Share

Bab 003

last update Last Updated: 2025-09-01 15:57:49

Damian kemudian menatap Kael. Tatapannya ramah di permukaan, tapi menyimpan ejekan.

"Oh, apakah kau suami Evelyne?"

Ketika dia mengatakan itu, terlihat dengan jelas jejak penghinaan di matanya. Namun, itu segera hilang, digantikan dengan senyuman palsu.

"Maaf, aku tak tahu kau juga hadir di sini."

Kael hanya membalas dengan anggukan kecil, santai. "Tentu. Aku tak diundang, tapi selalu ada."

Mendengar itu, Damian tertawa, "Kau benar. Aku mendengar bahwa kau hanya menjadi... benalu di rumah ini. Aku bertanya-tanya mengapa kau masih bertahan di sini. Kau pasti sudah kehilangan seluruh harga dirimu, 'kan?"

Sebelum Kael bisa membalas, Agatha lebih dulu menyela, "Damian, jangan habiskan waktumu pada sampah seperti dia! Lebih baik kau duduk menikmati pesta. Duduk di samping Evelyne."

Evelyne terkejut. "Nenek, dia—"

"Ah, anggap saja reuni. Tak sering tamu istimewa muncul seperti ini."

Tanpa menunggu jawaban, Agatha memberi isyarat. Seorang pelayan menarik kursi tepat di sebelah Evelyne.

Kael… hanya berdiri diam di sudut meja.

Sekilas, tatapan Evelyne dan Kael bertemu. Tatapan Kael tidak marah—lebih ke… datar, namun menyimpan sesuatu yang lebih dalam.

Damian duduk dengan senyum percaya diri, lalu menoleh pada Evelyne dan berkata pelan, "Empat tahun ternyata tak cukup lama untuk melupakan wajahmu."

Evelyne hanya memberikan senyum sopan, tidak membalas.

Ini membuat Damian terkejut, membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak berkata, "Kupikir kau akan menyambutku lebih hangat, Evelyne."

Evelyne menoleh, senyum itu masih terlukis di wajahnya.

"Ini pesta ulang tahun nenek. Aku berusaha tetap sopan."

Damian tertawa pelan, "Sopan? Ayolah, dulu kau tidak pernah bersikap sejauh ini… apalagi padaku."

Ia melirik Kael sekilas, tatapannya dingin, "Kecuali sekarang ada seseorang yang mengubahmu."

Evelyne menegakkan duduknya, tidak nyaman.

Damian melanjutkan, lebih dalam, lebih menusuk, "Jangan bilang… kau menolakku hanya karena suami sampahmu itu?"

Beberapa anggota keluarga langsung melirik, sebagian menunjukkan ekspresi dingin, yang lain hanya pura-pura tidak mendengar.

Evelyne menegang, tapi matanya tetap tenang. Dia menunduk sebentar sebelum menjawab pelan tapi tegas, "Ini… merupakan wasiat kakekku. Dan aku tidak berniat melanggarnya."

Damian menyipitkan mata. "Itu saja? Hanya karena kakekmu?"

Evelyne tak langsung menjawab. Ada jeda satu detik dan di situlah tatapannya tanpa sadar mengarah ke Kael, yang masih berdiri tenang dengan satu tangan di saku, seolah tak terganggu.

Dalam hatinya, Evelyne tahu bahwa perasaannya tidak semata karena wasiat.

Tapi… gengsi terlalu tinggi untuk mengakuinya.

Akhirnya, dia kembali menatap Damian dan berkata pelan, "Kalau kau tak bisa menghargai pilihanku… maka mungkin kau memang tak pernah mengenalku."

Damian menatapnya dalam, namun tak membalas. Senyum sombongnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi terdiam yang sulit dijelaskan.

Dia berkata dalam hati, "Jangan bilang... Evelyne mencintai sampah tidak berguna itu?! Bagaimana ini mungkin?!"

Di sisi tak jauh dari mereka, Kael hanya mengangkat alis tipis, menyadari percakapan itu tanpa berniat mencampuri. Tapi diam-diam, dia tersenyum.

Pada titik ini, seorang wanita paruh baya beralis tebal, seperti lukisan tebal spidol hitam, Mariana Laurent, sangat kesal melihat Evelyne masih mempertahankan Kael.

Bahkan di hadapannya saat ini adalah pria tampan dan sangat kaya, pewaris sebuah keluarga besar, jauh di atas Keluarga Laurent, dia masih memilih sampah ini?

Sungguh, dia tidak tahu apa isi kepala Evelyne.

Apakah itu dipenuhi dengan kotoran, sehingga dia menjadi sangat bodoh?!

Demi wasiat kakek?! Persetan dengan itu! Wasiat dari orang mati tidak lebih dari omong kosong!

Karenanya, dia mengungkapkan kekesalannya dengan berteriak, "Kael! Kau benar-benar menjijikkan! Aku sudah tidak tahan!"

Nadanya tinggi, suaranya menggema ke seluruh ruang makan mansion mewah itu.

"Apa kau bangga membuat Evelyne terlihat seperti wanita bodoh hanya karena pernikahan konyol ini?!"

