Pada titik ini, seorang wanita paruh baya beralis tebal, seperti lukisan tebal spidol hitam, Mariana Laurent, sangat kesal melihat Evelyne masih mempertahankan Kael.
Bahkan di hadapannya saat ini adalah pria tampan dan sangat kaya, pewaris sebuah keluarga besar, jauh di atas Keluarga Laurent, dia masih memilih sampah ini? Sungguh, dia tidak tahu apa isi kepala Evelyne. Apakah itu dipenuhi dengan kotoran, sehingga dia menjadi sangat bodoh?! Demi wasiat kakek?! Persetan dengan itu! Wasiat dari orang mati tidak lebih dari omong kosong! Karenanya, dia mengungkapkan kekesalannya dengan berteriak, "Kael! Kau benar-benar menjijikkan! Aku sudah tidak tahan!" Nadanya tinggi, suaranya menggema ke seluruh ruang makan mansion mewah itu. "Apa kau bangga membuat Evelyne terlihat seperti wanita bodoh hanya karena pernikahan konyol ini?!" Semua orang menoleh. Beberapa tamu dari kalangan elite mulai berbisik-bisik. Kael tetap berdiri tenang. Tatapannya lembut, namun tajam seperti pisau yang terselip di balik senyuman. Namun, sikap itu hanya memperparah kemarahan Mariana. Dengan langkah cepat dan penuh emosi, Mariana menghampirinya, sementara para tamu menahan napas—beberapa bahkan diam-diam menyalakan kamera ponsel mereka. "KELUAR!" bentaknya, kedua tangannya mengayun, mendorong dada Kael dengan sekuat tenaga. Dan saat itulah… Tubuh Mariana terpental. Bukan Kael yang terlempar ke belakang. Tapi Mariana—terdorong seperti baru saja menabrak pilar baja tak tergoyahkan. Ia tersungkur dan jatuh ke lantai dengan memalukan. Seluruh ruangan membisu. Semua pasang mata tertuju pada Mariana yang terengah, kebingungan, dan terhina. Kael, masih berdiri tenang, hanya meliriknya. Senyum tipis terukir di wajahnya—bukan angkuh, tapi kasihan. "Bibi, saya sungguh kagum. Di usia setua itu masih bisa bermain tolak tubuh. Sayangnya… yang satu ini bukan tubuh biasa." Grace menyela dengan berteriak marah, "Sudah cukup! Ini pesta keluarga terhormat, bukan panggung sirkus." Disusul suara dari paman, sepupu, dan tamu lainnya: "Dia memalukan!" "Buang saja dia dari pesta!" "Tak tahu malu!" Nyonya Agatha mengangkat tangan, menengahi dengan wajah dingin, "Kael, kalau kau punya sedikit rasa hormat… maka pergilah. Jangan buat pesta ini semakin kotor." Kael memberikan anggukan santai. Di saat yang bersamaan, sorot matanya menyapu seluruh ruangan seperti raja yang menilai hamba-hambanya. Ia berjalan menuju tangga, di bawah sorotan puluhan tatapan menghina. Tapi tepat sebelum kakinya menyentuh anak tangga pertama, dia berhenti. Tak menoleh, tak berteriak. Suaranya tenang, namun menggema di seluruh ruang pesta. "Tiga tahun aku diam, bukan karena tak mampu menjawab. Tapi karena aku menghormati wasiat kakekku dan satu orang di keluarga ini…" Ia menoleh sedikit, pandangannya sekilas mengarah ke Evelyne. "Tapi jika kalian pikir kalian bisa mendorong harimau hanya karena sedang tidur… teruskan. Sampai kalian tahu rasanya dicabik." Suara napas tertahan terdengar di antara para tamu. Bahkan Damian tanpa sadar merasa ketakutan. Dia merasa ada kekuatan luar biasa tak kasat mata yang berasal dari Kael. Besar dan menakutkan, seperti gunung yang kokoh. Kemudian, Kael naik ke lantai tiga, di mana kamarnya berada. Sambil melangkah, Kael merogoh saku celananya dan mengeluarkan liontin tua berbentuk naga. Benda itu berkilau samar, seolah menyala saat disentuh cahaya. "Sebulan lagi, Kakek! Sebulan lagi... janji ini berakhir! Setelah itu… aku tak perlu lagi berpura-pura lemah, tak perlu lagi jadi menantu sampah di mata mereka. Saatnya aku menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya." Kepergian Kael menyisakan keheningan di pesta itu, sampai Nyonya Agatha kembali membuka suara, memecah suasana. "Abaikan saja dia," ujarnya kepada Damian. "Dia selalu membual, seolah dirinya penting dan berkuasa. Padahal, kenyataannya dia tak lebih dari sampah! Lebih baik kita bicarakan apa yang kau lakukan di Dravelle—itu jauh lebih menarik." Damian kembali tersadar dan mengangguk pelan. Kael hanyalah sampah, untuk apa dia takut? Ancaman itu tak lebih dari omong kosong yang tak berarti apa-apa. Lalu dengan sikap percaya diri, ia pun mulai menceritakan pengalamannya selama empat tahun di Dravelle. Tentu saja, cerita itu disambut antusias oleh keluarga