"Beneran, ini yang nganter sampeyan?" tanya Lek Ningsih memastikan.
Tadi dia sempat heran, kenapa Den Langit menyuruhku yang mengantar minumannya. Katanya, dia paling anti dengan orang baru.
"Sini dulu, Tik," pintanya, menarikku lebih dekat. Dia mengendus-endus rambut dan bajuku. "Aman! Den Langit itu, paling tidak suka dengan orang jorok. Juga bau wangi parfum seperti minyak nyong-nyong. Sampeyan tidak bau, malah seger."
Dia belum tahu, ini titik terendah keadaanku. Tanpa perawatan apapun, hanya roll on dengan aroma shea butter favoritku.
"Ini, Den Langit."
Aku menyodorkan teh di sebelahnya, kemudian segera akan berlalu.
"Heh, siapa yang menyuruhmu keluar? Kamu harus di sini! Siapa nama kamu?!" Teriaknya setelah menyesap teh.
"Saya Astuti."
Dia meletakkan berkas di tangannya, dan berdiri mendekatiku. Bau wewangian kayu menguar lekat bersamaan jarak yang mulai terkikis. Aku mulai sesak napas, dia begitu dekat.
"Minggir kamu, Tik!" ucapnya dengan memegang kedua bahu ini dan mendorong ke samping. Dia membungkuk dan mengambil kardus di rak paling bawah.
Duh!
Aku kira, dia akan ....
Kepalaku aku gelengkan dengan kuat, mengusir pikiran yang aneh di otakku.
"Ini kerjaanmu!"
Dia meletakkan kardus yang masih terikat tali rafia. Membuka dan terlihat tumpukan nota bercampur dengan berkas lainnya. Gatal aku melihat sesuatu yang berantakan.
"Saya lihat, penataanmu rapi. Urutkan nota sesuai tanggal dan pisahkan dari kertas yang lain."
Aku memeriksa isi kardus itu, benar-benar berantakan. Bagaimana bisa kerja cepat, kalau mencari file saja kesusahan. Pantas saja, dia sering marah-marah. Mungkin karena ini
"Berdasarkan tanggal saja, atau dipisah sesuai buyer?"
"Apa?" tanyanya, kemudian ikut jongkok di sebelahku.
Duh, aku salah ucap lagi.
"E, maksud saya, ini. Tulisan yang ini," ucapku menunjuk tulisan buyer. Seharusnya aku membaca sesuai tulisan, bukan berucap lafal bahasa Inggris.
"Ya, boleh. Ini bahasa Inggris, artinya pembeli. Ngerti?"
Dia menoleh ke arahku. Dalam jarak yang begitu dekat, wajah imut berbayang dibalik brewoknya itu. Tangannya juga putih bersih, bulu-bulu halus terlihat begitu jelas.
"Ngerti, Tik?"
"I-Iya, Den," ucapku dengan gugup.
Rasa gugup yang bukan rekayasa. Aku menunduk menghindari tatapannya, sikap yang tidak pernah aku lakukan saat berhadapan dengan siapapun.
Apa ini?!
*
"Aman, Tik?" tanya Bulek Ningsih saat kami makan sore bersama. Aku, Bulek Ningsih dan Pak Salim.
Kami dapat makan, tentunya dengan menu berbeda dengan majikan. Tempe goreng penyet sambal pedas, dan sayur bayam. Menu sederhana, namun enak.
Sepanjang kebersaman ini, tidak henti-hentinya mereka menginterogasiku. Seputar tentang Den Langit, tentunya. Mereka juga menceritakan siapa sebenarnya dia.
Dia dulu anak periang, manja dan lumayan gaul. Malah dia menjadi vokalis band di kampus. Kegiatannya yang seperti itu, sempat ditentang keras oleh Ayahnya. Namun, pembelaan dari Bumi--kakak yang meninggal kecelakaan--membuatnya dia bisa melakukan kesenangannya kembali.
"Dulu malah sempat akan rekaman, lo, Mbak! Kalau tidak ada kejadian mengerikan itu, pasti Den Langit sudah jadi artis terkenal!" ucap Pak Salim.
"Yo kuwi, Tik. Sejak kejadian itu, dia jagi galak. Mungkin setres karena pekerjaan. Yo, maklum lah. Dia itu kehilangan bapak dan Mas Bumi yang dia sayangi. Bulek kan tahu dia dari masih piyik," timpal Bulek Ningsih.
Aku juga menceritakan, tadi membantu merapikan berkas di kantor. Tentunya, tanpa cerita baunya yang masih terasa lekat di penciumanku. Sampai sekarang.
"Dari dulu memang berewokan?"
"Ya, tidak! Den Langit itu gini," sahut Pak Salim menunjukkan jempolnya.
"Dan, ceweknya banyak! Kami sampai kewalahan. Ya Pak Salim!" imbuh Bulek Ningsih, kemudian mereka tertawa bersama.
Ternyata dia orangnya seperti itu. Aku mulai mengerti.
