"Bibi, ditunggu nenek di ruang makan. Cepet keluar, katanya nenek.”
Aku yang tengah duduk melipat pakaian menoleh sekilas memperhatikan Adnan yang berdiri di ambang pintu. Setelah aku mengangguk kecil, bocah berumur 6 tahun lewat dua bulan itu langsung ngeloyor pergi.
Kuhela napas dalam saat tatapanku terpacak pada foto Mas Rofi di atas meja. Di sebelah foto yang tersenyum lebar dengan tatapan menggoda itu, ada beberapa bingkisan kado warna-warni yang ditumpuk memanjang ke atas, membuatku lagi-lagi menghela napas dalam. Walau sudah empat bulan berlalu sejak kepergian Mas Rofi, tetap saja rasanya masih begitu sesak. Kado ulang tahun pemberian teman-teman Mas Rofi di hari suamiku merenggang nyawa itu, tak pernah dibuka sama sekali.
Tanganku terus bergerak melipat pakaian lalu memasukkannya ke dalam koper. Di luar, terdengar Qila yang tengah tertawa riang dengan Adnan. Sesekali, Ibu mertua dan Bapak menimpali.
HP yang berdering nyaring, membuatku dengan cepat mengangkatnya. Menempelkan ke telinga dan berkata dengan suara sepelan mungkin agar Ibu tak mendengarnya. “Halo, Kak.”
“Sudah siap belum? Sebentar lagi mas datang.”
Ya. Setelah memikirkannya masak-masak semingguan ini, aku memutuskan pulang ke rumah. Tinggal di rumah mertua terus, lama-lama membuatku tak nyaman karena lelaki jutek itu sering kemari menengok anaknya. Seperti biasa, Mas Rasya selalu sinis. Ibu tak membiarkanku tinggal di rumahku sendiri yang dibeli oleh Mas Rofi. Katanya, emosi menantunya ini tak stabil, mereka takut Qila tak terurus.
Jadi, aku memutuskan pulang saja. Siapa tahu dengan begitu, aku bisa sedikit mengubur kenangan yang hingga detik ini masih menimbulkan nyeri saat dikenang.
“Puus, ayo makaan!” Terdengan suara Ibu memanggil. Kumasukkan baju-baju Qila ke dalam koper kemudian menemui Ibu dan Bapak yang tengah menunggu di ruang makan. Adnan tengah bermain ciluk ba dengan Qila yang duduk di karpet bunga-bunga dengan banyak mainan di depannya. Bocah berpipi gempil itu tersenyum saat bersitatap denganku.
“Kok lama, tho, bapakmu sudah lapar tungguin kamu dari tadi," kata Ibu saat aku menggeser kursi lantas mendudukinya.
“Iya nih, Bibi.” Adnan menimpali. Bocah berpipi tirus seperti ayahnya itu langsung beranjak meninggalkan Qila kemudian duduk di sampingku. Ia mengambil nasi dan sayur bening, ia letakkan ayam goreng, setelah itu menyerahkannya padaku.
“Bibi bisa sendiri, Ad,” kataku sambil menerimanya. Bocah ini memang dekat denganku. Sebelum Qila lahir, ia lebih sering bersamaku dan Mas Rofi karena kami tak juga mempunyai anak. Ayahnya juga selalu sibuk kerja. Terkadang, Adnan malah menginap di rumahku timbang di rumah Mas Rasya.
“Bu ....”
Ibu mertua yang tengah menyuap langsung menatapku. Sorot mata tuanya terlihat penasaran. Aku sudah mengutarakan niat pada Ibu ingin pulang ke rumah seminggu lalu. Namun, waktu itu Ibu tak menanggapi. Sorot matanya terlihat keberatan, tapi tak mengatakan apa-apa.
“Kenapa, Pus?” Lelaki tua bertubuh tinggi kurus mengerutkan kening, membuat alisnya yang berwarna putih seperti rambutnya nyaris bertaut.
“Aku mau pulang, Pak.”
Kurasakan jantungku berdetak kencang saat keduanya berpandangan. Sementara Adnan terus menyuap dengan lahap.
"Kalau bibi pulang, aku ikut bibi, ya?" tanyanya dengan tatapan berharap.
Bapak dan Ibu menghela napas panjang. Sorot keberatan memancar jelas di kedua mata tuanya. “Kenapa, Pus? Kamu tak senang tinggal di sini?” tanya Ibu dengan wajah tersinggung.
