Share

Bab 003

last update Last Updated: 2025-09-01 15:57:49

Saat semua orang terdiam canggung akibat kejutan besar dari Kael, pintu utama mansion tiba-tiba terbuka.

Seorang pria berjas hitam masuk dengan langkah ringan tapi percaya diri. Di belakangnya, dua asisten membawa masing-masing satu kotak hadiah berukuran cukup besar, dibungkus dengan pita emas dan merah marun.

Semua orang otomatis menoleh.

Seorang sepupu Evelyne berbisik, terkejut.

"Eh… itu Damian?"

"Damian Armand?" bisik yang lain, bahkan lebih kaget.

"Bukannya dia pindah ke Dravelle empat tahun lalu?"

Nyonya Agatha, yang awalnya tidak mengenali, langsung berdiri begitu pria itu mendekat dan melepas kacamata hitamnya.

"Damian?" serunya. "Astaga… benarkah ini kamu?"

Pria itu tersenyum sopan, membungkuk sedikit sambil mencium punggung tangan sang nenek.

"Selamat ulang tahun, Nyonya Agatha Laurent. Maaf aku datang tanpa kabar lebih dulu. Aku baru tiba di Elmridge pagi ini."

Senyum Agatha langsung mengembang. Aura dingin di wajahnya menguap seketika. Dia bahkan melupakan sepenuhnya Lonceng Jiwa pemberian Kael.

"Kau anak yang manis. Masih ingat ulang tahunku setelah sekian lama di luar negeri?"

"Tentu saja," jawab Damian. Ia melirik sekilas ke arah Evelyne, yang berdiri mematung beberapa meter darinya.

"Aku tidak pernah lupa hari ulang tahun orang yang sangat dihormati… juga orang yang pernah begitu berarti."

Semua orang langsung paham arah kata-kata itu.

Dan semua mata kini otomatis berpaling ke satu sosok: Evelyne.

Damian kemudian membuka hadiah pertamanya: sebuah kotak kayu hitam berlapis kaca, berisi liontin safir berbentuk bunga lily.

"Hadiah pertamaku, perhiasan antik dari Elmand. Hanya dibuat satu di dunia."

Hadiah kedua: vas porselen berusia dua abad dari Yongkokh.

"Keduanya untuk Nyonya Agatha, sebagai rasa hormatku dan kenanganku akan keluarga Laurent."

Hampir semua keluarga besar langsung bersorak dan berdecak kagum.

"Luar biasa!"

"Anak ini memang selalu perhatian!"

"Lihat betapa kontrasnya dia dengan Kael..."

Menyadari bahwa dia sekarang menjadi pusat perhatian, Damian tersenyum puas. Sekarang dia bisa melakukan rencananya, yaitu mempermalukan Kael, suami Evelyne!

Dia kemudian menatap Kael. Tatapannya ramah di permukaan, tapi menyimpan ejekan.

"Oh, apakah kau suami Evelyne?"

Ketika dia mengatakan itu, terlihat dengan jelas jejak penghinaan di matanya. Namun, itu segera hilang, digantikan dengan senyuman palsu.

"Maaf, aku tak tahu kau juga hadir di sini."

Kael hanya membalas dengan anggukan kecil, santai. "Tentu. Aku tak diundang, tapi selalu ada."

Mendengar itu, Damian tertawa, "Kau benar. Aku mendengar bahwa kau hanya menjadi... benalu di rumah ini. Aku bertanya-tanya mengapa kau masih bertahan di sini. Kau pasti sudah kehilangan seluruh harga dirimu, 'kan?"

Sebelum Kael bisa membalas, Agatha lebih dulu menyela, "Damian, jangan habiskan waktumu pada sampah seperti dia! Lebih baik kau duduk menikmati pesta. Duduk di samping Evelyne."

Evelyne terkejut. "Nenek, dia—"

"Ah, anggap saja reuni. Tak sering tamu istimewa muncul seperti ini."

Tanpa menunggu jawaban, Agatha memberi isyarat. Seorang pelayan menarik kursi tepat di sebelah Evelyne.

Kael… hanya berdiri diam di sudut meja.

Sekilas, tatapan Evelyne dan Kael bertemu. Tatapan Kael tidak marah—lebih ke… datar, namun menyimpan sesuatu yang lebih dalam.

Damian duduk dengan senyum percaya diri, lalu menoleh pada Evelyne dan berkata pelan, "Empat tahun ternyata tak cukup lama untuk melupakan wajahmu."

Evelyne hanya memberikan senyum sopan, tidak membalas.

Ini membuat Damian terkejut, membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak berkata, "Kupikir kau akan menyambutku lebih hangat, Evelyne."

