Beranda / Rumah Tangga / Nikah Kontrak Demi Balas Dendam / Bab 4 : Menikah Dengan Perjanjian

Share

Bab 4 : Menikah Dengan Perjanjian

Penulis: Apple Cherry
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-13 20:07:54

Matanya masih terasa berat, sebab ia baru saja tertidur dini hari karena meski mengantuk ia tetap tak bisa tidur dengan nyenyak.

"Halo, Ma." Aileen melotot.

"Apa? Mama kok tiba-tiba sekali sih? Tapi, Ma..."

Panggilan terputus begitu saja. Aileen dibuat terkejut dengan panggilan dari sang mama.

"Ini gila, apa aku akan dinikahkan paksa?" gumam Aileen gugup, takut, sekaligus was-was.

"Nggak, nggak! Aku nggak mau menikah paksa dengan orang yang nggak jelas!!" Aileen mengusap kasar wajahnya frustrasi.

Namun mamanya tidak membiarkan ia menolak. Mamanya buru-buru mematikan panggilan dan mengirimkan alamat tempat Aileen harus menemui pria kenalan orang tuanya itu.

"Sial!" Aileen panik karena bahkan mamanya sudah menyiapkan meja di sebuah restoran atas namanya dan ia tak bisa lagi menghentikan langkah mendadak sang mama itu.

**

"Lenka, apa kau semalam menelepon Aileen?" tanya Rio.

"Hem, memangnya kenapa kalau aku telepon cewek culun itu?" sahut Lenka, wanita itu tengah sibuk dengan hair dryer ditangannya.

"Untuk apa kau menelepon Aileen lagi?" Rio jadi kepikiran, padahal membuat Aileen marah saja rasanya ia sedikit menyesal. Bukan karena ia masih cinta, tapi ada rasa iba yang tak bisa dijelaskan.

"Kau masih mencintai dia, Rio?" tanya Lenka dengan raut marah.

"Bukan begitu," geleng Rio.

"Kalau begitu berhenti mengurusi apa saja yang aku lakukan. Kau tak berhak!" Lenka lalu pergi begitu saja.

Rio menatap nomor telepon Aileen, sepertinya gadis itu sudah kembali memblokir nomornya. Tangan Rio mengepal kuat, entah mengapa ia ingin sekali memohon ampunan pada Aileen. Tapi itu semua mustahil karena apa yang ia perbuat sudah melewati batas. Ia yakin Aileen sudah benar-benar membencinya.

**

Aileen tidak mempersiapkan apa-apa seperti yang diinginkan mamanya. Berdandan, mengenakan pakaian yang cantik, berpenampilan anggun nan menarik. Aileen hanya menjadi dirinya sendiri, dan ia berharap penolakan keras dari calon yang ingin diperkenalkan mamanya nanti.

"Nona, ini tempatnya," kata sopir taksi.

"Oh, terima kasih, Pak." Aileen pun keluar dan menghela napasnya.

"Apa aku benar-benar dijebak, sudah kepalang basah dan terpaksa aku harus segera selesaikan." Ia lalu masuk ke dalam restoran tempatnya janjian dengan kenalan orang tuanya.

"Meja nomor 14 dengan reservasi atas nama Aileen Haura, benar?" tanya pelayan restoran.

"Ya, benar," jawab Aileen lemas.

"Silakan, Anda sudah ditunggu," ucap pelayan.

"Ah, begitu. Baik, terima kas—" Aileen tersentak begitu melihat orang yang ada di meja nomor 14.

"Kau? kau bukannya pria yang waktu itu?" tanya Aileen dengan raut terkejut.

"Silakan duduk, Nona Aileen."

Aileen meneguk ludahnya kasar. "Kenapa kau di sini? Permisi, ini sepertinya —"

"Anda tidak salah tempat kok, saya disini menunggu Anda."

Aileen membulatkan mata, ia lalu menelepon mamanya. "Halo, Ma. Iya, Ai udah di sini, siapa nama orang itu?"

Aileen tersentak lagi. "Apa?"