"Apa ibu terlalu galak?" Lanjutnya, dengan mata berkaca-kaca seperti hendak menangis. Ia letakkan sendoknya ke piring lalu menatapku lekat.
Aku menghela napas. Tujuh tahun menjadi menantunya, aku sudah hafal benar tabiat Ibu yang kalau bicara selalu keras walau sebenarnya maksudnya baik. Meskipun aku hanya menantu, tapi ia begitu menyayangiku.
Empat bulan sejak kepergian Mas Rofi, Ibu selalu bawel menyuruhku makan yang banyak agar ASI tetap lancar. Tak jarang, ia mengoceh saat melihatku hanya makan dengan kuah sayur, yang penting tertelan, begitu. Kepergian Ma Rofi yang mendadak, membuatku tak semangat melalui hari. Hampa. Juga kosong. Qila adalah alasan kuat aku mencoba bangkit dari keterpurukan, melupakan semua meskipun sangat sulit.
“Pokoknya ibu tak ijinkan kamu pulang. Apa kamu tega pisahin ibu dan Qila?”
Aku menatap bocah yang terus asyik bermain. Bibirnya melekuk senyum saat mata bocah itu berpandangan denganku.
"Uuuuh. Uuuuh." Dengan tangan terjulur ke arahku. Itu artinya, Qila minta digendong.
Aku memberanikan diri menatap Ibu. “Ibu bisa datang kapan saja. Hanya berjarak tiga jam saja, Bu," sahutku sambil menyuap. Langsung menelannya tanpa mengunyah. Ayam goreng tetap utuh di bibir piring. Mataku merebak saat teringat Mas Rofi yang terkadang menyuapiku saat makan. Duhai, alangkah indah saat-saat itu.
“Ibu tetap tak ijinkan.”
“Kamu, Pus, bilang mau pulang kok mendadak!”
Wajah Bapak tampak kesal. Bapak mertuaku ini jarang marah. Bahkan saat Mas Rofi pergi dulu, ia sama sekali tak menyalahkanku. Hanya menyesalkan kenapa hal itu sampai terjadi. Berbeda dengan Bapak yang tak bisa menunjukkan kesedihannya, Ibu tampak begitu tabah. Katanya, setiap yang bernyawa pasti akan mengalami mati. Setiap takdir manusia sudah ditulis di atas Arsy. Jodoh. Rejeki. Mati. Aku sama sekali tak pernah melihat Ibu menangis atau sedang meratap setelah Mas Rofi dikebumikan.
“Aku udah bilang sama ibu seminggu lalu, Pak.”
“Tapi ibu tak mengijinkan. Ibu tak mengiyakan.”
“Tapi, Pak, Mas Rofi sudah tak ada.”
“Kami ini juga keluargamu, Pus!” Ibu berkata sedikit membentak.
Perempuan berjilbab lebar itu berdiri lantas menggendong Qila yang langsung tertawa padanya. Ibu menciumi anakku itu sambil menangis. "Jangan pisahkan ibu dan Qila, Pus. Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Tapi jangan bawa Qila.”
Aku sudah tak berselera makan. Kuletakkan sendok di piring lalu menghela napas dalam mencoba sabar. “Ya gak bisa kalau aku gak bawa Qila, Bu. Dia anakku. Butuh ASI dan kasih sayang ibunya.”
Ibu menggeleng-gelengkan kepala, tampak tak bisa dibantah. Aku mendekat padanya hendak meraih Qila, tapi Ibu mendekap bocah itu di dadanya, membuat Qila menangis kencang.
“Bu, tolong jangan begini.”
“Sampai kapanpun, Qila tetap cucu ibu. Satu-satunya jejak Rofi.” Mata ibu berkaca-kaca saat mengatakannya.
Rasa pedih berdenyar di dadaku. Aku mengulurkan tangan hendak meraih Qila tapi Ibu dengan cepat menepis tanganku.
“Pak! Pak eee! Cepat tho, ambil HP.”
Aku membeliak menatap Ibu. Ibu pasti mau mengadu pada anaknya yang semena-mena itu. Tidak akan kubiarkan.
“Ibu, tolong jangan begini. Kan ada Adnan. Adnan cucu ibu juga.” Aku menatap bocah berambut hampir menyentuh bahu itu. Katanya, dia ingin seperti penyanyi siapa itu ... yang rambutnya panjang, aku lupa namanya, setiap dibujuk potong rambut.
“Adnan dan Qila sama-sama cucu ibu. Tak ada yang boleh pergi. Pak, ayo cepat telponkan.”
