Ruangan bertambah hening ketika santri-santri pondok Asmaul Husna saling siulkan dengkur. Detik itu Abah Aziz sedang berpergian ke luar kota ke daerah Jawa Timur. Sementara Gus Farhan berulang kali memutar rekaman CCTV demi memastikan kepergian Shofi.
Asrama pondok menyisakan lelah aktivitas menimba ilmu sejak tadi pagi. Daun-daun nangka berguguran diembus angin malam. Beberapa kunang bersembunyi di balik semak-semak, seolah sedang mengintip kegiatan Gus Farhan dan Kang Zaki yang terkantuk-kantuk. "Sudahlah, Gus. Istirahat saja! Toh kita tidak mengenal Shofi, tidak ada tanggung jawab yang melekat pada diri kita, dia bukan santriwati pondok." "Kang, lihat mata pedih ibunya tidak?" Kang Zaki memberi anggukan. "Tetapi tetap saja Gus, anak itu bukan tanggung jawabmu. Setidaknya kau butuh istirahat, Gus. Ini sudah sangat larut, eman fisiknya, Gus!" "Ibu Shofi pasti sangat sedih, ia juga menaruh harapan serta kepercayaan kepada kita. Setidaknya berusaha terlebih dahulu, barangkali bisa membantunya." Gus Farhan masih fokus menggerakkan jari--jari di atas lantai touchpad, dua matanya diakui agak redup. Namun, sekali lagi, jikalau mengingat wajah sembab Bunda Shofi perasaannya tetiba hancur serupa butiran debu. Ia tidak tega. "Iya, Gus. Tetapi membantu dianjurkan sesuai kemampuan kita kan, Gus. Ini sudah larut dan panjenengan belum istirahat." Kang Zaki bicara logis. Akhirnya Gus Farhan menghela napas panjang. Ia merenggangkan otot-otot, kursi bergerak ke kanan dan ke kiri mengimbangi pergerakan tubuh. Wajahnya sempat didongakkan untuk menatap langit-langit ruangan. "Kau benar, Kang. Istirahatlah dulu, tinggalkan saya di sini sendirian. Lagi pula saya belum mengantuk," ucapnya kemudian menekan tombol spasi keras-keras. Gus Farhan menemukan sebuah keganjilan. Vidio CCTV memperlihatkan sosok perempuan muda yang memakai celana jins, berkaos seragam pabrik sementara surai panjangnya terurai. Perempuan itu sedang menunggu Shofi di dalam pondok. Gus Farhan ingat ada hari sebelum kejadian Shofi datang untuk mengambil kunci motor. "Aku harus bertemu dengan perempuan ini!" desisnya. Kang Zaki mengamati pergerakan jari-jari Gus Farhan yang tetiba mengepal di depan mulut, sementara obrolan tidak bersahut. Ia bersikap serupa detektif yang sedang memecahkan masalah. "Gus Farhan … serius ingin mencari Mbak Shofi?" Kang Zaki memastikan. Ia menatap wajah pemuda yang terhormat itu dari pantulan layar pada laptop. "Lagi pula jika dinalar, Mbak Shofi itu sudah dewasa, kali saja dia sedang ada masalah dengan keluarganya, lalu memutuskan tidur di rumah temannya atau saudara terdekat." Kang Zaki mencari-cari alasan supaya sarannya didengar. "Semoga dia benar berada di tempat yang aman ya, Kang. Namun, entah mengapa perasaan saya tidak yakin. Tatapan ibunya yang begitu putus asa dan penuh riak tangis, mencerminkan sebuah kepedulian besar. Rasanya nggak mungkin Shofi berani mengecewakan ibunya,""Hmm, yasudah Gus, kalau memang mau mencari Mbak Shofi, silakan, saya bantu dengan doa. Saya hanya khawatir tindakan panjenengan kurang tepat. Tahu sendiri kan Gus, anak zaman sekarang memang suka ngelayap tanpa pamit kepada orang tua. Dulu saya juga begitu," Gus Farhan terkekeh kecil. "Nah, jangan menilai masalah orang dengan pengalamanku ya, Kang. Setiap orang punya hidupnya masing-masing." Gus Farhan menepuk bahu