Share

Ada Apa Dengan Ayah Deska?

Author: writtenbytami
last update Last Updated: 2025-06-02 19:22:31

“Risna,” ujarku sembari tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Deska. “Ini Bapak saya sama Om saya.”

“Deska,” ia balas tersenyum dan menyalami Bapak serta Om Ricky. “Ayo masuk Kak, Om. Kak Risna kalau bawa barang-barang juga langsung masukkin ke dalem aja.”

“Oh oke, baik Kak.”

Kami masuk lewat pintu depan yang sangat megah menuju ke ruang tamu yang tidak kalah spektakuler. Aku harus berusaha keras menahan diri untuk tidak melongo dan berkata “waaaahh” saat menatap lantai marmer, tangga mengular ke atas yang tampak mewah, sofa besar di tengah ruangan dan chandelier raksasa yang menempel di langit-langit.

Seorang wanita paruh baya muncul dari arah berlawanan. Deska mengajaknya bicara sekilas, kemudian ia mendekati kami dan menyapa dengan ramah.

“Risna, ya?” Suaranya terdengar merdu. Dari tampilan riasan wajah hingga pakaiannya, ia tampak seperti nyonya rumah. “Duduk dulu, pasti capek abis perjalanan jauh.”

“Terima kasih, Bu.”

“Duh, panggil Tante aja,” ia tertawa kecil. Orang kaya kalau ketawa aja merdu, ya? “Tante Kalina.”

Aku baru saja menjatuhkan diri di atas sofa yang luar biasa empuk saat seekor kucing muncul dan mendekat ke arahku.

“Eh, Miro ….” Tante Kalina menatap sayang ke arah kucing itu. Bulunya oranye panjang dan tebal, ekornya bergoyang-goyang dan matanya menatap padaku dengan penasaran.

Aku langsung tersenyum lebar dan berusaha meraih kucing itu dari lantai. Dia tidak memberontak sama sekali dan pasrah saat aku menggendongnya dengan dua tangan.

“Namanya Miro, Tante?”

“Iya, itu salah satu kucing Tante. Ya ampun, kamu baru dateng aja bisa langsung akrab sama Miro. Nggak salah deh Tante nge-hire kamu.”

“Kucingnya beneran ada empat belas, Bu?” Kali ini giliran Bapak bertanya.

“Betul, Pak. Kebetulan saya pelihara empat belas kucing di rumah. Cukup merepotkan juga buat ngerawat mereka satu-satu, apalagi saya masih harus ngurusin bisnis. Makanya saya hire pengasuh kucing yang bisa stay di rumah.”

Pebisnis, pantas rumahnya sebesar ini dan mobilnya berlogo kuda jingkrak. Aku mengelus sayang kepala Miro sambil membatin bahwa kucing ini, dan tiga belas kawannya yang lain di dalam rumah, pasti telah menjalani kehidupan yang jauh lebih baik daripada aku.

“Nanti Risna tugasnya ngasih makan, ngajak main, bersihin kandang dan bawa kucing ke vet sesuai jadwal. Kalau mandiin kucing, nggak perlu kok karena Tante biasa pakai jasa khusus buat itu.”

Aku mengangguk-angguk sambil mengelus perut Miro. Kucing-kucing di sini sungguh punya kehidupan yang lebih baik daripada aku.

“Sengaja saya pilih pengasuh yang mau stay di sini biar gampang kalau sewaktu-waktu diperlukan mendadak. Soalnya Tante sering pergi dan ART-ART di rumah kebetulan nggak ada yang bisa pegang kucing.”

ART-ART. Jamak. Ada berapa ART di sini?

“Siap, Tante.”

“Kamar kamu juga udah disiapin di belakang. Hari ini kenalan aja dulu sama kucing-kucing Tante, sekalian kamu pahamin apa aja tugas-tugas kamu nantinya.”

Miro menguap lebar di pangkuanku dan menampakkan gigi-gigi taringnya. Kami mengobrol sebentar sebelum akhirnya Tante Kalina mengantarku ke lantai atas, tempat kucing-kucingnya berada. Bapak dan Om Ricky memutuskan untuk tetap berada di ruang tamu, menghabiskan segelas teh hangat yang disiapkan oleh (salah satu) ART di rumah itu.