Semua orang menoleh. Beberapa tamu dari kalangan elite mulai berbisik-bisik.

Kael tetap berdiri tenang. Tatapannya lembut, namun tajam seperti pisau yang terselip di balik senyuman.

Namun, sikap itu hanya memperparah kemarahan Mariana.

Dengan langkah cepat dan penuh emosi, Mariana menghampirinya, sementara para tamu menahan napas—beberapa bahkan diam-diam menyalakan kamera ponsel mereka.

"KELUAR!" bentaknya, kedua tangannya mengayun, mendorong dada Kael dengan sekuat tenaga.

Dan saat itulah…

Tubuh Mariana terpental.

Bukan Kael yang terlempar ke belakang. Tapi Mariana—terdorong seperti baru saja menabrak pilar baja tak tergoyahkan. Ia tersungkur dan jatuh ke lantai dengan memalukan.

Seluruh ruangan membisu.

Semua pasang mata tertuju pada Mariana yang terengah, kebingungan, dan terhina.

Kael, masih berdiri tenang, hanya meliriknya. Senyum tipis terukir di wajahnya—bukan angkuh, tapi kasihan.

"Bibi, saya sungguh kagum. Di usia setua itu masih bisa bermain tolak tubuh. Sayangnya… yang satu ini bukan tubuh biasa."

Grace menyela dengan berteriak marah, "Sudah cukup! Ini pesta keluarga terhormat, bukan panggung sirkus."

Disusul suara dari paman, sepupu, dan tamu lainnya:

"Dia memalukan!"

"Buang saja dia dari pesta!"

"Tak tahu malu!"

Nyonya Agatha mengangkat tangan, menengahi dengan wajah dingin, "Kael, kalau kau punya sedikit rasa hormat… maka pergilah. Jangan buat pesta ini semakin kotor."

Kael memberikan anggukan santai. Di saat yang bersamaan, sorot matanya menyapu seluruh ruangan seperti raja yang menilai hamba-hambanya.

Ia berjalan menuju tangga, di bawah sorotan puluhan tatapan menghina.

Tapi tepat sebelum kakinya menyentuh anak tangga pertama, dia berhenti. Tak menoleh, tak berteriak. Suaranya tenang, namun menggema di seluruh ruang pesta.

"Tiga tahun aku diam, bukan karena tak mampu menjawab. Tapi karena aku menghormati wasiat kakekku dan satu orang di keluarga ini…"

Ia menoleh sedikit, pandangannya sekilas mengarah ke Evelyne.

"Tapi jika kalian pikir kalian bisa mendorong harimau hanya karena sedang tidur… teruskan. Sampai kalian tahu rasanya dicabik."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 265

    Setelah selesai sarapan, Kael membawa Lily kembali ke Maple Inn."Lily, kau mandi dulu. Setelahnya kita akan pergi membeli pakaian."Mata Lily langsung berbinar. "Pakaian baru?! Benarkah, Paman?!"Kael tersenyum. "Tentu saja. Kau akan mulai sekolah, tidak mungkin masih pakai pakaian yang kotor, robek, dan kebesaran seperti ini, bukan?"Lily mengangguk dengan semangat, lalu berlari masuk ke kamar mandi dengan penuh antusias.Tak lama kemudian, mereka sudah berada di jalan menuju mall terdekat.Lily berjalan di samping Kael dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Membeli pakaian baru? Dia belum pernah melakukan ini sebelumnya!---Mall itu ramai. Orang-orang berlalu-lalang dengan tas belanjaan di tangan, suara musik latar mengalun lembut, dan aroma parfum bercampur dengan kopi dari kafe-kafe kecil.Kael membawa Lily ke toko pakaian anak-anak yang terlihat rapi dan nyaman."Lily, pilih pakaian yang kau suka. Ambil lima, minimal," kata Kael dengan nada lembut.Lily men

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 264

    KANTOR POLISI KOTA SILVERTON - PAGI HARI.Ruangan Kepala Kepolisian.Seorang pria bertubuh besar dengan rambut hitam pendek yang mulai beruban di pelipis, duduk di belakang meja kerjanya—Inspektur Richard Donovan, Kepala Kepolisian Kota Silverton. Usianya sekitar pertengahan lima puluhan, dengan tatapan tajam dan dagu yang tegas.Ia sedang membaca laporan rutin pagi itu ketika pintu ruangannya diketuk dengan keras.TOK! TOK! TOK!"Masuk," katanya tanpa mengangkat kepala.Pintu terbuka. Seorang detektif muda dengan wajah pucat masuk dengan tergesa-gesa—napasnya terengah-engah, tangannya memegang setumpuk dokumen dengan erat."Pak! Ada berita penting!"Richard mengangkat kepalanya dengan alis terangkat. Jarang sekali bawahannya terlihat sepanik ini."Apa?"Detektif itu menelan ludah, lalu berkata dengan suara yang sedikit bergetar."Marcus 'The Reaper' Volkov... dia mati, Pak. Di markasnya. Tadi malam."Richard membeku.Keheningan singkat.Lalu—BRAK!!!Ia bangkit dari kursinya dengan c