Aileen menatap pria di depannya, keduanya saling menatap beberapa saat. Aileen dipenuhi rasa tidak percaya, meski begitu pria itu malah sebaliknya, tak terlihat kaget dan seperti biasa-biasa saja.

"Duduklah, Nona."

"Kau, Albani?"

"Benar, salam kenal nona Aileen, saya Albani Raditya."

Meskipun dunia memang sempit, tapi ia tak percaya jika takdir malah bercanda seperti ini. Atau jangan-jangan pria itu memang sejak kemarin sudah tau tentang dirinya, pikir Aileen menebak-nebak.

"Anda tidak ingin duduk?"

Aileen pun duduk. "Tolong jelaskan, apa Anda mengenal saya sejak kita pertama kali bertemu?" tanyanya.

Albani mengambil secangkir kopi pesanannya, lalu menyesapnya sedikit. "Hem, sedikit."

"Maksud Anda sedikit?"

"Saya hanya tau sedikit," jelas Albani.

"Jadi benar, kemarin Anda sengaja mengantar saya pulang, begitu?"

"Salah." Albani menatap Aileen serius.

"Salah?"

"Itu hanya improvisasi," tegasnya.

"Maksud Anda bagaimana, Tuan Albani?"

"Al, panggil saja begitu."

"Ah, terserah. Intinya Anda menguntit!"

"Anda selalu berlebihan. Bagaimana jika kita bicara hal yang penting daripada membahas pertemuan kemarin."

"Apa maksudnya hal penting? Saya akan pergi!" tegas Aileen lalu berdiri.

"Saya akan bantu Nona."

Aileen yang baru saja akan pergi pun berhenti. "Bantu apa?"

"Nona putus asa pasti ada alasannya, kan."

"Saya tidak putus asa dan tidak butuh bantuan Anda!"

"Yakin?"

"Apa sih maksud Anda? kenapa Anda tertarik menemui saya. Apa bagi Anda saya ini pantas dipermainkan karena saya ini wanita bodoh begitu? ah sialan! semua pria memang sial!" ucap Aileen sambil menggertakkan gigi.

"Ah begitu rupanya, Anda dikecewakan oleh pria yang tadinya dekat dengan Anda. Pasti begitu, kan?"

Aileen terhenyak, ia tanpa sadar baru saja menjelaskan keadaannya hingga pria itu bisa menebaknya dengan benar.

Aileen pun duduk. "Kenapa Anda menemui saya."

"Permintaan orang tua."

"Anda bukan tipikal anak yang patuh, Tuan, begitu kelihatannya," kata Aileen.

"Benar, tapi merepotkan jika terus dituntut. Jadi, bagaimana jika kita jalani saja."

"Jalani bagaimana maksud Anda, saya tidak mau."

"Saya juga tidak mau, tapi ini merepotkan jika terus dipertahankan."

"Maksudnya?" Aileen benar-benar tidak paham.

"Jika kita sama-sama menolak, apa jaminannya jika orang tuamu dan orang tuaku berhenti mencari jodoh untuk kita?"

Aileen terdiam sambil berpikir, benar juga yang dikatakan Albani. Apalagi mamanya belum pernah setertarik ini menjodohkan dirinya. Bisa-bisa jika ia menolak sekarang, ia hanya akan diberikan pilihan lain yang lebih buruk.

"Nona sudah berpikir?"

Aileen menatap Albani sekilas. Pria itu tampan, kelihatan sangat berkelas. Jadi, tidak buruk juga jika dia menerima perjodohan itu. Hanya saja, Aileen benar-benar sedang tidak tertarik untuk menikah. Rio membuatnya muak dengan semua laki-laki yang menurutnya sama saja.

"Jelaskan apa yang bisa kau lakukan untuk membantuku?" tanya Aileen ingin tau. Mungkin saja ada penawaran yang membuatnya berubah pikiran.

"Kita bisa menikah atas dasar saling menguntungkan."

"Maksudnya menikah dengan perjanjian?"

"Ya, semacam itu. Kita bisa tentukan batasnya, setelah itu kita bisa mengakhiri pernikahan ini. Orang tua kita tak akan banyak ikut campur jika kita berkata sudah tidak dapat melanjutkan. Bukankah menurutmu ini setimpal?"

