MasukSekitar pukul dua belas malam, cahaya lampu kristal di ruang makan mansion keluarga Laurent meredup, meninggalkan nuansa keemasan yang menggantung berat di udara. Para tamu telah pulang. Musik telah mati. Tapi ketegangan justru belum berakhir.
Di meja makan panjang yang kini hanya diisi oleh anggota inti keluarga, suasana terasa lebih panas dari pesta tadi. Paman Hector meletakkan gelas wine-nya, suaranya terdengar tegas. “Kita semua bisa melihat siapa yang sebenarnya layak untuk Evelyne. Damian bukan hanya sukses, dia juga datang dengan membawa peluang besar. Sudah saatnya kita realistis.” Mariana, wanita beralis tebal yang tadi mencoba mendorong Kael, mendengus setuju. “Kau lihat sendiri tadi. Kael bahkan nyaris bikin keributan. Dan cara dia berdiri diam saat aku dorong… seperti batu! Itu menakutkan! Menantu macam apa dia itu?” “Menantu batu,” gumam salah satu sepupu sambil terkekeh kecil. Grace yang sejak tadi lebih tenang, kini ikut angkat bicara. “Kael hanya perusak suasana. Dia datang tanpa reputasi, tanpa asal-usul jelas. Sementara Damian… dia memperlakukan keluarga ini seperti mitra sejajar. Itu jauh lebih berarti daripada sekadar membawa hadiah aneh yang ternyata mahal.” Mereka semua memandang ke arah Evelyne, yang duduk diam sejak tadi. Wajah Evelyne tampak menegang, tapi matanya dingin dan tak tergoyahkan. “Sudah kubilang dari awal.” suaranya tajam, “Aku tidak akan melanggar wasiat Kakek.” “Wasiat itu dibuat tiga tahun lalu, Evelyne!” bentak Mariana. “Kakekmu bahkan tidak tahu siapa sebenarnya Kael. Bagaimana kalau dia hanya menipu kita semua?” Evelyne berdiri perlahan, suaranya tetap tenang, tapi setiap katanya menghantam seperti batu. “Kakek adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahamiku. Dia sangat menyayangiku. Dia yang paling tahu apa yang terbaik untukku!” “Setelah Ayah meninggal… dia satu-satunya yang kupercaya. Dan jika dia memintaku hidup bersama Kael… maka aku akan menepatinya.” Hening. Tak satu pun dari mereka membalas. Mereka tak bisa membantah kesetiaan Evelyne pada kakeknya. Tapi wajah mereka jelas tidak puas. Evelyne menghela napas perlahan. “Kalian bisa terus bicara. Tapi aku tidak akan mendengarkannya lagi malam ini.” Tanpa menunggu balasan, ia melangkah pergi, menuju lantai tiga, kamarnya. Setelah kepergian Evelyne, Hector mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap wajah Agatha yang sejak tadi hanya mengamati—dalam diam yang lebih mengancam dari kemarahan. “Ibu, kau dengar sendiri. Dia keras kepala.” Agatha Laurent, wanita tua berwibawa, mengangkat cangkir tehnya perlahan, lalu meletakkannya dengan lembut di atas tatakan. "Tiga tahun... kita semua sudah terlalu sabar. Sekarang waktunya menyelamatkan Evelyne dari dirinya sendiri." Mariana langsung menimpali, “Kau benar, Bu. Lihat saja tadi. Dia membela Kael seolah-olah pria itu malaikat penyelamatnya!” Agatha mendesah, tapi tidak ada kelembutan dalam helaan napasnya. Hanya kejengkelan. “Dia terlalu terikat pada mendiang kakeknya. Itulah masalahnya. Dia anggap wasiat itu suci… padahal itu hanya kesalahan seorang lelaki tua yang sedang sekarat.” Semua terdiam mendengar ucapan itu. Agatha adalah istri dari kakek Evelyne—perempuan itu tahu bagaimana menyentuh titik paling sensitif tanpa terlihat kejam. Hector mengangguk