Ibu masih mengusap tv berlayar lebar itu, Indah nampak tertegun, melihat bandrol harga yang terpasang. Ibu ikut melirik, bandrol harga dan matanya ikut membulat. Dia mendekatkan wajahnya dan kembali mundur.
"Kemahalan ya sayang?" tanya Ibu pada Indah, bocah sunda* itu tersenyum masam. "Tapi, Ibu suka yang ini," tambahnya."I … iya, Bu. Mas aku mau yang ini ya," pinta Indah tak bersemangat."Bu, Indah ke toilet sebentar ya," pamitnya kemudian. Ibu hanya mengangguk dan masih fokus memandangi tv di depannya penuh kekaguman. "Nik, kamu mau apa?" Bisik Ibu, tanpa melihat pada Bunda, "Nduk, kamu juga sekalian.""Rena nggak Bu," jawabku. Sejujurnya sepuas apapun hatiku melihat Indah di kerjain, tetap saja rasa sakit yang Mas Aris ciptakan tak serta merta berkurang."Oven yang besar itu, yang jadi satu sama kompor itu loh, Rum," jawab Bunda tanpa melihat juga."Beres," jawab Ibu.Aku dan Bunda menjauh dari Ibu, sambil menunggu Indah keluar dari kamar mandi. Wajah lesu nampak sekali, meski tertutup make up tebal yang membuatnya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya.Ibu benar-benar main tunjuk, aku sampai melongo dibuatnya. Entah berapa puluh juta uang yang Indah habiskan malam ini. Juicer, tv, over set kompor dan juga penanak nasi.Barang-barang tersebut baru akan diantar besok siang.Rona bahagia nampak di wajah Ibu, sebaliknya wajah Indah ditekuk dengan pandangan mata lelah, kesal dan entah apalah itu. Mas Aris pulang sekitar jam sembilan malam ini, pesan masuk ke dalam ponselku. Entah dia mengirim pesan yang sama atau tidak pada Indah. Rasanya tetap saja sakit, membayangkan mereka berdua bercumbu. Ah, aku tak ingin membayangkan, namun tetap saja pikiran itu berputar di otakku.Aku tak ingin menghakimi mas Aris, namun, selama ini aku merasa telah cukup melayaninya sebagai seorang istri. Semua kebutuhan lahir dan batin selalu aku penuhi. Apa yang mendasari sampai terjadi hubungan dan juga pernikahannya dengan Indah?Dia memang lebih muda dariku, cantik. Namun aku juga tak kalah cantik darinya. Bukan memuji diri sendiri, namun dengan tinggi badan 165 dan berat badan 53 kilo, bentuk tubuhku bisa dikatakan ideal. Kulit juga putih, karena memang dasarnya semua keluargaku berkulit putih. Sedangkan Indah, tinggi badannya hanya sebahuku, namun harus aku akui dia punya kelebihan di salah satu bagian tubuhnya. Apa gara-gara itu, sampai mas Aris tergoda. Dadaku juga tidak terlalu rata, masih sesuai walau tak sebesar milik bocah itu.Perjalanan pulang, aku memilih memejamkan mata, bersandar di lengan Bunda. Sepertinya kedua sahabat itu cukup lelah jua, tak ada perdebatan tercipta.•••Jam sembilan kurang sepuluh kami tiba di rumah. Mas Aris juga belum datang, nampak Indah terlihat gelisah."Aris kok belum pulang?" tanya Ibu pada Indah, selepas kami beristirahat di ruang tv."Kurang tau, Bu. Indah telepon nggak diangkat," jawab si menantu dengan bibir manyun.Berarti mas Aris tidak memberitahu pada Indah kalau dia pulang malam. Kenapa hatiku senang, tapi tetap saja itu tak merubah rasa sakit hatiku karena penghianatannya."Rena, belikan Ibu nasi goreng yang di dekat taman, buat Indah sama Aris juga