LOGINGerbang besi besar yang menjulang tinggi perlahan terbuka, memperlihatkan jalan masuk berlapis batu alam yang bersih dan rapi. Deretan mobil mewah meluncur masuk satu per satu, sinar matahari sore memantul di bodi mobil mereka seperti kilau berlian.
Mereka semua tiba di mansion Keluarga Laurent. Para pelayan bergerak cepat, membukakan pintu mobil dan menunduk hormat saat anggota keluarga satu per satu keluar dari mobil. Evelyne langsung masuk ke kamarnya tanpa banyak bicara. Mariana, Hector, dan sepupu-sepupu lain menuju ruang tengah sambil masih membicarakan kejadian makan siang tadi. Sementara itu, Agatha menghampiri Damian, berkata, "Damian, ke ruanganku sekarang. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu." Damian memberikan anggukan setuju, mengikutinya dengan tenang. Dia tidak perlu pintar untuk tahu apa yang ingin dibicarakan Agatha. Ruang kerja Agatha berada di lantai dua sayap timur. Sebuah ruangan luas, dindingnya dipenuhi rak buku berisi literatur klasik dan dokumen keluarga. Di tengah ruangan ada meja kayu mahoni besar, dan kursi berlengan yang terlihat seperti takhta. Agatha duduk perlahan, menyandarkan punggungnya, lalu menatap Damian yang berdiri di seberangnya. “Kau terlihat marah sekali hari ini, Damian. Aku yakin, kau pasti sudah menyiapkan sesuatu.” Damian menarik napas dalam-dalam, bersandar santai di dinding, tapi matanya tetap dingin. “Aku benci untuk mengakui ini, tapi Kael sudah menjadi simbol ancaman, Madam Agatha. Kalau kita terus menunggu, dia akan tumbuh menjadi duri yang menancap terlalu dalam. Jika itu terjadi, mencabutnya akan menjadi semakin sulit.” Agatha tak menjawab. Damian melanjutkan, kali ini dengan suara lebih pelan, tapi menggigit. “Aku sudah mencoba membunuh karakternya, tapi gagal. Aku mencoba mempermalukannya, tapi tidak hanya gagal, dia bahkan menjadi sorotan utama. Dia terus bertahan... dengan kepala tegak, sikap tengil, dan sekarang Evelyne mulai menunjukkan perubahan sikap.” Dia mencondongkan tubuh ke depan. “Sudah waktunya kita menggunakan cara... yang lebih permanen.” Agatha mengangkat alisnya. “Maksudmu, Damian?” Damian menunjukkan senyum jahat saat dia membalas, “Patahkan kedua kakinya. Hancurkan masa depannya. Dan... siram wajahnya dengan air keras.” Hening. Agatha menatap Damian lama, sehingga suara detik jam di dinding menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Setelah beberapa saat... “Aku mengerti kemarahanmu,” ujar Agatha pelan. “Tapi... itu terlalu kejam, Damian. Kita bukan mafia." Damian tersenyum dingin. “Tapi kita juga bukan orang suci, Madam Agatha. Dan Kael sudah bukan lagi ancaman yang bisa dipandang sebelah mata." Dia melangkah pelan ke arah meja, menatap Agatha lurus-lurus. “Kalau kita siram wajahnya dengan air keras—kita sudah menghancurkan masa depannya sepenuhnya. Evelyne akan mundur dengan sendirinya. Tidak ada wanita yang mau hidup dengan monster cacat.” Agatha mengatupkan bibirnya. Wajahnya tetap tenang, tapi ada badai di balik matanya. "Bagaimana jika Evelyne menyadari bahwa kita adalah pelakunya?" Damian mengangguk pelan. “Tenang saja, Madam Agatha. Aku punya orang-orang yang dapat diandalkan. Mereka akan membuat ini terlihat seperti