Saat mendengar suara Mas Rasya dari HP yang diloads speaker, aku memilih bersandar di kursi. Lelaki menyebalkan itu pasti akan senang jika aku pergi. Aku memutuskan ke kamar saat mendengar dering HP. Kali ini, yang menghubungi bukan Mas Hanif, tapi Mas Fadil saudara kembar Mas Hanif.
“Halo, Mas.”
“Mas udah sampai depan rumah. Ibu mertuamu ada? Ini ada oleh-oleh dari mama.”
“Ada, Mas. Masuk saja."
Terdengar bunyi bel. Lalu suara salam. Aku menuju ruang tamu di mana Ibu dengan Qila di gendongannya tengah berbicara dengan Mas Hanif dan Mas Fadil. Kedua kakak lelakiku itu bicara pada Ibu dengan nada hati-hati.
"Puspita ingin menenangkan diri, katanya." Mas Fadil berkata sambil menatapku yang berjalan mendekat.
"Si Puspita di sini tak pernah diusik. Di kamar seharian aja ibu diamkan!" Ibu menyahut sinis. Ibu kalau sedang kesal ya begini, teelihat tak bersahabat.
Mas Hanif menggaruk rambutnya, wajahnya terlihat bingung mau bicara apa. Aku duduk di samping Ibu, memandangnya.
"Bu, Mas Rofi sudah tak ada. Aku di sini buat apa? Aku ingin cari suasana baru."
Wajah Ibu tersentak kaget. "Jadi mentang-mentang Rofi sudah tak ada, kamu berniat melupakan ibu juga, Pus! Tak menganggap kami keluarga lagi?"
Ibu jelas salah faham. Bukan itu maksudku. Coba pikir. Aneh, kan, aku tinggal di sini sementara Mas Rofi sudah tak ada? Saatnya aku memulai hidup baru. Aku harus mencari pekerjaan untuk masa depan Qila.
Baru saja aku hendak menjelaskan, terdengar suara salam. Mas Rasya melangkah masuk dan duduk di seberang Mas Hanif.
"Kalau mau pergi, pergi saja. Jangan bawa Qila," katanya, menatapku dingin seperti biasa. Adnan mendekat lalu duduk di pangkuannya, melingkarkan tangan di leher lelaki dewasa itu dan mengecup keningnya. "Ayah sudah makan?"
Mas Rasya mengangguk pada bocah itu, membelai rambutnya, lalu mengecup keningnya.
"Ibu bisa ngurus Qila," imbuh Ibu dengan tatapan tak bisa dibantah.
"Qila butuh ASI, Bu. Butuh kasih sayang ibunya," ucapku sambil memandang Ibu takut-takut.
"Ibu bisa membelikannya susu. Ya, kan, Pak?" Ibu menatap lelaki bertubuh kurus yang berjalan mendekat. Wajah itu yang tadi di ruang makan terlihat sangat marah, kini sangat ramah saat memandangku.
"Kamu dan Rasya nikah saja."
Bukan hanya aku yang tersentak kaget, tapi Mas Rasya juga. Ia menurunkan Adnan dari pangkuannya lalu menudingku.
"Aku menikah dengnnya, Pak? Dia itu aib."
Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama.
Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama."Hiiits, jangan bilang gitu. Puspita ini kesayangannya adikmu," ucap ibu."Tapi dia malah membunuhnya!" Ma Rasya menatapku sinis. Aku menggigit bibir merasakan perih yang berdenyar di dada.Seolah aku sengaja membunuh suamiku sendiri. Ya Allah, seandainya aku tahu, aku tak akan melakukan itu. Yang benar saja, masa aku dengan sengaja membunuh pengayom yang begitu dibutuhkan Qila.Tatapan tajam Mas Rasya yang menyiratkan kebencian kubalas tak kalah tajam. Lama-lama terus disalahkan membuatku kesal juga. Keberadaan Mas Hanif dan Mas Fadil membuatku semakin berani. Aku trus memandang Ms Rasya dengan mata yang perlahan memanas. Dan pada akhirnya, aku terisak lirih."Diapa-apain juga nggak dia nangis. Aku suruh nikah sama perempuan seperti itu, Pak,&nb
Aku memandang wajah Mas Rasya yang penuh lebam kebiruan dengan tatapan tak percaya. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang terlihat sangat mengantuk dan rambutnya acak-acakan. Sepertinya, bukan hanya aku yang frustrasi dengan perjodohan mendadak ini. Ia juga."Mas yakin mau anter aku pulang?"Mas Rasya kembali meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. Lalu mengangguk meyakinkan. "Cepat. Mumpung bapak dan ibu masih tidur."Ia masuk ke kamar, mengedar pandang ke sekeliling lalu melangkah tergesa mendekati koper dan tas besar yang kemarin sore telah kusiapkan. Tanpa cuci muka atau mengganti baju, aku segera menggendong Qila yang tengah terlelap di ranjang bayi kemudian dengan perasaan was-was menyusul langkah Mas Rasya. Jantungku berdetak kencang saat melewati kamar Ibu yang tertutup rapat. Tumben, Ibu jam segini belum bangun. Biasanya sudah heboh di dapur.Pintu mobil bagian depan sudah terbuka saat aku tiba di bibir jalan. Aku lekas masuk.Tanpa membuan
"Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam.