Kang Zaki, kemudian mengguncangkannya perlahan. "Entah apa sebabnya, tetapi saya merasa harus mencari Shofi. Seperti ada bisikan dari dalam hati," kata Gus Farhan lagi. Keesokan harinya ketika semua tanggung jawab Gus Farhan telah beres, ia menaiki sepeda motor menuju pabrik roti di sebelah pondok, milik taipan bernama Koh Akong. Sebenarnya Gus Farhan sudah sangat mengenal Koh Akong, bahkan dahulu ketika Gus Farhan masih kecil, ia sering bermain ke rumah Koh Akong. Pabrik yang semula hanya sebuah home industri kecil-kecilan, kini telah melebarkan sayap dengan memproduksi ribuan roti untuk dipasok ke toko-toko besar. Ia takjub melihat desain gedung yang sudah banyak berubah, lebih modern dan nyaman dalam pandangan. Dahulu tempat itu kotor, penuh debu dan mengeluarkan bau tak sedap. Sekarang sudah tidak lagi. Gus Farhan mencari kantor admin. "Assalamu'alaikum, permisi." Punggung tangan Gus Farhan mengetuk permukaan pintu yang tidak ditutup. Perempuan berambut pirang membalas sapaan dengan senyuman. Gus Farhan ingat dahulu kursi itu hanya diduduki oleh Koh Akong. Kini, selain desain ruang yang lebih modern dan minimalis, penunggunya pun juga berubah. Perempuan itu mempersilakan duduk. "Ada yang bisa kami bantu, Mas?" katanya amat lembut. Perempuan itu sering disapa oleh buruh-buruh pabrik dengan panggilan, Daisy. Gus Farhan duduk kemudian mengeluarkan ponsel, menampilkan rekaman vidio. Ada Anggi yang menunggu di depan pintu gerbang, dan Shofi yang baru datang, kemudian mereka pergi bersama dengan sepeda motor masing-masing. "Mohon maaf, apakah kedua perempuan ini bekerja di sini, Mbak?" Daisy memastikan, ia menonton vidio yang diputar, berkali-kali dan mengaitkan dengan rupa wajah yang ia temui di ruang pabrik. Pasalnya Daisy jarang masuk ke area produksi, maka wajar jikalau ia tidak terlalu ingat. "Satunya Anggi, satunya saya kurang tahu." Jawaban Daisy membuat Gus Farhan mangut-mangut. "Saya tidak memproduksi barang, jadinya kurang paham dengan karyawan pabrik. Ada yang bisa dibantu, Mas?" "Perempuan berjilbab itu hampir seminggu tidak pulang ke rumah, orang tuanya sudah mencari berhari-hari tetapi belum juga mendapatkan kabar." Gus Farhan mengurai permasalahan. Daisy ingat, tempo hari ada wanita tua dengan mata sembab, menangis tersedu-sedan di depan pintu gerbang. Bertanya perihal anaknya yang hilang dan mengaku sudah bekerja dua tahunan di pabrik tersebut. Sayangnya Daisy dan satpam sepakat mengusir ibu-ibu itu karena dianggap gila.Barulah Daisy mengecek daftar karyawan dengan nama Shofi. Benar dia sudah lama tidak absen finger. Terbersit perasaan bersalah di dada Daisy karena kemarin mengganggap wanita tua itu adalah orang gila. Rasanya mustahil perempuan dewasa hilang tanpa kabar. Apalagi zaman semakin canggih, keberadaan manusia bahkan bisa cepat dilacak selama ponsel dalam genggaman hidup. "Maaf, tetapi saya tidak tahu kemana perempuan itu pergi, coba Anda tanyakan kepada Anggi," Anggi yang sedang packing roti dipanggil ke kantor."Kamu pasti sangat mengenal perempuan ini," ucap Gus Farhan langsung tanpa basa-basi. Seperti ada yang meninju ulu hati Anggi. Wajahnya agak merah, tetapi secepat mungkin ia alihkan perasaan bersalahnya demi mengubur rasa curiga. "Hari itu kami berdua jalan-jalan, nongkrong di alun-alun kota, setelahnya kami berpisah. Shofi pulang ke