pelan, “Kalau begitu... apa yang harus kita lakukan?” Agatha menatap mereka satu per satu. Tatapannya menusuk dan penuh perhitungan. “Kita dekatkan Damian secara perlahan. Jangan langsung menggantikan posisi Kael, tapi bawa Damian ke dalam lingkaran kita. Buat dia menjadi bagian dari keluarga ini... bahkan sebelum Evelyne menyadarinya." “Dan Kael?” tanya Grace dengan ragu. Agatha menyeringai kecil. “Kael? Dia akan menghilang... perlahan. Bukan karena kita dorong keluar, tapi karena Evelyne sendiri akan sadar bahwa dia terlalu memalukan untuk dipertahankan." Mariana ikut tersenyum penuh maksud, "Dan jika tidak sadar juga?" Agatha memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali. "Maka kita buat dia sadar. Kita akan tunjukkan padanya bahwa dunia tak akan pernah mengakui pria seperti Kael. Biarkan dia merasa tidak punya tempat, tidak punya masa depan, bahkan tidak punya harga diri." "Dan ketika saat itu datang..." bisik Grace, "Damian akan jadi satu-satunya sandaran." Agatha mengangguk puas. "Tepat sekali." Sementara itu, tanpa tahu apa yang sedang mereka rencanakan, Evelyne masuk ke kamarnya sambil menghembuskan napas berat. Langkah kakinya ringan, tapi nada hatinya penuh kekesalan dan kelelahan. Namun, matanya tiba-tiba melebar melihat pemandangan yang ada di depannya. Kael sedang berbaring santai di atas ranjangnya! Satu tangan di belakang kepala, satu kaki disilangkan. Seolah dia pemilik sah ranjang itu. “KAEL!” Kael membuka satu mata, lalu menguap kecil. “Ah, kau kembali? Kukira kau bakal menginap di meja makan, ditemani pujian untuk Damian.” Evelyne berjalan cepat ke sisi tempat tidur, wajahnya merah karena marah. “Turun. Sekarang.” Kael justru tersenyum lebih lebar. “Tunggu dulu.” Dia bangkit duduk, tangan menyilang di dada. “Bukankah kau pernah bilang... kalau aku berhasil membuat salah satu anggota keluargamu terkesan, aku boleh tidur di ranjang?” Evelyne memicingkan mata. “Aku tidak—” "Kau bilang itu saat ulang tahun pamanmu tahun lalu. Kau bahkan bilang, ‘Tapi itu tak akan pernah terjadi karena kau tak akan bisa membuat siapa pun terkesan.’" Kael menirukan dengan gaya bicara Evelyne, lengkap dengan nada sinisnya. “Dan lihat sekarang—Nenek Agatha bahkan menyentuh lonceng pemberianku sambil diam-diam terkesan... Itu jelas kemenangan besar.” Pipi Evelyne mulai memerah, meskipun matanya tetap tajam. "Itu hanya karena harganya mahal. Jangan terlalu percaya diri. Aku bahkan tidak tahu darimana kau mendapatkannya!" Kael menyandarkan punggung ke sandaran tempat tidur, senyumnya masih melekat. "Apakah itu penting? Alasan tetaplah alasan. Yang penting aku menang taruhannya." Evelyne berdiri kaku, tangan di pinggang. "Turun sekarang juga, Kael, atau aku lempar kau keluar jendela." Kael tertawa kecil. "Kau sungguh tega. Apa pantas suamimu—yang baru saja menyelamatkan reputasimu di depan keluarga dan para elit kota—diperlakukan seperti ini? Ya, walaupun kehadiran Damian menghancurkan segalanya, sih." “Kau tidur di bawah. Itu aturan.” “Aturan berubah. Aku sudah naik level hari ini.” “Kael!” Kael akhirnya berdiri, tapi alih-alih mundur, dia melangkah mendekat—menurunkan suaranya sedikit. "Tenang saja, aku nggak bakal ngapa-ngapain. Aku tahu batas. Aku cuma ingin tahu... seperti apa rasanya tidur di ranjang empuk ini. Sekali