sekalian," perintah Ibu padaku."Iya, Bu. Bunda mau juga?" tanyaku sambil bangun dari duduk."Boleh, yang paling pedes, ya," jawab Bunda.Aku segera beranjak mengambil dompet dan ponsel dari dalam kamar. Ibu dan Bunda memang paling suka dengan nasi goreng pedas buatan Pak Maman.Jaraknya tak terlampau jauh, aku berjalan melewati trotoar taman kota yang tampak ramai. Sudah malam taman masih terlihat banyak pengunjung. Warung nasi goreng pun juga masih terlihat ramai."Mba Rena," sapa Laras, anak Pak Maman."Ramai ya," balasku."Alhamdulillah, mbak. Oh iya pesan berapa?""Lima bungkus ya, pedas semua jangan lupa tambah telur dadarnya," jawabku. Laras mengacungkan jempolnya."Antri nggak apa-apa ya, mbak," ucapnya sedikit berteriak, karena tertutup suara kompor. Aku mengiyakan, tampak Pak Maman melambaikan tanganya ke arahku. Aku menjawabnya dengan mengangguk.Aku memilih duduk di sebuah bangku kosong, di dekat sebuah pohon, sambil menyalakan ponselku. Berselancar di I* dan F*, memberi hiburan tersendiri bagiku."Hai." Sentuhan lembut di bahu, sedikit membuatku tersentak, karena aku sedang fokus pada ponsel di tanganku."Mas Aris," sebutku, saat mendongak ke kiri.Pria itu kemudian ikut duduk di sampingku, aku sedikit menggeser memberi tempat untuknya."Baru datang?" tanyaku kemudian, bahkan dia belum berganti baju."Iya.""Ngapain kesini?" tanyaku padanya tanpa melihatnya."Kamu nggak apa-apa?" tanpa menjawab pertanyaan, mas Aris balik bertanya."Gimana bisa aku baik-baik aja, nggak gila aja sudah bagus," jawabku ketus, ada sesak dalam dada ini."Ibu …." Mas Aris tak melanjutkan kalimatnya.Mataku mengembun seketika, hatiku yang benar-benar tersayat, dengan mudah meneroboskan air hangat keluar dari sudut mata."Ibu, berubah," ucapku lirih. Mas Aris meraih tanganku, aku mengibasnya pelan."Aku sudah kehilangan cinta mas Aris, apa sekarang juga harus kehilangan cinta Ibu karena bocah itu," ucapku lagi."Maafkan mas, Ren," ucap mas Aris, kembali berusaha menggenggam tanganku. Dan untuk kesekian kali aku mengibasnya."Maaf itu mudah mas, tapi Rena tak tau, apa masih bisa bertahan dengan keadaan seperti ini," jawabku."Maafkan, mas terlalu silau pada materi dan jabatan. Ketika godaan itu datang dan mas rasa banyak keuntungan mas lupa diri, tanpa memikirkan perasaanmu," ucap mas Aris kemudian."Bagaimana rasanya tidur dengan daun muda, lebih enak kan? apalagi model liar seperti Indah," sindirku."Mas mengaku salah, Indah menggoda mas, dan mas tergoda, mas khilaf. Akhirnya mas terjebak, kalau tidak mau menikahinya, mas akan di pecat, mas merayap dari nol. Mas tak mau apa yang sudah mas capai jadi sia-sia," jelas Mas Aris."Apa harta dan jabatan begitu pentingnya, dibanding kesetiaan serta cintaku mas?" "Maafkan mas, mas salah, ada beberapa hal yang belum bisa mas jelaskan sekarang, tapi percayalah mas melakukan ini juga demi keluarga kita," ucap mas Aris."Dengan mengorbankan perasaanku?"Mas Aris tak ada jawaban darinya. Tak berapa lama, nasi goreng pesananku selesai. Mas Aris mengeluarkan selembar uang seratus ribuan. Laras memberikan kantong plastik itu padaku juga kembalian.Mas Aris mengambil kantong plastik itu