•••
"Mas, katakan yang sebenarnya?" tanyaku dengan nada yang lebih tinggi."Aku dan I ...Indah sudah menikah," jawab Mas Aris.Meski Indah sudah menjelaskan, tetap saja jawaban Mas Aris membuatku tersentak juga."Tapi kenapa? Aku salah apa mas, sampai kamu tega mengkhianati pernikahan kita?" tanyaku yang masih tak habis pikir."Mas minta maaf," ucap Mas Aris."Mas, apa-apaan sih, ngapain minta maaf," sela Indah."Ya udah, nggak usah drama, pake acara nangis-nangis, sekarang sudah jelaskan?, Mas Aris juga sudah bilang sendiri.""Mas, minta perempuan ini untuk menutup mulutnya, atau aku yang akan menutup mulutnya untuk selamanya," ucapku kesal, Indah selalu menyela ucapanku."Indah, tenang dulu," ucap Mas Aris, Indah terbelalak saat mendengar Mas Aris menuruti permintaanku."Mas, kenapa jadi aku … ahh," seru Indah, kemudian berlari keluar, Mas Aris terlihat bingung, ragu hendak mengejar."Kejar saja nggak apa-apa," ucapku kemudian. Mas Aris menggeleng.Tak berapa lama, Indah kembali masuk, aku dan Mas Aris masih berdiri di tempat yang sama, belum beranjak."Mas, kok nggak dikejar sih, mas keterlaluan." Indah memukul lengan Mas Aris, kemudian hendak menariknya keluar. Mas Aris bertahan tak mau beranjak."Mas, ayo pulang," tarik Indah lagi."Aku masih ada urusan disini, pergilah dulu," ucap Mas Aris pada Indah, jelas saja gadis yang tak perawan itu semakin emosi.Dihentaknya kedua kakinya berulang sebelum pergi. Dan sekarang dia benar-benar pergi. Terdengar suara mobilnya menjauh, dan hilang."Ada apa ini, tolong jelaskan!""Mas minta maaf, mas yang salah, mas khilaf," ucap Mas Aris."Khilaf macam apa yang sampai membawa mas pada pernikahan kedua? Khilaf keenakan, hah?" Tak habis pikir aku pada pria yang telah kukenal sejak kecil ini."Mas, aku tak habis pikir, bagaimana bisa, pria yang aku cintai, aku hormati, aku bangakan, bisa berbuat serong seperti ini, kita tak ada masalah kan? Kita baik-baik saja," teriakku."Mas yang salah, mas tidak kuat iman, mas terjebak, mas minta maaf," ucap Mas Aris."Sekarang, mas mau apa? Mau ceraikan aku seperti permintaan bocah sundal itu?""Mas tak akan menceraikanmu, mas sayang kamu.""Omong kosong apa ini mas, mana ada orang sayang tapi selingkuh," ucapku dengan senyum masam.Aku beranjak mengambil ponselku di atas meja, tanganku bergerak mengusap benda pipih tersebut."Kamu telepon siapa?" tanya Mas Aris dengan wajah ketakutan."Rena mau telepon, Ibu. Setelah itu telepon Bunda," jawabku."Jangan, mas mohon. Jangan beritahu soal ini pada Ibu, apalagi Bunda." pinta Mas Aris."Kenapa? ingat nasib Mas Doni yah?" tanyaku. Mas Doni adalah suami dari sepupuku, pria bejat yang telah berselingkuh dengan karyawan tokonya sendiri.Mas Aris terdiam, tidak menjawabku, tanganya refleks memegang benda berharganya. Aku menatapnya tajam, aku paling benci penghianatan. Sedalam apapun rasa cintaku pada pria ini, sekarang telah luruh."Itu resiko, karma untuk lelaki penghianat," ucapku kemudian."Jangan lakukan itu, kita masih bisa bicarakan ini baik-baik.""Aku masih belum percaya, suami yang begitu aku cintai tega melakukan hal ini padaku," ucapku sambil menyeka air yang menerobos di sudut mata."Mas minta maaf, semua salah mas, mas terima hukuman mas, tapi jangan minta perceraian, mas mohon," pria itu meminta dengan wajah melas. Hatiku sama sekali tak tergerak untuk memaafkan, namun harga diri yang sudah terinjak menuntut sebuah pembalasan."Ceraikan dia, aku akan memaafkan Mas Aris," pintaku.Mas Aris terlihat berfikir, sejenak pria itu terdiam."Sayang, kalau aku ceraikan Indah, aku akan kehilangan pekerjaan, bagaimana dengan cicilan rumah ini, cicilan mobil dan juga biaya kuliah S2 mu.""Harta bisa dicari