Matanya masih terasa berat, sebab ia baru saja tertidur dini hari karena meski mengantuk ia tetap tak bisa tidur dengan nyenyak.
"Halo, Ma." Aileen melotot. "Apa? Mama kok tiba-tiba sekali sih? Tapi, Ma..." Panggilan terputus begitu saja. Aileen dibuat terkejut dengan panggilan dari sang mama. "Ini gila, apa aku akan dinikahkan paksa?" gumam Aileen gugup, takut, sekaligus was-was. "Nggak, nggak! Aku nggak mau menikah paksa dengan orang yang nggak jelas!!" Aileen mengusap kasar wajahnya frustrasi. Namun mamanya tidak membiarkan ia menolak. Mamanya buru-buru mematikan panggilan dan mengirimkan alamat tempat Aileen harus menemui pria kenalan orang tuanya itu. "Sial!" Aileen panik karena bahkan mamanya sudah menyiapkan meja di sebuah restoran atas namanya dan ia tak bisa lagi menghentikan langkah mendadak sang mama itu. ** "Lenka, apa kau semalam menelepon Aileen?" tanya Rio. "Hem, memangnya kenapa kalau aku telepon cewek culun itu?" sahut Lenka, wanita itu tengah sibuk dengan hair dryer ditangannya. "Untuk apa kau menelepon Aileen lagi?" Rio jadi kepikiran, padahal membuat Aileen marah saja rasanya ia sedikit menyesal. Bukan karena ia masih cinta, tapi ada rasa iba yang tak bisa dijelaskan. "Kau masih mencintai dia, Rio?" tanya Lenka dengan raut marah. "Bukan begitu," geleng Rio. "Kalau begitu berhenti mengurusi apa saja yang aku lakukan. Kau tak berhak!" Lenka lalu pergi begitu saja. Rio menatap nomor telepon Aileen, sepertinya gadis itu sudah kembali memblokir nomornya. Tangan Rio mengepal kuat, entah mengapa ia ingin sekali memohon ampunan pada Aileen. Tapi itu semua mustahil karena apa yang ia perbuat sudah melewati batas. Ia yakin Aileen sudah benar-benar membencinya. ** Aileen tidak mempersiapkan apa-apa seperti yang diinginkan mamanya. Berdandan, mengenakan pakaian yang cantik, berpenampilan anggun nan menarik. Aileen hanya menjadi dirinya sendiri, dan ia berharap penolakan keras dari calon yang ingin diperkenalkan mamanya nanti. "Nona, ini tempatnya," kata sopir taksi. "Oh, terima kasih, Pak." Aileen pun keluar dan menghela napasnya. "Apa aku benar-benar dijebak, sudah kepalang basah dan terpaksa aku harus segera selesaikan." Ia lalu masuk ke dalam restoran tempatnya janjian dengan kenalan orang tuanya. "Meja nomor 14 dengan reservasi atas nama Aileen Haura, benar?" tanya pelayan restoran. "Ya, benar," jawab Aileen lemas. "Silakan, Anda sudah ditunggu," ucap pelayan. "Ah, begitu. Baik, terima kas—" Aileen tersentak begitu melihat orang yang ada di meja nomor 14. "Kau? kau bukannya pria yang waktu itu?" tanya Aileen dengan raut terkejut. "Silakan duduk, Nona Aileen." Aileen meneguk ludahnya kasar. "Kenapa kau di sini? Permisi, ini sepertinya —" "Anda tidak salah tempat kok, saya disini menunggu Anda." Aileen membulatkan mata, ia lalu menelepon mamanya. "Halo, Ma. Iya, Ai udah di sini, siapa nama orang itu?" Aileen tersentak lagi. "Apa?" Aileen menatap pria di depannya, keduanya saling menatap beberapa saat. Aileen dipenuhi rasa tidak percaya, meski begitu pria itu malah sebaliknya, tak terlihat kaget dan seperti biasa-biasa saja. "Duduklah, Nona." "Kau, Albani?" "Benar, salam kenal nona Aileen, saya Albani Raditya." Meskipun dunia memang sempit, tapi ia tak percaya jika takdir malah bercanda seperti ini. Atau jangan-jangan pria itu memang sejak kemarin sudah tau tentang dirinya, pikir Aileen menebak-nebak. "Anda tidak ingin duduk?" Aileen pun duduk. "Tolong