Evelyne menoleh, senyum itu masih terlukis di wajahnya.

"Ini pesta ulang tahun nenek. Aku berusaha tetap sopan."

Damian tertawa pelan, "Sopan? Ayolah, dulu kau tidak pernah bersikap sejauh ini… apalagi padaku."

Ia melirik Kael sekilas, tatapannya dingin, "Kecuali sekarang ada seseorang yang mengubahmu."

Evelyne menegakkan duduknya, tidak nyaman.

Damian melanjutkan, lebih dalam, lebih menusuk, "Jangan bilang… kau menolakku hanya karena suami sampahmu itu?"

Beberapa anggota keluarga langsung melirik, sebagian menunjukkan ekspresi dingin, yang lain hanya pura-pura tidak mendengar.

Evelyne menegang, tapi matanya tetap tenang. Dia menunduk sebentar sebelum menjawab pelan tapi tegas, "Ini… merupakan wasiat kakekku. Dan aku tidak berniat melanggarnya."

Damian menyipitkan mata. "Itu saja? Hanya karena kakekmu?"

Evelyne tak langsung menjawab. Ada jeda satu detik—dan di situlah tatapannya tanpa sadar mengarah ke Kael, yang masih berdiri tenang dengan satu tangan di saku, seolah tak terganggu.

Dalam hatinya, Evelyne tahu—perasaannya tidak semata karena wasiat.

Tapi… gengsi terlalu tinggi untuk mengakuinya.

Akhirnya, dia kembali menatap Damian dan berkata pelan, "Kalau kau tak bisa menghargai pilihanku… maka mungkin kau memang tak pernah mengenalku."

Damian menatapnya dalam, namun tak membalas. Senyum sombongnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi terdiam yang sulit dijelaskan.

Dia berkata dalam hati, "Jangan bilang... Evelyne mencintai sampah tidak berguna itu?! Bagaimana ini mungkin?!"

Di sisi tak jauh dari mereka, Kael hanya mengangkat alis tipis, menyadari percakapan itu tanpa berniat mencampuri. Tapi diam-diam, dia tersenyum.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 046

    Pada titik ini, Kael menghela napas sebelum akhirnya berkata, "Jika Evelyne melihat kamarnya berantakan seperti ini, dia akan marah. Aku membutuhkan bantuan Vale lagi untuk ini."Ia mengambil ponsel yang ada di dekat kasurnya dan langsung menelepon Grand Elder Vale.Nada tunggu hanya berbunyi sekali sebelum suara dalam dan sopan terdengar dari seberang.“Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia Penguasa Sekte Naga Langit?"“Vale... aku butuh bantuanmu lagi,” ujar Kael pelan, matanya memandangi noda darah yang mengalir di lantai, hampir mengenai kakinya. “Aku butuh pembersihan. Sekarang juga di mansion keluarga Laurent.”Terdengar keheningan sesaat dari seberang, lalu pertanyaan cepat, “Tingkat prioritas?”“Prioritas emas. Jendela sisi timur lantai tiga mansion keluarga Laurent—bingkai persegi kayu jati. Sementara kacanya... hmm... kukirim saja fotonya agar lebih detail. Warna tembok: abu keperakan, sedikit mengilap, tinggi empat meter. Ada retakan lebar akibat benturan tubuh, sekitar satu

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 045

    Pale Raven tidak menjawab. Tapi matanya mengerut sedikit. Ada tekanan yang aneh, seolah dia yang sedang dinilai.Kael berdiri. Tubuhnya tegap, wajahnya kini sepenuhnya serius. Tidak ada kesan ‘menantu tidak berguna’ di matanya. Yang berdiri di hadapan Raven sekarang adalah sesuatu yang jauh berbeda dari yang dikatakan Hector."Semua orang ingin aku mati, tapi hanya sedikit yang cukup bodoh untuk mencobanya langsung. Dan perlu kau ketahui, tidak ada satu pun dari mereka yang selamat," kata Kael dengan nada mengejek.Detik berikutnya, suhu kamar seolah menurun. Bukan karena sihir, tapi karena kehadiran, dominasi, dan aura dari seseorang yang dianggap sampah dan beban.Ini membuat Pale Raven menyadari satu hal. Kael akan menjadi lawan terberat yang pernah dia hadapi selama karirnya.Pada titik ini, dia diam. Dalam pikirannya, kalkulasi baru mulai terbentuk. Metode awal—meniru surat bunuh diri, terlebih memaksanya untuk menulis suratnya sendiri—semuanya mustahil dilakukan.Pria ini... buk

