"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.
Dengan langkah panjangnya, Den Langit mendekat dan dengan memiringkan kepala dia bertanya, "Selama ini, kamu masak pakai apa?" Tercium nada curiga di sana.
Aku menunduk sambil memilin ujung baju kaos, mengikuti saran Laila.
"Ini kamu lakukan pada posisi, saat seharusnya merasa gugup atau takut. Gunakan waktu jeda ini untuk berpikir. Mengerti?" ucapnya saat itu. "Jangan bersikap seperti sekarang. Posisikan menjadi orang yang tidak banyak tahu, orang dari tempat yang tidak ada teknologi. Tapi, aku kok ragu, kami bisa melakukan ini."
Huuft, Laila meragukan aku. Belum tahu dia, aku jago berkilah.
"Di kampung tidak ada kompor gas, Den. Kami menggunakan kayu bakar dan kompor sumbu. Sa-saya takut dengan kompor gas, takut meledak." Aku mengangkat dagu, meliriknya sebentar dan kembali menunduk.
Tidak ada reaksi darinya, dia hanya memandangku. Apa aktingku tidak menyakinkan, ya?
"Ha-ha-ha ...!" Tawanya mengagetkanku, aku menatapnya dengan mengernyitkan dahi.
"Zaman sekarang, masih ada orang seperti kamu. Orang sudah akan pindah ke Mars, eh kamu masih takut kompor gas!" ledek Den Langit dan terus tertawa terkekeh.
Aku melirik dan menarik sedikit ujung bibir ini, akhirnya lolos.
Untuk hal ini, aku berkata jujur. Ketakutanku karena dahulu saat kecil, pernah terjadi ledakan kompor gas di rumah. Aku mengerti, ini karena kebocoran. Namun, memegang knopnya saja, aku merasa akan ada ledakan kemudian.
Ketakutan ini sampai sekarang. Karena itulah, aku menggunakan kompor induksi--kompor energi elektromagnetik--cukuplah untuk diriku yang masih lajang. Itupun jarang dipakai.
"Ayo! Aku temani masak!" teriaknya, kemudian mendahuluiku masuk ke dapur. Terpaksa, aku mengikutinya.
"Benar, kamu tidak makan?" tanyanya saat menjerang air.
"Tidak, Den. Perempuan, tidak baik makan tengah malam," jawabku sambil menyiapkan mangkok dan pelengkap mi instan: sawi hijau, cabe kecil, bakso, dan sosis sapi. Aku beri keratan memanjang di tiga sisi sosir, kemudian baru dipotong-potong, begitu juga bakso dikerat silang.
Dengan cekatan, Den Langit merebus air, memasukkan mi dan pelengkapnya. Setelah itu, memberikan kepadaku. Memang, aku tidak jago masak. Namun untuk penyajian makanan, lumayan bisa diandalkan. Mi dimasukkan mangkok, sawi, dan menyusul sosis dan bakso berbentuk bunga, kemudian aku tata rapi.
"Cantik .... "
Aku menoleh ke arahnya, sejenak suasana menjadi hening. Kesan manis begitu lekat pada laki-laki berewokan ini, jauh dari kata sangar.
"Maksud saya, mi ini cantik! Ada bunga sosis dan bakso. Kalau makan, ada yang cantik gini, jadi semangat!" Kemudian dia duduk di meja makan, menungguku menghidangkan makanan.
Huuft!
Aku menghela napas, mengingat kebersamaan kami tadi. Sesaat, aku lupa kalau berperan sebagai pembantu.
Ini bisa merusak rencana risetku.
Kalau ketahuan, bisa jadi Den Ajeng menyebutku ganjen. Pembantu yang berani menggoda anak majikan.
Ganjen yang artinya genit, ya, bukan gajah mangan jenang.
*
Pagi subuh, aku sudah dibangunkan Bulek Ningsih. Setelah salah bersama, kami memulai aktifitas. Bik Ningsih pergi ke pasar dan aku mulai membersihkan dalam rumah.
Tadi sempat ditanya Bik Ningsih, apakah aku memasak tadi malam. Aku jawab saja, Den Langit yang masak, tanpa menceritakan kalau aku menemaninya.
Aku mulai dengan membersihkan ruang keluarga. Jajaran pigura foto, tertata rapi di atas meja panjang. Beberapa, ada foto hitam putih menggunakan baju tradisional dan foto di waktu sekarang.