saja." Evelyne terdiam. Matanya menatap Kael tajam, tapi raut wajahnya tak lagi sepanas tadi. Setelah beberapa detik, ia menghela napas berat dan berkata dingin, "Baik. Tapi malam ini saja." Kael tersenyum lebar, nyaris seperti anak kecil yang baru diizinkan tidur di kamar utama. “Terima kasih, Yang Mulia. Kau yang terbaik!" "Dan jangan coba menyentuhku." "Aku tidak sebodoh itu. Aku sayang nyawa." Evelyne membuang muka, wajahnya merah padam. Lampu kamar padam beberapa menit kemudian, dan dua sosok itu berbaring berseberangan di ranjang yang sama... dalam keheningan yang justru penuh percikan api yang tak terlihat.Langit masih pucat keperakan ketika Tu Feng melesat menembus lapisan awan tinggi. Dalam dua menit saja, bahkan tanpa mengerahkan kecepatan penuhnya, mereka menempuh jarak lebih dari sepuluh mil—sekadar pemanasan sebelum benar-benar memasuki wilayah luas benua tengah.Lima jam kemudian, garis perbatasan wilayah timur akhirnya hilang dari pandangan. Pegunungan zamrud yang selama ini menjadi benteng alami wilayah Raja Tianlong berubah menjadi hamparan tanah asing yang membentang tanpa ujung. Di hadapan mereka, cahaya dunia terasa berbeda—lebih liar, kurang teratur, dan terisi berbagai kemungkinan yang belum bernama.Kael membuka gulungan peta yang diberikan Yue Lian beberapa bulan lalu. Kertasnya lembut, namun garis-garisnya tajam, seperti dibuat oleh tangan seorang ahli.Jarak dari titik ini menuju Sekte Naga Keadilan… tidak kecil."Lima ratus ribu hingga tujuh ratus ribu mil," gumam Kael rendah setelah menghitung ulang jalur yang harus mereka tempuh—memperhitungkan rute aman, jalur ang
Keesokan paginya, paviliun Hutan Obat telah dipenuhi orang luar, dan mereka adalah orang-orang yang menyandang kuasa tertinggi di Kerajaan Langit Timur. Halaman depan paviliun penuh oleh simbol-simbol kehormatan: jubah kebesaran, lambang kerajaan, dan wajah-wajah penting.Raja Tianlong sendiri berdiri paling depan. Di sampingnya berdiri Yue Lian dan Yue Ling, lalu para petinggi istana, termasuk panglima perang terbaik; Wu Zhen.Keberadaan mereka hanya untuk satu hal, melihat keberangkatan Kael; Pahlawan Langit Timur, menuju Sekte Naga Keadilan.Kael melangkah keluar dari pintu paviliun dengan jubah putihnya yang sederhana. Lengan bajunya bergetar pelan tertiup angin pagi. Tidak ada kemegahan dalam busananya — hanya ketenangan. Tapi justru karena ketenangannya itulah semua orang merasa… ada sesuatu yang besar yang berjalan bersamanya.Yang pertama maju adalah Raja Tianlong.Suara sang raja tenang, namun mengandung kewaspadaan yang tak dapat disembunyikan. “Berhati-hatilah di perjalanan
Sejak Tu Feng menerobos ke Ranah Jiwa, ritme harian Kael sepenuhnya berubah.Ia tidak lagi mengurung diri dalam meditasi sepanjang hari. Pada beberapa pagi, sebelum matahari terbit, Kael akan berdiri di punggung Tu Feng, dan keduanya terbang melintasi barisan gunung, memecah kabut dini hari dengan kehadiran mereka. Angin dingin menerpa wajah Kael, membuat napasnya terasa lebih hidup dibanding ratusan jam meditasi sunyi.Yang awalnya hanya sekadar penerbangan pendek untuk membiasakan ritme tubuh, lama-kelamaan menjadi kebiasaan. Tu Feng akan mendarat di puncak yang tinggi, lalu membentangkan sayapnya seolah mempersilakan Kael turun—dan di tempat-tempat sunyi yang hanya dihuni awan, Kael akan melanjutkan kultivasinya.Tidak lagi di paviliun, tidak lagi di tanah, melainkan di langit.Energi di puncak gunung jauh lebih murni, dan perpaduan dua energi di dalam tubuhnya bekerja lebih stabil saat berkultivasi di tempat yang disentuh langsung oleh aliran langit.Maka, menjelang akhir bulan ke
