LOGINHening.
Tak satu pun dari mereka membalas. Mereka tak bisa membantah kesetiaan Evelyne pada kakeknya. Tapi wajah mereka jelas tidak puas.
Evelyne menghela napas perlahan.
“Kalian bisa terus bicara. Tapi aku tidak akan mendengarkannya lagi malam ini.”
Tanpa menunggu balasan, ia melangkah pergi, menuju lantai tiga, kamarnya.
Setelah kepergian Evelyne, Hector mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap wajah Agatha yang sejak tadi hanya mengamati—dalam diam yang lebih mengancam dari kemarahan.
“Ibu, kau dengar sendiri. Dia keras kepala.”
Agatha Laurent, wanita tua berwibawa, mengangkat cangkir tehnya perlahan, lalu meletakkannya dengan lembut di atas tatakan.
"Tiga tahun... kita semua sudah terlalu sabar. Sekarang waktunya menyelamatkan Evelyne dari dirinya sendiri."
Mariana langsung menimpali, “Kau benar, Bu. Lihat saja tadi. Dia membela Kael seolah-olah pria itu malaikat penyelamatnya!”
Agatha mendesah, tapi tidak ada kelembutan dalam helaan napasnya. Hanya kejengkelan.
“Dia terlalu terikat pada mendiang kakeknya. Itulah masalahnya. Dia anggap wasiat itu suci… padahal itu hanya kesalahan seorang lelaki tua yang sedang sekarat.”
Semua terdiam mendengar ucapan itu. Agatha adalah istri dari kakek Evelyne—perempuan itu tahu bagaimana menyentuh titik paling sensitif tanpa terlihat kejam.
Hector mengangguk pelan, “Kalau begitu... apa yang harus kita lakukan?”
Agatha menatap mereka satu per satu. Tatapannya menusuk dan penuh perhitungan.
“Kita dekatkan Damian secara perlahan. Jangan langsung menggantikan posisi Kael, tapi bawa Damian ke dalam lingkaran kita. Buat dia menjadi bagian dari keluarga ini... bahkan sebelum Evelyne menyadarinya."
“Dan Kael?” tanya Grace dengan ragu.
Agatha menyeringai kecil.
“Kael? Dia akan menghilang... perlahan. Bukan karena kita dorong keluar, tapi karena Evelyne sendiri akan sadar bahwa dia terlalu memalukan untuk dipertahankan."
Mariana ikut tersenyum penuh maksud, "Dan jika tidak sadar juga?"
Agatha memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali.
"Maka kita buat dia sadar. Kita akan tunjukkan padanya bahwa dunia tak akan pernah mengakui pria seperti Kael. Biarkan dia merasa tidak punya tempat, tidak punya masa depan, bahkan tidak punya harga diri."
"Dan ketika saat itu datang..." bisik Grace, "Damian akan jadi satu-satunya sandaran."
Agatha mengangguk puas. "Tepat sekali."
Sementara itu, tanpa tahu apa yang sedang mereka rencanakan, Evelyne masuk ke kamarnya sambil menghembuskan napas berat. Langkah kakinya ringan, tapi nada hatinya penuh kekesalan dan kelelahan.
Namun, matanya tiba-tiba melebar melihat pemandangan yang ada di depannya.
Kael sedang berbaring santai di atas ranjangnya!
Satu tangan di belakang kepala, satu kaki disilangkan. Seolah dia pemilik sah ranjang itu.
“KAEL!”
Kael membuka satu mata, lalu menguap kecil.
“Ah, kau kembali? Kukira kau bakal menginap di meja makan, ditemani pujian untuk Damian.”
Evelyne berjalan cepat ke sisi tempat tidur, wajahnya merah karena marah. “Turun. Sekarang.”
Kael justru tersenyum lebih lebar.
“Tunggu dulu.” Dia bangkit duduk, tangan menyilang di dada. “Bukankah kau pernah bilang... kalau aku berhasil membuat salah satu anggota keluargamu terkesan, aku boleh tidur di ranjang?”
Evelyne memicingkan mata. “Aku tidak—”
"Kau bilang itu saat ulang tahun pamanmu tahun lalu. Kau bahkan bilang, ‘Tapi itu tak akan pernah terjadi karena kau tak akan bisa membuat siapa pun terkesan.’"
