Memiliki seorang madu bukanlah keinginanku, namun ketika takdir berkata demikian, apa yang bisa aku katakan. Wanita itu lebih muda dariku, anak dari pemilik usaha di mana Mas Aris bekerja.
Jatuh cinta karena sering bersama kata gadis itu tanpa merasa bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Tak habis pikir mengapa sekarang banyak gadis muda lebih tertarik pria dewasa, terutama suami orang. Dan mengapa begitu mudahnya seorang suami melabuhkan hati yang jelas-jelas sudah termiliki.Gadis itu datang, menunjukkan foto pernikahan yang dikatakannya terjadi satu bulan yang lalu. Dia menuntut pembagian waktu yang adil, karena dia merasa selama pernikahannya, Mas Aris lebih banyak bersamaku dibanding dengannya. Aku masih mencerna, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rasanya seperti orang linglung, bagaimana tidak, aku merasa rumah tanggaku selama ini baik-baik saja. Jangankan keributan, pertengkaran kecil pun tidak ada.Hari ini datang seorang wanita muda, mengaku sebagai istri Mas Aris, wanita mana yang tak terpukul hati dan jiwanya. Hubungan mereka terjadi sejak satu tahun yang lalu, akunya. Saat gadis itu masih duduk di bangku SMA. Aku terngaga dibuatnya, bagaimana bisa, seorang gadis belia menjadi seorang pelakor. Tapi itulah kenyataannya."Kami saling mencintai Kak," ucapnya tanpa ada rasa bersalah apalagi sebuah penyesalan.Aku masih mencoba mengatur rasaku, mengendalikan emosi dan juga amarahku."Kamu tau, kalau Mas Aris sudah memiliki istri?" tanyaku saat aku mulai tenang. " Tau," jawabnya ringan." Lalu?""Bukan masalah, kami saling mencintai," ucapnya lagi."Cinta, omong kosong. Dengar ... cinta tak akan menyakiti.""Aku tidak perduli, aku bisa mendapatkan apapun yang aku inginkan, termasuk suami Kakak. Dan Mas Aris sekarang juga suamiku. Dia selalu mengulur waktu untuk berterus terang pada Kakak, dan aku tak suka. Kakak harus tahu Mas Aris adalah suamiku juga, jadi mulai sekarang Kakak harus berbagi adil," ucapnya."Akan lebih baik lagi, kalau Mas Aris menceraikan Kakak, jadi dia menjadi milikku seutuhnya. Mas Aris pasti akan menurutiku, aku saranin sih Kakak lebih baik mundur, daripada kalah saing denganku."Urat malu gadis ini sudah putus rupanya, begitu juga dengan hatinya, sepertinya dia tak memiliki hati, hingga tak bisa memperdulikan perasaan orang lain. Bagaimana bisa ada seorang wanita seperti ini. Aku masih bergeming, untuk gadis semuda jalan pikirannya jelas tak sesuai usianya."Adil seperti apa?, siapa dirimu berani-beraninya menuntut keadilan padaku. Kamu tak lebih dari gadis bin** tak tau diri. Harusnya kamu sadar, kenapa Mas Aris tak berani berterus terang padaku, karena dia takut kehilanganku," balasku kemudian."Jaga bicara Kakak, jelas-jelas aku lebih segala-galanya dari Kakak, hanya orang buta yang bilang Kakak lebih baik dariku. Aku juga lebih kaya, jadi jangan asal bicara, ya." Gadis yang tak kuketahui namanya itu terlihat naik pitam, bagaimana bisa dia lebih emosi dariku yang jelas seorang Istri sah dari Mas Aris."Lalu?""Aku akan meminta Mas Aris menceraikan Kakak, jadi tunggu saja. Kakak akan ditendang dari kehidupan Mas Aris.""Oh, ya?"Melihat ucapan tenangku sepertinya menjadi penghinaan untuknya, aku memang mudah mengendalikan diri dan emosi. Dia akan senang kalau aku terpancing juga. Meski aku ingin sekali menampar, dan