Laurent. Pujian dan sanjungan terus mengalir untuknya. Sesekali, pandangan mereka melirik Evelyne, berharap ia bereaksi serupa. Namun Evelyne tetap diam, seolah pikirannya tak terlibat dalam percakapan itu. Menyadari hal tersebut, Damian semakin kesal. Sulit dipercaya, Evelyne ternyata mencintai bajingan itu. Pada akhirnya, ia tak punya pilihan selain segera memainkan kartu trufnya. Tatapannya beralih ke Agatha, berkata, “Sejujurnya, saya tidak datang hanya sebagai tamu. Saya membawa sedikit kabar baik untuk keluarga Laurent.” Semua mata langsung menjadi serius. Damian membuka jasnya dengan elegan, menarik amplop hitam dari dalam saku dalam. Ia menyerahkannya kepada Agatha. “Proposal awal kerja sama dari Griffin Corporation. Proyek energi bersih di wilayah timur. Nilainya... bisa menopang nama keluarga Laurent selama dua generasi ke depan.” Beberapa anggota keluarga langsung bereaksi: “Kerja sama dengan Griffin Corp?” “Itu perusahaan kelas dunia!” “Ini... kesempatan besar! Jangan dilewatkan!” Damian tetap tersenyum. “Tentu, ini hanya langkah awal. Tapi saya harap... ini menjadi awal dari hubungan yang lebih erat antara dua keluarga besar.” Ia melirik sekilas ke arah Evelyne, lalu cepat mengalihkan pandangan, seolah penuh perhitungan. Nenek Agatha menerima amplop itu dengan mata berbinar, “Damian, kau sungguh tahu bagaimana memberi kejutan.” Damian tertawa kecil, merendah, “Saya hanya ingin membantu keluarga yang pernah berarti bagi saya. Dan... mungkin suatu hari nanti, saya bisa menjadi bagian dari keluarga ini.” Kalimat itu membuat Evelyne menegang sesaat, namun ia pura-pura tak mendengar. Paman Hector; adik laki-laki ayah Evelyne yang sudah meninggal, tertawa, “Tentu! Keluarga seperti kami selalu terbuka untuk kerja sama... dan hubungan yang lebih dekat.” Semua sepupu perempuan Evelyne menunjukkan ekspresi iri pada Evelyne. Dia dicintai oleh pria hebat dan kaya seperti Damian. Namun, Evelyne begitu bodoh, memilih terus bersama sampah seperti Kael. Sungguh, jika mereka menjadi Evelyne, mereka pasti sudah mencerai Kael sejak lama, dan menikah dengan Damian! Damian di sisi lain, menyesap anggurnya. Wajahnya tenang. Tapi di balik senyum elegannya, tersimpan permainan panjang yang baru saja dimulai. "Kau pasti akan jatuh ke pelukanku, Evelyne! Aku bahkan akan membuatmu berlutut, memohon agar aku menikahimu!" "Sementara bajingan itu... aku akan menghancurkannya sepenuhnya, memastikan dia menyesal pernah dilahirkan di dunia!"Pada titik ini, Kael menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Jika Evelyne melihat kamarnya berantakan seperti ini, dia akan marah. Aku membutuhkan bantuan Vale lagi untuk ini."Ia mengambil ponsel yang ada di dekat kasurnya dan langsung menelepon Grand Elder Vale.Nada tunggu hanya berbunyi sekali sebelum suara dalam dan sopan terdengar dari seberang.“Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia Penguasa Sekte Naga Langit?"“Vale... aku butuh bantuanmu lagi,” ujar Kael pelan, matanya memandangi noda darah yang mengalir di lantai, hampir mengenai kakinya. “Aku butuh pembersihan. Sekarang juga di mansion keluarga Laurent.”Terdengar keheningan sesaat dari seberang, lalu pertanyaan cepat, “Tingkat prioritas?”“Prioritas emas. Jendela sisi timur lantai tiga mansion keluarga Laurent—bingkai persegi kayu jati. Sementara kacanya... hmm... kukirim saja fotonya agar lebih detail. Warna tembok: abu keperakan, sedikit mengilap, tinggi empat meter. Ada retakan lebar akibat benturan tubuh, sekitar satu
Pale Raven tidak menjawab. Tapi matanya mengerut sedikit. Ada tekanan yang aneh, seolah dia yang sedang dinilai.Kael berdiri. Tubuhnya tegap, wajahnya kini sepenuhnya serius. Tidak ada kesan ‘menantu tidak berguna’ di matanya. Yang berdiri di hadapan Raven sekarang adalah sesuatu yang jauh berbeda dari yang dikatakan Hector."Semua orang ingin aku mati, tapi hanya sedikit yang cukup bodoh untuk mencobanya langsung. Dan perlu kau ketahui, tidak ada satu pun dari mereka yang selamat," kata Kael dengan nada mengejek.Detik berikutnya, suhu kamar seolah menurun. Bukan karena sihir, tapi karena kehadiran, dominasi, dan aura dari seseorang yang dianggap sampah dan beban.Ini membuat Pale Raven menyadari satu hal. Kael akan menjadi lawan terberat yang pernah dia hadapi selama karirnya.Pada titik ini, dia diam. Dalam pikirannya, kalkulasi baru mulai terbentuk. Metode awal—meniru surat bunuh diri, terlebih memaksanya untuk menulis suratnya sendiri—semuanya mustahil dilakukan.Pria ini... buk