"Jadi, kau bisa membantuku dengan cara apa?"

"Apa pun itu, pergunakan saja aku selama kita menikah. Tentunya kita tak perlu saling jatuh cinta."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nikah Kontrak Demi Balas Dendam   Bab 89 : Ciuman Yang Menghidupkan

    Ruangan kerja Aileen terasa berbeda hari itu. Meskipun sinar matahari menyinari meja dan sofa favoritnya, ada hawa dingin yang menggantung di udara. Hawa yang berasal dari satu benda kecil… amplop cokelat itu.Ia berdiri mematung di depan mejanya. Matanya menatap benda yang sejak hari pertama terasa seperti bom waktu. Amplop itu terselip rapi di dalam laci, tak pernah disentuh, tapi tak pernah juga benar-benar dilupakan.Kata-kata Albani terngiang di telinganya:> “Jangan buka itu sendirian, Sayang. Aku tidak mau kau menghadapi hal-hal buruk tanpa aku.”Tapi hari ini, Aileen merasa... cukup kuat. Dia sudah terlalu lama membiarkan tanda tanya mengendap di dalam hatinya. Dia mencintai Albani, benar. Tapi bukankah kepercayaan juga berarti berani melihat kebenaran?Tangannya gemetar saat menarik amplop itu keluar. Ia menatapnya sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.“Kalau pun ini menyakitkan,” bisiknya lirih, “aku akan menghadapinya.”Dengan napas yang berat, Aileen mero

  • Nikah Kontrak Demi Balas Dendam   Bab 88 : Dekapan di Ujung Malam || Bayangan Iri yang Membusuk)

    Suasana di ruang rawat intensif kini jauh lebih tenang. Lampu temaram menyinari wajah pucat Albani yang kini mulai menunjukkan rona kembali. Di sisi ranjang, Aileen duduk sambil menggenggam tangan suaminya erat—tak mau melepas sedetik pun.“Sayang, kau yakin tidak pusing lagi?” bisik Aileen lembut sambil membelai rambut Albani yang sedikit berantakan.Albani tersenyum kecil, meski jelas tubuhnya masih lemah. “Aku tidak pusing... tapi jantungku sedikit berdebar.”Aileen langsung cemas. “Berdebar? Apa aku harus panggil dokter?”“Berdebar karena kau ada di sini, di dekatku, dengan wajah secantik itu...” lanjut Albani, senyum nakalnya mulai muncul.Aileen langsung mencubit pelan lengan Albani. “Al! Kau sedang sakit, masih bisa bercanda begitu?”“Aku sakit, iya. Tapi bukan berarti kehilangan akal sehat.” Ia menarik pelan jemari Aileen, menciumnya satu per satu. “Apa kau tahu, hanya dengan aroma tubuhmu saja aku bisa lupa rasa sakit ini.”“Al...” Aileen menunduk, wajahnya merona. Tapi senyu

  • Nikah Kontrak Demi Balas Dendam   Bab 87 : Niat Jahat

    “Kenapa selalu wanita itu yang menang?” desis Marsha geram, melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Ia tak mengerti, bagaimana bisa nasib begitu memihak Aileen. Padahal Marsha sudah menyusun rencana matang. Ia sudah menyerahkan amplop cokelat berisi foto dan dokumen masa lalu Albani yang kelam kepada sekretaris Aileen, Hasya. Amplop yang seharusnya menjadi senjata pemusnah rumah tangga Aileen. Marsha memijat pelipisnya. “Apa amplop itu belum dibuka? Atau Hasya tidak menyerahkannya?” Dugaan itu membuatnya semakin kesal. Ia ingat betul, ekspresi Hasya saat menerima amplop itu memang mencurigakan. Wajahnya tegang, bahkan seolah menolak secara halus. Dan kini Marsha yakin, amplop itu tidak sampai ke tangan Aileen. “Aku harus bertindak,” gumamnya lirih. Marsha membuka laptopnya dan mulai menelusuri media sosial, mencari celah baru. Ia menyimpan beberapa video lama yang memperlihatkan Albani di masa lalunya, saat masih dekat dengan wanita lain sebelum menikah dengan Aileen. Salah satu