dariku. Kami berjalan bersisian, kembali tangan itu ingin menggandengmu, namun sengaja aku kembali mengibasnya. Baru ketika hendak masuk ke rumah aku membiarkan tangan itu menggenggamku."Mas, katanya beli rokok, kok malah sama kak Rena?" tanya Indah, yang langsung berdiri saat melihat mas Aris datang bersamaku."Itu, Tante Rena, pacarnya Om Kelvin, iya kan Om?!" Gita sama saja dengan Viona. Suka menggoda Omnya. Wajahku kembali menghangat."O." Bibir wanita yang baru datang itu membulat."Butuh apa saja?" tanya Kelvin lagi.Aku menyebutkan aneka bumbu dapur, dan bahan lain yang aku butuhkan. Juga alat yang diperlukan. Panci berukuran lumayan besar telah disiapkan begitu juga bahan yang diperlukan.Untuk Ayam sengaja aku masak lebih dahulu, agar bumbunya meresap. Bukan masalah besar untuk mengerjakan semuanya. Disela memasak Ayam dan bebek rica aku mengeksekusi cabe yang baru dibawa Mbak Sari.Satu wajan penuh sambal sedang aku olah, Kelvin membantu mengikat rambutku dengan karet gelang. Dan juga memasangkan celemek padaku. "Capek sayang?" Kelvin memijat bahuku saat aku sedang mematangkan sambal di wajan."Nggak. Tapi, keringetan." Aku memperlihatkan dahiku padanya. Dia beranjak ke meja menarik beberapa tisu, dan mengelap keringatku."Bund, besok pakai urap juga?" tanyaku pada Bunda Kelvin."R
Obrolan ringan mewarnai perjalan kami. Mobil mulai memasuki komplek perumahan yang menjadi tempat tinggal Kelvin dan keluarganya. Jantungku semakin berdetak dengan kencang, telapak tangan juga terasa dingin. Aku menarik napas dalam dan menghembus perlahan, untuk mengatur hatiku.Mobil mulai sedikit melambat dan akhirnya berhenti. Huff debaran di dadaku semakin sulit aku kendalikan. Aku grogi … Kelvin membunyikan klakson mobil, satu kali. Tak berapa lama pintu pagar terbuka. Mobil kembali bergerak memasuki halaman rumah yang cukup besar itu. "Sayang, sampai." Kelvin memanggilku. Aku masih bergeming, kemudian menyentuh punggung tangannya dengan telapak tanganku yang dingin."Dinginnya," ujar Kelvin, digenggamnya tanganku kemudian."Rasanya nano - nano," ucapku kemudian."Tenang, semua akan baik - baik saja," balas Kelvin sambil mengeratkan genggamannya."Iya, Bismillah." Aku membalas dan berdoa.Aku sedikit menyapukan bedak, yang selalu aku bawa di tas. Hanya samar, agar tampak pucat
"Gombal banget, sih." Aku menggigit bibir, menahan senyum. Jujur hatiku bagai hamparan taman bunga, dengan bunga yang beraneka warna dan bermekaran dengan sempurna. "Itu ungkapan hati, Yang." Setengah berbisik, Kelvin mendekatkan bibirnya ke telingaku. Hanya setengah berbisik karena tetap terdengar oleh kedua wanita di depanku, yang tengah sibuk membungkus parcel. Terlihat keduanya saling sikut dan menahan tawa.Wajahku menghangat, Kelvin membuatku salah tingkah. "Mbak, saya tunggu di kasir depan, ya," ucapku, untuk mengalihkan fokusku dari Kelvin."Baik, Kakak." Keduanya menjawab hampir bersamaan.Aku dan Kelvin beranjak, sambil sesekali berhenti melihat aneka camilan yang terpajang di display. Mengambil beberapa yang terlihat enak. "Banyak banget?" tanya Kelvin melihat keranjangku kembali penuh."Buat anak - anak di resto, sama buat nemenin kerja," jawabu. "Ayank, nggak pengen?" tanyaku kemudian."Kalau pengen, kan tinggal nyebrang." Sambil menjawab, pria itu mengangkat alisnya