Aku berjalan di belakang Tante Kalina sambil diam-diam mengagumi interior rumahnya. Perjalanan menaiki tangga ke lantai dua saja sudah cukup bikin capek. Sekedar naik turun tangga saja pasti sudah cukup jadi olahraga harian buatku selama bekerja di sini.

“Nah, ini ruangan khusus untuk kucing-kucing Tante.”

Pintu dibuka dan aku langsung melongo. Ruangan besar itu berisi kandang kucing bertingkat, mainan-mainan kucing, litter box, satu rak penuh makanan dan vitamin kucing, serta tentunya belasan ekor anak bulu yang tersebar di seluruh penjuru ruangan. Ada yang sedang tidur dalam kandang, ada yang duduk diam di atas bean bag, ada juga yang mondar-mandir menuju balkon di sebelah kanan ruangan.

Semua kucingnya juga tampak terawat dan bersih. Bahkan ruangan itu tidak berbau sama sekali walaupun ada 14 ekor kucing di dalamnya.

Miro melompat turun dan aku langsung mengikuti langkahnya menuju ke dalam ruangan itu. Seumur hidupku, aku sungguh-sungguh ingin memelihara kucing. Dan sekarang, impian itu tampaknya hampir jadi kenyataan. Ya, mereka memang bukan kucing-kucingku, tapi aku kan dibayar untuk mengasuh mereka. Jadi, bisa dianggap aku juga turut andil memelihara mereka.

“Kamu keliatannya suka banget kucing, ya?”

“Suka banget, Tante,” jawabku cepat sambil mendekati seekor kucing kecokelatan yang sedang duduk diam di lantai. Kuelus kepalanya sampai matanya terpejam.

“Yang itu namanya Andro. Tiap kucing di sini punya kalung nama,” Tante Kalina memperlihatkan kalung nama Andro. Bagian depannya bertuliskan Andro, sementara di bagian belakangnya terdapat angka 13. “Ini umurnya. Perawatan tiap kucing nantinya beda-beda dan salah satunya tergantung umurnya.”

“Andro ini … termasuk kucing tua, ya, Tante?”

Tante Kalina mengangguk. Ada sedikit pendar sedih di matanya. “Buat ukuran kucing, 13 tahun itu memang termasuk tua. Andro ini salah satu kucing yang pertama kali Tante pelihara, sejak Deska masih SMP dulu.”

“Deska itu … anak Tante?”

“Iya,” wajah Tante Kalina kembali sumringah. “Anak Tante satu-satunya. Tapi Tante suruh ngurusin kucing, nggak mau. Makanya Tante cari orang.”

Aku tersenyum kecil.

“Kalau ART yang lain, nginap juga di sini, nggak, Tante?”

“Ada yang nginep, ada yang enggak. Nanti kamar kamu di sebelah kamar Bik Mur, dia termasuk ART yang nginap di sini.”

Aku manggut-manggut dan beralih ke kucing lain di dalam ruangan. Kuperhatikan kalung mereka satu per satu. Ryuji, Riku, Kimi, Malen…sepertinya akan butuh waktu sampai aku bisa menghafalkan nama mereka satu per satu.

“Jadwal ke vet untuk masing-masing kucing ada di sini,” Tante Kalina menunjuk selembar kertas yang tertempel di salah satu dinding ruangan. “Untuk keperluan kayak pasir kucing, makanan, vitamin, sampai mainan, semuanya ada di rak. Kalau udah habis, infoin aja ke Tante, biar nanti di-restok.”

Setelah selesai membicarakan semua detail pekerjaan, kami kembali turun ke lantai bawah. Miro kali ini tetap berada di ruangan kucing itu, tidak ikut turun walaupun sempat kupancing-pancing sebenar. Sepertinya dia mengantuk.

Bapak dan Om Ricky memutuskan untuk langsung pulang. Kami berpamitan dan aku mengantar mereka sampai ke depan garasi. Kutatap mobil Bapak menjauh hingga menghilang di belokan. Tinggal aku sekarang di rumah besar ini dan mulai bekerja sebagai pengasuh kucing. Hatiku terasa agak berat menatap jalanan di depan rumah Tante Kalina yang sudah kosong.