Kael menirukan dengan gaya bicara Evelyne, lengkap dengan nada sinisnya.
“Dan lihat sekarang—Nenek Agatha bahkan menyentuh lonceng pemberianku sambil diam-diam terkesan... Itu jelas kemenangan besar.”
Pipi Evelyne mulai memerah, meskipun matanya tetap tajam.
"Itu hanya karena harganya mahal. Jangan terlalu percaya diri. Aku bahkan tidak tahu darimana kau mendapatkannya!"
Kael menyandarkan punggung ke sandaran tempat tidur, senyumnya masih melekat.
"Apakah itu penting? Alasan tetaplah alasan. Yang penting aku menang taruhannya."
Evelyne berdiri kaku, tangan di pinggang. "Turun sekarang juga, Kael, atau aku lempar kau keluar jendela."
Kael tertawa kecil. "Kau sungguh tega. Apa pantas suamimu—yang baru saja menyelamatkan reputasimu di depan keluarga dan para elit kota—diperlakukan seperti ini? Ya, walaupun kehadiran Damian menghancurkan segalanya, sih."
“Kau tidur di bawah. Itu aturan.”
“Aturan berubah. Aku sudah naik level hari ini.”
“Kael!”
Kael akhirnya berdiri, tapi alih-alih mundur, dia melangkah mendekat—menurunkan suaranya sedikit.
"Tenang saja, aku nggak bakal ngapa-ngapain. Aku tahu batas. Aku cuma ingin tahu... seperti apa rasanya tidur di ranjang empuk ini. Sekali saja."
Evelyne terdiam. Matanya menatap Kael tajam, tapi raut wajahnya tak lagi sepanas tadi.
Setelah beberapa detik, ia menghela napas berat dan berkata dingin, "Baik. Tapi malam ini saja."
Kael tersenyum lebar, nyaris seperti anak kecil yang baru diizinkan tidur di kamar utama.
“Terima kasih, Yang Mulia. Kau yang terbaik!"
"Dan jangan coba menyentuhku."
"Aku tidak sebodoh itu. Aku sayang nyawa."
Evelyne membuang muka, wajahnya merah padam.
Lampu kamar padam beberapa menit kemudian, dan dua sosok itu berbaring berseberangan di ranjang yang sama... dalam keheningan yang justru penuh percikan api yang tak terlihat.
—
Besoknya, di pagi hari, sekitar pukul sepuluh, Kael baru saja selesai menjemur pakaian ketika Evelyne muncul dengan ekspresi tak biasa.
"Siang ini ada undangan makan dari Damian dan beberapa investor besar," ucapnya singkat. "Topiknya proyek energi bersih di wilayah timur. Proyek besar. Orang-orang penting akan datang."
Kael mengangkat alis, menggulung lengan bajunya yang masih basah. "Lalu kenapa kau repot-repot memberitahuku?"
Evelyne terlihat ragu. "Karena kau juga diundang… Tapi jujur saja, kehadiranmu tak benar-benar diperlukan. Sebaiknya, kau tetap di sini. Aku akan mengatakan bahwa kau sakit."
Kael tersenyum, "Oh... manisnya. Apakah kau khawatir suamimu ini kembali dipermalukan? Aku tidak menyangka kau ternyata peduli padaku."
"Jangan bercanda, Kael. Ini demi menjaga nama baik keluarga. Aku tidak ingin kehadiranmu merusak nama baik keluarga Laurent."
Kael masih tersenyum. Dia tidak marah, tidak juga tersinggung—dia tahu bahwa Evelyne tidak ingin dia dipermalukan, hanya saja malu untuk mengakuinya.
Namun, undangan ini adalah kesempatannya melihat sejauh mana Damian akan bergerak.
Ingin mempermalukan dirinya di depan orang-orang penting, menunjukkan perbedaan level di antara mereka?
Ingin merebut Evelyne dari dia, menunjukkan siapa yang pantas untuk Evelyne?
Mari kita lihat apa yang bisa dia lakukan.