rumah, saya pulang ke rumah saya.""Sepertinya kamu tahu jika Shofi tidak pulang," "Bundanya kemarin menelpon dan mendatangi saya," jelas Anggi. Gus Farhan akhirnya pamit undur diri. Ia mendapat kunci keberadaan Shofi, setidaknya alun-alun kota bisa menjadi jejak keberadaan Shofi. Maka detik itu juga ia langsung berpindah lokasi menuju alun-alun kota, membiak kerumunan, membongkar CCTV yang terpasang di sudut-sudut jalan. Mencocokkan dengan hari kejadian tidak pulangnya Shofi. Sayang, ia tidak menemukan apa pun selain langkah-langkah kaki orang lain yang tidak dikenal. Gus Farhan mengerutkan kening, wajah Anggi memantul di ambang cakrawala. 'Mungkinkah Anggi tahu keberadaan Shofi?'Ruang itu temaram, lampu jamur di atas meja kecil sebelah ranjang dinyalakan. Aroma wewangian mawar mendominasi lubang hidung. Shofi tengah duduk di hadapan cermin, dia mematut wajahnya yang tegang, ada ketakutan akut yang tidak bisa dia hindari. Bayangan pria bertubuh kekar menarik tubuhya dengan paksa. Jeritan permintaan tolong yang tidak dipedulikan oleh telinga-telinga orang awam membuatnya terjebak pada dimensi kelam. Dia sudah resmi menjadi istri Gus Farhan melalu pertentangan restu berkali-kali, pada akhirnya Abah Aziz dan Umi mengalah. Baiklah masa depan miliknya Gus Farhan secara utuh. Hal yang diharapkan manis di malam romantis bersaksikan milyaran titik gerimis di luar sana justru disambut oleh tangis. Shofi tersedu-sedu meminta maaf kepada Gus Farhan. Sudah satu bulan penuh dirinya tinggal serumah bersama Gus Farhan, satu atap dalam satu ruang tetapi pisah ranjang ... ya tubuh mereka belum bersentuhan sama sekali. Ada hal yang menjanggal. Shofi terlarut dalam trauma psiki
Ketika meja sarapan menghidangkan sepiring tempe mendoan dengan kepulan hangat, dilengkapi tiga buah bubur bersahabat sayur tahu kuning berkuah santan, ketika pagi dirimbuni embun semalam dan daun-daun masih basah. Malam tadi ada gerimis Mei yang membasuh bumi. Bunga alamanda milik tetangga menguning indah bersama butiran air. Jendela melukis air terjun, sementara udara menyergap dalam dingin tidak berkesudahan. Mereka bertiga sarapan bubur buatan tangan Bunda. Hari itu minggu, Bunda mengambil libur jualan. Ada setoples kerupuk udang yang menjadi saksi kebersamaan mereka. Agam menyantap bubur serupa orang tidak makan satu hari penuh. Shofi sesekali mencuri pandang kelakuan sang adik, sepertinya dia tidak sedang lapar, tetapi ada aura kebahagiaan yang membuat nafsu makannya bertambah. Zea, gadis toserba itu, sosok yang menjadikan alasannya lari tergesa, sudah pasti menjadi alasan Agam makan begitu nikmat. "Zea sepertinya sholihah, dia menutup aurat dan kelebihannya adalah cantik," cel
Selajur sinar neon menyiram wajah Gus Farhan, dia setengah rebah di atas dipan, melembari surat Shofi yang kemarin belum terbaca tuntas tetapi jantungnya telah ditabuh penuh kemenangan. Bibir merah tipisnya menyungging, bibir yang tak akan pernah dia kotori menggunakan nikotin apalagi kata-kata dusta, serupa janji manis. Bising serangga malam di luar kamar bagaikan koor lagu romantis detik itu. ...'Satu hal yang pasti darimu semenjak kita bertemu, Farhan. Kau tampan, lalu kau baik karena mau memberi pertolongan kepadaku yang belum dikenal. Hatimu begitu ikhlas. Ini bukan bentuk pujian, tetapi begitulah kenyataan tersurat untukmu. Kalau untuk orang yang tidak dikenal saja kau berani mempertaruhkan harga diri dan keselamatanmu, maka aku pastikan kamu orang bertanggungjawab. Untuk itu, tanggunglah kesedihan dan hidupku di masa depan. Ayo kita menikah, kita lawan kegelisahan dan cobaan-cobaan kehidupan. Aku tidak akan mengajakmu hidup bahagia, sesungguhnya kebahagiaan hanyalah kamuflase
