Share

Bab 4. Mi Instan

"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.

Dengan langkah panjangnya, Den Langit mendekat dan dengan memiringkan kepala dia bertanya, "Selama ini, kamu masak pakai apa?" Tercium nada curiga di sana.

Aku menunduk sambil memilin ujung baju kaos, mengikuti saran Laila. 

"Ini kamu lakukan pada posisi, saat seharusnya merasa gugup atau takut. Gunakan waktu jeda ini untuk berpikir. Mengerti?" ucapnya saat itu. "Jangan bersikap seperti sekarang. Posisikan menjadi orang yang tidak banyak tahu, orang dari tempat yang tidak ada teknologi. Tapi, aku kok ragu, kami bisa melakukan ini."

Huuft, Laila meragukan aku. Belum tahu dia, aku jago berkilah.

"Di kampung tidak ada kompor gas, Den. Kami menggunakan kayu bakar dan kompor sumbu. Sa-saya takut dengan kompor gas, takut meledak." Aku mengangkat dagu, meliriknya sebentar dan kembali menunduk. 

Tidak ada reaksi darinya, dia hanya memandangku. Apa aktingku tidak menyakinkan, ya?

"Ha-ha-ha ...!" Tawanya mengagetkanku, aku menatapnya dengan mengernyitkan dahi.

"Zaman sekarang, masih ada orang seperti kamu. Orang sudah akan pindah ke Mars, eh kamu masih takut kompor gas!" ledek Den Langit dan terus tertawa terkekeh.

Aku melirik dan menarik sedikit ujung bibir ini, akhirnya lolos. 

Untuk hal ini, aku berkata jujur. Ketakutanku karena dahulu saat kecil, pernah terjadi ledakan kompor gas di rumah. Aku mengerti, ini karena kebocoran. Namun, memegang knopnya saja, aku merasa akan ada ledakan kemudian. 

Ketakutan ini sampai sekarang. Karena itulah, aku menggunakan kompor induksi--kompor energi elektromagnetik--cukuplah untuk diriku yang masih lajang. Itupun jarang dipakai.

"Ayo! Aku temani masak!" teriaknya, kemudian mendahuluiku masuk ke dapur. Terpaksa, aku mengikutinya.

"Benar, kamu tidak makan?" tanyanya saat menjerang air. 

"Tidak, Den. Perempuan, tidak baik makan tengah malam," jawabku sambil menyiapkan mangkok dan pelengkap mi instan: sawi hijau, cabe kecil, bakso, dan sosis sapi. Aku beri keratan memanjang di tiga sisi sosir, kemudian baru dipotong-potong, begitu juga bakso dikerat silang.

Dengan cekatan, Den Langit merebus air, memasukkan mi dan pelengkapnya. Setelah itu, memberikan kepadaku. Memang, aku tidak jago masak. Namun untuk penyajian makanan, lumayan bisa diandalkan. Mi dimasukkan mangkok, sawi, dan menyusul sosis dan bakso berbentuk bunga, kemudian aku tata rapi.

"Cantik .... "

Aku menoleh ke arahnya, sejenak suasana menjadi hening. Kesan manis begitu lekat pada laki-laki berewokan ini, jauh dari kata sangar.

"Maksud saya, mi ini cantik! Ada bunga sosis dan bakso. Kalau makan, ada yang cantik gini, jadi semangat!" Kemudian dia duduk di meja makan, menungguku menghidangkan makanan. 

Huuft! 

Aku menghela napas, mengingat kebersamaan kami tadi. Sesaat, aku lupa kalau berperan sebagai pembantu. 

Ini bisa merusak rencana risetku.

Kalau ketahuan, bisa jadi Den Ajeng menyebutku ganjen. Pembantu yang berani menggoda anak majikan. 

Ganjen yang artinya genit, ya, bukan gajah mangan jenang.

*

Pagi subuh, aku sudah dibangunkan Bulek Ningsih. Setelah salah bersama, kami memulai aktifitas. Bik Ningsih pergi ke pasar dan aku mulai membersihkan dalam  rumah.

Tadi sempat ditanya Bik Ningsih, apakah aku memasak tadi malam. Aku jawab saja, Den Langit yang masak, tanpa menceritakan kalau aku menemaninya. 

Aku mulai dengan membersihkan ruang keluarga. Jajaran pigura foto, tertata rapi di atas meja panjang. Beberapa, ada foto hitam putih menggunakan baju tradisional dan foto di waktu sekarang.

Di dinding ada foto dengan pigura kayu berukir indah. Den Ajeng duduk memangku bayi, diapit seorang laki-laki berkumis dan seorang anak laki-laki. Mereka menggunakan baju adat Jawa. 

Sebentar!

Ada pigura foto yang tergeletak di meja depan televisi, aku mengambilnya. Dua remaja laki-laki berangkulan. Yang satu berkumis tipis dan satunya lagi terlihat masih muda dan menawan. Mereka tertawa bersama, tawa yang mirip. Mungkin yang berkumis ini Den Bumi, kalau begitu, yang menawan ini adalah Den Langit?

Ya, aku ingat. 

Tadi malam, aku melihatnya terisak sambil memegang pigura foto. Berarti, foto ini yang membuatnya menangis. Mungkin dia merindukan kakaknya.