jelaskan, apa Anda mengenal saya sejak kita pertama kali bertemu?" tanyanya. Albani mengambil secangkir kopi pesanannya, lalu menyesapnya sedikit. "Hem, sedikit." "Maksud Anda sedikit?" "Saya hanya tau sedikit," jelas Albani. "Jadi benar, kemarin Anda sengaja mengantar saya pulang, begitu?" "Salah." Albani menatap Aileen serius. "Salah?" "Itu hanya improvisasi," tegasnya. "Maksud Anda bagaimana, Tuan Albani?" "Al, panggil saja begitu." "Ah, terserah. Intinya Anda menguntit!" "Anda selalu berlebihan. Bagaimana jika kita bicara hal yang penting daripada membahas pertemuan kemarin." "Apa maksudnya hal penting? Saya akan pergi!" tegas Aileen lalu berdiri. "Saya akan bantu Nona." Aileen yang baru saja akan pergi pun berhenti. "Bantu apa?" "Nona putus asa pasti ada alasannya, kan." "Saya tidak putus asa dan tidak butuh bantuan Anda!" "Yakin?" "Apa sih maksud Anda? kenapa Anda tertarik menemui saya. Apa bagi Anda saya ini pantas dipermainkan karena saya ini wanita bodoh begitu? ah sialan! semua pria memang sial!" ucap Aileen sambil menggertakkan gigi. "Ah begitu rupanya, Anda dikecewakan oleh pria yang tadinya dekat dengan Anda. Pasti begitu, kan?" Aileen terhenyak, ia tanpa sadar baru saja menjelaskan keadaannya hingga pria itu bisa menebaknya dengan benar. Aileen pun duduk. "Kenapa Anda menemui saya." "Permintaan orang tua." "Anda bukan tipikal anak yang patuh, Tuan, begitu kelihatannya," kata Aileen. "Benar, tapi merepotkan jika terus dituntut. Jadi, bagaimana jika kita jalani saja." "Jalani bagaimana maksud Anda, saya tidak mau." "Saya juga tidak mau, tapi ini merepotkan jika terus dipertahankan." "Maksudnya?" Aileen benar-benar tidak paham. "Jika kita sama-sama menolak, apa jaminannya jika orang tuamu dan orang tuaku berhenti mencari jodoh untuk kita?" Aileen terdiam sambil berpikir, benar juga yang dikatakan Albani. Apalagi mamanya belum pernah setertarik ini menjodohkan dirinya. Bisa-bisa jika ia menolak sekarang, ia hanya akan diberikan pilihan lain yang lebih buruk. "Nona sudah berpikir?" Aileen menatap Albani sekilas. Pria itu tampan, kelihatan sangat berkelas. Jadi, tidak buruk juga jika dia menerima perjodohan itu. Hanya saja, Aileen benar-benar sedang tidak tertarik untuk menikah. Rio membuatnya muak dengan semua laki-laki yang menurutnya sama saja. "Jelaskan apa yang bisa kau lakukan untuk membantuku?" tanya Aileen ingin tau. Mungkin saja ada penawaran yang membuatnya berubah pikiran. "Kita bisa menikah atas dasar saling menguntungkan." "Maksudnya menikah dengan perjanjian?" "Ya, semacam itu. Kita bisa tentukan batasnya, setelah itu kita bisa mengakhiri pernikahan ini. Orang tua kita tak akan banyak ikut campur jika kita berkata sudah tidak dapat melanjutkan. Bukankah menurutmu ini setimpal?" "Jadi, kau bisa membantuku dengan cara apa?" "Apa pun itu, pergunakan saja aku selama kita menikah. Tentunya kita tak perlu saling jatuh cinta."Aileen termenung di balkon apartemen sambil memikirkan penawaran dari Albani. Pria asing itu ternyata cukup membuatnya terkejut. Ia ingin menolak tawaran pria itu, tapi setelah dipikir-pikir mungkin saja ini jalan dari Tuhan agar rasa sakitnya bisa terbalaskan. Namun, apa Tuhan merestui pernikahan kontrak, pikirnya ragu. Setelah nomor Rio kembali ia blokir, ia tak perlu cemas memikirkan telepon masuk dari laki-laki brengsek itu. Hanya saja, Aileen belum puas mengingat Rio sudah menguras tabungan miliknya. Ia ingin marah, tapi itu semua terjadi salah satunya karena kebodohan dia sendiri. Suara ponselnya berdering, mamanya menghubungi. "Halo, Ma." "Iya, Ai udah ketemu sama yang namanya Albani." Aileen menghela napas. Mamanya kedengaran tak sabar ingin tahu pendapatnya tentang pria itu. "Ya, menurut Ai sih lumayan." Aileen tidak tau harus berkata apa. Ia nyaris saja mengacaukan acara perkenalan itu karena emosi luar biasa. "Hem, mungkin kita harus saling kenal dulu, Ma. Ap
