Aileen termenung di balkon apartemen sambil memikirkan penawaran dari Albani. Pria asing itu ternyata cukup membuatnya terkejut. Ia ingin menolak tawaran pria itu, tapi setelah dipikir-pikir mungkin saja ini jalan dari Tuhan agar rasa sakitnya bisa terbalaskan. Namun, apa Tuhan merestui pernikahan kontrak, pikirnya ragu.
Setelah nomor Rio kembali ia blokir, ia tak perlu cemas memikirkan telepon masuk dari laki-laki brengsek itu. Hanya saja, Aileen belum puas mengingat Rio sudah menguras tabungan miliknya. Ia ingin marah, tapi itu semua terjadi salah satunya karena kebodohan dia sendiri. Suara ponselnya berdering, mamanya menghubungi. "Halo, Ma." "Iya, Ai udah ketemu sama yang namanya Albani." Aileen menghela napas. Mamanya kedengaran tak sabar ingin tahu pendapatnya tentang pria itu. "Ya, menurut Ai sih lumayan." Aileen tidak tau harus berkata apa. Ia nyaris saja mengacaukan acara perkenalan itu karena emosi luar biasa. "Hem, mungkin kita harus saling kenal dulu, Ma. Apa harus buru-buru begitu?" Kini ia terjebak. Situasi tak terduga membuatnya tidak bisa mengelak lagi. "Jadi, mama udah setuju? Tapi, Ma, Ai kan belum bilang mau!" Memang ia mulai tertarik menerima tawaran Albani. Tapi jika harus menikah dalam waktu dekat. Apalagi mamanya bilang bulan depan, rasanya ia sampai tercekat. "Ya Tuhan, minggu ini? Tapi, Ma, kenapa? maksudnya kenapa harus buru-buru sih. Kesannya kayak Ai udah di apa-apa kan dan harus segera menikah!" sentaknya pada sang mama. Namun mamanya tetap kekeh, lagi-lagi wasiat mendiang papanya sebagai alasan. "Kapan papa bilang gitu ke mama? Kayaknya dulu sebelum papa meninggal nggak pernah deh papa bilang tentang ini ke Ai!" Aileen mengurut kening, ia benar-benar panik. Tak mungkin begini, ia belum siap jika buru-buru jadi istri. "Astaga. Intinya Ai nggak mau kalau minggu ini, Ma!" Aileen menutup panggilan itu begitu mendengar mamanya bersikeras memaksa. "Gila. Kenapa mama malah maksa begini, sih!" Tak lama kemudian panggilan lain masuk. "Al?" Itu panggilan dari Albani. "Ya, halo. Ada apa?" Aileen mengerutkan kening. "Sekarang?" *** Aileen menyesap jus jeruk pesanannya sambil melihat pemandangan kota di malam hari. Sambil menunggu Albani yang katanya sedang di perjalanan menuju ke tempat keduanya janjian. Albani bilang ada hal yang penting harus disampaikan. Aileen penasaran, karena sepertinya itu berhubungan dengan rencana pernikahan. "Maaf saya terlambat." Aileen menoleh ke sumber suara. Pandangannya tertuju pada pria bertubuh tinggi yang baru saja muncul. Pria itu benar-benar berwibawa, sangat berbeda dengan Rio. Lagi-lagi Aileen malah teringat laki-laki sampah itu. "Tidak apa, Al, silakan duduk." Albani pun duduk. "Mau minum apa?" tawar Aileen. "Kopi hitam, tanpa gula," jawab Albani. "Ah, apa tidak masalah tidak pakai gula?" tanya Aileen penasaran. "Ya, saya suka yang pahit." Aileen terdiam. Memang keduanya punya selera yang berbeda. "Ok, sebentar." Aileen pun memesan kopi tanpa gula untuk Albani. "Jadi, apa yang membuatmu meminta ku buru-buru datang, Al?" "Orang tuamu sudah bilang minggu depan kita menikah?" "Jadi benar minggu depan?" Aileen malah syok. "Ya, jadi ibumu sudah bilang?" "Astaga