Share

Belanja

Author: LinDaVin
last update Last Updated: 2022-09-26 21:32:26

Aku dan Bunda  meninggalkan meja makan yang menjadi satu dengan dapur. Masih bisa aku lihat wajah kacau Indah saat Ibu memintanya untuk membereskan semuanya.

"Indah, kamu itu sudah, cantik, pinter, nurut, rajin lagi. Ibu tambah sayang sama kamu." Kembali terdengar suara Ibu dari dapur.

"Sayang, kalau sudah nanti istirahat di kamar Ibu ya, sambil pijitin Ibu. Nanti ibu kasih tau apa saja yang Aris suka, dan apa yang anak itu tidak suka. Eh jangan lupa disapu sama dilap juga, biar kinclong kayak kamu," ucap Ibu lagi.

Terlihat Ibu, meninggalkan Indah yang masih didapur, tak berapa lama terdengar suara kran dinyalakan. Suara panci bersentuhan dengan benda lainnya menandakan Indah sedang berkutat dengan aneka benda dapur yang lepas digunakan.

"Indah, jangan lupa sampahnya sekalian dibuang ke depan ya, sayang," teriak Ibu dari kamar.

"Iya, Bu," jawab Indah.

Aku duduk di ruang tengah depan televisi, sambil memindahkan kacang shanghai dari toples ke dalam mulut. Apa ini solusi atau jalan keluar dari masalah ini. Tetap saja sakit hati ini sulit terobati. Ketika kesetiaan dikhianati oleh pria yang dicintai, rasa sakitnya menelusup dalam di dasar hati.

Sakit yang tak berdarah, namun perihnya lebih dari luka badan yang masih basah, ngilu, panas, nyeri semua menjadi satu. Sekarang puaskah aku hanya mengerjai bocah bina* itu? Pasti jawabannya tidak. Bukan hanya pihak perempuan yang salah, mas Aris Pun sama harus diberi pelajaran.

Memaafkan mungkin mudah, namun untuk kembali percaya, dan mencintai sepenuhnya, aku belum bisa. Aku hanya manusia biasa yang memiliki kesabaran yang berbatas. Hanya mempertimbangkan kasih sayang Ibu padaku, dan hubungan Ibu dengan Bundalah, kemungkinan alasan yang bisa membuatku kembali menerima Mas Aris setelah dia menyadari kesalahannya.

Terlihat Ibu keluar kamar dan berjalan ke arah Indah yang masih di dapur.

"Sayang, ini masih kotor semua, masih ada sabun juga. Cuci yang bersih dong anak cantik. Di bilas lagi, ini … ini juga, itu juga." Tak berapa lama kembali terdengar suara Ibu dari arah dapur. 

Bunda mencolek tanganku, aku yang masih asyik dengan kacang shanghai, hanya sedikit mengangkat alis.

"Sana, pura-pura bantu," ucap Bunda.

Aku beranjak, meletakkan toples di atas meja dan berjalan ke dapur. Melihatku datang, Ibu mengangkat sudut bibirnya, menampakkan wajah sinis di hadapan Indah. Indah ikut menoleh ke arahku, namun tanpa ekspresi. Sepertinya dia terlalu lelah.

Di rumahnya pasti bocah bina* ini diperlakukan bagai ratu, mimpi apa dia semalam di sini dia menjadi babu. Salah dia berurusan denganku.

"Biar, Rena saja yang cuci, Bu," ucapku halus.

"Nggak usah," jawab Ibu ketus.

"Rena nyapu sama ngepel aja kalau gitu," ucapku kemudian.

"Ngapain sih? jangan pikir, dengan kamu sok baik ibu jadi berpaling ke kamu. Mimpi … mata Ibu baru terbuka, untung ada kamu Ndah, jadi Ibu tau, kalau Rena nggak bisa ngurus Aris dengan baik." Ibu mengusap lembut punggung Indah.

Aku tertunduk, mengusap air mataku yang ikut ambil bagian dalam sandiwara ini.

"Sudah sana, Indah yang nyapu sama ngepel, aku mau buktikan ke Aris tanpa kami, rumah ini bisa bersih dan rapi." Ibu berucap dengan nada sinis dan tatapan ala mertua di sinetron.

•••

Semua pekerjaan rumah hari ini di lahap habis oleh Indah dengan terpaksa. Bajunya tampak berlipat lusuh seperti penampakan wajahnya. Namun pujian dari Ibu, yang mengangkatnya tinggi, sedikit menjadi booster baginya.

Merasa mendapat dukungan dari Ibu mertua pastilah, Indah bahagia dibuatnya. Tanpa disadari dia sedang mencari nerakanya sendiri.

Kami berempat sedang duduk menghadap televisi, di rumah itu hanya ada satu televisi 21 inch. Ibu terlihat menaik turunkan kacamata yang dikenakannya.