"Hei kau mengulanginya seolah-olah aku akan jatuh cinta padamu, begitu?" ucap Aileen. Ia mengibaskan tangannya sembari menggerutu. "Bagus, saya tenang sekarang. Kalau begitu, sekarang kau ceritakan sedikit saja tentang penyebab kau putus asa." Aileen terdiam. Ini pertama kalinya ada yang bertanya tentang perasaannya, deritanya, dan juga masalah yang ia hadapi. "Kau takkan paham, apalagi kau tidak percaya wanita," tukas Aileen. "Ini bagian dari perjanjian kita, jadi kau perlu cerita agar aku mudah membantu," terang Albani. "Begitu, ya." Albani menatap mata Aileen, di sana tampak jelas ada gurat kesedihan mendalam. "Katakan saja, aku mungkin takkan terlalu iba. Tapi aku bisa menganalisis cara apa yang tepat untuk digunakan sebagai alat balas dendam nantinya." Albani selalu saja mengatakan perkataan yang tajam, batin Aileen. Tapi dia tak peduli, perkataan kejam Albani itu lebih baik dibandingkan perkataan Rio yang manis tapi penuh dengan kebusukan. "Aku dibodohi ol
Gadis itu menatap cermin dengan mata lurus dan fokus. Namun sebenarnya hatinya sangat berisik, tangannya pun bergerak menunjukkan bahwa ia benar-benar tak percaya dengan hasilnya. Nampak wanita yang anggun dan juga memesona, sudah jelas itu bukan dia. Tapi seseorang muncul memanggil namanya, dan ia sadar pantulan di cermin itu benar dia. "Ai, kamu sudah selesai?" tanya mamanya. "Ma, ini benar-benar Ai?" sahut Aileen menampakkan ekspresi tidak percaya sama sekali. Ia menggeleng, menyentuh pipinya perlahan-lahan. "Pasti bukan." "Sayang, kau sangat cantik. Mama tau kau cantik sejak dulu," kata mamanya. Aileen hampir menangis, tapi ia secepatnya menghilangkan perasaan itu. Ia tak ingin makeup nya luntur. "Mama, jangan bicara begitu. Ai jadi sedih," ucap Aileen. Mamanya lalu memeluk Aileen, gadisnya yang beberapa menit lagi akan segera menjadi istri. "Terima kasih karena sudah mewujudkan keinginan terakhir papa, ya, Nak." Aileen tau dia tidak dirugikan jika menikah dengan A
Aileen menggeram, ia baru saja kelepasan. Semoga saja Lenka tidak langsung menyadari siapa dirinya. "Kau bilang apa barusan?" tanya Lenka dengan senyum sarkas. Ia dengar sedikit, tapi tidak terlalu jelas. "Ah, maaf. Terima kasih sudah datang." Aileen tersenyum tipis. Albani memegang tangan Aileen erat, ia memberikan isyarat dengan senyum ringan. "Kalian silakan nikmati pestanya," ucapnya pada Rio dan Lenka. Rio memperhatikan seksama wajah pengantin wanita di depan Lenka. Entah kenapa hatinya tersentuh saat menatap senyum wanita itu. "Boleh tau siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba. Hal itu membuat Lenka kaget dan melotot. "Mau apa sih!" ketus Lenka. Albani sampai terbatuk karena tidak menyangka respon Rio terlalu cepat. Ini diluar prediksi, tapi justeru bagus. "Ah, maaf. Tapi saya hanya penasaran," kata Rio pelan. Albani menarik Aileen mendekat ke sisinya. "Panggil saja Haura," ucapnya. "H-Haura?" Rio sampai gagap. Aileen melirik Albani bingung. Kenapa Albani memakai na