Ini kali pertama aku bekerja di Jakarta, kota metropolitan yang sebelumnya hanya aku lihat di TV dan media sosial. Pekerjaanku cukup aneh, tapi mau tidak mau hanya ini yang bisa kulakukan untuk sekarang.

Dengan mantap aku melangkah masuk kembali ke dalam rumah. Tante Kalina mengantarku ke kamar yang terletak di belakang, bersebelahan dengan dapur. Kulihat Deska sedang berada di dapur dan mengambil sesuatu dari dalam kulkas.

Sekilas, mataku tertumbuk pada sebuah foto yang tertempel dengan magnet di pintu kulkas. Foto Tante Kalina bersama seorang laki-laki yang tampak seumuran dengannya.

“Itu suami Tante?” Tanyaku spontan sambil menunjuk foto tersebut. Deska menoleh menatapku dan mengikuti arah pandanganku. Tante Kalina menatap ke objek yang sama. Keduanya sama-sama tidak mengatakan apa-apa.

Keheningan selama dua detik itu cukup membuatku tersadar bahwa sepertinya aku baru saja menanyakan sesuatu yang salah. Senyum memudar di wajah Tante Kalina. Ia memanggil Bik Mur dari arah dapur dan memintanya untuk menunjukkan kamar padaku, kemudian pergi ke lantai dua tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Belum sempat Bik Mur mendekat ke arahku, Deska terlebih dahulu melangkah dan berada persis di depanku. Sepasang mata hitamnya menatapku tajam, membuatku mundur selangkah tanpa sadar.

“Lo nggak usah nanya-nanya soal itu,” ucapnya dengan suara rendah sehingga hanya aku yang bisa mendengar. Hilang sudah semua kesopanan dan ramah tamah yang ia tunjukkan selama ini. “Dan panggil nyokap gue Ibu, jangan Tante.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Ada Apa Dengan Ayah Deska?

    “Risna,” ujarku sembari tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Deska. “Ini Bapak saya sama Om saya.”“Deska,” ia balas tersenyum dan menyalami Bapak serta Om Ricky. “Ayo masuk Kak, Om. Kak Risna kalau bawa barang-barang juga langsung masukkin ke dalem aja.”“Oh oke, baik Kak.”Kami masuk lewat pintu depan yang sangat megah menuju ke ruang tamu yang tidak kalah spektakuler. Aku harus berusaha keras menahan diri untuk tidak melongo dan berkata “waaaahh” saat menatap lantai marmer, tangga mengular ke atas yang tampak mewah, sofa besar di tengah ruangan dan chandelier raksasa yang menempel di langit-langit.Seorang wanita paruh baya muncul dari arah berlawanan. Deska mengajaknya bicara sekilas, kemudian ia mendekati kami dan menyapa dengan ramah.“Risna, ya?” Suaranya terdengar merdu. Dari tampilan riasan wajah hingga pakaiannya, ia tampak seperti nyonya rumah. “Duduk dulu, pasti capek abis perjalanan jauh.”“Terima kasih, Bu.”“Duh, panggil Tante aja,” ia tertawa kecil. Orang kaya kala

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Ke Jakarta

    Malamnya, kedua kakakku menelepon.Mbak Alma menelepon lebih dulu. Tanpa basa-basi khas anak perempuan pertama, dia langsung bertanya dengan nada interogatif.“Kata Bapak, kamu udah diterima kerja? Di Jakarta? Jadi pengasuh kucing?”“Iya, Mbak.”“Itu kerjanya beneran ngasuh kucing?”“Beneran Mbak, kemarin juga udah wawancara kok sama orangnya.”“Maksudnya, beneran cuma ngasuh kucing? Nggak disuruh aneh-aneh, kan?”“Engga, kok. Beneran jobdesk-nya ngasuh kucing. Kucingnya ada banyak, jadi nanti Risna bantuin buat ngasih makan, bersihin kendang, bawa ke vet buat vaksin.”Hening sedetik. “Kerjanya ngasuh kucing?”“Iya, Mbak,” aku mengulangi jobdesk, kali ini lengkap dengan rincian gaji yang akan diterima tiap bulan dan fasilitasnya.“Tempat kerjanya bonafid, nggak, Ris?”“Aku cek di Google Maps sih rumahnya gede, Mbak. Jadi ini kerjanya di rumah gitu, bukan di kantor.”“Sama kayak ART, dong?”“Enggak, ngasuh kucing aja, nggak disuruh bersih-bersih rumah.”“Mbak kok curiga, ya.”“Nanti ak

