Share

Bab 3. Den Langit

"Beneran, ini yang nganter sampeyan?" tanya Lek Ningsih memastikan. 

Tadi dia sempat heran, kenapa Den Langit menyuruhku yang mengantar minumannya. Katanya, dia paling anti dengan orang baru.

"Sini dulu, Tik," pintanya, menarikku lebih dekat. Dia mengendus-endus rambut dan bajuku. "Aman! Den Langit itu, paling tidak suka dengan orang jorok. Juga bau wangi parfum seperti minyak nyong-nyong. Sampeyan tidak bau, malah seger."

Dia belum tahu, ini titik terendah keadaanku. Tanpa perawatan apapun, hanya roll on dengan aroma shea butter favoritku.

"Ini, Den Langit." 

Aku menyodorkan teh di sebelahnya, kemudian segera akan berlalu. 

"Heh, siapa yang menyuruhmu keluar? Kamu harus di sini! Siapa nama kamu?!" Teriaknya setelah menyesap teh.

"Saya Astuti."

Dia meletakkan berkas di tangannya, dan berdiri mendekatiku. Bau wewangian kayu menguar lekat bersamaan jarak yang mulai terkikis. Aku mulai sesak napas, dia begitu dekat.

"Minggir kamu, Tik!" ucapnya dengan memegang kedua bahu ini dan mendorong ke samping. Dia membungkuk dan mengambil kardus di rak paling bawah.

Duh! 

Aku kira, dia akan .... 

Kepalaku aku gelengkan dengan kuat, mengusir pikiran yang aneh di otakku.

"Ini kerjaanmu!" 

Dia meletakkan kardus yang masih terikat tali rafia. Membuka dan terlihat tumpukan nota bercampur dengan berkas lainnya. Gatal aku  melihat sesuatu yang berantakan.

"Saya lihat, penataanmu rapi. Urutkan nota sesuai tanggal dan pisahkan dari kertas yang lain." 

Aku memeriksa isi kardus itu, benar-benar berantakan. Bagaimana bisa kerja cepat, kalau mencari file saja kesusahan. Pantas saja, dia sering marah-marah. Mungkin karena ini 

"Berdasarkan tanggal saja, atau dipisah sesuai buyer?"

"Apa?" tanyanya, kemudian ikut jongkok di sebelahku. 

Duh, aku salah ucap lagi.

"E, maksud saya, ini. Tulisan yang ini," ucapku menunjuk tulisan buyer. Seharusnya aku membaca sesuai tulisan, bukan berucap lafal bahasa Inggris.

"Ya, boleh. Ini bahasa Inggris, artinya pembeli. Ngerti?"  

Dia menoleh ke arahku. Dalam jarak yang begitu dekat, wajah imut berbayang dibalik brewoknya itu. Tangannya juga putih bersih,  bulu-bulu halus terlihat begitu jelas.

"Ngerti, Tik?"

"I-Iya, Den," ucapku dengan gugup. 

Rasa gugup yang bukan rekayasa. Aku menunduk menghindari tatapannya, sikap yang tidak pernah aku lakukan saat berhadapan dengan siapapun.

Apa ini?! 

*

"Aman, Tik?" tanya Bulek Ningsih saat kami makan sore bersama. Aku, Bulek Ningsih dan Pak Salim. 

Kami dapat makan, tentunya dengan menu berbeda dengan majikan. Tempe goreng penyet sambal pedas, dan sayur bayam. Menu sederhana, namun enak. 

Sepanjang kebersaman ini, tidak henti-hentinya mereka menginterogasiku. Seputar tentang Den Langit, tentunya. Mereka juga menceritakan siapa sebenarnya dia.

Dia dulu anak periang, manja dan lumayan gaul. Malah dia menjadi vokalis band di kampus. Kegiatannya yang seperti itu, sempat ditentang keras oleh Ayahnya. Namun, pembelaan dari Bumi--kakak yang meninggal kecelakaan--membuatnya dia bisa melakukan kesenangannya kembali.

"Dulu malah sempat akan rekaman, lo, Mbak! Kalau tidak ada kejadian mengerikan itu, pasti  Den Langit sudah jadi artis terkenal!" ucap Pak Salim. 