aku bisa gila." Aileen mendesah berat. "Silakan pesanan Anda," ucap pelayan. "Terima kasih." Albani mengambil cangkir berisi kopi tanpa gula miliknya. "Jadi, kita benar akan menikah minggu depan?" tanya Aileen masih tidak percaya. "Ya, jika kau setuju." Albani menjawabnya santai seolah sudah siap dengan segala risikonya. "Kau tidak perlu panik, takut, cemas. Pernikahan kita kan hanya settingan," terang Albani. Aileen menggigit ujung kuku saat ia ragu-ragu. "Apa ini bukan mempermainkan pernikahan?" "Kau sakit hati, dikecewakan, seharusnya rasa sakit hati itu membuatmu kuat dan kejam. Tapi kenapa kau sangat lemah, Nona." Albani berdecih. Ia meletakkan kopinya lalu memberikan selembar kertas. "Apa ini?" Perkataan Albani itu membuat Aileen merasa rendah diri. Tapi tidak salah yang dikatakan pria itu. Karena ia memang tak punya cukup keberanian untuk jadi kejam, bahkan pada orang yang sudah menyakitinya sekalipun. "Itu adalah surat kontrak, poin yang saya tulis bisa kau tambahkan jika kau punya persyaratan lain," kata Albani. Aileen mulai membaca isinya seksama. Disana tertulis batasan-batasan yang tidak boleh dilewati keduanya. Juga apa saja yang akan keduanya dapatkan saat menikah nanti. Setelah Aileen membacanya, ia sangat terkejut sebab disana hampir setengahnya menguntungkan. Aileen lah yang paling diuntungkan, sedangkan Albani hanya mendapatkan status pernikahan. "Apa ini tidak masalah?" tanya Aileen. "Kenapa? Apa kau merasa keberatan?" "T-Tidak, tapi kau menulis aku berhak mendapatkan fasilitas layaknya istri sah pada umumnya. Uang belanja, harta benda, kebebasan, semua ini apa tidak berlebihan?" "Tidak masalah, karena saya hanya butuh status pernikahan. Itu saya rasa pantas untukmu." "Ah, kau benar-benar kaya raya rupanya," ucap Aileen. "Saya tidak pernah percaya pada wanita," kata Albani. Aileen berdecih. "Ibumu wanita tau." "Ya, termasuk ibu saya," jelas Albani. "Apa? kau tidak percaya ibu sendiri?" Albani tidak menjawab, tapi sorot matanya sudah menjelaskan jawabannya. "Kau benar-benar aneh, Al. Tapi baiklah, aku terima tawaran mu." "Bagus. Jadi, kesepakatan kita sudah jelas. Selebihnya kita turuti saja apa yang diatur oleh orang tua kita." "Hem, tapi bagaimana jika kita ketahuan?" "Selama kau diam, itu takkan terjadi." Aileen meneguk ludah. "Lantas apa kau yakin, dengan poin 5?" "Poin 5?" Aileen mengangguk. "Ah, sebentar saya sedikit lupa," jawab Albani. "Tentang ... itu loh, aku agak kurang enak mengatakannya." Aileen mendadak gagap. "Oh, tentang kita tak boleh jatuh cinta apalagi sampai melakukan seks?" ucap Albani dengan gamblang tanpa merasa terbebani. Aileen mengalihkan wajah. "Ya, kenapa kau mudah sekali mengatakannya." Albani mengambil kertas itu lagi dari Aileen. "Saya tidak tertarik untuk jatuh cinta, dan juga berhubungan seksual." Aileen menatap Albani canggung. "Jangan salah paham, bukan karena itu dirimu. Saya tidak percaya wanita manapun. Kau tahu kan." "Ah, apa kau trauma sampai segitunya. Maksudku aku sebagai wanita agak tersinggung sih." Albani terkekeh. Ini pertama kalinya Aileen melihat Albani tertawa. "Apanya yang lucu?" "Tidak, hanya saja kau membuatku geli." Aileen diam karena tidak