kecelakaan... atau perampokan yang gagal.” Hening kembali melingkupi ruangan. Sampai akhirnya, Agatha bersandar ke belakang, menatap tajam ke arah Damian. Itu memang rencana yang ekstrem. Tapi terkadang... mungkin itulah yang dibutuhkan. Setelah jeda singkat, Agatha hanya berkata satu kalimat pendek—datar, namun mengerikan. “Kalau begitu, pastikan dia tidak bisa berdiri lagi dan benci untuk bercermin selama sisa hidupnya!" Damian tersenyum puas, "Anda membuat keputusan yang tepat, Madam Agatha." --- Besok paginya, pukul sepuluh, di halaman belakang mansion Laurent. Sinar matahari pagi menyelinap lembut di antara dedaunan pohon maple. Angin sejuk bertiup ringan, membuat jemuran kain-kain halus dan pakaian kerja bergoyang pelan. Kael berdiri tenang, mengenakan kaus sederhana dan celana panjang santai, tengah menggantung cucian terakhir di ujung tali jemuran. Setelah dia selesai, dia menghela napas tanpa daya, "Ada lebih dari dua puluh pelayan di rumah besar ini, tapi yang urus jemuran tetap aku. Ini dengan jelas menunjukkan statusku sebagai menantu yang setara dengan pelayan... atau mungkin lebih buruk, karena sama sekali tidak digaji." Kael tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri, sembari mengambil handuk untuk mengelap tangannya yang basah. "Jika murid-murid melihat penguasa Sekte Naga Langit melakukan ini, aku tak tahu apakah mereka akan marah atau tertawa." Pada titik ini, suara wanita tiba-tiba memanggilnya. Itu tenang, namun penuh nada perintah, terdengar dari arah pintu kaca yang menghubungkan dapur ke halaman. Kael menoleh. Di sana berdiri Grace Laurent, ibu Evelyne. Ia datang dengan folder dokumen berwarna hitam di tangannya. Kael memiringkan kepala sedikit, lalu menyambut dengan senyum tipis. “Selamat pagi, Ibu. Kau tampak cantik hari ini." Grace berjalan pelan mendekatinya, sendal bulu menapaki rumput tanpa suara. Wajahnya anggun, tapi tatapan matanya jelas menunjukkan ketidaksukaan yang dalam. Sejujurnya, itu lebih seperti rasa jijik. “Jangan puji aku dengan mulut kotormu itu. Ini,” katanya sambil menyodorkan folder itu ke arah Kael. “Antar dokumen ini ke kantor Evelyne. Dia butuh ini sebelum rapat jam sebelas.” Kael menerima folder itu. Ia membuka sedikit dan melirik isinya sekilas—yang langsung membuat alisnya terangkat ringan. Bukan dokumen sensitif seperti yang ia duga, melainkan hanya salinan brosur promosi lama, proposal acara internal yang sudah lewat, dan beberapa catatan rapat tanpa konteks yang bahkan tidak ditandatangani. Ini membuat Kael tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, "Mengapa Evelyne membutuhkan semua ini untuk rapat?" Grace seketika menunjukkan ekspresi kesal. “Mengapa kau harus tahu?! Kubilang antar, ya antar aja!" Kael menghela napas tanpa daya saat dia berkata di dalam benaknya, "Jika ingin menjalankan rencana untuk menyingkirkanku, setidaknya lakukan dengan baik. Ini adalah rencana yang sangat murahan." Walaupun Kael kecewa di dalam, dia tersenyum di permukaan, membalas dengan nada sopan, "Baiklah, Ibu, saya berangkat sekarang." "Jangan terlambat. Kalau kau sampai membuat Evelyne kehilangan wajah di kantor… kau tahu akibatnya." Grace membalas dingin, lalu berbalik tanpa