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Reaksi Bapak

    Selama enam bulan belakangan, praktis tidak ada pemasukan tetap ke rekeningku. Aku hanya mengandalkan tabungan dana darurat dan sedikit komisi dari program affiliate marketplace. Kalau dihitung-hitung, sisa saldo di rekening hanya bisa membantuku bertahan hidup sampai setidaknya satu bulan ke depan tanpa pekerjaan. Harapanku bertumpu pada lamaran pekerjaan manapun yang akhirnya menerimaku atau konten affiliate yang mendadak viral lalu memberiku komisi dua digit.“Tapi serius deh Ris, kalau kamu diterima jadi pengasuh kucing itu, bakal kamu terima atau enggak?”“Kayaknya terima aja sih, lagian nggak ada tanda-tanda itu penipuan. Atau aku dateng aja dulu ke alamatnya di Jakarta, kalau ternyata ada yang aneh-aneh tinggal putar balik aja.”Sejujurnya, aku memang belum 100% yakin. Tapi kalau pilihannya antara jadi pengasuh kucing atau menganggur, jelas aku pilih mengasuh kucing.Aku membantu Luna merapikan kompor dan peralatan minum saat HP-ku tiba-tiba berdering. Ada telepon masuk. Nomor

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Pejuang Amplop Cokelat

    Enam bulan kemudian. Terimakasih sudah melamar. Sayangnya kami tidak bisa memproses lebih lanjut lamaranmu. Sukses selalu! “ARRGGHHH!” Aku menjambak rambut dengan putus asa begitu membaca chat dari aplikasi lowongan pekerjaan. “Ditolak lagi?” Luna bertanya dengan simpatik sembari membalik satu slice daging di atas panggangan. “Iya …,” jawabku lemas. Aku menatap sebentar chat itu sebelum akhirnya melempar HP ke dalam tas. Sambil manyun, aku mengikuti gerakan Luna membalik irisan daging lainnya. Katanya, semakin dewasa usia kita, maka semakin kecil lingkar pertemanan kita. Aku menyadari betul hal ini setelah hanya Luna satu-satunya sahabatku sejak SMP yang masih bisa kuajak hang out sampai sekarang, entah itu nongkrong sambil ngobrol ngalor ngidul di kafe atau sekadar masak grill barbecue di rumahnya. Ada dua lagi sahabat kami sewaktu SMP dulu: Feby dan Karina. Keduanya sama-sama sudah berkeluarga, dikaruniani seo

  • Ngurus Kucingmu, Sayang Sama Kamu   Prolog

    “Meet kita mulai lima menit lagi, ya.” Aku menghela napas berat sambil membetulkan posisi duduk. Mataku terpaku ke arah layar laptop, memperhatikan satu per satu nama yang mulai muncul memenuhi ruang zoom meeting. Chandra. Arya. Anindita. Karenina. Luthfi. Nama-nama yang sudah familiar selama tiga tahun ini, walaupun kami hanya bertatap muka langsung sekali dalam setahun. Maklum, kami semua bekerja dari rumah. Sekilas kulihat lagi judul meet kali ini. Sosialisasi EOC with HC. Jantungku berdegup makin kencang. Sudah ada rumor dari minggu-minggu lalu bahwa kontrak kerja kami tidak akan diperpanjang. Tapi aku masih berusaha berpikir positif kalau itu cuma rumor. Tim di Jakarta masih butuh bantuan kami, kok. Jam menunjukkan pukul 13.04. Semenit lagi masa depan kami akan diumumkan. Aku menghela napas berat sekali lagi sambil berusaha mengucapkan afirmasi positif dalam hati. Kontrak diperpanjang, kontrak diperpanjang, k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status