Share

Belanja

Aku dan Bunda  meninggalkan meja makan yang menjadi satu dengan dapur. Masih bisa aku lihat wajah kacau Indah saat Ibu memintanya untuk membereskan semuanya.

"Indah, kamu itu sudah, cantik, pinter, nurut, rajin lagi. Ibu tambah sayang sama kamu." Kembali terdengar suara Ibu dari dapur.

"Sayang, kalau sudah nanti istirahat di kamar Ibu ya, sambil pijitin Ibu. Nanti ibu kasih tau apa saja yang Aris suka, dan apa yang anak itu tidak suka. Eh jangan lupa disapu sama dilap juga, biar kinclong kayak kamu," ucap Ibu lagi.

Terlihat Ibu, meninggalkan Indah yang masih didapur, tak berapa lama terdengar suara kran dinyalakan. Suara panci bersentuhan dengan benda lainnya menandakan Indah sedang berkutat dengan aneka benda dapur yang lepas digunakan.

"Indah, jangan lupa sampahnya sekalian dibuang ke depan ya, sayang," teriak Ibu dari kamar.

"Iya, Bu," jawab Indah.

Aku duduk di ruang tengah depan televisi, sambil memindahkan kacang shanghai dari toples ke dalam mulut. Apa ini solusi atau jalan keluar dari masalah ini. Tetap saja sakit hati ini sulit terobati. Ketika kesetiaan dikhianati oleh pria yang dicintai, rasa sakitnya menelusup dalam di dasar hati.

Sakit yang tak berdarah, namun perihnya lebih dari luka badan yang masih basah, ngilu, panas, nyeri semua menjadi satu. Sekarang puaskah aku hanya mengerjai bocah bina* itu? Pasti jawabannya tidak. Bukan hanya pihak perempuan yang salah, mas Aris Pun sama harus diberi pelajaran.

Memaafkan mungkin mudah, namun untuk kembali percaya, dan mencintai sepenuhnya, aku belum bisa. Aku hanya manusia biasa yang memiliki kesabaran yang berbatas. Hanya mempertimbangkan kasih sayang Ibu padaku, dan hubungan Ibu dengan Bundalah, kemungkinan alasan yang bisa membuatku kembali menerima Mas Aris setelah dia menyadari kesalahannya.

Terlihat Ibu keluar kamar dan berjalan ke arah Indah yang masih di dapur.

"Sayang, ini masih kotor semua, masih ada sabun juga. Cuci yang bersih dong anak cantik. Di bilas lagi, ini … ini juga, itu juga." Tak berapa lama kembali terdengar suara Ibu dari arah dapur. 

Bunda mencolek tanganku, aku yang masih asyik dengan kacang shanghai, hanya sedikit mengangkat alis.

"Sana, pura-pura bantu," ucap Bunda.

Aku beranjak, meletakkan toples di atas meja dan berjalan ke dapur. Melihatku datang, Ibu mengangkat sudut bibirnya, menampakkan wajah sinis di hadapan Indah. Indah ikut menoleh ke arahku, namun tanpa ekspresi. Sepertinya dia terlalu lelah.

Di rumahnya pasti bocah bina* ini diperlakukan bagai ratu, mimpi apa dia semalam di sini dia menjadi babu. Salah dia berurusan denganku.

"Biar, Rena saja yang cuci, Bu," ucapku halus.

"Nggak usah," jawab Ibu ketus.

"Rena nyapu sama ngepel aja kalau gitu," ucapku kemudian.

"Ngapain sih? jangan pikir, dengan kamu sok baik ibu jadi berpaling ke kamu. Mimpi … mata Ibu baru terbuka, untung ada kamu Ndah, jadi Ibu tau, kalau Rena nggak bisa ngurus Aris dengan baik." Ibu mengusap lembut punggung Indah.

Aku tertunduk, mengusap air mataku yang ikut ambil bagian dalam sandiwara ini.

"Sudah sana, Indah yang nyapu sama ngepel, aku mau buktikan ke Aris tanpa kami, rumah ini bisa bersih dan rapi." Ibu berucap dengan nada sinis dan tatapan ala mertua di sinetron.

•••

Semua pekerjaan rumah hari ini di lahap habis oleh Indah dengan terpaksa. Bajunya tampak berlipat lusuh seperti penampakan wajahnya. Namun pujian dari Ibu, yang mengangkatnya tinggi, sedikit menjadi booster baginya.

Merasa mendapat dukungan dari Ibu mertua pastilah, Indah bahagia dibuatnya. Tanpa disadari dia sedang mencari nerakanya sendiri.

Kami berempat sedang duduk menghadap televisi, di rumah itu hanya ada satu televisi 21 inch. Ibu terlihat menaik turunkan kacamata yang dikenakannya.

"Ibu, matanya sakit. Rena carikan obat mata ya," ucapku kemudian.

"Nggak usah sok perhatian," jawab Ibu ketus. "Ini tivi kenapa kecil sekali sih," keluh Ibu masih memainkan kacamatanya.

"Kabur lagi gambarnya," lanjut Ibu lagi.

Ibu yang duduk di bawah sambil meluruskan kaki, terlihat merapat pada Indah yang duduk di sampingnya. Indah yang semula sibuk dengan ponsel di tangan, mulai menoleh ke arah Ibu. 

"Kamu minta ke Aris, televisi baru. Bisa sakit mata kalau lama-lama liat tivi sekecil ini." Ibu mulai memprovokasi Indah.

"Biar Rena yang bilang, Bu." ucapku "lagian ini kan rumah Rena juga."

"Diam, siapa yang ngajakin kamu bicara," bentak Ibu.

"E ... e … e, berani kamu bentak anakku," balas Bunda.

"Siapa suruh dia nyaut aja pembicaraan orang," tungkas Ibu.

Senyum tipis nan mengejek menghias bibir Indah, gadis bina* itu sedang merasa di atas angin. Aku hanya melihat sekilas kemudian mengalihkan pandanganku saat dia melihat ke arahku.

"Ibu, mau televisi yang besar? Malam aja ya Bu, nanti sama Indah lihat-lihat di toko elektronik," ucap Indah kemudian.

"Hahaha, cuma lihat-lihat aja, beli dong. Ngakunya orang kaya eh, cuma lihat-lihat," sahut Bunda.

"He … denger, mantuku ini kaya raya, jangankan cuma televisi, harga dirimu saja bisa di belinya," teriak Ibu.

Pertengkaran kembali terjadi, satu kata, luar biasa. Aku hanya terdiam menikmati keseruan ini.

•••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status