Napas Bella tersenggal, tubuhnya masih bergetar dalam selimut tipis yang menyelimuti sebagian tubuhnya. Lampu temaram di langit-langit menggantung seperti bintang-bintang palsu, dan udara malam yang masuk dari celah jendela terbuka membawa dingin samar yang justru membuat peluh di kulit terasa lebih nyata.Ia berbaring di sisi ranjang, rambutnya terurai di atas bantal satin berwarna abu-abu gelap. Vincent duduk di sisi ranjang, membelakanginya, menyisakan punggung tegap dan garis bahu yang seolah tak pernah menunduk untuk siapa pun. Ia belum berbicara sejak tadi. Hanya diam, menatap ke kaca besar yang menghadap ke kota dengan ekspresi tak terbaca.Bella, dengan mata setengah terpejam dan senyum kecil yang masih tergantung di bibir, meraih lengannya dan bersandar pelan ke punggung pria itu.“Aku… merasa baru saja dilahirkan kembali,” bisiknya.Tak ada jawaban.Ia tertawa kecil, lembut, seperti seseorang yang baru saja menang dalam pertarungan panjang. “Terima kasih… karena telah memili
Langit malam menggantung tenang di atas kota, diselingi kerlip lampu-lampu gedung pencakar langit. Di antara semua bangunan megah itu, hanya satu yang menjulang paling angkuh: Albrecht Tower. Dinding kacanya memantulkan cahaya malam dengan kemewahan yang menyilaukan, seperti istana kaca dari masa depan.Sebuah mobil coupe mewah berhenti di pintu masuk utama. Dari dalamnya, Bella Laurent melangkah turun dengan anggun. Gaun beludru hitam yang membalut tubuhnya menonjolkan lekuk tanpa berlebihan, sementara anting berlian kecil di telinganya memantulkan kilau halus setiap kali ia bergerak.Petugas lobi membungkuk tanpa banyak bicara, dan dalam hitungan detik, Bella sudah dibawa naik dengan lift pribadi—menuju lantai 51.Pintu lift terbuka dengan suara mendesing halus. Di depannya, terbentang koridor sunyi berlapis karpet kelabu, diterangi cahaya lampu gantung minimalis. Di ujung lorong, berdiri dua pria berjas hitam dengan earpiece—tak menyapa, hanya memeriksa wajahnya, lalu membuka pintu
Jam menunjukkan pukul satu siang ketika cahaya matahari yang lembut menembus tirai tipis kamar Bella Laurent. Ia sedang duduk santai di sofa beludru di samping jendela, mengenakan gaun santai berwarna krem muda, sambil memutar-mutar gelas infused water yang belum disentuh.Di pangkuannya, tablet menyala menampilkan katalog tas terbaru dari rumah mode luar negeri, tapi pikirannya melayang. Kemarin malam—makan malam di mana tatapan Vincent Albrecht sempat bersinggungan dengan matanya, hanya sekejap... tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak kencang."Aku yakin dia melihatku," bisiknya pelan.Dan seolah menjawab pikirannya sendiri, ponsel di meja kecil tiba-tiba berbunyi. Notifikasi dari aplikasi eksklusif bernama LionLine, platform komunikasi terenkripsi milik kalangan ultra-elit.Bella mematung. Jarang sekali ada notifikasi dari aplikasi itu. Saat ia meraih ponsel dan membuka pesannya, matanya langsung membelalak.Pengirim: Vincent AlbrechtWaktu: 13.02Pesan itu pendek, tapi cuku
Setelah pintu tertutup dan langkah kaki mereka menghilang di lorong, keheningan perlahan mengisi kamar itu. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah ikut menahan napas.Kael berdiri diam di samping Evelyne, matanya masih menatap pintu, seakan memastikan tidak ada yang kembali. Setelah beberapa detik, ia berbalik, memandang perempuan itu dengan pandangan yang lebih lembut dari biasanya.“Terima kasih,” ucapnya pelan. "Aku terharu kau berada di pihakku kali ini."Evelyne menatap Kael. Sorot matanya tajam namun tak sepenuhnya keras.“Aku melakukan ini karena wasiat Kakekku,” katanya dengan suara datar. “Tidak lebih.”Kael tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya menatapnya dalam diam.“Aku menghormati Kakek lebih dari siapa pun di dunia ini,” lanjut Evelyne. “Dan karena itulah aku berdiri di sampingmu tadi. Jadi jangan salah paham, Kael.”Ia mengambil satu langkah menjauh darinya. “Namun aku penasaran… kenapa kau menantang Vincent?”Kael tetap diam, menunggu Evelyne menyelesaikan pe