mas," jawabku."Pikirkan lagi, mas tak akan mendapat pekerjaan sebagus sekarang."Mas Aris benar, posisi Mas Aris sudah tinggi sekarang, dia kepercayaan Ayah Indah, apalagi sekarang dia menikah dengan Indah, pasti lebih dipercaya lagi untuk mengelola usaha orang tua Indah."Aku pikirkan," jawabku.Ah, hati terlanjur mati rasa. Hanya ingin melihat mereka tak bahagia, dan memikirkan cara membalas sakit hati ini. Menuntut cerai hanya akan membuat mereka lebih leluasa bersama, dan jelas aku tak suka."Mas balik kantor dulu, ya," pamit mas Aris, aku hanya berdiam tak menjawab. Pria itu meraih tangan dan mencium pungung tanganku, kemudian mengecup keningku.Selepas Mas Aris pergi, aku menelpon Ibu dan Bunda, Ibu mas Aris dan Bunda adalah sahabat. Entah apa yang akan terjadi saat mereka tau, apa yang sedang terjadi dalam rumah tanggaku. Ini bukan masalah kecil, aku sendiri tak mengira bisa setenang ini.Dalam hatiku, hanya ada hasrat balas dendam, hanya itu. Aku hanya meminta Ibu dan Bunda datang ke rumah, aku sampaikan ada hal penting. Aku meminta mereka tinggal sementara waktu di rumahku, tanpa aku menjelaskan mereka sudah menurutiku.Menjelang Magrib Ibu dan Bunda sampai dirumah, mereka datang bersamaan karena memang satu kota. Karena takut ada sesuatu hal, mereka buru-buru datang dengan menggunakan mobil sewaan.Aku mulai menceritakan apa yang baru saja terjadi, mereka sangat kaget dan tak percaya. Lebih-lebih ibu sampai menangis dan terus menerus meminta maaf atas kesalahan Mas Aris padaku."Wah, mau dibuat kayak Doni ini Rum, anakmu," ucap Bunda pada Ibu."Lah ya jangan dulu to, Nik. Kita cari jalan keluar yang lain," ucap Ibu.Setelah pembicaraan panjang dan lebar, akhirnya kami menyusun strategi untuk menghempaskan bocah bina* itu. Sekaligus memberi pelajaran untuk Mas Aris.•••Mas Aris terkejut mendapati Ibu dan mertuanya ada di rumah. Sandiwara dimulai, Bunda memaki habis Mas Aris. Namun, Ibu membela anak laki-lakinya tersebut."Kalau anakmu sudah bener ngurus anakku, nggak mungkin anakku kawin lagi," ucap Ibu mertua."Anakmu saja yang tak punya iman, main serong tak punya perasaan," balas Bunda.Aku tak mengira Ibu dan Bunda bisa akting sehebat ini, aku hanya menambahkan sebuah tangisan saja. Mas Aris terlihat bingung melerai dua sahabat itu."Aris, bawa istrimu besok kesini, buktikan ucapan Ibu benar, Rena yang tidak bisa mengurus kamu," teriak Ibu."Siapa takut, bawa kesini akan terbukti anakmu lah yang bersalah," timpal Bunda."Tapi, Bu …."Mas Aris terlihat bingung, terlihat sesekali memegangi kepalanya.•••Pagi-pagi aku bangun, mendapati Mas Aris yang tidur di depan tivi ruang tengah, hanya beralaskan karpet tipis. Bunda mengusir dari kamar semalam.Aku menggoyang pelan lengan itu, untuk membangunkannya. Masih setengah sadar saat dia terbangun kemudian duduk. Dengan mata menyipit dia memandangku."Mas sudah bilang jangan menelpon mereka, kenapa kamu telpon juga," ucap Mas Aris."Rena bingung mas, hiks …." Aku kembali menangis, Mas Aris mengacak rambutnya, terlihat mulai frustasi.••Siang itu, Indah benar-benar datang, Ibu menyambutnya dengan sambutan luar biasa, wajah bocah sunda* itu semakin terangkat teratas, apalagi saat melihat dan mendengar pertengkaran Ibu dan Bunda. Semakin merasa diatas angin bocah sunda* itu."Lihatlah, ibu di sini tidak diperlakukan dengan layak. Wajar saja Aris berpaling, Ibu lapar, mereka sengaja makan sendiri," ucap Ibu, memulai sandiwaranya."Em, Indah pesankan makanan ya?" ucap indah mengambil ponsel dari sakunya."Ibu nggak doyan. Ibu mau dimasakin kamu aja," ucap Ibu kemudian."Tapi, Indah nggak bisa masak, Bu.""Tenang ibu ajarin, Buktikan ibu tidak salah membelamu, ayok