Erin terbangun setelah sinar matahari mulai masuk melalui jendela kamar. Matanya mengerjap beberapa kali dan ia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Setelah menyadari ia tidur di ranjang, Erin tampak bingung. ‘Apa mas David memindahkan ku?’ Tangan Erin menyentuh bagian samping kanan ranjangnya kemudian tatapannya beralih ke sekeliling lalu berhenti pada jam digital di atas meja. /klek…/ Pintu kamar itu terbuka, David masuk dengan kaos yang basah oleh keringat. Ia baru saja selesai olahraga pagi. “Oh kamu sudah bangun? Aku nggak membangunkan mu karena sepertinya kamu kelelahan.” “Mas David memindahkan ku semalam?” “Ya… .” “Ehmm, tidur di sofa tidak nyaman, aku nggak keberatan kalau mas David juga tidur disini,” ucap Erin ragu. David mengernyitkan keningnya. “Kamu nggak perlu memaksakan diri.” “Nggak, aku terlalu banyak merepotkan… .” Pria bermata hitam itu mengalihkan pandangannya. Ia menahan diri untuk mengiyakan ucapan Erin. “Aku mandi dulu,” ucap David yang kemudian langs
“Ayolah David, aku hanya menagih janji ku. Lagi pula pernikahan mu dengan Erin hanya kontrak, kenapa kamu begitu membelanya?” Pria bermata coklat itu menatap Niki yang tampak serius dengan ucapannya. “Bukannya aku sudah bilang kalau aku mencintainya?” Niki tertawa lalu mengalihkan pandangannya. “Aku tau kamu hanya berpura-pura.” “Aku nggak berpura-pura.” “Aku tau alasan kamu membantunya bahkan rela menikah kontrak dengannya,” ucap Niki pelan. David terdiam di tempatnya sambil memijat dahinya. Ia bisa mengetahui Niki sangat serius dengan ucapannya dan wanita itu memang tidak pernah bicara omong kosong kepadanya. Ekspresi Niki melunak saat melihat David yang tampak kesulitan. “Maafkan aku, aku hanya ingin mencoba memperbaiki semua. Aku ingin kembali seperti dulu, Nicho lebih baik memiliki sosok ayah seperti mu.” Pria bermata coklat itu ingin bertanya tentang maksud perkataan Niki tapi suara teriakan Amelian dari lantai dasar membuat keduanya kaget. Pria bermata hitam itu melihat
“Aku sudah diberitahu kak Niki… .” Erin menyandarkan punggungnya di sofa sambil menatap ke arah David yang baru saja selesai mandi pada sore itu. “Aku belum sempat memberitahu mu karena ada pekerjaan yang nggak bisa ku tinggalkan hari ini.” Pandangan keduanya bertemu tapi Erin segera mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ada keraguan yang tersirat dari matanya. “Nggak apa-apa, lagi pula kak Niki udah mengatakannya… .” David mencoba mengamati wajah Erin. Ekspresi tenang perempuan itu berbeda dengan tatapan matanya. “Apa kamu keberatan?” tanya David setelah beberapa waktu terdiam. “Nggak, malah aku merasa sejak awal seharusnya memberinya kesempatan.” Pria bermata hitam yang sedang mengeringkan rambutnya itu mengernyitkan keningnya. Setelah mendengar perkataan Erin, ia yakin bahwa istri kontraknya tersebut sudah mengetahui perasaan Niki. “Aku udah berpesan ke kak Niki untuk berhati-hati, jadi aku harap mas David juga melakukan hal yang sama.” Erin mengatakan hal tersebut tanpa m
‘Kenapa dia ada di tempat seperti ini? Lalu siapa wanita itu?’ “Kenapa Dan?” tanya Erga yang bingung melihat temannya menghentikan langkah. “Nggak ada apa-apa, salah lihat orang,” jawab Daniel asal yang kemudian langsung menarik temannya menjauh. Ia tidak ingin David mengetahui keberadaannya. Pria tampan itu juga tidak ingin temannya melihat apa yang ia lihat meski ia sendiri tidak yakin ada yang mengenal David. “Kan udah gue bilang nggak bakal ada kenalan kita yang akan ke tempat ini,” ucap Erga sambil tertawa. Daniel tidak membalas ucapan temannya karena ia sedang sibuk memikirkan berbagai kemungkinan dari apa yang baru saja dilihatnya. ‘Kenapa mas David bersama wanita lain di tempat ini saat jam segini? Tapi sepertinya aku pernah lihat wanita itu…,’ ucap Daniel dalam hati. Pria dengan potongan rambut pendek itu sebelumnya sudah menyerah mendekati Erin dan menghormati keputusan perempuan itu. Meski masih kesulitan mengatur perasaannya, ia tidak lagi berusaha memaksakan diriny