"Ibu, matanya sakit. Rena carikan obat mata ya," ucapku kemudian.

"Nggak usah sok perhatian," jawab Ibu ketus. "Ini tivi kenapa kecil sekali sih," keluh Ibu masih memainkan kacamatanya.

"Kabur lagi gambarnya," lanjut Ibu lagi.

Ibu yang duduk di bawah sambil meluruskan kaki, terlihat merapat pada Indah yang duduk di sampingnya. Indah yang semula sibuk dengan ponsel di tangan, mulai menoleh ke arah Ibu. 

"Kamu minta ke Aris, televisi baru. Bisa sakit mata kalau lama-lama liat tivi sekecil ini." Ibu mulai memprovokasi Indah.

"Biar Rena yang bilang, Bu." ucapku "lagian ini kan rumah Rena juga."

"Diam, siapa yang ngajakin kamu bicara," bentak Ibu.

"E ... e … e, berani kamu bentak anakku," balas Bunda.

"Siapa suruh dia nyaut aja pembicaraan orang," tungkas Ibu.

Senyum tipis nan mengejek menghias bibir Indah, gadis bina* itu sedang merasa di atas angin. Aku hanya melihat sekilas kemudian mengalihkan pandanganku saat dia melihat ke arahku.

"Ibu, mau televisi yang besar? Malam aja ya Bu, nanti sama Indah lihat-lihat di toko elektronik," ucap Indah kemudian.

"Hahaha, cuma lihat-lihat aja, beli dong. Ngakunya orang kaya eh, cuma lihat-lihat," sahut Bunda.

"He … denger, mantuku ini kaya raya, jangankan cuma televisi, harga dirimu saja bisa di belinya," teriak Ibu.

Pertengkaran kembali terjadi, satu kata, luar biasa. Aku hanya terdiam menikmati keseruan ini.

•••

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Neraka untuk Maduku   Bab 56

    "Itu, Tante Rena, pacarnya Om Kelvin, iya kan Om?!" Gita sama saja dengan Viona. Suka menggoda Omnya. Wajahku kembali menghangat."O." Bibir wanita yang baru datang itu membulat."Butuh apa saja?" tanya Kelvin lagi.Aku menyebutkan aneka bumbu dapur, dan bahan lain yang aku butuhkan. Juga alat yang diperlukan. Panci berukuran lumayan besar telah disiapkan begitu juga bahan yang diperlukan.Untuk Ayam sengaja aku masak lebih dahulu, agar bumbunya meresap. Bukan masalah besar untuk mengerjakan semuanya. Disela memasak Ayam dan bebek rica aku mengeksekusi cabe yang baru dibawa Mbak Sari.Satu wajan penuh sambal sedang aku olah, Kelvin membantu mengikat rambutku dengan karet gelang. Dan juga memasangkan celemek padaku. "Capek sayang?" Kelvin memijat bahuku saat aku sedang mematangkan sambal di wajan."Nggak. Tapi, keringetan." Aku memperlihatkan dahiku padanya. Dia beranjak ke meja menarik beberapa tisu, dan mengelap keringatku."Bund, besok pakai urap juga?" tanyaku pada Bunda Kelvin."R

  • Neraka untuk Maduku   Bab 55

    Obrolan ringan mewarnai perjalan kami. Mobil mulai memasuki komplek perumahan yang menjadi tempat tinggal Kelvin dan keluarganya. Jantungku semakin berdetak dengan kencang, telapak tangan juga terasa dingin. Aku menarik napas dalam dan menghembus perlahan, untuk mengatur hatiku.Mobil mulai sedikit melambat dan akhirnya berhenti. Huff debaran di dadaku semakin sulit aku kendalikan. Aku grogi … Kelvin membunyikan klakson mobil, satu kali. Tak berapa lama pintu pagar terbuka. Mobil kembali bergerak memasuki halaman rumah yang cukup besar itu. "Sayang, sampai." Kelvin memanggilku. Aku masih bergeming, kemudian menyentuh punggung tangannya dengan telapak tanganku yang dingin."Dinginnya," ujar Kelvin, digenggamnya tanganku kemudian."Rasanya nano - nano," ucapku kemudian."Tenang, semua akan baik - baik saja," balas Kelvin sambil mengeratkan genggamannya."Iya, Bismillah." Aku membalas dan berdoa.Aku sedikit menyapukan bedak, yang selalu aku bawa di tas. Hanya samar, agar tampak pucat