ke dapur," Ibu menarik Indah ke dapur.Aku dan Bunda, menahan tawa di ruang tengah. Terdengar Ibu memerintah ini dan itu, tak berapa lama aroma masakan tercium. Baunya cukup menggoda. Selang hampir dua jam berbagai masakan tertata di meja, nampak kelelahan di wajah Indah, rambutnya yang biasa terurai indah, kini dikuncir berantakan dengan karet gelang."Hai, sini. Lihat kemampuan anak mantuku, semua masakan ini dia yang buat, mana bisa anakmu seperti dia," puji Ibu di depanku dan Bunda."Halah, paling tidak ada rasanya," cibir Bunda."Loh, menghina, Indah ambil piring, bungkam mulut ibu dan anak ini. Buktikan kamu yang terbaik," perintah Ibu. Indah yang baru duduk kembali berdiri, dan mengambìl piring untuk kami bertiga.Masakan Ibu memang tiada duanya, semua makan lezat dan nikmat. Terlihat semua begitu lahap kecuali Indah, dia terlihat kelelahan."Bagaimana?, malu sendiri kan menghina menantu kesayanganku," ucap Ibu. Aku dan Bunda hanya terdiam pura-pura mengakui kelebihan bocah sunda* itu."Sayang, kamu bereskan sekalian yah, piring dan panci yang kotor, semua harus bersih, biar suamimu senang melihatnya.""Ta … tapi, Bu.""Sstt, jangan biarkan Rena lebih baik darimu, bereskan semua ya, sayang. Tak salah Aris memilihmu," puji Ibu lagi.Aku menarik kursi kasar dan pergi meninggalkan ruang makan, di ikuti Bunda. Hmmm tunggu kejutan lainnya, sayang."Itu, Tante Rena, pacarnya Om Kelvin, iya kan Om?!" Gita sama saja dengan Viona. Suka menggoda Omnya. Wajahku kembali menghangat."O." Bibir wanita yang baru datang itu membulat."Butuh apa saja?" tanya Kelvin lagi.Aku menyebutkan aneka bumbu dapur, dan bahan lain yang aku butuhkan. Juga alat yang diperlukan. Panci berukuran lumayan besar telah disiapkan begitu juga bahan yang diperlukan.Untuk Ayam sengaja aku masak lebih dahulu, agar bumbunya meresap. Bukan masalah besar untuk mengerjakan semuanya. Disela memasak Ayam dan bebek rica aku mengeksekusi cabe yang baru dibawa Mbak Sari.Satu wajan penuh sambal sedang aku olah, Kelvin membantu mengikat rambutku dengan karet gelang. Dan juga memasangkan celemek padaku. "Capek sayang?" Kelvin memijat bahuku saat aku sedang mematangkan sambal di wajan."Nggak. Tapi, keringetan." Aku memperlihatkan dahiku padanya. Dia beranjak ke meja menarik beberapa tisu, dan mengelap keringatku."Bund, besok pakai urap juga?" tanyaku pada Bunda Kelvin."R
Obrolan ringan mewarnai perjalan kami. Mobil mulai memasuki komplek perumahan yang menjadi tempat tinggal Kelvin dan keluarganya. Jantungku semakin berdetak dengan kencang, telapak tangan juga terasa dingin. Aku menarik napas dalam dan menghembus perlahan, untuk mengatur hatiku.Mobil mulai sedikit melambat dan akhirnya berhenti. Huff debaran di dadaku semakin sulit aku kendalikan. Aku grogi … Kelvin membunyikan klakson mobil, satu kali. Tak berapa lama pintu pagar terbuka. Mobil kembali bergerak memasuki halaman rumah yang cukup besar itu. "Sayang, sampai." Kelvin memanggilku. Aku masih bergeming, kemudian menyentuh punggung tangannya dengan telapak tanganku yang dingin."Dinginnya," ujar Kelvin, digenggamnya tanganku kemudian."Rasanya nano - nano," ucapku kemudian."Tenang, semua akan baik - baik saja," balas Kelvin sambil mengeratkan genggamannya."Iya, Bismillah." Aku membalas dan berdoa.Aku sedikit menyapukan bedak, yang selalu aku bawa di tas. Hanya samar, agar tampak pucat