berkata lagi. Langkahnya menjauh kembali ke dalam mansion, meninggalkan Kael sendirian di halaman. Sembari mengambil langkah, dia tersenyum puas. Ibunya bilang hari ini Kael akan tamat. Dia akan dihancurkan, dan Evelyne pada akhirnya akan meninggalkannya. Jujur saja, dia sudah tidak sabar menantikan hasil dari ini. Sementara itu, sembari menatap punggung Grace, Kael tersenyum kecil saat dia berkata, “Mari kita lihat… kejutan apa yang sudah mereka siapkan hari ini.”Setelah selesai sarapan, Kael membawa Lily kembali ke Maple Inn."Lily, kau mandi dulu. Setelahnya kita akan pergi membeli pakaian."Mata Lily langsung berbinar. "Pakaian baru?! Benarkah, Paman?!"Kael tersenyum. "Tentu saja. Kau akan mulai sekolah, tidak mungkin masih pakai pakaian yang kotor, robek, dan kebesaran seperti ini, bukan?"Lily mengangguk dengan semangat, lalu berlari masuk ke kamar mandi dengan penuh antusias.Tak lama kemudian, mereka sudah berada di jalan menuju mall terdekat.Lily berjalan di samping Kael dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Membeli pakaian baru? Dia belum pernah melakukan ini sebelumnya!---Mall itu ramai. Orang-orang berlalu-lalang dengan tas belanjaan di tangan, suara musik latar mengalun lembut, dan aroma parfum bercampur dengan kopi dari kafe-kafe kecil.Kael membawa Lily ke toko pakaian anak-anak yang terlihat rapi dan nyaman."Lily, pilih pakaian yang kau suka. Ambil lima, minimal," kata Kael dengan nada lembut.Lily men
KANTOR POLISI KOTA SILVERTON - PAGI HARI.Ruangan Kepala Kepolisian.Seorang pria bertubuh besar dengan rambut hitam pendek yang mulai beruban di pelipis, duduk di belakang meja kerjanya—Inspektur Richard Donovan, Kepala Kepolisian Kota Silverton. Usianya sekitar pertengahan lima puluhan, dengan tatapan tajam dan dagu yang tegas.Ia sedang membaca laporan rutin pagi itu ketika pintu ruangannya diketuk dengan keras.TOK! TOK! TOK!"Masuk," katanya tanpa mengangkat kepala.Pintu terbuka. Seorang detektif muda dengan wajah pucat masuk dengan tergesa-gesa—napasnya terengah-engah, tangannya memegang setumpuk dokumen dengan erat."Pak! Ada berita penting!"Richard mengangkat kepalanya dengan alis terangkat. Jarang sekali bawahannya terlihat sepanik ini."Apa?"Detektif itu menelan ludah, lalu berkata dengan suara yang sedikit bergetar."Marcus 'The Reaper' Volkov... dia mati, Pak. Di markasnya. Tadi malam."Richard membeku.Keheningan singkat.Lalu—BRAK!!!Ia bangkit dari kursinya dengan c
Pria pekerja bertubuh sedang dengan wajah tegas itu berjalan mendekati Kael. Langkahnya gemetar, tapi ia memaksakan diri untuk tetap terlihat sopan.“Ta-tuan… dia sudah mati,” ucapnya pelan.Kael menoleh sekilas ke arah tubuh Diana—kepalanya hancur, darah berceceran di tanah, tubuhnya tidak lagi bernyawa. Kael mengamati sebentar, lalu mengangguk pendek.“Bagus,” katanya tenang. “Sekarang kau boleh pergi.”Wajah pria itu langsung berubah lega. “Te-terima kasih! Terima kasih banyak!”Ia hampir berlari ketika pergi, seolah takut Kael akan berubah pikiran jika ia menunda sedetik pun.Para pekerja lain memandanginya dengan iri—sangat iri.“Andaikan aku yang mengambil tugas itu,” gumam salah satu dengan nada menyesal.“Dia benar-benar pergi… kita masih di sini,” ujar pekerja lainnya lirih, penuh kecemasan.Kael menatap mereka satu per satu, lalu berbicara dengan nada datar namun tegas.“Turunkan kontainernya. Sekarang.”Para pekerja itu langsung mengangguk cepat—tak satu pun berani membanta