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 263

    Pria pekerja bertubuh sedang dengan wajah tegas itu berjalan mendekati Kael. Langkahnya gemetar, tapi ia memaksakan diri untuk tetap terlihat sopan.“Ta-tuan… dia sudah mati,” ucapnya pelan.Kael menoleh sekilas ke arah tubuh Diana—kepalanya hancur, darah berceceran di tanah, tubuhnya tidak lagi bernyawa. Kael mengamati sebentar, lalu mengangguk pendek.“Bagus,” katanya tenang. “Sekarang kau boleh pergi.”Wajah pria itu langsung berubah lega. “Te-terima kasih! Terima kasih banyak!”Ia hampir berlari ketika pergi, seolah takut Kael akan berubah pikiran jika ia menunda sedetik pun.Para pekerja lain memandanginya dengan iri—sangat iri.“Andaikan aku yang mengambil tugas itu,” gumam salah satu dengan nada menyesal.“Dia benar-benar pergi… kita masih di sini,” ujar pekerja lainnya lirih, penuh kecemasan.Kael menatap mereka satu per satu, lalu berbicara dengan nada datar namun tegas.“Turunkan kontainernya. Sekarang.”Para pekerja itu langsung mengangguk cepat—tak satu pun berani membanta

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 262

    Kael berdiri dengan tenang di tengah dermaga, menatap keempat kultivator yang masih membeku dengan ketakutan, lalu menatap Diana dan para pekerja yang juga gemetar.Lalu ia bertanya dengan nada dingin."Siapa pemimpinnya?"Hening.Tidak ada yang menjawab.Semua orang diam, walaupun beberapa di antara mereka, terutama para pekerja, memandang Diana sebagai jawaban.Diana di sisi lain, juga diam—tidak mengatakan apa pun.Ia tidak perlu pintar untuk tahu bahwa dia akan bernasib buruk jika mengaku.Karenanya, ia menatap dingin para anggotanya—tatapan yang penuh dengan ancaman, yang memerintahkan mereka untuk menutup mulut!Kael menunggu beberapa detik.Namun tidak ada jawaban.Lalu ia berkata dengan nada tenang, namun di balik ketenangan itu, ada ancaman yang sangat mengerikan."Jika tidak ada yang mengaku, aku akan menganggap kalian semua sebagai pemimpinnya, dan tidak ada satu pun yang selamat!"Lalu—WUUUUUUMMMMM!!!Kael mengeluarkan sedikit energinya—sangat sedikit, hanya sebagian keci

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 261

    PELABUHAN TUA - PUKUL 00:20 DINI HARI.Di sebuah pelabuhan tua yang gelap dan sepi, dengan dermaga kayu yang sudah lapuk dan lampu-lampu redup yang hampir mati, sebuah kapal kargo besar sedang bersandar di tepi dermaga.Para pekerja dengan wajah keras dan tatapan dingin sedang sibuk mengangkat dua kontainer besar dengan derek—kontainer besi yang berbobot lebih dari satu ton, dengan pintu yang tertutup rapat dan dikunci dengan gembok tebal.BANG! BANG! BANG!"TOLONG! KELUARKAN KAMI!""KUMOHON! SELAMATKAN KAMI!""TOLONG! SIAPAPUN?!"Teriakan minta tolong terdengar dari dalam kontainer—teriakan yang penuh dengan kepanikan, dengan ketakutan, dengan keputusasaan.Itu membuat seorang wanita yang berdiri di dekat kontainer—wanita bertubuh kekar seperti binaragawan, dengan otot-otot yang menonjol di lengan dan kakinya, berusia sekitar akhir 30-an—menatap kontainer dengan tatapan kesal.Namanya Diana "The Iron Lady" Cross.Ia adalah bos dari sebuah sindikat perdagangan manusia, sindikat yang s

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 260

    Kael berdiri di tengah ruangan dengan tenang, menatap dua puluh preman yang berlari ke arahnya dengan senjata tajam dan beberapa senjata api.Lalu—Kael mengeluarkan sedikit auranya.WUUUUUUMMMMM!!!Aura perak yang sangat kuat meledak dari tubuhnya—aura yang menciptakan tekanan yang luar biasa besar, yang membuat seluruh gudang bergetar hebat.WHOOOOOOSSSSHHHHH!!!Sebagian besar preman langsung terlempar mundur dengan keras—tubuh mereka melayang di udara seperti daun yang tertiup angin badai.BANG! BANG! BANG! BANG!Beberapa dari mereka menabrak dinding dengan keras, tulang mereka retak, tubuh mereka jatuh dengan lemas.Beberapa menabrak tumpukan besi, kepala mereka berdarah, disertai pusing hebat.Bahkan beberapa menabrak rekan mereka yang lain, menciptakan tumpukan tubuh yang saling bertabrakan.Hanya dalam sekejap—Enam belas preman sudah tergeletak di tanah dengan luka-luka parah.Namun ada sekitar empat orang yang masih berdiri—empat preman dengan senjata api di tangan mereka.Me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status