Pov RasyaAku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja."Le! Cepat bangun, Le!"Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja."Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya.Brak! Brak! Brak!"Le! Ini ibu
Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.)Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.)Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas
POV RasyaDasar bocah!Aku menatap sebal pada bunga warna-warni di bawah jok. Dibelikan, bukannya berterima kasih malah ditinggal begitu saja. Aku memungutnya hendak membuang keluar tapi seketika mengurungkan niat saat teringat wajah Ibu yang selalu berseri tiap Bapak membawakannya bunga. Masih segar juga, lebih baik berikan Ibu daripada mubazir. Hitung-hitung, menyenangkan hati orang tua."Buat ibu!" kataku saat menemukannya tengah menonton televisi. Ibu langsung meraih bunga yang kuulurkan dan tersenyum kecil. "Tumben baik," katanya sambil menciumnya lalu meletakkannya di meja.Aku duduk di sampingnya sambil menggelengkan kepala. Memang, buat kebutuhan dia sehari-hari, untuk beli baju, arisan, bayar listrik, uang dari mana coba kalau bukan dari anaknya ini? Ibu memang suka menghilang-hilangkan sesuatu yang sebenarnya besar. Padahal, itu adalah wujud perhatian anaknya ini meskipun dia bawelnya tak k
"Sana cepat turun," kata Mas Hanif sambil dengan isyarat matanya memintaku turun.Sebenarnya, malas pagi-pagi harus ke rumah Ibu. Semalam, Ibu terus menghubungi Mama mengingatkan kalau aku harus ke Jakarta mencari gaun bersama Mas Rasya, sekalian membawa Qila karena katanya ia kangen. Aku sudah bilang gaun terserah Ibu saja, tapi Ibu tetap saja ngotot menyuruh datang.Maka, di sinilah aku sekarang, di depan rumah Ibu. Di seberang jalan, perempuan tua itu melambai dengan wajah riang."Mas Hanif, jangan lupa awasi aku, yaa."'Siaap, Putri."Aku melotot. "Awas lho, kalau gak," kataku sambil turun lantas melangkah menuju mobil mertua yang pintunya telah dibuka lebar. Ibu langsung mengulurkan tangan ke arah Qila yang tengah menyusu dalam dot begitu aku duduk di sebelahnya."Nanti kalau susu yang itu habis, susu cadangan ada di tas ini ya, Bu." Aku menyerahkan taspink
POV RasyaCk. Ck. Ck. Dasar bocah! Aku bersikap masa bodoh melihat matanya yang berkaca-kaca saat Dewa merebut tas tangannya. Buat apa juga tolongin dia, yang ada, teman-teman malah jadi mengejekku nantinya.Sohib-sohibku tahu benar, sejak dulu, temannya ini tak menyukai perempuan manja itu. Tak jarang, aku mengeluh pada mereka kenapa ada orang model Puspita yang begitu manja. Beberapa kali, aku melihat Puspita suap-suapan dengan Rofi di rumah Ibu sambil menggelendot di lengan mediang adikku. Malu, kan, kalau ada tamu? Aku saja yang melihatnya sampai ilfil. Yaa bedalah kalau di kamar, kan?Langsung kusentak napas kesal saat bertemu tatap dengan Bocah itu, wajahnya begitu memohon. Ck ck ck. Jadi orang, kok, tidak ada pintar-pintarnya. Tepis, kek, tangannya Dewa. Bukannya terus diam menatap kakak iparnya dengan pandangan memelas. Entah kelewat bodoh atau apa tuh, Bocah. Tangan bu