Perasaan gundah dan ada sedikit kecemasan membuat Aileen lebih banyak diam dengan posisi membelakangi Albani yang baru saja selesai mandi. Keduanya berada di ranjang yang sama, biar bagaimanapun akan mencurigakan jika mereka tidur di kamar terpisah. "Biasa saja, tidurlah dan tidak perlu memikirkan apa pun," kata Albani. Aileen terkesiap, ia tidak menyangka jika Albani akan berkata begitu. Apa ketahuan sekali kalau sekarang ia tengah gugup, pikirnya. "B-baiklah, kau juga selamat beristirahat." "Ya, selamat istirahat Aileen." Mungkin benar, keduanya akan menjalani hubungan platonik. Jadi, meskipun bekerja sama, ia tak peduli merasa cemas akan terjadi hal seperti kontak fisik terkecuali saat keduanya harus berakting dihadapan orang lain. Aileen mulai memejamkan mata, tapi ia tetap saja gelisah. Sementara itu, ia melihat Albani sudah tidur dengan mudahnya. Aileen jadi sedikit lega, ia tak perlu terjaga bersama Albani yang hanya akan membuat situasinya makin canggung nanti. T
"Kau sedang apa?" Pagi-pagi sekali Aileen bersiap seperti akan pergi ke suatu tempat. Albani terheran, padahal ini masih waktu bulan madu mereka. Memang benar pernikahan keduanya hanya formalitas. Keduanya boleh melakukan aktifitasnya masing-masing. Hanya saja, ini masih terlalu dini setelah keduanya baru menikah kemarin. "Maaf Al, aku harus ke bank untuk mengurus sesuatu," jawab Aileen. Ia sibuk mengenakan pakaian khasnya, khas Aileen Haura yang lama. "Untuk apa kau kesana?" tanya Albani. "Em, sebenarnya aku pernah memberikan kombinasi pin atm pada Rio, aku juga memberikan kartu atm ku. Tapi itu sudah lama, dan pagi ini aku tidak bisa mengakses mobile banking." "Rio, mantan mu?" Aileen menghela napas. "Jangan sebut dia mantan ku. Aku tidak sudi!" "Ya, tapi itu kenyataan." Albani berkata seadanya. "Terserah, aku harus pergi sekarang," ucap Aileen. "Ini masih bulan madu kita," kata Albani. Seketika membuat Aileen yang mendengar jadi terkejut. "B-Bulan madu?" "Mak
Tak heran jika keduanya bersama. Aileen makin yakin, jika Rio dan pacarnya yang bernama Lenka memang serasi. Semuanya semakin jelas setelah Albani baru saja memberitahunya bahwa orang suruhannya sudah mengecek cctv ATM tempat dimana orang menarik isi tabungannya. "Jadi, Rio menyuruh pacarnya untuk mengambil uangku," gumam Aileen. "Bisa jadi, atau malah selama ini Lenka lah yang mengambil uangmu," jawab Albani. "Intinya Rio memberitahu kombinasi sandi ATM ku pada pacarnya. Dasar sampah!" geram Aileen. Ia ingin sekali memaki Rio, tapi saat ini tak bisa. "Ini lebih bagus, kau bisa membuat orang itu lebih hancur," kata Albani dengan penuh keyakinan. "Bagaimana caranya, beritahu aku bagaimana caranya memulai untuk membuat ia menderita, Al." Aileen jadi tak sabaran. Bukan karena uang di tabungannya sudah raib hampir sepenuhnya. Tapi ia merasa sangat dihinakan oleh orang bernama Rio dan Lenka. "Tenanglah, kita akan mulai pelan-pelan," kata Albani. Aileen tersenyum, ia bisa senyum
Albani tidak tau bagaimana Aileen bisa mengucapkan kata-kata yang berbahaya itu. Namun satu hal yang membuatnya lega, ternyata Aileen bukan seperti wanita yang pernah hadir di masa lalunya. Hanya saja kata-kata Aileen tadi membuatnya jadi tidak sengaja kepikiran. Bahkan sekarang Albani sampai pergi keluar untuk sekedar mencari angin segar. "Kau tau, aku tidak mau jadi kesedihan ataupun mengingatkanmu pada kesedihan di masa lalu. Walau kita menikah atas dasar perjanjian saling menguntungkan. Tetap saja, bagiku kau adalah penyelamatku, Al. Jadi, tolong jangan lihat aku mirip dengan orang itu jika orang itu membuatmu sedih." Itu adalah perkataan Aileen yang membuatnya jadi tidak nyaman. Semoga saja itu bukan awal dari terbentuknya rasa simpati diantara keduanya. Albani tidak mau jatuh ke dalam lubang yang sama, saat ia menjatuhkan hatinya pada orang di masa lalu. Nyatanya perasaan itu hanya ilusi yang menyakitkan. Albani pun tak ingin itu terulang. "Anda mau pesan apa?" tanya pela