  • Nikah Kontrak Demi Balas Dendam   Bab 86 : Lebih Baik Punya Penyesalan

    Aileen duduk di bangku tunggu luar ruang ICU, jari-jarinya menggenggam erat kerah bajunya sendiri. Jantungnya tak karuan. Setiap detik menunggu terasa seperti siksaan.Martin berdiri di sampingnya, tangan ayah mertuanya menepuk pelan pundaknya. “Tenang, Nak. Dokter akan melakukan yang terbaik.”Namun Aileen hanya bisa menggeleng. “Tadi dia baik-baik saja, Pa. Lalu kenapa tiba-tiba... begitu?”Martin menghela napas panjang. “Kadang trauma kepala memang bisa muncul tiba-tiba. Tapi yang harus kau percaya, Al akan kuat.”Melani berdiri di seberang mereka, memperhatikan Aileen dengan tatapan yang... berbeda. Ada rasa bersalah, ada penyesalan, dan bahkan ada rasa sayang yang masih kaku dan tertahan.“Apa... apa ini karena aku memberitahunya bahwa aku hamil?” lirih Aileen dengan suara gemetar.Melani ikut terduduk. Suaranya pelan, nyaris seperti ibu sejati. “Itu bukan salahmu. Justru kau membawa kebahagiaan untuk anakku.” Ia menatap perut Aileen, lalu menarik napas. “Mungkin memang belum wak

  • Nikah Kontrak Demi Balas Dendam   Bab 85 : Siuman

    Melani membeku, ia hanya bisa menangisi segala fakta yang baru terungkap. Bahkan Melani kini tidak tau apa yang harus diperbuat. Ia sudah salah paham, tapi tindakannya selama ini terlalu kentara saat membenci Aileen, ternyata selama ini bukan Aileen yang seharusnya ia jauhi, tapi melainkan Marsha.. Wanita itu terlalu terpengaruh oleh mulut manis dan hasutan Marsha, tanpa melakukan investigasi lebih lanjut tentang fakta kebenaran berita itu. Lalu kalau sudah begini, ia sendiri jadi bingung, apa yang harus dilakukan. Apa dia mungkin dimaafkan, sementara tabiat buruknya sudah sangat amat berlebihan. "Nyonya, kenapa Anda malah di sini?" Seseorang muncul, bertanya dengan nada lembut dan sopan. Saat Melani yang berjongkok lalu mendongak, wajah itu malah tersenyum, meski ada keraguan. "M-Maaf, bukan maksud saya menganggu Anda. Tapi Al sudah siuman. Anda ibunya, tentu lebih berhak untuk melihat kondisi Al lebih dulu." "Al sudah siuman?" Aileen agak kaget, melihat wajah Melani yang

  • Nikah Kontrak Demi Balas Dendam   Bab 84 : Fakta Yang Terkuak

    "Al bagaimana Tante???" Dalam kondisi lemah, Aileen kembali ke ruangan ICU tempat suaminya kini dirawat. Lalu Melani, mama mertuanya malah sedang berdua dengan seorang wanita. Tampak belakang, sepertinya Aileen pernah melihat wanita itu. "Bu Aileen, sepertinya aku pernah lihat wanita itu," kata Hasya. "Benarkah, Hasya?" Martin buru-buru berlari ke arah sang istri. Ia menarik tangan Melani, membawanya pergi untuk bicara. Tak lupa, Martin juga membawa wanita yang bersama istrinya pergi dengannya. "Om lepaskan!!" "Martin kau apa-apaan sih!" Keduanya tampak kesal. "Kau ngapain ajak dia ke rumah sakit! Kau sadar kan Al tidak suka dia muncul di depan Aileen!!" tegasnya pada Melani. "Kau juga, apa kau wanita rendahan, Marsha!!" . "Om cukup ya. Aku kemari karena mencemaskan Al. Kenapa om malah memakiku sih??" "Cemas katamu? Apa kau punya hak untuk itu?" "Jelas aku punya hak!!" tegas Marsha, ia seolah tidak takut pada siapapun, termasuk orang tua Albani sekalipun. "Cukup

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status