"Tutik! Ambilkan saya berkas meeting hari ini di map warna merah. Saya tunggu di meja makan," ucap Den Langit mengagetkanku. Tiba-tiba saja dia ada dibelakangku. Pelan, aku letakkan pigura foto itu, dan berbalik menghadapnya.

"Nama kamu Tutik, kan?"

"Astutik, Den."

"Yah, sama saja! Aku panggil kamu Tutik saja! Dengar yang saya suruh tadi?"

"Iya," jawabku, kemudian mundur dan meninggalkannya. Aku berusaha menjaga jarak, demi riset berhasil.

Aku meletakkan sapu dan lap di belakang, mencuci tangan, kemudian ke ruang kerja. Tadi aku akan mengambil map warna merah, tetapi di meja ada tiga tersebut. Satu berisi berkas penawaran barang, kedua berisi portfolio, dan yang ketiga berisi perjanjian kerja sama. 

Kalau melihat isinya, ini pasti ketiganya akan dibawa. Semua menunjang untuk bahan meeting.

"Ketiga map saya masukkan di tas ini, Den. Tolong diperiksa. Apakah ini benar?" Aku meletakkan di kursi di sebelahnya. 

Den Langit menaruh sendok dan garpu, kemudian menatapku. "Saya tadi bilang apa? Kenapa kamu berikan ketiga map? Saya bilang jumlahnya?"

"Ada apa, Lang? Kok ribut?" Den Ajeng, ibunya baru saja datang dan duduk di depannya. "Astuti ada salah?" tanyanya lagi.

Aku menatap Den Langit dan Den Ajeng bergantian, kemudian dengan menundukkan kepala menjelaskan alasanku. "Tadi Den Langit menyuruh mengambil map warna merah, karena di meja ada tiga, ya, saya bawa semua."

"Kenapa kamu tidak ambil satu?" tanyanya menyelidik. Aku merasa, dia mulai mencurigai sesuatu. Kalau aku jelaskan, isi ketiganya adalah bahan meeting, pasti dia akan curiga.

"Ka-kalau begitu, saya salah. Maaf." 

Aku harus bersikap tidak mengerti dan bingung, dengan mengembalikan map itu ke ruang kerja. 

"Saya akan kembalikan ini," ucapku sambil meraih tas berisi map tadi. Aku terkesiap, tanganku yang memegang tas, digenggamnya.

"Kamu tidak salah. Ini benar, kok," kata Den Langit dengan nada melunak. Tangan satunya melepas tanganku, dan sekarang tas berada di tangannya. Aku terpaku dengan tangan masih menggantung di udara. 

"Langit, Langit! Kamu ini jangan jahil ke Astuti. Kasihan dia!" celetuk Den Ajeng menyadarkanku. 

Segera aku permisi dan meninggalkan mereka. Meregangkan badan yang pegal karena selalu membungkukkan badan. Sikap badan yang biasanya tegak, sementara aku tinggalkan. Leher juga terasa kaku, seharian harus menunduk. 

"Tik, dipanggil Den Ajeng" panggil Bulek Ningsih dari jendela dapur. 

"Saya?" tanyaku sambil menunjuk diriku.

"Iya, cepetan. Di ruang tengah."

Aku langsung ke sana, semoga tidak ada masalah. Aku kawatir, dia tahu tentang kejadian semalam.

Di ruang tengah, sudah ada mereka berdua yang duduk di kursi sofa. Den Ajeng langsung menunjuk kursi kecil, untuk aku duduk. Ada apa lagi ini?

"Astuti, kamu kemarin bicara tabungan multi-multian itu, lo? Saya sudah cerita kepada Langit," ucap Den Ajeng.

"Tabungan di bank apa itu?" tanya Den Langit dengan menatapku lekat.

Duh, aku harus cari cerita yang tepat dan masuk akal di pikiran mereka. Dengan begitu mereka percaya dan aku bisa melanjutkan programku ini.

"E .... Saya pernah ikut majikan ke bank. Momong anaknya, Den. Itu, bank yang plangnya merah yang dekat alun-alun. Saya baca promosi yang dipasang. Tulisannya tabungan multicurrency, katanya satu nomor tabungan bisa berisi dua belas mata uang. Majikan saya yang tanya ke tukang bank," paparku dengan hati-hati. 

Aku berusaha memilih kata yang paling sederhana, supaya tidak ketahuan. Ternyata susah juga.

"Bank apa namanya?" tanya Den Langit. 

"Sa-saya tidak tahu," jawabku cepat. Kalau aku kasih tahu nama banknya, aku akan terkesan menggurui mereka. Tidak! Aku harus tetap bersikap tidak tahu, walaupun mulut ini sudah gatal.

"Kalau begitu, besuk kamu ikut aku ke sana!" ucapnya setelah minum dan beranjak pergi. Begitu juga Den Ajeng, mengikuti Den Langit ke depan, mengantar anak semata wayang berangkat kerja.

Aku diam mematung. Kalau aku ikut dia ke bank, bisa jadi berantakan.

Duh! 

Bagaimana caranya mengatasi petugas costumer service di bank itu. Sedangkan, aku sudah dikenal sebagai nasabah prioritas.

Pusing, aku!

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status