Rio memberikan bukti, bukan sekedar perkataan. Ia sempat memotret Albani dan Aileen yang tengah makan di sebuah restoran hotel berbintang. Ia juga tak lupa memotret momen saat Aileen keluar dari mobil Albani lalu memasuki rumah mewah. "Ini, aku sempat membuntuti awalnya karena penasaran saja. Apa benar sepupumu itu selingkuh?" Lenka benar-benar syok melihat bukti foto-foto itu. Namun yang membuat ia jengkel adalah keterlibatan Rio di dalamnya. "Selama ini kau masih memperhatikan mantanmu itu, ya?" "Bukan, tidak seperti itu, Lenka. Awalnya hanya tidak sengaja, tapi aku penasaran sebab pria itu sepupumu. Bukannya dia sudah menikah, kupikir kau perlu tau karena dia juga kan kerabatmu." Rio menjelaskan menggunakan versi yang berbeda. Ia berharap Lenka percaya argumennya itu. "Sejak kapan kau peduli? Kau tak pernah peduli dengan sepupuku, kerabat, bahkan orang tuaku." Lenka menahan diri agar tidak meledak lagi, padahal baru saja ia berhasil menarik Rio ke dalam kendalinya. Tapi
Untuk beberapa detik Aileen masih belum menyadari bahwa peluh di sekujur tubuhnya membuatnya tanpa sadar ingin menggelinjang. Hawa panas dan getaran sedikit geli membuat tubuh bawahnya bereaksi aneh. Kakinya sibuk membuat gerakan seperti menggesek. Tangannya meremas kain sprei kuat dengan kepala mendongak ke atas meski matanya terpejam. Bibirnya bergerak kecil, sesekali ia menggigitnya hingga suara erangannya lolos. "Ah!!" Aileen, gadis itu kemudian melotot. Ia menatap sebelahnya, kaget luar biasa menemukan Albani tidur membelakanginya. "Barusan? Astaga, apa aku...." desah panjang pelan. Aileen tak sadar mendapatkan pelepasan hanya karena mimpi erotis yang dialaminya. Jelas sekali itu seperti nyata, bukan mimpi ataupun khayalan. Gadis itu lalu mengusap wajah, ia berjalan pelan ke kamar mandi dan lupa bahwa kakinya masih sedikit sakit. "Akk." Aileen melirik Albani lagi, syukurlah pria itu masih tidur. Ia menutup mulut tak ingin membuat pria itu terkejut. Aileen membasu
Albani keluar setelah yakin bahwa dirinya kini lebih tenang. Aileen sama sekali tidak bisa tidur, tapi gadis itu memutuskan untuk memejamkan mata dan berpura-pura sudah terlelap. Tentu saja itu Aileen lakukan sebab ia tak ingin kalau nantinya Albani tidak nyaman dengannya. "Apa kau sudah tidur?" tanya Albani. Ia duduk di sisi Aileen dengan sedikit jarak. Aileen tidak menjawab karena ingin dianggap sudah tidur oleh Albani. "Jangan memaksakan diri kalau belum bisa tidur," ucap Albani. Ia tau, Aileen belum tidur dan hanya berpura-pura. "Em, kau tau ya. Maafkan aku, Al." "Tidak perlu minta maaf. Kau sudah lebih enakan?" "Ya, sudah tidak apa-apa." Albani berbaring di sisi Aileen, di tengah-tengah mereka ada bantal yang menjadi penghalang. "Sebenarnya baju ini kau dapat dari siapa, Al?" tanya Aileen. Ia penasaran, karena baju yang dia kenakan lebih mirip lingerie dibandingkan baju tidur biasa. "Asisten saya, besok akan saya tanya mengapa ia memilih baju begitu."