"Mau kemana kita?" tanya Kelvin kemudian, saat kami sudah berada di dalam mobil."Pulang saja, Oh … ya, ke toko buah dulu ya."Kelvin mengajakku ke rumahnya, besok pagi - pagi sekali, aku tak akan mungkin mendapatkan toko yang buka sepagi itu."Mau belanja buah?" tanyanya kemudian."Iyap." Aku menjawab singkat.Mobil melaju keluar dari area parkir resto. Tak jauh dari resto ada toko buah, yang cukup besar, berdiri bersebelahan dengan toko roti. Kesanalah kami menuju sekarang.Tidak memerlukan waktu yang lama, mobil berbelok masuk area parkir toko yang kami tuju. Seorang tukang parkir datang untuk mengarahkan. Kami turun selepas Kelvin mematikan mesin mobil.Aku baru saja keluar mobil, saat aku dengar seperti ada yang memanggil namaku. Aku menghentikan langkah kemudian menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanya Kelvin saat melihatku celingukan."Kayak ada yang manggil." Aku menjawab, masih dengan mengedarkan pandangan."Rena." Aku dan Kelvin bersamaan menoleh ke arah kiri be
Siang setelah selesai tugas di rumah sakit, Kelvin menemaniku untuk membuat laporan di kantor polisi. Cukup menyita waktu, untung sore Kelvin tak membuka praktek, karena sabtu sore dia libur. Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Bukti rekaman CCTV juga akan menjadi barang bukti. Tentang ada orang lain dibalik kejadian ini atau tidak masih diselidiki."Capek ya?" tanya Kelvin padaku. Sesaat setelah kami masuk mobil, selepas keluar dari kantor polisi."Mayan, Ayang juga pasti capek." Aku memiringkan tubuh, menghadap ke arahnya dengan mengangkat satu kaki."Aku cowok, Yang. Kemana ini kita?" tanyanya kemudian."Balik resto ya, malam minggu mesti ramai. Ayang mau nemenin?" tanyaku kemudian."Boleh, aku temenin." Kelvin mengusap puncak kepalaku. Sebuah senyum manis terukir di bibirnya yang tampak kebiruan."Masih sakit?" Tanganku mengusap kulit memar itu."Nggak, Sayang. Kan tadi dah diobatin." Kelvin mengecup tanganku. Hatiku kembali berdebar mengingat kejadian tadi pagi."Udah y
Aku melepas alas kaki, sudah lama sekali aku tak melatihnya, tenagaku juga pasti tak seperti dulu lagi. Saat aku baru melepas alas kaki, sebuah bogem mentah mengenai wajah sang pahlawan kesiangan. Semua berteriak histeris terutama pegawai perempuan. Ini bukan sedang syuting film India dimana satu orang bisa mengalahkan puluhan orang. Tapi, apapun itu … bukan saatnya untuk jadi penonton.Baru aku beranjak memasang kuda - kuda terdengar suara mobil polisi mendekat. Beberapa polisi datang. Aku menoleh ke arah sang pahlawan kesiangan, darah segar keluar dari sudut bibirnya. Dia yang kesakitan kenapa aku yang lemas. Aku terduduk, saat mulai menyadari apa yang baru saja terjadi. Mataku mengedar ke arah pegawai, aku tak bisa membayangkan, kalau mereka tadi benar - benar dihajar oleh para pria berbadan tegap itu."Sayang, kamu nggak papa?" Pahlawanku terlihat panik melihatku, yang seolah tanpa tenaga."Stop, aku bisa sendiri. Bantu berdiri saja." Saat dia terlihat akan mengangkat tubuhku."