mengerti. "Tidak perlu dipikirkan. Lagipula kau juga pasti mengalami trauma karena dikhianati. Jadi, anggap saja kita punya kesamaan," pungkas Albani. "Em, benar juga." "Tenang saja, saya pandai berakting. Jika hanya bermesraan di depan mantan kekasihmu, itu sangat mudah. Membuatnya merasa rendah diri, menjatuhkan harga dirinya serendah-rendahnya. Itu sangat kecil bagi saya." Albani berkata penuh percaya diri. Tidak ada keraguan yang tersirat sama sekali. Tanpa sadar Aileen merasa tersentuh. "Tapi ingat, jangan pernah menganggapnya lebih." Albani menatap Aileen lebih serius lagi. "Kita tidak boleh jatuh cinta, itu poinnya.""Benar, untuk apa dia di sini?" ucap Albani saat melihat Lenka yang muncul seperti tengah memperhatikan perusahaan Aileen dari kejauhan. "Em apa mungkin dia mencari tau tentang Rio?" sahut Aileen. Karena tidak mungkin Lenka mencarinya, ini pasti ada hubungannya dengan Rio. "Biarkan saja, kita harus makan dan pikirkan itu nanti," jawab Albani lalu keduanya pergi menuju restoran. Aileen tidak merasa lapar saat tadi di kantor, tapi ketika masuk ke area restoran, mendadak mata Aileen sibuk mencari berbagai macam makanan yang ada di buku menu. Ia tertarik dan perutnya langsung keroncongan. "Kau mau makan apa?" tanya Albani, ia sudah menentukan pilihan akan memilih menu apa saat itu. "Em, apa aku boleh pesan yang banyak?" tanya Aileen, ia kelihatan serius dengan mata berkilau menatap Albani penuh harap. Albani sedikit gemas. "Tentu, kau boleh memesan apa pun, sebanyak apa pun. Atau mau pesan semua yang ada di sini juga boleh. Tapi apa kau yakin bisa menghabiskan?" Aileen mengangguk c
Aileen masih duduk di kursinya, siapa sangka di hari pertamanya bekerja, ternyata tidak mudah sama sekali. Padahal Aileen sudah mengerjakan beberapa semalam dan sudah diperiksa oleh Hasya, sekertarisnya. Tapi ternyata masih banyak data-data yang harus ia tanda tangani. Apalagi Aileen harus mengeceknya ulang setiap kali ia akan membubuhkan tanda tangannya di setiap dokumen. Tentu saja padahal Hasya sudah memeriksanya lebih dulu, tapi ternyata begitulah cara kerja Aileen. "Hasya, aku sudah kerjakan ini tapi kenapa belum juga selesai ya. Oh Astaga, ini sangat tidak mudah," ucap Aileen sambil menggaruk bibir lalu menghela napas. Tanpa menatap wajah siapa yang barusan masuk ke ruangannya. Ia pikir itu Hasya, tapi ternyata bukan. "Em, mau saya bantu?" Mata Aileen membelalak. Ternyata bukan Hasya, itu jelas suara pria. "Al? Sedang apa kau di sini?" tanyanya buru-buru membereskan dokumen yang acak-acakan di mejanya. Albani mendekati meja Aileen, memeriksa isi dokumen itu. "Saya rasa ini s
"Untuk apa kau di sini dan darimana tau alamatku?" tanya Rio. Wanita di depannya tidak mau menjawab, ia hanya melemparkan kunci mobilnya pada Rio. Rio bingung saat menerima kunci mobil ditangannya. "Ini apa?" "Kau yang menyetir, aku akan tunggu di depan saja. Di sini aku mau muntah!" kata ketus wanita itu. Rio menggeram, ia harus bekerja. Baru saja dia memutuskan untuk tetap bekerja di perusahaan Aileen, apalagi dia ingin kembali pada Aileen. Menurutnya tak masalah jika dia dipermalukan di sana, karena ia yakin hubungan Aileen dan suaminya tidak benar-benar seperti suami istri yang sah dan layak. Mungkin saja ada sesuatu yang ditutupi oleh Aileen hingga semuanya nampak sempurna. "Kau! Aku tak mau mengikuti mu!" tegas Rio lalu memberikan kunci pada wanita yang menunggu di depan kontrakannya. Rio melemparkan kembali kunci mobil itu pada pemiliknya. "Hei, kita bicara dulu baru kau putuskan." Wanita itu tetap melemparkan kunci mobilnya lagi pada Rio. "Kau ini mau bicara apa dengan