Melani benar-benar emosi dengan kejadian tadi. Ia benci harus melihat Albani dan gadis itu memiliki kemungkinan untuk saling mengisi dan berdekatan. Padahal sebelumnya ia yakin bahwa putranya takkan tertarik dengan gadis kampungan seperti Aileen. Namun yang terjadi di depan mata kepalanya sendiri, Albani malah mengusirnya. Apalagi tadi Aileen dengan tidak tau diri memanggil Albani, padahal sudah jelas Albani sedang berbicara dengan orang lain di pintu kamar. "Dia sudah jelas terlihat sangat cari perhatian. Aku takkan biarkan dia menguasai Al. Aku takkan biarkan gadis itu bertingkah seenaknya sendiri." "Kenapa kau bicara sendiri?" Suaminya tiba-tiba saja muncul membuat Melani terkejut. "Kau tak perlu tau!" tegas Melani. Ia takkan bicara tentang Albani lagi di depan Martin. Kini dia harus berhati-hati sebab Martin dan dirinya punya pemikiran dan cara yang berlawanan. "Kau mengganggu Al ya." Martin mengambil handuk, ia akan bersiap untuk mandi. Pria itu baru saja pulang, ia curiga m
"Kau tak masalah minum wine?" tanya Albani. "Mm, boleh kalau hanya sedikit," jawab Aileen. Namun yang terjadi malahan sebaliknya. Tubuhnya terasa lengket karena terkena tumpahan minuman yang tak sengaja mengenainya. Kejadiannya begitu singkat saat seorang pelayan hotel masuk membawakan sebotol wine untuk mereka sebagai hadiah. Aileen bermaksud memutar gelas, namun wine itu malah tumpah mengenai pakaian yang ia pakai. "Ah bagaimana ini," kata Aileen sembari memeriksa bajunya yang basah. "Apa basah sekali?" tanya Albani. "Ya, ini lumayan," terang Aileen. "Kau bisa bersihkan dulu, lalu pakai ini," ujar Albani memberikan satu set perlengkapan tidur pada Aileen. . "Tadi saya pikir mungkin ini perlu untuk berjaga-jaga," ucap Albani sambil menggaruk tengkuknya canggung. Rupanya Albani juga mempersiapkan baju tidur segala, batin Aileen gugup. Itu wajar, tak ada yang aneh dengan hal itu. Aileen berusaha tetap biasa dan tidak perlu memikirkan hal-hal aneh walau pikiran itu sela
Situasinya jadi amat canggung antara Albani dan Aileen. Mereka harus tetap di dalam kamar hotel sementara karena orang-orang yang membuntuti keduanya masih ada di sekitarnya. Aileen mencoba mengubur rasa tak nyaman itu dengan memainkan ponsel. Begitupun Albani, tapi pria itu memang sedang bekerja dengan ponselnya seperti biasa. "Kau sedang bekerja, ya?" tanya Aileen. "Ya, sedikit. Ada apa?" Aileen cepat menggeleng. "Tidak kok, hanya membuka obrolan karena terlalu sepi." Albani menatap Aileen sekilas kemudian memasukkan ponsel ke sakunya. "Kau bosan ya, apa kita keluar saja?" "Tidak, di sini saja. Maksudku memang ini rencananya untuk mengelabuhi mereka, kan," ujar Aileen. Albani juga sebenarnya bosan, tapi benar yang Aileen katakan barusan. Keberadaan keduanya di dalam kamar hotel demi mengelabuhi orang-orang di luar. "Em, sebenarnya ini membuatku penasaran, Al." "Penasaran?" "Ya, keluargamu, mengapa mereka harus mengawasi kita?" tanya Aileen ingin tau alasan