Kael kemudian mengambil handuk, mengusap tangannya yang basah sembari membalas, "Karena aku sudah diundang, aku harus datang. Bagaimanapun, ini acara langka. Aku hampir tak pernah diajak ke acara makan siang semewah dan sepenting ini."
"Kael! Aku sudah memperingatkanmu..."
Sebelum Evelyne menyelesaikan kalimatnya, Kael langsung menyela dengan berkata, "Jangan khawatir, Yang Mulia. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku tidak akan mempermalukan keluarga Laurent. Percayalah padaku."
Melihat Kael dipenuhi dengan kepercayaan diri, Evelyne hanya bisa menghela napas tanpa daya. Dia membalas, "Terserah padamu. Namun, jika kau mempermalukan keluarga Laurent, jangan salahkan aku jika membuatmu tidur di taman malam ini!"
Kael tersenyum hangat saat dia membalas, "Cukup adil."
Setelah selesai sarapan, Kael membawa Lily kembali ke Maple Inn."Lily, kau mandi dulu. Setelahnya kita akan pergi membeli pakaian."Mata Lily langsung berbinar. "Pakaian baru?! Benarkah, Paman?!"Kael tersenyum. "Tentu saja. Kau akan mulai sekolah, tidak mungkin masih pakai pakaian yang kotor, robek, dan kebesaran seperti ini, bukan?"Lily mengangguk dengan semangat, lalu berlari masuk ke kamar mandi dengan penuh antusias.Tak lama kemudian, mereka sudah berada di jalan menuju mall terdekat.Lily berjalan di samping Kael dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Membeli pakaian baru? Dia belum pernah melakukan ini sebelumnya!---Mall itu ramai. Orang-orang berlalu-lalang dengan tas belanjaan di tangan, suara musik latar mengalun lembut, dan aroma parfum bercampur dengan kopi dari kafe-kafe kecil.Kael membawa Lily ke toko pakaian anak-anak yang terlihat rapi dan nyaman."Lily, pilih pakaian yang kau suka. Ambil lima, minimal," kata Kael dengan nada lembut.Lily men
KANTOR POLISI KOTA SILVERTON - PAGI HARI.Ruangan Kepala Kepolisian.Seorang pria bertubuh besar dengan rambut hitam pendek yang mulai beruban di pelipis, duduk di belakang meja kerjanya—Inspektur Richard Donovan, Kepala Kepolisian Kota Silverton. Usianya sekitar pertengahan lima puluhan, dengan tatapan tajam dan dagu yang tegas.Ia sedang membaca laporan rutin pagi itu ketika pintu ruangannya diketuk dengan keras.TOK! TOK! TOK!"Masuk," katanya tanpa mengangkat kepala.Pintu terbuka. Seorang detektif muda dengan wajah pucat masuk dengan tergesa-gesa—napasnya terengah-engah, tangannya memegang setumpuk dokumen dengan erat."Pak! Ada berita penting!"Richard mengangkat kepalanya dengan alis terangkat. Jarang sekali bawahannya terlihat sepanik ini."Apa?"Detektif itu menelan ludah, lalu berkata dengan suara yang sedikit bergetar."Marcus 'The Reaper' Volkov... dia mati, Pak. Di markasnya. Tadi malam."Richard membeku.Keheningan singkat.Lalu—BRAK!!!Ia bangkit dari kursinya dengan c
Pria pekerja bertubuh sedang dengan wajah tegas itu berjalan mendekati Kael. Langkahnya gemetar, tapi ia memaksakan diri untuk tetap terlihat sopan.“Ta-tuan… dia sudah mati,” ucapnya pelan.Kael menoleh sekilas ke arah tubuh Diana—kepalanya hancur, darah berceceran di tanah, tubuhnya tidak lagi bernyawa. Kael mengamati sebentar, lalu mengangguk pendek.“Bagus,” katanya tenang. “Sekarang kau boleh pergi.”Wajah pria itu langsung berubah lega. “Te-terima kasih! Terima kasih banyak!”Ia hampir berlari ketika pergi, seolah takut Kael akan berubah pikiran jika ia menunda sedetik pun.Para pekerja lain memandanginya dengan iri—sangat iri.“Andaikan aku yang mengambil tugas itu,” gumam salah satu dengan nada menyesal.“Dia benar-benar pergi… kita masih di sini,” ujar pekerja lainnya lirih, penuh kecemasan.Kael menatap mereka satu per satu, lalu berbicara dengan nada datar namun tegas.“Turunkan kontainernya. Sekarang.”Para pekerja itu langsung mengangguk cepat—tak satu pun berani membanta