memaki gadis tak tau diri ini, namun aku tak ingin membuang tenagaku untuk itu. Dan Mas Aris, aku belum habis pikir bagaimana bisa dia mengkhianatiku.Sungguh aku sama sekali tak curiga, beberapa kali dia memang ada pekerjaan di luar kota, namun itu sudah biasa. Selama tiga tahun menikah dengannya, sering kali dia akan pergi ke beberapa outlet di luar kota untuk mengontrolnya. Sikapnya juga tak ada yang berubah, sepandai itu kah dia mengelabuiku.Gadis di depanku itu terus berbicara, namun aku sibuk dengan pemikiranku sendiri. Aku masih merangkai alur cerita untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, apa salahku hingga Mas Aris tega berbuat seperti ini terhadapku."Indah, apa yang kamu lakukan di sini?"Aku baru saja tenggelam dalam pemikiranku, hingga tak menyadari kedatangan Mas Aris. Gadis itu bernama indah rupanya. Sayang sekali kelakuannya tak seindah namanya."Indah, mengatakan kebenaran Mas, Istri mas harus tau, biar sadar diri," ucapnya kemudian.Mas Aris menatap ke arahku, aku membalasnya, meski masih bingung dan kacau aku masih mencoba untuk tenang. Mas Aris yang justru terlihat kacau. Wajahnya memerah dan terlihat sekali ketegangan di wajah itu.Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu masih berdiri di ambang pintu. Dua wanitanya menatap tajam ke arahnya."Mas, wanita itu mengatakan aku gadis bina*, pelac** ngga punya malu, ngga sadar diri." Gadis bernama Indah itu berdiri dan bergelayut di tangan Mas Aris.Selain tak tau malu, gadis ini sepertinya sudah gila juga. Dia mengadu pas Mas Aris, dan semua yang dia ucapkan tak sepenuhnya benar."Mas, perempuan ini sudah tau kalau mas sudah menikah denganku, mulai sekarang kita tak perlu sebunnyi-sembunyi lagi.""Mas, ada apa sebenarnya ini, gadis mengaku sudah menikah denganmu, apa itu benar?" tanyaku."Aku kan sudah jelaskan tadi."Indah menyela ucapanku. Mas Aris masih bergeming."Diam!" teriakku pada gadis itu"Mas, katakan yang sebenarnya?" tanyaku dengan nada yang lebih tinggi."Aku dan I ...Indah sudah menikah," jawab Mas Aris.•••"Mas, katakan yang sebenarnya?" tanyaku dengan nada yang lebih tinggi."Aku dan I ...Indah sudah menikah," jawab Mas Aris.Meski Indah sudah menjelaskan, tetap saja jawaban Mas Aris membuatku tersentak juga."Tapi kenapa? Aku salah apa mas, sampai kamu tega mengkhianati pernikahan kita?" tanyaku yang masih tak habis pikir."Mas minta maaf," ucap Mas Aris."Mas, apa-apaan sih, ngapain minta maaf," sela Indah."Ya udah, nggak usah drama, pake acara nangis-nangis, sekarang sudah jelaskan?, Mas Aris juga sudah bilang sendiri.""Mas, minta perempuan ini untuk menutup mulutnya, atau aku yang akan menutup mulutnya untuk selamanya," ucapku kesal, Indah selalu menyela ucapanku."Indah, tenang dulu," ucap Mas Aris, Indah terbelalak saat mendengar Mas Aris menuruti permintaanku."Mas, kenapa jadi aku … ahh," seru Indah, kemudian berlari keluar, Mas Aris terlihat bingung, ragu hendak mengejar."Kejar saja nggak apa-apa," ucapku kemudian. Mas Aris menggeleng.Tak berapa lama, Indah kembali mas