"Yo kuwi, Tik. Sejak kejadian itu, dia jagi galak. Mungkin setres karena pekerjaan. Yo, maklum lah. Dia itu kehilangan bapak dan Mas Bumi yang dia sayangi. Bulek kan tahu dia dari masih piyik," timpal Bulek Ningsih.

Aku juga menceritakan, tadi membantu merapikan berkas di kantor. Tentunya, tanpa cerita baunya yang masih terasa lekat di penciumanku. Sampai sekarang.

"Dari dulu memang berewokan?" 

"Ya, tidak! Den Langit itu gini," sahut Pak Salim menunjukkan jempolnya. 

"Dan, ceweknya banyak! Kami sampai kewalahan. Ya Pak Salim!" imbuh Bulek Ningsih, kemudian mereka tertawa bersama.

Ternyata dia orangnya seperti itu. Aku mulai mengerti.

*

Malam ini, malam pertama di rumah Den Ajeng. Aku gelisah di tempat tidur, balik kanan dan kiri. Biasanya, pengantar tidurku adalah membaca buku atau main ponsel. Ini, buku tidak ada, ponselpun hanya bisa untuk terima panggilan dan kirim pesan. 

Aku membuka kembali buku harian yang ada gemboknya. Ini catatan hasil riset hari ini yang baru aku tulis, kubaca kembali. 

Pilihan istilah, pilihan kata, ekpresi wajah dan gestur tubuh, penting untuk memperkuat karakter dalam cerita. Ini hanya bentuk yang kasat mata, yang aku dapatkan. Untuk rasa teraniaya sebagai pembantu, belum ada. Aku merasa belum menjiwai peranku.

Aku meregangkan badan. Kamar sempit ini membuatku tidak leluasa bernapas, aku membuka jendela yang mengarah ke halaman depan. Terdengar sayup-sayup petikan gitar. Bukan lagu yang pernah aku dengar, namun iramanya begitu menyayat hati. 

Penasaran, aku keluar kamar dan menuju ke pusat suara itu. Keadaan begitu sepi nyenyat, pintu kamar Bulek Ningsih pun sudah tertutup rapat.

Kelihatan sosok duduk memegang gitar. Dari belakang, aku yakin dia itu Den Langit. Dia sudah tidak memainkan gitar lagi, ditangannya memegang pigura foto. Samar, aku mendengar isakan lirih. 

Dia menangis?

Aku berdiri bersandar di tembok, tidak jauh darinya. Menatap punggung kokok itu yang terguncang pelan. Sinar rembulan menyorot disela-sela dahan pohon. Entah kenapa, hatiku ikut merasa pilu.

"Siapa itu!" teriaknya mengagetkanku. Ternyata banyanganku yang tersorot sinar rembulan, tertangkap olehnya. Mau tidak mau, aku harus menampakkan diri.

"Saya, Den Langit. Astuti," ucapku pelan. Berlahan aku keluar dari balik tembok, disambut tatapan curiga darinya.

"Kamu sudah lama di situ?" 

"Baru saja. Saya ...." Aku bingung harus bicara apa. Aku menoleh kanan-kiri mencari ide untuk alasan. Oh aku tahu!

"Saya lapar. Maunya ingin masak mi instan. Tapi sekarang sudah tidak lapar. Maaf, Den. Saya permisi dulu." Aku langsung melangkah mundur, dan bersiap untuk berbalik.

"Masakkan saya juga!" celetuknya, membuatku berhenti.

"Sa-saya yang masak?" 

Aku menatapnya, waduh bagaimana ini. Beri saya pekerjaan apapun, tetapi jangan memasak, walaupun hanya mi instan.

"Saya bangunkan Bulek Ningsih, ya?"

"Tidak usah. Kamu saja yang memasak. Kenapa?" Dia berdiri dan melangkah mendekatiku. Sinar rembulan menyorot, memperjelas siluet yang membuatku berasa tak biasa.

"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.

Rasa malu membuat pipi ini menghangat, mungkin kalau aku berkaca di tempat terang, pasti merah seperti tomat rebus.

Duh!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status