"Kau ini kenapa sih, Rio?" "Tidak, aku hanya bosan." "Bosan? Tumben sekali, mana pacarmu yang biasa menempel itu?" "Tidak usah membahas dia," tegas Rio. Seperti itulah kebiasaan Rio kalau sedang bosan, malas dengan Lenka. Dulu, setiap kali ia bosan, ia selalu ada pelarian yang bisa menghiburnya. Siapa lagi kalau bukan Aileen, sayangnya sekarang Aileen tak mungkin kembali. Tadinya ia ingin menyerah untuk mengambil hati Aileen, karena ia sadar sudah menyakiti gadis itu. Namun yang membuat Rio enggan menyerah adalah pria yang saat ini dekat dengan Aileen. Albani, pria itu jelas-jelas sudah menikah. Lantas untuk apa dia mendekati Aileen segala, pikirnya. Saat itu Rio tengah memperhatikan layar ponselnya. Ia sudah punya nomor telepon Albani yang ia dapat dari Lenka beberapa waktu lalu. Tapi untuk alasan apa ia menghubungi Albani lebih dulu, itu yang masih ia pikirkan. "Hei, buat apa kau menyewa ku di sini kalau hanya sibuk dengan ponsel saja sejak tadi?" Rio berdecih. "K
"Ah, terima kasih karena mengatakan itu," ucap Aileen. Meski itu terdengar tidak biasa, walaupun Aileen senang mendengarnya saat Albani memujinya. "Tentu, siapapun pasti akan memuji kecantikanmu itu." Albani memegang tangan Aileen membuat gadis itu menatap kaget untuk sesaat sebelum Albani makin menjadi-jadi dengan mengecup tangannya mendadak. Semburat senyum dengan pipi memerah yang menghiasi wajah Aileen tampak sedikit mengusik ketenangan Albani. Pria itu selalu berusaha menyimpan dirinya dengan baik dibalik sikap dewasa yang ia tunjukkan dihadapan Aileen. Namun kali ini Albani sedikit menunjukkan sisi pria yang sebenarnya dihadapan Aileen dengan dalih peran yang ia mainkan di sini. "Pipimu merah sekali, Sayang." Albani mengusap pipi gadis itu lembut. Mata Aileen membulat, jelas ia terkesiap menerima sentuhan kesekian kalinya itu. Saat itu Albani memegang ponsel lalu mendorongnya pelan ke hadapan Aileen. Awalnya Aileen bingung, lalu kemudian ia memahami situasi dan maksudn
"Kau mau kemana?" tanya wanita yang sejak tadi diam memperhatikan saat suaminya tengah sibuk dengan ponsel. "Bukan urusanmu," jawab laki-laki itu. "Apa? Sejak kapan urusanmu bukan urusanku?" "Melani, hentikan sikap sok dominan itu. Kau kira aku tidak tau, apa saja yang sudah kau lakukan untuk membuat rumah tangga yang baru dimulai Al rusak?" Keduanya memang seringkali berbeda pendapat dan cara memperlakukan putra tunggal mereka. Melani cenderung ingin menguasai Albani bagaimanapun caranya. Sedangkan Martin justru ingin Albani bisa berkembang dengan pola pikir laki-laki dewasa yang bijaksana. Kali ini Melani tidak setuju sama sekali dengan pilihan suaminya itu, menurutnya Albani layak mendapatkan wanita yang lebih baik dari Aileen dalam segala hal. Namun semuanya harus ia kesampingkan karena bagaimanapun juga itu wasiat mendiang mertuanya. Melani menghembuskan napas kasar. "Al anakku, jadi aku yang lebih tau mana yang baik untuknya atau tidak." Martin menggeleng ragu. Ia