Aku dan Bunda meninggalkan meja makan yang menjadi satu dengan dapur. Masih bisa aku lihat wajah kacau Indah saat Ibu memintanya untuk membereskan semuanya."Indah, kamu itu sudah, cantik, pinter, nurut, rajin lagi. Ibu tambah sayang sama kamu." Kembali terdengar suara Ibu dari dapur."Sayang, kalau sudah nanti istirahat di kamar Ibu ya, sambil pijitin Ibu. Nanti ibu kasih tau apa saja yang Aris suka, dan apa yang anak itu tidak suka. Eh jangan lupa disapu sama dilap juga, biar kinclong kayak kamu," ucap Ibu lagi.Terlihat Ibu, meninggalkan Indah yang masih didapur, tak berapa lama terdengar suara kran dinyalakan. Suara panci bersentuhan dengan benda lainnya menandakan Indah sedang berkutat dengan aneka benda dapur yang lepas digunakan."Indah, jangan lupa sampahnya sekalian dibuang ke depan ya, sayang," teriak Ibu dari kamar."Iya, Bu," jawab Indah.Aku duduk di ruang tengah depan televisi, sambil memindahkan kacang shanghai dari toples ke dalam mulut. Apa ini solusi atau jalan kelu
Selepas magrib, Ibu sudah terlihat bersiap menunggu di ruang tengah. Indah masih bersiap, belum keluar dari kamar Ibu. Mas Aris juga belum terlihat pulang.Aku dan Bunda duduk di depan televisi seperti biasa, hanya bedanya kami duduk di bawah, Ibu duduk di sofa. Tak berapa lama Indah keluar dari kamar."Kamu ikut, ganti baju," perintah Ibu padaku. "Ngapain di ajak Bu?" tanya Indah pada Ibu, terlihat tak suka."Buat kasih bukti, kalau kita nggak cuman lihat-lihat aja. Biar mingkem itu mulut emaknya," bisik ibu, namun dengan suara jelas."Malas, pergi aja sendiri," balas Bunda."Tuh, kan. Ada yang ngaku kalah sebelum berperang," cibir Ibu.Mendengar cibiran Ibu, Bunda merasa tak terima, langsung menarikku ke kamar dan berganti pakaian. "Bunda luar biasa," ucapku sambil merapikan rambutku setelah memoles sedikit wajahku dengan bedak dan lipstik."Ningrum, Ibumu juga." Bunda menahan tawanya. Bagaimana tidak kompak, mereka bersama sejak kecil, nenekku dan nenek mas aris juga bersahabat.
Ibu masih mengusap tv berlayar lebar itu, Indah nampak tertegun, melihat bandrol harga yang terpasang. Ibu ikut melirik, bandrol harga dan matanya ikut membulat. Dia mendekatkan wajahnya dan kembali mundur."Kemahalan ya sayang?" tanya Ibu pada Indah, bocah sunda* itu tersenyum masam. "Tapi, Ibu suka yang ini," tambahnya."I … iya, Bu. Mas aku mau yang ini ya," pinta Indah tak bersemangat."Bu, Indah ke toilet sebentar ya," pamitnya kemudian. Ibu hanya mengangguk dan masih fokus memandangi tv di depannya penuh kekaguman. "Nik, kamu mau apa?" Bisik Ibu, tanpa melihat pada Bunda, "Nduk, kamu juga sekalian.""Rena nggak Bu," jawabku. Sejujurnya sepuas apapun hatiku melihat Indah di kerjain, tetap saja rasa sakit yang Mas Aris ciptakan tak serta merta berkurang."Oven yang besar itu, yang jadi satu sama kompor itu loh, Rum," jawab Bunda tanpa melihat juga."Beres," jawab Ibu.Aku dan Bunda menjauh dari Ibu, sambil menunggu Indah keluar dari kamar mandi. Wajah lesu nampak sekali, meski te
Tatapan tidak suka, atau lebih tepatnya cemburu, nampak jelas di pancaran matanya. Aku melepas genggaman Mas Aris, dengan menarik tanganku. "Rena siapin makannya dulu, mas," ucapku, aku bergegas berjalan melewati Indah menuju dapur. Nasi goreng yang terbungkus kertas itu aku pindahkan satu persatu, kemudian menatanya di atas meja. Minuman hangat juga aku siapkan untuk semua. Masih kudengar tanya Indah berulang, dan jawaban tidak jelas dari Mas Aris.Selepas menyiapkan makan, aku masuk kemar, berjalan ke lemari. Aku tarik sebuah kaos dan celan pendek lengkap dengan dalaman. "Sudahlah sayang, suamimu baru pulang jangan cemburu buta seperti itu, palingan juga ketemu di depan," terdengar suara Ibu, menenangkan Indah."Mas, mandi dulu aku sudah siapkan bajunya," panggilku selepas keluar kamar, Mas Aris tampak berjalan menuju ke arahku. Baju ganti telah berpindah ke tangannya."Jangan lama-lama mandinya, keburu dingin nasi gorengnya," ucapku padangya. Mas Aris menjawabnya dengan sebuah an