"Tidak masalah pakai pengaman atau tidak, saya memutuskan melakukannya, itu tandanya tau resikonya." "Maksudnya?" "Kemungkinan kau hamil," terang Albani dengan santai. "Apa kau bilang, Al? Bisa-bisanya kau santai begitu." Aileen mulai panik, jadi Albani tak pakai pengaman, ia sampai tidak ingat dan memastikan itu sebelumnya. Siapa yang mengira keduanya akan berhubungan seksual. Sejak awal Aileen tak berpikiran tengang kemungkinan itu terjadi sama sekali. Aileen masuk ke kamarnya dengan tatapan kosong sambil memikirkan kemungkinan yang bisa terjadi. Apalagi saat itu Aileen tengah dalam fase ovulasi yang ditandai hasrat seksual meningkat. Namun yang membuat Aileen sampai terbengong bukan hanya karena fakta, Albani tak mengenakan pengaman, tapi melainkan perkataan Albani. "Tidak masalah katanya, kalau begitu apa aku harus tetap menjadi istrinya sampai melahirkan anakku nanti, lalu dia akan mengambil anakku setelah anakku lahir, apakah begitu?" gumam Aileen. Padahal saat ini dirinya
Meskipun kejadian tadi dianggap selesai karena ciuman tiba-tiba dari Albani. Namun justru hati Aileen makin tidak tenang, karena setelah kejadian tadi dia jadi terus kepikiran akan arti ciuman dari Albani. Apakah itu hanya semata-mata karena akting, atau ada maksud lain. Pada akhirnya Aileen pulang ke rumah bersama Albani, padahal tadinya ia akan pulang sendiri dengan taksi. Yang Albani tau, mungkin pikirnya kemarahan Aileen hanya sekedar akting, karena Aileen bilang sudah sewajarnya istri akan marah jika ada wanita lain yang mendekati suaminya. Padahal kemarahan Aileen itu berawal dari respon alami Aileen yang tak suka, kesal, ingin kabur karena merasa tak punya hak yang benar-benar paten untuk melakukan tindakan menolak, ataupun tindakan tak terima saat suaminya didekati wanita lain. Sepanjang perjalanan itu Aileen hanya diam, Albani pun sama. Pria itu seperti sedang memikirkan sesuatu. Begitu sampai, seperti biasanya Albani membukakan pintu dan Aileen pun turun. "Hari ini bu N
"Apa?" Aileen memaku sebentar sebelum kesadarannya kembali. Ia lalu menarik tangan Albani ke sisinya. "Kau nggak perlu pukul orang, kan, Al!" tegasnya. Rio memegang ujung bibirnya yang sedikit berdarah. Lalu ia mendekati Aileen. "Kau pulang bersamaku saja, Ai?" "Kau masih berani?!" "Hei, kau sendiri kenapa membiarkan istrimu sedih sendirian? apa yang kau lakukan sampai dia menangis begitu hah!!" tegur keras Rio. Albani meremas telapak tangan. Ia benar-benar marah karena Rio beraninya mengintervensi dirinya. "Rio itu sama sekali bukan urusanmu asal kau tau!" tegas Aileen pada Rio. "Al, kenapa kau malah di sini, kita perlu bicara, Sayang." Marsha muncul lagi menggelayuti Albani dengan lancang. Rio membulatkan mata, tak percaya bahwa ada wanita lain yang mendekati Albani, padahal jelas ada Aileen di depannya. "Ai, kau tak lihat suamimu begitu di depanmu?" tegur Rio pada Aileen. "Lepaskan saya!!" Marsha didorong oleh Albani sampai wanita itu jatuh. "Argh!" Marsha menj