Pemuda itu menekan tombol untuk menjalankan roda secara otomatis, kemudian dia menyetirnya ke kanan dan ke kiri menuju garasi. Putra yang malang, dia meringis kesakitan, menahan bulir-bulir peluh, menyeret dua kakinya yang mati rasa, berat seumpama ditindih batu ratusan kilo. Kalau pantas, sudah diungsikan kaki-kakinya yang tiada guna itu. Mereka hanya menjadi beban, tidak bisa digunakan sekali pun dalam posisi Putra ingin berlari. Ya, sungguh pada petang itu dia ingin mendatangi toserba yang dibicarakan warga netizen, seorang konten kreator mengunggah vidio pertengkaran dua kaum hawa di media sosial, dan entah bagaimana ceritanya mendadak kontennya viral—karena menggunakan tagline 'Gadis Bar Berjilbab, Shofi dan Gus Farhan.' Padahal anak satu-satunya Abah Aziz itu sedang tidak di lokasi. "Kumohon ...," rintihnya sambil bersusah payah menaiki mobil. Setelah berhasil kursi rodanya ditarik kemudian dilipat di sisinya. Ia mengusap keringat dengan punggung tangan. Lantas menghubungi Mahe
Pop up pesan di layar ponsel Agam membuat pemuda itu langsung lompat ke halaman rumah, ia seret sepeda motornya di bawah kain langit yang membentang jingga. Shofi yang baru saja duduk menikmati teh hangat seduhan Bunda dibuat terkejut olehnya. "Ada apa, Gam?" teriak Shofi, dia pun lari menghampiri Agam. "Temanku berantem," celetuk Agam. "Sejak kapan dirimu punya teman?" seru Shofi dengan kening berkerut. Agam menghela napas panjang, dia kemudian menumpangi sepeda motor, menyalakan mesin. "Aku ikut!" "Enggak! Ini bukan urusanmu!" sergah Agam dengan suara lantang, lebih keras dari amukan petir sewaktu badai. Ada hal yang tidak ingin dipertemukan oleh Agam, kakaknya berada di mode tenang. Jika dia melihat sosok Anggi, maka peperangan batinnya akan kembali mengamuk. Beberapa hari ini, Shofi terlihat murung, Agam belum mengetahui penyebabnya, jika Anggi hadir dalam kehidupan sekarang, maka batin saudaranya akan terkungkung dalam amarah dan kebencian. Agam tidak mau saudaranya menderit
"Hei kau tahu kabar gadis bar yang dulu pakai jilbab?" tanya seorang remaja yang duduk di kursi tunggu toserba, mereka tengah asyik menikmati cemilan ringan dan soft drink aneka rasa. "Pernah dengar sih, cuma agak blur, nggak nyimak medsos, ada apa?" "Ternyata dia diselamatkan oleh Gus Farhan, tahu kan pemuda tampan putranya Kyai Aziz? Gara-gara dia nama Gus Farhan sempat menjadi perbincangan," "Lah kok bisa Gus Farhan dekat dengan gadis bar, okelah dia berjilbab, tapi kan lingkungannya buruk!" celetuk temannya kemudian menenggak minuman. "Menurut berita sih gadis itu ternyata dijebak oleh Bos Bagong, dipekerjakan tanpa gaji, tapi ya entahlah, namanya juga kabar kabur," "Bos Bagong itu siapa?" "Itu nama gelapnya Pak Hendra, si pengusaha yang mempunyai berbagai toko bangunan, kau tahu?" "Hmmm, nggak kenal sih, cuma kejam juga itu si Bos Bagong, masak iya mau mempekerjakan orang tapi nggak mau bayar, lah duitnya diapakan?" "Itu dia, aneh kan? Bukan hanya gadis itu saja yang dipe