“Kok bisa ya kak Nathan dorong cewek sampai jatuh begitu?” ucap perempuan berambut pendek dengan suara pelan. “Itu Emmy kan? Mereka tuh pacaran nggak sih?” sahut perempuan berjaket jeans. “Ada yang bilang mereka cuma teman, tapi ada juga yang bilang mereka pacaran sih." "Berarti pertengkaran antara pasangan? Tapi nggak perlu sampai dorong gitu lah.” Erin menatap kedua perempuan yang baru masuk perpustakan itu dengan tatapan tajam, tapi ia tidak mengatakan apa pun. Kedua perempuan yang merasa dipandangi oleh Erin itu pun langsung menghentikan percakapannya lalu melangkah menuju tempat duduk di ujung ruangan. Keduanya masih berbisik sambil menatap Erin. “Kenapa rin?” tanya Livi tiba-tiba. “Nggak, cuma heran aja kenapa banyak orang suka bergosip,” jawab Erin pelan. “Kan seru,” sahut Jessie sambil tertawa kecil. Walau jarang ikut membicarakan gosip, ia cukup senang menjadi pendengar untuk gosip yang banyak dibicarakan. Perempuan bermata coklat itu kembali fokus mengerjakan tugas
David baru saja datang ketika Erin sedang membaringkan tubuhnya di sofa dengan tetapan kosong ke arah langit-langit kamar. Perempuan itu tidak bergerak meski David memasuki ruangan itu. Tatapan matanya seolah memandang ke tempat yang jauh dan pikirannya sedang tidak ada di tempat. Ekspresi yang menunjukkan pemiliknya sedang berpikir keras itu dipandangi David dalam waktu lama. ‘Apa yang sedang dia pikirkan sampai tidak sadar aku datang?’ tanya David dalam hati. Pandangan pria bermata coklat itu beralih ke jam di atas meja dekat tempat tidur. Ia menghela nafas lalu segera pergi ke kamar mandi. Erin masih pada posisi yang sama bahkan setelah David selesai mandi dan hal tersebut membuat pria itu merasa heran. Meski awalnya tidak ingin menganggu kegiatan perempuan itu, ia justru merasa terganggu melihatnya yang tidak seperti biasa. Langkahnya mendekat ke arah Erin perlahan, lalu diletakannya kaleng minuman yang baru saja ia ambil dari lemari pendingin. Kesadaran Erin kembali sepenu
Malam yang dinantikan Nathan tiba. Ia bersiap lebih awal sambil memikirkan susunan kalimat yang ingin dikatakan kepada Erin. “Kamu baik-baik saja?” tanya Amelian setengah berbisik. Ia sejak tadi mengamati ekspresi putranya yang tampak sedang memikirkan banyak hal. Pria bermata hitam itu tersenyum. “Aku baik-baik saja, bu.” Ucapannya penuh dengan keyakinan dan Amelian bisa melihat hal tersebut dengan jelas. Pandangan mata semua yang sedang duduk mengitari meja itu beralih ke arah David dan Erin yang baru saja datang. Erin memakai gaun hitam panjang dengan lengan pendek. Ia tampak lebih menawan dengan penataan rambut yang diikat pada bagian samping telinga sebelah kiri. “Maaf kami terlambat,” ucap David yang kemudian duduk disusul oleh Erin. “Nggak terlambat kok, masih ada satu lagi yang akan datang,” jawab Amelian sambil tersenyum. Dahi David mengernyit, ia mengamati sekeliling meja itu tapi merasa semua yang sudah seharusnya hadir telah lengkap. Tidak lama kemudian seorang wa
Akhir pekan itu hujan turun dengan deras sejak pagi. Erin terdiam di kamarnya sambil menatap tetesan hujan yang mengenai jendela. Semua berlalu tanpa pembicaraan yang jelas dan perempuan bermata coklat itu merasa tidak tenang dengan ketidakpastian yang ada. Sudah satu bulan ini sikap Nathan kepadanya semakin baik tapi tetap dalam batas yang wajar. Hanya saja cara pria itu menatap membuat Erin merasa terganggu. Erin sudah mencoba menanyakan hal itu langsung kepada Nathan tapi mantan kekasihnya tersebut selalu mengalihkan pembicaraan. ‘Apa dia beneran udah move on dan berubah seperti yang dikatakan mas David?’ gumam Erin dalam hati. Pandangannya beralih ke arah jam digital di meja. Erin menghela nafas lalu memejamkan matanya. Ruangan tersebut terasa lebih sepi karena David sedang pergi. ‘Sepertinya aku udah terbiasa dengan kehadiran mas David… .’ Sejak kedatangan Niki, David memang pergi setiap hari menemui mantan istrinya tersebut, untuk memenuhi janji yang sudah terlanjur dikata