Share

Bab 4. Mi Instan

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-17 22:57:33

"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.

Dengan langkah panjangnya, Den Langit mendekat dan dengan memiringkan kepala dia bertanya, "Selama ini, kamu masak pakai apa?" Tercium nada curiga di sana.

Aku menunduk sambil memilin ujung baju kaos, mengikuti saran Laila. 

"Ini kamu lakukan pada posisi, saat seharusnya merasa gugup atau takut. Gunakan waktu jeda ini untuk berpikir. Mengerti?" ucapnya saat itu. "Jangan bersikap seperti sekarang. Posisikan menjadi orang yang tidak banyak tahu, orang dari tempat yang tidak ada teknologi. Tapi, aku kok ragu, kami bisa melakukan ini."

Huuft, Laila meragukan aku. Belum tahu dia, aku jago berkilah.

"Di kampung tidak ada kompor gas, Den. Kami menggunakan kayu bakar dan kompor sumbu. Sa-saya takut dengan kompor gas, takut meledak." Aku mengangkat dagu, meliriknya sebentar dan kembali menunduk. 

Tidak ada reaksi darinya, dia hanya memandangku. Apa aktingku tidak menyakinkan, ya?

"Ha-ha-ha ...!" Tawanya mengagetkanku, aku menatapnya dengan mengernyitkan dahi.

"Zaman sekarang, masih ada orang seperti kamu. Orang sudah akan pindah ke Mars, eh kamu masih takut kompor gas!" ledek Den Langit dan terus tertawa terkekeh.

Aku melirik dan menarik sedikit ujung bibir ini, akhirnya lolos. 

Untuk hal ini, aku berkata jujur. Ketakutanku karena dahulu saat kecil, pernah terjadi ledakan kompor gas di rumah. Aku mengerti, ini karena kebocoran. Namun, memegang knopnya saja, aku merasa akan ada ledakan kemudian. 

Ketakutan ini sampai sekarang. Karena itulah, aku menggunakan kompor induksi--kompor energi elektromagnetik--cukuplah untuk diriku yang masih lajang. Itupun jarang dipakai.

"Ayo! Aku temani masak!" teriaknya, kemudian mendahuluiku masuk ke dapur. Terpaksa, aku mengikutinya.

"Benar, kamu tidak makan?" tanyanya saat menjerang air. 

"Tidak, Den. Perempuan, tidak baik makan tengah malam," jawabku sambil menyiapkan mangkok dan pelengkap mi instan: sawi hijau, cabe kecil, bakso, dan sosis sapi. Aku beri keratan memanjang di tiga sisi sosir, kemudian baru dipotong-potong, begitu juga bakso dikerat silang.

Dengan cekatan, Den Langit merebus air, memasukkan mi dan pelengkapnya. Setelah itu, memberikan kepadaku. Memang, aku tidak jago masak. Namun untuk penyajian makanan, lumayan bisa diandalkan. Mi dimasukkan mangkok, sawi, dan menyusul sosis dan bakso berbentuk bunga, kemudian aku tata rapi.

"Cantik .... "

Aku menoleh ke arahnya, sejenak suasana menjadi hening. Kesan manis begitu lekat pada laki-laki berewokan ini, jauh dari kata sangar.

"Maksud saya, mi ini cantik! Ada bunga sosis dan bakso. Kalau makan, ada yang cantik gini, jadi semangat!" Kemudian dia duduk di meja makan, menungguku menghidangkan makanan. 

Huuft! 

Aku menghela napas, mengingat kebersamaan kami tadi. Sesaat, aku lupa kalau berperan sebagai pembantu. 

Ini bisa merusak rencana risetku.

Kalau ketahuan, bisa jadi Den Ajeng menyebutku ganjen. Pembantu yang berani menggoda anak majikan. 

Ganjen yang artinya genit, ya, bukan gajah mangan jenang.

*

Pagi subuh, aku sudah dibangunkan Bulek Ningsih. Setelah salah bersama, kami memulai aktifitas. Bik Ningsih pergi ke pasar dan aku mulai membersihkan dalam  rumah.

Tadi sempat ditanya Bik Ningsih, apakah aku memasak tadi malam. Aku jawab saja, Den Langit yang masak, tanpa menceritakan kalau aku menemaninya. 

Aku mulai dengan membersihkan ruang keluarga. Jajaran pigura foto, tertata rapi di atas meja panjang. Beberapa, ada foto hitam putih menggunakan baju tradisional dan foto di waktu sekarang.

Di dinding ada foto dengan pigura kayu berukir indah. Den Ajeng duduk memangku bayi, diapit seorang laki-laki berkumis dan seorang anak laki-laki. Mereka menggunakan baju adat Jawa. 

Sebentar!

Ada pigura foto yang tergeletak di meja depan televisi, aku mengambilnya. Dua remaja laki-laki berangkulan. Yang satu berkumis tipis dan satunya lagi terlihat masih muda dan menawan. Mereka tertawa bersama, tawa yang mirip. Mungkin yang berkumis ini Den Bumi, kalau begitu, yang menawan ini adalah Den Langit?

Ya, aku ingat. 

Tadi malam, aku melihatnya terisak sambil memegang pigura foto. Berarti, foto ini yang membuatnya menangis. Mungkin dia merindukan kakaknya.