"Kau baik-baik saja?" tanya Albani pada gadis yang masih diam sejak tadi. Padahal sudah satu jam dari selesainya acara interview di perusahaan, tapi Aileen belum mau berbicara sepatah kata pun. "Kau tau rasanya aku tak merasakan apa-apa saat menatap keputusasaan Rio." "Hem, maksudnya?" "Dia, kenapa masih saja mau menjalani hidup seperti itu setelah disia-siakan Lenka?" "Memangnya apa yang kau harapkan?" Aileen menatap Albani ragu. "Seharusnya tadi dia tidak menerima dengan pasrah, saat kau menempatkan dia di bagian kebersihan, kan. Dia punya gengsi, tapi kenapa dia mau?" "Bukannya itu bagus. Anggap saja dia bertahan saat ini menerima semua takdirnya, itu lebih baik menurutnya karena dia tak punya pilihan. Sedangkan kau, hanya tinggal menyaksikan bagaimana proses dia menghadapi titik terendah dalam hidupnya."Aileen yang berhati lembut tak terbiasa menyakiti orang lain. Ia tak berani bilang pada Albani bahwa sebenarnya ia tidak tega kalau harus menempatkan Rio, yang b
"Rio Fernando Reifan." "Ya, saya Rio Fernando Reifan." "Silakan Anda masuk, Anda sebagai kandidat terakhir." "Baik, terima kasih." Rio harus optimis demi bisa menyambung hidupnya untuk ke depannya. Ia tak bisa mengandalkan siapapun selain dirinya sendiri. Beberapa waktu ke belakang hidupnya sangat suram saat bersama Lenka, ia harus kembali maju dan berhenti terpuruk. Apalagi keberuntungan baru saja memihak padanya. Padahal Rio belum lama melakukan submit cv untuk melamar pekerjaan di sebuah perusahaan baru. Namun ia yakin ia benar-benar beruntung, terbukti saat dirinya dipanggil oleh bagian personalia untuk melakukan tes kerja sebagai karyawan magang. "Selamat siang, Saya Rio Fernan—" Rio tersentak begitu membuka pintu dan melihat dua orang tak asing di depan matanya tengah duduk di kursi kehormatan. Kursi bertulis CEO di sana. "Aileen?" ucapnya kaget sampai kakinya seketika lemas. "Silakan duduk saudara Rio," ucap wanita di depan sana dengan penuh percaya diri
Ada perasaan yang meluap ketika mendapati sikap aneh Albani. Pria itu tidak biasanya mengajak Aileen untuk makan siang bersama. Tapi Aileen jadi cemas, apa mungkin Albani ingin mengajaknya membicarakan sesuatu. Setelah apa yang terjadi, keadaan tak sama seperti sebelumnya, ada rasa canggung dan tak tenang yang menghantuinya. "Kau sudah siap?" Albani muncul, ia sudah rapi dengan setelan jas dan kemeja di dalamnya. "Ya, aku sudah siap daritadi," sahut Aileen. "Baiklah, sebentar saya pakai dasi dulu." "Em, boleh aku bantu?" tawar Aileen. Albani awalnya ragu, tapi ia mempersilakan Aileen membantunya mengenakan dasi. "Sebelumnya aku tak pernah lihat kau pakai dasi, tumben sekali hari ini pakai." "Ya, hanya ingin saja, daripada tidak terpakai di dalam lemari," sahut Albani. Aileen masih memakaikan dasi di leher Albani. Ini pertama kalinya Aileen memakaikan dasi pada seseorang, itu diam-diam adalah impiannya dulu saat masih melajang. Ia pun tersenyum, merasa lucu denga