Mas Aris menaut jariku, seolah ingin menahanku, namun, teriakan Bunda terdengar semakin keras. Aku melepas pegangannya dan berjalan masuk ke kamar.Terlihat sekali pikirannya sedang kacau saat ini. Itu hal yang pantas dia dapatkan bukan? mas Aris juga harus mendapatkan balasan atas penghianatan yang sudah dia lakukan. Larut mendekap malam, Bunda sudah lelap dalam tidurnya. Mataku sulit sekali terpejam, wanita lain dalam sebuah rumah tangga, sesuatu hal yang sama sekali tak bisa aku terima. Bagaimana bisa? Dan mengapa?Banyak pertanyaan berorasi liar dalam benakku ,menuntut sebuah jawaban. Malam semakin larut, tak jua mata mau menutup. Meski hanya sebentar, cukuplah menjadi penawar, untuk sejenak menghalau pergi kesakitan dan kegelisahan.Mataku memanas, ada lelehan hangat menyeruak, ini sakit, sakit sekali. Suatu hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, harus menerima kenyataan bahwa, hati telah terbagi, raganya pernah menyatu dengan perempuan lain.Aku juga bukannya seorang wan
"Rena harus bantu Ibu, buat sarapan," ucapku kemudian."Sebentar saja," rengeknya.Mas Aris memang seperti bayi tua, dia suka bermanja padaku. Ah, semua terdengar begitu Indah, dulu. Indah … bocah bina* itu telah menghancurkan segalanya."Rena … Ren," panggil Bunda."Iya Bund," jawabku melepas genggaman tangan mas Aris dan beranjak.Bunda terlihat duduk di ruang tengah, sambil menyalakan tv di depannya."Bikinin Bunda teh hangat," ucap Bunda saat aku keluar, "Gula nya dikit aja ya," lanjutnya."Iya, Bund," jawabku, langsung bergegas ke dapur.Ibu baru keluar dari kamar mandi, Indah sepertinya ada di kanar. Ibu mengangkat dagunya sepertinya bertanya sedang apa, aku mengangkat gelas yang sudah aku isi dengan gula, Ibu mengangguk."Indah sayang," teriak Ibu, memanggil Indah."Iya, Bu," sahutnya, sesaat kemudian telah keluar dari kamarnya."Tau nggak sayang, Ibu tadi hampir kepleset di kamar mandi," cerita Ibu ke Indah yang sekarang berdiri di depannya."Tolong kamu sikat ya, biar nggak
Baru lihat ciuman bibir saja sudah begitu kesalnya, tapi kenapa nggak mikir bocah sunda* itu akan bagaimana perasaanku, yang di duakan karena kehadirannya."Mas, sepertinya aku menyerah. Aku tak sanggup berbagi. Lebih baik aku mundur," ucapku pelan.Mas Aris terdiam tak mengucap apapun, tangan kirinya berkacak pinggang, sedangkan tangan kanan menutup mulutnya.Kembali terdengar suara panci jatuh dari arah dapur."Suara apa?" tanya Mas Aris."Kucing mungkin," jawabku, "Mas ganti baju aja, biar Rena yang cek ke dapur," ucapku pada mas Aris.Aku bergegas keluar kamar, langsung menuju dapur. Nampak beberapa panci dan perabot lain tergelak di lantai dapur."Kamu, apa-apaan sih?" tanyaku kemudian. Indah bergeming, hanya menatap panci yang berserakan itu dengan melipat tangan di dada. "Kenapa? Cemburu? Sudah lihat sendiri kan, kalau mas Aris lebih memilih aku dibanding kamu," ucapku dengan suara pelan."Harusnya, kamu sadar diri, cepat pergi dari kehidupan kami. Perempuan kok murah banget,