"Tutik! Ambilkan saya berkas meeting hari ini di map warna merah. Saya tunggu di meja makan," ucap Den Langit mengagetkanku. Tiba-tiba saja dia ada dibelakangku. Pelan, aku letakkan pigura foto itu, dan berbalik menghadapnya.

"Nama kamu Tutik, kan?"

"Astutik, Den."

"Yah, sama saja! Aku panggil kamu Tutik saja! Dengar yang saya suruh tadi?"

"Iya," jawabku, kemudian mundur dan meninggalkannya. Aku berusaha menjaga jarak, demi riset berhasil.

Aku meletakkan sapu dan lap di belakang, mencuci tangan, kemudian ke ruang kerja. Tadi aku akan mengambil map warna merah, tetapi di meja ada tiga tersebut. Satu berisi berkas penawaran barang, kedua berisi portfolio, dan yang ketiga berisi perjanjian kerja sama. 

Kalau melihat isinya, ini pasti ketiganya akan dibawa. Semua menunjang untuk bahan meeting.

"Ketiga map saya masukkan di tas ini, Den. Tolong diperiksa. Apakah ini benar?" Aku meletakkan di kursi di sebelahnya. 

Den Langit menaruh sendok dan garpu, kemudian menatapku. "Saya tadi bilang apa? Kenapa kamu berikan ketiga map? Saya bilang jumlahnya?"

"Ada apa, Lang? Kok ribut?" Den Ajeng, ibunya baru saja datang dan duduk di depannya. "Astuti ada salah?" tanyanya lagi.

Aku menatap Den Langit dan Den Ajeng bergantian, kemudian dengan menundukkan kepala menjelaskan alasanku. "Tadi Den Langit menyuruh mengambil map warna merah, karena di meja ada tiga, ya, saya bawa semua."

"Kenapa kamu tidak ambil satu?" tanyanya menyelidik. Aku merasa, dia mulai mencurigai sesuatu. Kalau aku jelaskan, isi ketiganya adalah bahan meeting, pasti dia akan curiga.

"Ka-kalau begitu, saya salah. Maaf." 

Aku harus bersikap tidak mengerti dan bingung, dengan mengembalikan map itu ke ruang kerja. 

"Saya akan kembalikan ini," ucapku sambil meraih tas berisi map tadi. Aku terkesiap, tanganku yang memegang tas, digenggamnya.

"Kamu tidak salah. Ini benar, kok," kata Den Langit dengan nada melunak. Tangan satunya melepas tanganku, dan sekarang tas berada di tangannya. Aku terpaku dengan tangan masih menggantung di udara. 

"Langit, Langit! Kamu ini jangan jahil ke Astuti. Kasihan dia!" celetuk Den Ajeng menyadarkanku. 

Segera aku permisi dan meninggalkan mereka. Meregangkan badan yang pegal karena selalu membungkukkan badan. Sikap badan yang biasanya tegak, sementara aku tinggalkan. Leher juga terasa kaku, seharian harus menunduk. 

"Tik, dipanggil Den Ajeng" panggil Bulek Ningsih dari jendela dapur. 

"Saya?" tanyaku sambil menunjuk diriku.

"Iya, cepetan. Di ruang tengah."

Aku langsung ke sana, semoga tidak ada masalah. Aku kawatir, dia tahu tentang kejadian semalam.

Di ruang tengah, sudah ada mereka berdua yang duduk di kursi sofa. Den Ajeng langsung menunjuk kursi kecil, untuk aku duduk. Ada apa lagi ini?

"Astuti, kamu kemarin bicara tabungan multi-multian itu, lo? Saya sudah cerita kepada Langit," ucap Den Ajeng.

"Tabungan di bank apa itu?" tanya Den Langit dengan menatapku lekat.

Duh, aku harus cari cerita yang tepat dan masuk akal di pikiran mereka. Dengan begitu mereka percaya dan aku bisa melanjutkan programku ini.

"E .... Saya pernah ikut majikan ke bank. Momong anaknya, Den. Itu, bank yang plangnya merah yang dekat alun-alun. Saya baca promosi yang dipasang. Tulisannya tabungan multicurrency, katanya satu nomor tabungan bisa berisi dua belas mata uang. Majikan saya yang tanya ke tukang bank," paparku dengan hati-hati. 

Aku berusaha memilih kata yang paling sederhana, supaya tidak ketahuan. Ternyata susah juga.

"Bank apa namanya?" tanya Den Langit. 

"Sa-saya tidak tahu," jawabku cepat. Kalau aku kasih tahu nama banknya, aku akan terkesan menggurui mereka. Tidak! Aku harus tetap bersikap tidak tahu, walaupun mulut ini sudah gatal.

"Kalau begitu, besuk kamu ikut aku ke sana!" ucapnya setelah minum dan beranjak pergi. Begitu juga Den Ajeng, mengikuti Den Langit ke depan, mengantar anak semata wayang berangkat kerja.

Aku diam mematung. Kalau aku ikut dia ke bank, bisa jadi berantakan.

Duh! 

Bagaimana caranya mengatasi petugas costumer service di bank itu. Sedangkan, aku sudah dikenal sebagai nasabah prioritas.

Pusing, aku!

*******

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 54.  Selamanya

    Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 53. Kehilangan

    Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 52.  Mahardika yang Keterlaluan

    Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 51. Aku Serahkan

    Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 50. Istri

    POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 49.  Papa dan Paman

    POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status