*
Malam ini, malam pertama di rumah Den Ajeng. Aku gelisah di tempat tidur, balik kanan dan kiri. Biasanya, pengantar tidurku adalah membaca buku atau main ponsel. Ini, buku tidak ada, ponselpun hanya bisa untuk terima panggilan dan kirim pesan.
Aku membuka kembali buku harian yang ada gemboknya. Ini catatan hasil riset hari ini yang baru aku tulis, kubaca kembali.
Pilihan istilah, pilihan kata, ekpresi wajah dan gestur tubuh, penting untuk memperkuat karakter dalam cerita. Ini hanya bentuk yang kasat mata, yang aku dapatkan. Untuk rasa teraniaya sebagai pembantu, belum ada. Aku merasa belum menjiwai peranku.
Aku meregangkan badan. Kamar sempit ini membuatku tidak leluasa bernapas, aku membuka jendela yang mengarah ke halaman depan. Terdengar sayup-sayup petikan gitar. Bukan lagu yang pernah aku dengar, namun iramanya begitu menyayat hati.
Penasaran, aku keluar kamar dan menuju ke pusat suara itu. Keadaan begitu sepi nyenyat, pintu kamar Bulek Ningsih pun sudah tertutup rapat.
Kelihatan sosok duduk memegang gitar. Dari belakang, aku yakin dia itu Den Langit. Dia sudah tidak memainkan gitar lagi, ditangannya memegang pigura foto. Samar, aku mendengar isakan lirih.
Dia menangis?
Aku berdiri bersandar di tembok, tidak jauh darinya. Menatap punggung kokok itu yang terguncang pelan. Sinar rembulan menyorot disela-sela dahan pohon. Entah kenapa, hatiku ikut merasa pilu.
"Siapa itu!" teriaknya mengagetkanku. Ternyata banyanganku yang tersorot sinar rembulan, tertangkap olehnya. Mau tidak mau, aku harus menampakkan diri.
"Saya, Den Langit. Astuti," ucapku pelan. Berlahan aku keluar dari balik tembok, disambut tatapan curiga darinya.
"Kamu sudah lama di situ?"
"Baru saja. Saya ...." Aku bingung harus bicara apa. Aku menoleh kanan-kiri mencari ide untuk alasan. Oh aku tahu!
"Saya lapar. Maunya ingin masak mi instan. Tapi sekarang sudah tidak lapar. Maaf, Den. Saya permisi dulu." Aku langsung melangkah mundur, dan bersiap untuk berbalik.
"Masakkan saya juga!" celetuknya, membuatku berhenti.
"Sa-saya yang masak?"
Aku menatapnya, waduh bagaimana ini. Beri saya pekerjaan apapun, tetapi jangan memasak, walaupun hanya mi instan.
"Saya bangunkan Bulek Ningsih, ya?"
"Tidak usah. Kamu saja yang memasak. Kenapa?" Dia berdiri dan melangkah mendekatiku. Sinar rembulan menyorot, memperjelas siluet yang membuatku berasa tak biasa.
"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.
Rasa malu membuat pipi ini menghangat, mungkin kalau aku berkaca di tempat terang, pasti merah seperti tomat rebus.
Duh!
***
"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.Dengan langkah panjangnya, Den Langit mendekat dan dengan memiringkan kepala dia bertanya, "Selama ini, kamu masak pakai apa?" Tercium nada curiga di sana.Aku menunduk sambil memilin ujung baju kaos, mengikuti saran Laila. "Ini kamu lakukan pada posisi, saat seharusnya merasa gugup atau takut. Gunakan waktu jeda ini untuk berpikir. Mengerti?" ucapnya saat itu. "Jangan bersikap seperti sekarang. Posisikan menjadi orang yang tidak banyak tahu, orang dari tempat yang tidak ada teknologi. Tapi, aku kok ragu, kami bisa melakukan ini."Huuft, Laila meragukan aku. Belum tahu dia, aku jago berkilah."Di kampung tidak ada kompor gas, Den. Kami menggunakan kayu bakar dan kompor sumbu. Sa-saya takut dengan kompor gas, takut meledak." Aku mengangkat dagu, meliriknya sebentar dan kembali menunduk. Tidak ada reaksi darinya, dia hanya memandangku. Apa aktingku tidak menyakinkan, ya?"Ha-ha-ha ...!" Ta
Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola. Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara. Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pe
Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini."Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit."Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.*Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, wa
Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim. Setiap kesempatan ada saja bahan untuk dibahas. "Tik, pisange enak?" "Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka. “Hus! Jangan dibandingkan pisang yang sudah kedaluarso. Pasti beda, lebih seger dan manis.” “Tur gede dan bikin kenyang!” Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Guyonan orang tua yang bikin otak traveling kemana-mana. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Rumah seperti hidup dan tidak suram seperti sebelumnya. Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek penderita. Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir liar. Timbul asumsi yang mulai tidak terkendali. Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama. Tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng, dilengkapi rempeyek kacang tanah. "Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bul