Di dinding ada foto dengan pigura kayu berukir indah. Den Ajeng duduk memangku bayi, diapit seorang laki-laki berkumis dan seorang anak laki-laki. Mereka menggunakan baju adat Jawa.
Sebentar!
Ada pigura foto yang tergeletak di meja depan televisi, aku mengambilnya. Dua remaja laki-laki berangkulan. Yang satu berkumis tipis dan satunya lagi terlihat masih muda dan menawan. Mereka tertawa bersama, tawa yang mirip. Mungkin yang berkumis ini Den Bumi, kalau begitu, yang menawan ini adalah Den Langit?
Ya, aku ingat.
Tadi malam, aku melihatnya terisak sambil memegang pigura foto. Berarti, foto ini yang membuatnya menangis. Mungkin dia merindukan kakaknya.
"Tutik! Ambilkan saya berkas meeting hari ini di map warna merah. Saya tunggu di meja makan," ucap Den Langit mengagetkanku. Tiba-tiba saja dia ada dibelakangku. Pelan, aku letakkan pigura foto itu, dan berbalik menghadapnya.
"Nama kamu Tutik, kan?"
"Astutik, Den."
"Yah, sama saja! Aku panggil kamu Tutik saja! Dengar yang saya suruh tadi?"
"Iya," jawabku, kemudian mundur dan meninggalkannya. Aku berusaha menjaga jarak, demi riset berhasil.
Aku meletakkan sapu dan lap di belakang, mencuci tangan, kemudian ke ruang kerja. Tadi aku akan mengambil map warna merah, tetapi di meja ada tiga tersebut. Satu berisi berkas penawaran barang, kedua berisi portfolio, dan yang ketiga berisi perjanjian kerja sama.
Kalau melihat isinya, ini pasti ketiganya akan dibawa. Semua menunjang untuk bahan meeting.
"Ketiga map saya masukkan di tas ini, Den. Tolong diperiksa. Apakah ini benar?" Aku meletakkan di kursi di sebelahnya.
Den Langit menaruh sendok dan garpu, kemudian menatapku. "Saya tadi bilang apa? Kenapa kamu berikan ketiga map? Saya bilang jumlahnya?"
"Ada apa, Lang? Kok ribut?" Den Ajeng, ibunya baru saja datang dan duduk di depannya. "Astuti ada salah?" tanyanya lagi.
Aku menatap Den Langit dan Den Ajeng bergantian, kemudian dengan menundukkan kepala menjelaskan alasanku. "Tadi Den Langit menyuruh mengambil map warna merah, karena di meja ada tiga, ya, saya bawa semua."
"Kenapa kamu tidak ambil satu?" tanyanya menyelidik. Aku merasa, dia mulai mencurigai sesuatu. Kalau aku jelaskan, isi ketiganya adalah bahan meeting, pasti dia akan curiga.
"Ka-kalau begitu, saya salah. Maaf."
Aku harus bersikap tidak mengerti dan bingung, dengan mengembalikan map itu ke ruang kerja.
"Saya akan kembalikan ini," ucapku sambil meraih tas berisi map tadi. Aku terkesiap, tanganku yang memegang tas, digenggamnya.
"Kamu tidak salah. Ini benar, kok," kata Den Langit dengan nada melunak. Tangan satunya melepas tanganku, dan sekarang tas berada di tangannya. Aku terpaku dengan tangan masih menggantung di udara.
"Langit, Langit! Kamu ini jangan jahil ke Astuti. Kasihan dia!" celetuk Den Ajeng menyadarkanku.
Segera aku permisi dan meninggalkan mereka. Meregangkan badan yang pegal karena selalu membungkukkan badan. Sikap badan yang biasanya tegak, sementara aku tinggalkan. Leher juga terasa kaku, seharian harus menunduk.
"Tik, dipanggil Den Ajeng" panggil Bulek Ningsih dari jendela dapur.
"Saya?" tanyaku sambil menunjuk diriku.
"Iya, cepetan. Di ruang tengah."
Aku langsung ke sana, semoga tidak ada masalah. Aku kawatir, dia tahu tentang kejadian semalam.