Sementara itu, kultivasi Kael secara tidak langsung mendorong kedua adik kecilnya ikut tumbuh.Li Wei menembus Ranah Dasar tingkat ketiga, dan itu adalah kemajuan besar untuk seorang anak seumurannya.Ia bahkan mulai menempa fisik di pagi hari sebelum matahari naik, menirukan disiplin yang ia lihat dari Kael.Mei Lin… mencoba ikut berlatih agar seperti kedua kakaknya, tapi masih belum berhasil.Tubuhnya menolak energi spiritual, seolah pintu kultivasinya tertutup sejak lahir. Di malam-malam tertentu, gadis kecil itu diam-diam menangis di sudut kamar, khawatir akan selamanya menjadi beban.Namun Li Wei akan selalu menemukan dirinya di sana. Mengusap kepalanya, menghibur, dan berjanji.“Tidak apa-apa kalau kau tidak bisa menjadi kultivator. Aku cukup untuk kita berdua. Aku yang akan melindungimu.”Itu membuat Mei Lin tersenyum lagi, walau dengan mata yang masih merah.---Di bulan kelima adalah saat pematangan, di mana penyatuan energi benar-benar mulai menghasilkan bentuk baru di dalam
Keesokan harinya, kabut spiritual tipis menyelimuti Paviliun Hutan Obat saat fajar menyentuh pucuk dedaunan. Embun masih bergantung di ujung-ujung rumput ketika Kael mulai memasuki hari pertamanya berkultivasi serius. Ia memilih area terbuka di halaman paviliun, tempat aliran energi bumi dan langit mengalir paling stabil.Duduk bersila, ia menarik napas panjang.Di dalam tubuhnya, dua kekuatan berbeda bersarang—energi spiritual murni… dan energi hitam yang liar dan tidak tunduk pada aturan mana pun. Dan energi hitam inilah yang menjadi sumber kecerdasan kultivasinya, menjadikannya sosok yang melampaui batas wajar seorang kultivator.Vale menyebutnya energi iblis, sementara Kakek Zion menyebutnya energi keberuntungan.Kael memilih sependapat dengan Kakek Zion—bukan karena ingin membela dirinya sendiri, melainkan karena ia memahami hakikat energi itu: bukan energi perusak, bukan pula kekuatan jahat… hanya kekuatan yang terlalu padat, terlalu purba, dan terlalu agung hingga apa pun yang
Keesokan harinya…Ketukan lembut terdengar dari luar pintu ruangan Tianlong.“Masuk,” suara Tianlong terdengar dari dalam.Pintu terbuka perlahan. Kael melangkah masuk dengan postur tenang dan penuh hormat, lalu membungkuk tipis.“Yang Mulia.”Tianlong mengangguk, lalu mengambil sebuah gulungan emas dari atas meja kayu naga hitam di sampingnya. Ia berdiri dan menyerahkannya langsung ke tangan Kael.“Inilah surat rekomendasinya,” ucapnya. “Turnamen itu hanya diadakan setiap sepuluh tahun sekali. Setiap wilayah hanya mendapatkan satu kesempatan — satu nama, satu perwakilan. Dan ini… adalah pertama kalinya wilayah timur mengirimkan seseorang.”Ia menatap Kael dengan serius.“Selama berabad-abad, tak pernah lahir bakat besar di wilayah timur. Surat rekomendasi ini selalu datang, namun selalu berakhir berdebu tanpa pernah dibawa ke medan turnamen. Dunia luar menganggap wilayah timur hanyalah pelosok… tempat yang tak melahirkan jenius.”Namun bibirnya perlahan membentuk senyum tipis. “Tapi