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 044

    Napas Bella tersenggal, tubuhnya masih bergetar dalam selimut tipis yang menyelimuti sebagian tubuhnya. Lampu temaram di langit-langit menggantung seperti bintang-bintang palsu, dan udara malam yang masuk dari celah jendela terbuka membawa dingin samar yang justru membuat peluh di kulit terasa lebih nyata.Ia berbaring di sisi ranjang, rambutnya terurai di atas bantal satin berwarna abu-abu gelap. Vincent duduk di sisi ranjang, membelakanginya, menyisakan punggung tegap dan garis bahu yang seolah tak pernah menunduk untuk siapa pun. Ia belum berbicara sejak tadi. Hanya diam, menatap ke kaca besar yang menghadap ke kota dengan ekspresi tak terbaca.Bella, dengan mata setengah terpejam dan senyum kecil yang masih tergantung di bibir, meraih lengannya dan bersandar pelan ke punggung pria itu.“Aku… merasa baru saja dilahirkan kembali,” bisiknya.Tak ada jawaban.Ia tertawa kecil, lembut, seperti seseorang yang baru saja menang dalam pertarungan panjang. “Terima kasih… karena telah memili

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 043

    Langit malam menggantung tenang di atas kota, diselingi kerlip lampu-lampu gedung pencakar langit. Di antara semua bangunan megah itu, hanya satu yang menjulang paling angkuh: Albrecht Tower. Dinding kacanya memantulkan cahaya malam dengan kemewahan yang menyilaukan, seperti istana kaca dari masa depan.Sebuah mobil coupe mewah berhenti di pintu masuk utama. Dari dalamnya, Bella Laurent melangkah turun dengan anggun. Gaun beludru hitam yang membalut tubuhnya menonjolkan lekuk tanpa berlebihan, sementara anting berlian kecil di telinganya memantulkan kilau halus setiap kali ia bergerak.Petugas lobi membungkuk tanpa banyak bicara, dan dalam hitungan detik, Bella sudah dibawa naik dengan lift pribadi—menuju lantai 51.Pintu lift terbuka dengan suara mendesing halus. Di depannya, terbentang koridor sunyi berlapis karpet kelabu, diterangi cahaya lampu gantung minimalis. Di ujung lorong, berdiri dua pria berjas hitam dengan earpiece—tak menyapa, hanya memeriksa wajahnya, lalu membuka pintu

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 042

    Jam menunjukkan pukul satu siang ketika cahaya matahari yang lembut menembus tirai tipis kamar Bella Laurent. Ia sedang duduk santai di sofa beludru di samping jendela, mengenakan gaun santai berwarna krem muda, sambil memutar-mutar gelas infused water yang belum disentuh.Di pangkuannya, tablet menyala menampilkan katalog tas terbaru dari rumah mode luar negeri, tapi pikirannya melayang. Kemarin malam—makan malam di mana tatapan Vincent Albrecht sempat bersinggungan dengan matanya, hanya sekejap... tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak kencang."Aku yakin dia melihatku," bisiknya pelan.Dan seolah menjawab pikirannya sendiri, ponsel di meja kecil tiba-tiba berbunyi. Notifikasi dari aplikasi eksklusif bernama LionLine, platform komunikasi terenkripsi milik kalangan ultra-elit.Bella mematung. Jarang sekali ada notifikasi dari aplikasi itu. Saat ia meraih ponsel dan membuka pesannya, matanya langsung membelalak.Pengirim: Vincent AlbrechtWaktu: 13.02Pesan itu pendek, tapi cuku

  • Ngakunya Pengangguran, Ternyata Penguasa Dunia    Bab 041

    Setelah pintu tertutup dan langkah kaki mereka menghilang di lorong, keheningan perlahan mengisi kamar itu. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah ikut menahan napas.Kael berdiri diam di samping Evelyne, matanya masih menatap pintu, seakan memastikan tidak ada yang kembali. Setelah beberapa detik, ia berbalik, memandang perempuan itu dengan pandangan yang lebih lembut dari biasanya.“Terima kasih,” ucapnya pelan. "Aku terharu kau berada di pihakku kali ini."Evelyne menatap Kael. Sorot matanya tajam namun tak sepenuhnya keras.“Aku melakukan ini karena wasiat Kakekku,” katanya dengan suara datar. “Tidak lebih.”Kael tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya menatapnya dalam diam.“Aku menghormati Kakek lebih dari siapa pun di dunia ini,” lanjut Evelyne. “Dan karena itulah aku berdiri di sampingmu tadi. Jadi jangan salah paham, Kael.”Ia mengambil satu langkah menjauh darinya. “Namun aku penasaran… kenapa kau menantang Vincent?”Kael tetap diam, menunggu Evelyne menyelesaikan pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status