Pekerjaanku tidak hanya membersihkan rumah, namun lebih banyak menata berkas di ruang kerja. Ini atas perintah Den Langit. Semua rak, satu persatu aku rapikan. [Mbak Lintang, saya butuh tanda tangan. Kita janjian di mana?] Pesan dari Mbak Rahmi asisten pribadiku. Selain Laila, Mbak Rahmi juga tahu penyamaranku ini. Dia yang aku tunjuk sebagai perantara orang kantor dan aku.[Satu jam lagi di toko pojokan yang ada pohon rindang] Aku membalas pesan, kemudian bergegas merapikan tumpukan berkas ini."Bulek Ningsih, saya ke toko dulu.""Beli apa, Tik? Minta tolong Pak Salim saja, dia di depan."Dia meletakkan panci di kompor dan mendekatiku. "Den Langit makan siang di rumah. Itu saya buatkan soto daging kesukaannya. Kalau kamu pergi dan dia mencarimu gimana? Saya tidak ngerti kalau disuruh cari ini dan itu."Aku menatapnya sambil mencari alasan untuk bisa keluar menemui Mbak Rahmi. "Harus saya sendiri, Bulek. Belanjaan saya untuk datang bulan. Tidak enak kalau menyuruh Pak Salim mem
"Mana belanjaanmu?!" Masih dengan kedua alis bertaut, tetapi kilatan mata yang mulai meredup. "Belanjaan?" tanyaku seperti orang linglung. Mungkin dia bertambah kesal, karena aku tidak menciut, malah menatapnya dengan senyuman. "Kamu ke sini akan belanja, kan?" Nada suaranya mulai melunak. Dia menarikku untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko. Aku langsung tersadar, bahwa tadi minta ijin Bulek Ningsih untuk belanja. Tanganku meremas ujung baju, mengalihkan perhatian selagi mencari apa jawaban yang tepat. Kalau aku mengatakan belum belanja, itu pasti mencurigakan. Waktu selama ini belum belanja kan aneh. "Oh, belanjaan saya di mana, ya?" Aku mengedarkan pandangan, pura-pura mencari belanjaan. "Aduh! Saya lupa ambil! Ketika di mobil tadi, belanjaan saya letakkan di lantai mobil. Orang tadi sudah minta tolong, malah belanjaan saya diembat!" ucapku dengan kesal. Aku menunduk dan menepuk dahiku untuk meyakinkan rasa kesal. "Sudahlah! Tidak usah mikir belanjaan. Yang pen
Sudah satu minggu ini, aku membantu Den Langit di kantor. Itu pun setelah pekerjaan di rumah selesai. Jadi, pagi-pagi aku harus memulai bersih-bersih rumah.Malam harinya, mulai aku menulis cerita dari hasil riset. Tema bukan tentang pembantu teraniaya, tetapi tentang pembantu yang mampu membantu pekerjaan majikan. Tak disangka, cerita di bab pertama yang aku pos di media sosial mendulang ribuan like. Padahal, aku belum memberi judul cerita.Beberapa penulis senior mendorongku untuk menulis lagi dan diingatkan tidak lupa memberi judul. Semangat menulisku mulai menggebu, lelah karena bekerja sudah tidak kuhiraukan. Aku tetapkan cerita bersambung ini berjudul Pembantu Rasa Nyonya. Malam-malam berikutnya, aku begadang untuk menulis dan dipos di platform. Itu pun, atas saran penulis lainnya. Dengan nama pena, Astika Buana. Pernah, Mbak Rahmi bertanya, kenapa menggunakan nama pena dan tidak memakai nama sendiri. Bukankan ini kerugian, saat nama sebenarnya tidak dikenal di dunia nyata?
"Tutik, kamu sudah datang ternyata. Tolong bantu saya menyortir sampel ini," ucapnya yang baru masuk ruangan.Den langit menaruh keranjang penuh dengan sampel kain batik. Aku bergegas membantu nya. Syukurlah, dia tidak mendengar apa yang aku katakan. Buktinya dia tidak bertanya."Besuk ada tamu. Dia pembeli besar, jadi kita harus siapkan semuanya. Orang belakang juga saya suruh membersihkan areal dalam dan luar pabrik. Aku ingin image pabrik ini bersih, tertata, dan rapi. Pokoknya, zero mistake! Everything must be perfect. ""Ya, Den. Saya pastikan tidak ada yang salah, dan semuanya sempurna. Sample ini diberi nama sesuai daftar, kan?" tanyaku, kemudian mendongakkan wajah menunggu jawaban yang tak kunjung kudengar. Den Langit menatapku tajam dengan dahi berkerut."Saya salah, Den?""Tidak! Malah bener sekali. Ternyata kamu mengerti bahasa Inggris, ya? Kamu mengerti apa yang aku katakan? Kamu ini sering membuatku kaget."Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang dimaksud. Bahas