  • Neraka untuk Maduku   Bab 54

    "Gombal banget, sih." Aku menggigit bibir, menahan senyum. Jujur hatiku bagai hamparan taman bunga, dengan bunga yang beraneka warna dan bermekaran dengan sempurna. "Itu ungkapan hati, Yang." Setengah berbisik, Kelvin mendekatkan bibirnya ke telingaku. Hanya setengah berbisik karena tetap terdengar oleh kedua wanita di depanku, yang tengah sibuk membungkus parcel. Terlihat keduanya saling sikut dan menahan tawa.Wajahku menghangat, Kelvin membuatku salah tingkah. "Mbak, saya tunggu di kasir depan, ya," ucapku, untuk mengalihkan fokusku dari Kelvin."Baik, Kakak." Keduanya menjawab hampir bersamaan.Aku dan Kelvin beranjak, sambil sesekali berhenti melihat aneka camilan yang terpajang di display. Mengambil beberapa yang terlihat enak. "Banyak banget?" tanya Kelvin melihat keranjangku kembali penuh."Buat anak - anak di resto, sama buat nemenin kerja," jawabu. "Ayank, nggak pengen?" tanyaku kemudian."Kalau pengen, kan tinggal nyebrang." Sambil menjawab, pria itu mengangkat alisnya

  • Neraka untuk Maduku   Bab 53

    "Mau kemana kita?" tanya Kelvin kemudian, saat kami sudah berada di dalam mobil."Pulang saja, Oh … ya, ke toko buah dulu ya."Kelvin mengajakku ke rumahnya, besok pagi - pagi sekali, aku tak akan mungkin mendapatkan toko yang buka sepagi itu."Mau belanja buah?" tanyanya kemudian."Iyap." Aku menjawab singkat.Mobil melaju keluar dari area parkir resto. Tak jauh dari resto ada toko buah, yang cukup besar, berdiri bersebelahan dengan toko roti. Kesanalah kami menuju sekarang.Tidak memerlukan waktu yang lama, mobil berbelok masuk area parkir toko yang kami tuju. Seorang tukang parkir datang untuk mengarahkan. Kami turun selepas Kelvin mematikan mesin mobil.Aku baru saja keluar mobil, saat aku dengar seperti ada yang memanggil namaku. Aku menghentikan langkah kemudian menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanya Kelvin saat melihatku celingukan."Kayak ada yang manggil." Aku menjawab, masih dengan mengedarkan pandangan."Rena." Aku dan Kelvin bersamaan menoleh ke arah kiri be

  • Neraka untuk Maduku   Bab 52

    Siang setelah selesai tugas di rumah sakit, Kelvin menemaniku untuk membuat laporan di kantor polisi. Cukup menyita waktu, untung sore Kelvin tak membuka praktek, karena sabtu sore dia libur. Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Bukti rekaman CCTV juga akan menjadi barang bukti. Tentang ada orang lain dibalik kejadian ini atau tidak masih diselidiki."Capek ya?" tanya Kelvin padaku. Sesaat setelah kami masuk mobil, selepas keluar dari kantor polisi."Mayan, Ayang juga pasti capek." Aku memiringkan tubuh, menghadap ke arahnya dengan mengangkat satu kaki."Aku cowok, Yang. Kemana ini kita?" tanyanya kemudian."Balik resto ya, malam minggu mesti ramai. Ayang mau nemenin?" tanyaku kemudian."Boleh, aku temenin." Kelvin mengusap puncak kepalaku. Sebuah senyum manis terukir di bibirnya yang tampak kebiruan."Masih sakit?" Tanganku mengusap kulit memar itu."Nggak, Sayang. Kan tadi dah diobatin." Kelvin mengecup tanganku. Hatiku kembali berdebar mengingat kejadian tadi pagi."Udah y

  • Neraka untuk Maduku   Bab 51

    Aku melepas alas kaki, sudah lama sekali aku tak melatihnya, tenagaku juga pasti tak seperti dulu lagi. Saat aku baru melepas alas kaki, sebuah bogem mentah mengenai wajah sang pahlawan kesiangan. Semua berteriak histeris terutama pegawai perempuan. Ini bukan sedang syuting film India dimana satu orang bisa mengalahkan puluhan orang. Tapi, apapun itu … bukan saatnya untuk jadi penonton.Baru aku beranjak memasang kuda - kuda terdengar suara mobil polisi mendekat. Beberapa polisi datang. Aku menoleh ke arah sang pahlawan kesiangan, darah segar keluar dari sudut bibirnya. Dia yang kesakitan kenapa aku yang lemas. Aku terduduk, saat mulai menyadari apa yang baru saja terjadi. Mataku mengedar ke arah pegawai, aku tak bisa membayangkan, kalau mereka tadi benar - benar dihajar oleh para pria berbadan tegap itu."Sayang, kamu nggak papa?" Pahlawanku terlihat panik melihatku, yang seolah tanpa tenaga."Stop, aku bisa sendiri. Bantu berdiri saja." Saat dia terlihat akan mengangkat tubuhku."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status