Kael berdiri dengan tenang di tengah dermaga, menatap keempat kultivator yang masih membeku dengan ketakutan, lalu menatap Diana dan para pekerja yang juga gemetar.Lalu ia bertanya dengan nada dingin."Siapa pemimpinnya?"Hening.Tidak ada yang menjawab.Semua orang diam, walaupun beberapa di antara mereka, terutama para pekerja, memandang Diana sebagai jawaban.Diana di sisi lain, juga diam—tidak mengatakan apa pun.Ia tidak perlu pintar untuk tahu bahwa dia akan bernasib buruk jika mengaku.Karenanya, ia menatap dingin para anggotanya—tatapan yang penuh dengan ancaman, yang memerintahkan mereka untuk menutup mulut!Kael menunggu beberapa detik.Namun tidak ada jawaban.Lalu ia berkata dengan nada tenang, namun di balik ketenangan itu, ada ancaman yang sangat mengerikan."Jika tidak ada yang mengaku, aku akan menganggap kalian semua sebagai pemimpinnya, dan tidak ada satu pun yang selamat!"Lalu—WUUUUUUMMMMM!!!Kael mengeluarkan sedikit energinya—sangat sedikit, hanya sebagian keci
PELABUHAN TUA - PUKUL 00:20 DINI HARI.Di sebuah pelabuhan tua yang gelap dan sepi, dengan dermaga kayu yang sudah lapuk dan lampu-lampu redup yang hampir mati, sebuah kapal kargo besar sedang bersandar di tepi dermaga.Para pekerja dengan wajah keras dan tatapan dingin sedang sibuk mengangkat dua kontainer besar dengan derek—kontainer besi yang berbobot lebih dari satu ton, dengan pintu yang tertutup rapat dan dikunci dengan gembok tebal.BANG! BANG! BANG!"TOLONG! KELUARKAN KAMI!""KUMOHON! SELAMATKAN KAMI!""TOLONG! SIAPAPUN?!"Teriakan minta tolong terdengar dari dalam kontainer—teriakan yang penuh dengan kepanikan, dengan ketakutan, dengan keputusasaan.Itu membuat seorang wanita yang berdiri di dekat kontainer—wanita bertubuh kekar seperti binaragawan, dengan otot-otot yang menonjol di lengan dan kakinya, berusia sekitar akhir 30-an—menatap kontainer dengan tatapan kesal.Namanya Diana "The Iron Lady" Cross.Ia adalah bos dari sebuah sindikat perdagangan manusia, sindikat yang s
Kael berdiri di tengah ruangan dengan tenang, menatap dua puluh preman yang berlari ke arahnya dengan senjata tajam dan beberapa senjata api.Lalu—Kael mengeluarkan sedikit auranya.WUUUUUUMMMMM!!!Aura perak yang sangat kuat meledak dari tubuhnya—aura yang menciptakan tekanan yang luar biasa besar, yang membuat seluruh gudang bergetar hebat.WHOOOOOOSSSSHHHHH!!!Sebagian besar preman langsung terlempar mundur dengan keras—tubuh mereka melayang di udara seperti daun yang tertiup angin badai.BANG! BANG! BANG! BANG!Beberapa dari mereka menabrak dinding dengan keras, tulang mereka retak, tubuh mereka jatuh dengan lemas.Beberapa menabrak tumpukan besi, kepala mereka berdarah, disertai pusing hebat.Bahkan beberapa menabrak rekan mereka yang lain, menciptakan tumpukan tubuh yang saling bertabrakan.Hanya dalam sekejap—Enam belas preman sudah tergeletak di tanah dengan luka-luka parah.Namun ada sekitar empat orang yang masih berdiri—empat preman dengan senjata api di tangan mereka.Me