Di ruang tengah, sudah ada mereka berdua yang duduk di kursi sofa. Den Ajeng langsung menunjuk kursi kecil, untuk aku duduk. Ada apa lagi ini?
"Astuti, kamu kemarin bicara tabungan multi-multian itu, lo? Saya sudah cerita kepada Langit," ucap Den Ajeng.
"Tabungan di bank apa itu?" tanya Den Langit dengan menatapku lekat.
Duh, aku harus cari cerita yang tepat dan masuk akal di pikiran mereka. Dengan begitu mereka percaya dan aku bisa melanjutkan programku ini.
"E .... Saya pernah ikut majikan ke bank. Momong anaknya, Den. Itu, bank yang plangnya merah yang dekat alun-alun. Saya baca promosi yang dipasang. Tulisannya tabungan multicurrency, katanya satu nomor tabungan bisa berisi dua belas mata uang. Majikan saya yang tanya ke tukang bank," paparku dengan hati-hati.
Aku berusaha memilih kata yang paling sederhana, supaya tidak ketahuan. Ternyata susah juga.
"Bank apa namanya?" tanya Den Langit.
"Sa-saya tidak tahu," jawabku cepat. Kalau aku kasih tahu nama banknya, aku akan terkesan menggurui mereka. Tidak! Aku harus tetap bersikap tidak tahu, walaupun mulut ini sudah gatal.
"Kalau begitu, besuk kamu ikut aku ke sana!" ucapnya setelah minum dan beranjak pergi. Begitu juga Den Ajeng, mengikuti Den Langit ke depan, mengantar anak semata wayang berangkat kerja.
Aku diam mematung. Kalau aku ikut dia ke bank, bisa jadi berantakan.
Duh!
Bagaimana caranya mengatasi petugas costumer service di bank itu. Sedangkan, aku sudah dikenal sebagai nasabah prioritas.
Pusing, aku!
*******
Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola. Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara. Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pe
Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini."Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit."Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.*Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, wa
Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim. Setiap kesempatan ada saja bahan untuk dibahas. "Tik, pisange enak?" "Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka. “Hus! Jangan dibandingkan pisang yang sudah kedaluarso. Pasti beda, lebih seger dan manis.” “Tur gede dan bikin kenyang!” Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Guyonan orang tua yang bikin otak traveling kemana-mana. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Rumah seperti hidup dan tidak suram seperti sebelumnya. Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek penderita. Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir liar. Timbul asumsi yang mulai tidak terkendali. Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama. Tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng, dilengkapi rempeyek kacang tanah. "Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bul
Pekerjaanku tidak hanya membersihkan rumah, namun lebih banyak menata berkas di ruang kerja. Ini atas perintah Den Langit. Semua rak, satu persatu aku rapikan. [Mbak Lintang, saya butuh tanda tangan. Kita janjian di mana?] Pesan dari Mbak Rahmi asisten pribadiku. Selain Laila, Mbak Rahmi juga tahu penyamaranku ini. Dia yang aku tunjuk sebagai perantara orang kantor dan aku.[Satu jam lagi di toko pojokan yang ada pohon rindang] Aku membalas pesan, kemudian bergegas merapikan tumpukan berkas ini."Bulek Ningsih, saya ke toko dulu.""Beli apa, Tik? Minta tolong Pak Salim saja, dia di depan."Dia meletakkan panci di kompor dan mendekatiku. "Den Langit makan siang di rumah. Itu saya buatkan soto daging kesukaannya. Kalau kamu pergi dan dia mencarimu gimana? Saya tidak ngerti kalau disuruh cari ini dan itu."Aku menatapnya sambil mencari alasan untuk bisa keluar menemui Mbak Rahmi. "Harus saya sendiri, Bulek. Belanjaan saya untuk datang bulan. Tidak enak kalau menyuruh Pak Salim mem