Kael berdiri dengan tenang di tengah dermaga, menatap keempat kultivator yang masih membeku dengan ketakutan, lalu menatap Diana dan para pekerja yang juga gemetar.Lalu ia bertanya dengan nada dingin."Siapa pemimpinnya?"Hening.Tidak ada yang menjawab.Semua orang diam, walaupun beberapa di antara mereka, terutama para pekerja, memandang Diana sebagai jawaban.Diana di sisi lain, juga diam—tidak mengatakan apa pun.Ia tidak perlu pintar untuk tahu bahwa dia akan bernasib buruk jika mengaku.Karenanya, ia menatap dingin para anggotanya—tatapan yang penuh dengan ancaman, yang memerintahkan mereka untuk menutup mulut!Kael menunggu beberapa detik.Namun tidak ada jawaban.Lalu ia berkata dengan nada tenang, namun di balik ketenangan itu, ada ancaman yang sangat mengerikan."Jika tidak ada yang mengaku, aku akan menganggap kalian semua sebagai pemimpinnya, dan tidak ada satu pun yang selamat!"Lalu—WUUUUUUMMMMM!!!Kael mengeluarkan sedikit energinya—sangat sedikit, hanya sebagian keci
PELABUHAN TUA - PUKUL 00:20 DINI HARI.Di sebuah pelabuhan tua yang gelap dan sepi, dengan dermaga kayu yang sudah lapuk dan lampu-lampu redup yang hampir mati, sebuah kapal kargo besar sedang bersandar di tepi dermaga.Para pekerja dengan wajah keras dan tatapan dingin sedang sibuk mengangkat dua kontainer besar dengan derek—kontainer besi yang berbobot lebih dari satu ton, dengan pintu yang tertutup rapat dan dikunci dengan gembok tebal.BANG! BANG! BANG!"TOLONG! KELUARKAN KAMI!""KUMOHON! SELAMATKAN KAMI!""TOLONG! SIAPAPUN?!"Teriakan minta tolong terdengar dari dalam kontainer—teriakan yang penuh dengan kepanikan, dengan ketakutan, dengan keputusasaan.Itu membuat seorang wanita yang berdiri di dekat kontainer—wanita bertubuh kekar seperti binaragawan, dengan otot-otot yang menonjol di lengan dan kakinya, berusia sekitar akhir 30-an—menatap kontainer dengan tatapan kesal.Namanya Diana "The Iron Lady" Cross.Ia adalah bos dari sebuah sindikat perdagangan manusia, sindikat yang s
Kael berdiri di tengah ruangan dengan tenang, menatap dua puluh preman yang berlari ke arahnya dengan senjata tajam dan beberapa senjata api.Lalu—Kael mengeluarkan sedikit auranya.WUUUUUUMMMMM!!!Aura perak yang sangat kuat meledak dari tubuhnya—aura yang menciptakan tekanan yang luar biasa besar, yang membuat seluruh gudang bergetar hebat.WHOOOOOOSSSSHHHHH!!!Sebagian besar preman langsung terlempar mundur dengan keras—tubuh mereka melayang di udara seperti daun yang tertiup angin badai.BANG! BANG! BANG! BANG!Beberapa dari mereka menabrak dinding dengan keras, tulang mereka retak, tubuh mereka jatuh dengan lemas.Beberapa menabrak tumpukan besi, kepala mereka berdarah, disertai pusing hebat.Bahkan beberapa menabrak rekan mereka yang lain, menciptakan tumpukan tubuh yang saling bertabrakan.Hanya dalam sekejap—Enam belas preman sudah tergeletak di tanah dengan luka-luka parah.Namun ada sekitar empat orang yang masih berdiri—empat preman dengan senjata api di tangan mereka.Me







