus pada ponsel di tanganku.

"Mas Aris," sebutku, saat mendongak ke kiri.

Pria itu kemudian ikut duduk di sampingku, aku sedikit menggeser memberi tempat untuknya.

"Baru datang?" tanyaku kemudian, bahkan dia belum berganti baju.

"Iya."

"Ngapain kesini?" tanyaku padanya tanpa melihatnya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanpa menjawab pertanyaan, mas Aris balik bertanya.

"Gimana bisa aku baik-baik aja, nggak gila aja sudah bagus," jawabku ketus, ada sesak dalam dada ini.

"Ibu …." Mas Aris tak melanjutkan kalimatnya.

Mataku mengembun seketika, hatiku yang benar-benar tersayat, dengan mudah meneroboskan air hangat keluar dari sudut mata.

"Ibu, berubah," ucapku lirih. Mas Aris meraih tanganku, aku mengibasnya pelan.

"Aku sudah kehilangan cinta mas Aris, apa sekarang juga harus kehilangan cinta Ibu karena bocah itu," ucapku lagi.

"Maafkan mas, Ren," ucap mas Aris, kembali berusaha menggenggam tanganku. Dan untuk kesekian kali aku mengibasnya.

"Maaf itu mudah mas, tapi Rena tak tau, apa masih bisa bertahan dengan keadaan seperti ini," jawabku.

"Maafkan, mas terlalu silau pada materi dan jabatan. Ketika godaan itu datang dan mas rasa banyak keuntungan mas lupa diri, tanpa memikirkan perasaanmu," ucap mas Aris kemudian.

"Bagaimana rasanya tidur dengan daun muda, lebih enak kan? apalagi model liar seperti Indah," sindirku.

"Mas mengaku salah, Indah menggoda mas, dan mas tergoda, mas khilaf. Akhirnya mas terjebak, kalau tidak mau menikahinya, mas akan di pecat, mas merayap dari nol. Mas tak mau apa yang sudah mas capai jadi sia-sia," jelas Mas Aris.

"Apa harta dan jabatan begitu pentingnya, dibanding kesetiaan serta cintaku mas?" 

"Maafkan mas, mas salah, ada beberapa hal yang belum bisa mas jelaskan sekarang, tapi percayalah mas melakukan ini juga demi keluarga kita," ucap mas Aris.

"Dengan mengorbankan perasaanku?"

Mas Aris tak ada jawaban darinya. Tak berapa lama, nasi goreng pesananku selesai. Mas Aris mengeluarkan selembar uang seratus ribuan.  Laras memberikan kantong plastik itu padaku juga kembalian.

Mas Aris mengambil kantong plastik itu dariku. Kami berjalan bersisian, kembali tangan itu ingin menggandengmu, namun sengaja aku kembali mengibasnya. Baru ketika hendak masuk ke rumah aku membiarkan tangan itu menggenggamku.

"Mas, katanya beli rokok, kok malah sama kak Rena?" tanya Indah, yang langsung berdiri saat melihat mas Aris datang bersamaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status