"Mana belanjaanmu?!" Masih dengan kedua alis bertaut, tetapi kilatan mata yang mulai meredup. "Belanjaan?" tanyaku seperti orang linglung. Mungkin dia bertambah kesal, karena aku tidak menciut, malah menatapnya dengan senyuman. "Kamu ke sini akan belanja, kan?" Nada suaranya mulai melunak. Dia menarikku untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko. Aku langsung tersadar, bahwa tadi minta ijin Bulek Ningsih untuk belanja. Tanganku meremas ujung baju, mengalihkan perhatian selagi mencari apa jawaban yang tepat. Kalau aku mengatakan belum belanja, itu pasti mencurigakan. Waktu selama ini belum belanja kan aneh. "Oh, belanjaan saya di mana, ya?" Aku mengedarkan pandangan, pura-pura mencari belanjaan. "Aduh! Saya lupa ambil! Ketika di mobil tadi, belanjaan saya letakkan di lantai mobil. Orang tadi sudah minta tolong, malah belanjaan saya diembat!" ucapku dengan kesal. Aku menunduk dan menepuk dahiku untuk meyakinkan rasa kesal. "Sudahlah! Tidak usah mikir belanjaan. Yang pen
Sudah satu minggu ini, aku membantu Den Langit di kantor. Itu pun setelah pekerjaan di rumah selesai. Jadi, pagi-pagi aku harus memulai bersih-bersih rumah.Malam harinya, mulai aku menulis cerita dari hasil riset. Tema bukan tentang pembantu teraniaya, tetapi tentang pembantu yang mampu membantu pekerjaan majikan. Tak disangka, cerita di bab pertama yang aku pos di media sosial mendulang ribuan like. Padahal, aku belum memberi judul cerita.Beberapa penulis senior mendorongku untuk menulis lagi dan diingatkan tidak lupa memberi judul. Semangat menulisku mulai menggebu, lelah karena bekerja sudah tidak kuhiraukan. Aku tetapkan cerita bersambung ini berjudul Pembantu Rasa Nyonya. Malam-malam berikutnya, aku begadang untuk menulis dan dipos di platform. Itu pun, atas saran penulis lainnya. Dengan nama pena, Astika Buana. Pernah, Mbak Rahmi bertanya, kenapa menggunakan nama pena dan tidak memakai nama sendiri. Bukankan ini kerugian, saat nama sebenarnya tidak dikenal di dunia nyata?
"Tutik, kamu sudah datang ternyata. Tolong bantu saya menyortir sampel ini," ucapnya yang baru masuk ruangan.Den langit menaruh keranjang penuh dengan sampel kain batik. Aku bergegas membantu nya. Syukurlah, dia tidak mendengar apa yang aku katakan. Buktinya dia tidak bertanya."Besuk ada tamu. Dia pembeli besar, jadi kita harus siapkan semuanya. Orang belakang juga saya suruh membersihkan areal dalam dan luar pabrik. Aku ingin image pabrik ini bersih, tertata, dan rapi. Pokoknya, zero mistake! Everything must be perfect. ""Ya, Den. Saya pastikan tidak ada yang salah, dan semuanya sempurna. Sample ini diberi nama sesuai daftar, kan?" tanyaku, kemudian mendongakkan wajah menunggu jawaban yang tak kunjung kudengar. Den Langit menatapku tajam dengan dahi berkerut."Saya salah, Den?""Tidak! Malah bener sekali. Ternyata kamu mengerti bahasa Inggris, ya? Kamu mengerti apa yang aku katakan? Kamu ini sering membuatku kaget."Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang dimaksud. Bahas
Aku sudah mulai bersiap meninggalkan keluarga ini. Terutama tugas yang berhubungan dengan Den Langit, semua aku tata rapi sesuai periode dan berurut sesuai abjad. Semua untuk memudahkan dia saat aku sudah tidak di sini."Seharusnya Den Langit mempunyai sekretaris yang membantu. Seperti di sinetron itu," celetukku kemarin. "Untuk apa, Tik. Mereka biasanya jual tampang saja. Diajak kerja malah sibuk dandan. Malah stres!" jawabnya, kemudian menatapku. "Kan ada kamu yang membantuku?""Saya kan cuma pembantu, Den. Bukan sekretaris yang ikut bos kemana-mana. Saya pun tidak bisa ke sini terus." Aku harus mulai menjaga jarak dengan Den Langit. Jangan sampai dia tergantung kepadaku terus."Ok ok. Kasihan kamu juga. Nanti usulanmu aku pertimbangkan!"Syukurlah, akhirnya dia mengerti. Pelan-pelan aku menarik langkah ini untuk menghilang sebagai Tutik dan kembali ke duniaku sebenarnya."Tik! Astuti!" teriak Bulek Ningsih tergopoh menghampiriku. Dia mengangkat ujung kain yang digunakan untuk lan