"Gombal banget, sih." Aku menggigit bibir, menahan senyum. Jujur hatiku bagai hamparan taman bunga, dengan bunga yang beraneka warna dan bermekaran dengan sempurna. "Itu ungkapan hati, Yang." Setengah berbisik, Kelvin mendekatkan bibirnya ke telingaku. Hanya setengah berbisik karena tetap terdengar oleh kedua wanita di depanku, yang tengah sibuk membungkus parcel. Terlihat keduanya saling sikut dan menahan tawa.Wajahku menghangat, Kelvin membuatku salah tingkah. "Mbak, saya tunggu di kasir depan, ya," ucapku, untuk mengalihkan fokusku dari Kelvin."Baik, Kakak." Keduanya menjawab hampir bersamaan.Aku dan Kelvin beranjak, sambil sesekali berhenti melihat aneka camilan yang terpajang di display. Mengambil beberapa yang terlihat enak. "Banyak banget?" tanya Kelvin melihat keranjangku kembali penuh."Buat anak - anak di resto, sama buat nemenin kerja," jawabu. "Ayank, nggak pengen?" tanyaku kemudian."Kalau pengen, kan tinggal nyebrang." Sambil menjawab, pria itu mengangkat alisnya
"Mau kemana kita?" tanya Kelvin kemudian, saat kami sudah berada di dalam mobil."Pulang saja, Oh … ya, ke toko buah dulu ya."Kelvin mengajakku ke rumahnya, besok pagi - pagi sekali, aku tak akan mungkin mendapatkan toko yang buka sepagi itu."Mau belanja buah?" tanyanya kemudian."Iyap." Aku menjawab singkat.Mobil melaju keluar dari area parkir resto. Tak jauh dari resto ada toko buah, yang cukup besar, berdiri bersebelahan dengan toko roti. Kesanalah kami menuju sekarang.Tidak memerlukan waktu yang lama, mobil berbelok masuk area parkir toko yang kami tuju. Seorang tukang parkir datang untuk mengarahkan. Kami turun selepas Kelvin mematikan mesin mobil.Aku baru saja keluar mobil, saat aku dengar seperti ada yang memanggil namaku. Aku menghentikan langkah kemudian menajamkan pendengaran."Sayang, ada apa?" tanya Kelvin saat melihatku celingukan."Kayak ada yang manggil." Aku menjawab, masih dengan mengedarkan pandangan."Rena." Aku dan Kelvin bersamaan menoleh ke arah kiri be
Siang setelah selesai tugas di rumah sakit, Kelvin menemaniku untuk membuat laporan di kantor polisi. Cukup menyita waktu, untung sore Kelvin tak membuka praktek, karena sabtu sore dia libur. Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Bukti rekaman CCTV juga akan menjadi barang bukti. Tentang ada orang lain dibalik kejadian ini atau tidak masih diselidiki."Capek ya?" tanya Kelvin padaku. Sesaat setelah kami masuk mobil, selepas keluar dari kantor polisi."Mayan, Ayang juga pasti capek." Aku memiringkan tubuh, menghadap ke arahnya dengan mengangkat satu kaki."Aku cowok, Yang. Kemana ini kita?" tanyanya kemudian."Balik resto ya, malam minggu mesti ramai. Ayang mau nemenin?" tanyaku kemudian."Boleh, aku temenin." Kelvin mengusap puncak kepalaku. Sebuah senyum manis terukir di bibirnya yang tampak kebiruan."Masih sakit?" Tanganku mengusap kulit memar itu."Nggak, Sayang. Kan tadi dah diobatin." Kelvin mengecup tanganku. Hatiku kembali berdebar mengingat kejadian tadi pagi."Udah y
Aku melepas alas kaki, sudah lama sekali aku tak melatihnya, tenagaku juga pasti tak seperti dulu lagi. Saat aku baru melepas alas kaki, sebuah bogem mentah mengenai wajah sang pahlawan kesiangan. Semua berteriak histeris terutama pegawai perempuan. Ini bukan sedang syuting film India dimana satu orang bisa mengalahkan puluhan orang. Tapi, apapun itu … bukan saatnya untuk jadi penonton.Baru aku beranjak memasang kuda - kuda terdengar suara mobil polisi mendekat. Beberapa polisi datang. Aku menoleh ke arah sang pahlawan kesiangan, darah segar keluar dari sudut bibirnya. Dia yang kesakitan kenapa aku yang lemas. Aku terduduk, saat mulai menyadari apa yang baru saja terjadi. Mataku mengedar ke arah pegawai, aku tak bisa membayangkan, kalau mereka tadi benar - benar dihajar oleh para pria berbadan tegap itu."Sayang, kamu nggak papa?" Pahlawanku terlihat panik melihatku, yang seolah tanpa tenaga."Stop, aku bisa sendiri. Bantu berdiri saja." Saat dia terlihat akan mengangkat tubuhku."