Langit Ubud pagi itu berwarna jingga lembut, menyapa sawah hijau yang membentang di depan vila kecil Jessica dan Andy. Aroma kopi Bali menguar dari dapur, bercampur dengan tawa riang seorang anak laki-laki yang berlari di halaman. Arjuna, yang kini berusia lima tahun, sedang mengejar kupu-kupu, rambut ikalnya berkibar tertiup angin. Wajahnya, dengan mata besar dan lesung pipi, mengingatkan pada seseorang dari masa laluโCandra. Tapi bagi Jessica dan Andy, Arjuna adalah milik mereka, titik darah yang mereka rawat dengan cinta tanpa syarat.Jessica berdiri di teras, tangannya meraba perutnya yang kembali membulat. Kehamilan keduanya, kali ini benar-benar anak Andy, membawa kebahagiaan baru dalam hidup mereka. Ia tersenyum melihat Arjuna, yang kini berlari ke arah Andy yang baru keluar dari dapur dengan secangkir kopi di tangan.โPapi! Lihat, kupu-kupu!โ seru Arjuna, tangannya menunjuk ke udara dengan penuh semangat.Andy tertawa, mengangkat Arjuna ke pundaknya. โWah, Ju, kamu mau tangkap
Malam di Ubud terasa lebih dingin dari biasanya, meski angin hanya bertiup pelan membawa aroma bunga kamboja. Jessica duduk di tepi ranjang, tangannya meraba perutnya yang semakin membulat. Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang Candra, kata-katanya yang penuh penyesalan, dan tatapan Andy yang teguh melindunginya. Di sisi lain ranjang, Andy sedang membaca dokumen ekspor, kacamatanya sedikit melorot di hidungnya. Ia sesekali melirik Jessica, tahu bahwa istrinya sedang bergulat dengan pikiran yang tak diucapkannya.โJess, kamu nggak apa-apa?โ tanya Andy lembut, meletakkan dokumennya ke meja samping ranjang.Jessica menoleh, tersenyum kecil untuk menenangkan suaminya. โAku baik-baik aja, Andy. Cumaโฆ aku nggak nyangka Candra bakal dateng ke sini. Aku pikir dia udah lupain aku, lupain semua yang pernah ada di antara kami.โAndy merangkak mendekat, tangannya meraih tangan Jessica, menggenggamnya erat. โDia nggak punya hak atas kamu, Jess. Nggak atas kamu, nggak atas anak kita. Aku janji, a
Langit Bali pagi itu cerah, awan tipis berarak pelan di cakrawala. Di vila kecil di pinggir Ubud, Jessica duduk di teras dengan secangkir teh jahe, tangannya sesekali mengusap perutnya yang kian membesar. Andy, yang baru selesai memeriksa dokumen bisnis di ruang kerja, keluar membawa sepiring pisang goreng. Ia meletakkan piring itu di meja kayu, lalu mencium kening Jessica dengan lembut.โPagi, cantik. Ini camilan buat kamu sama Arjuna,โ godanya, matanya berbinar.Jessica tersenyum lebar, memukul lengan Andy pelan. โBunga, maksud kamu! Belum tentu Arjuna, lho. Eh, makasih, ya, pisangnya kelihatan enak.โAndy tertawa, duduk di samping Jessica sambil mengambil sepotong pisang. โBunga atau Arjuna, yang penting sehat. Kamu udah ke dokter minggu ini, kan? Apa kata dokter?โโSemuanya baik-baik aja,โ jawab Jessica, menyeruput tehnya. โBayinya aktif, katanya. Mungkin nanti malah jadi penutup sawah kayak bapaknya, suka jalan-jalan di ladang.โAndy terkekeh, tangannya meraih tangan Jessica. โAt
Langit Bali di senja hari berwarna jingga keemasan, menyapa Ubud dengan lembut. Angin sepoi-sepoi membelai dedaunan sawah yang mengelilingi vila kecil tempat Jessica berdiri. Wanita itu mengenakan kebaya putih sederhana, rambutnya digelung rapi dengan hiasan bunga melati yang harum. Ia menatap cermin kecil di tangannya, mencoba meyakinkan diri bahwa keputusan ini adalah langkah yang tepat. Di perutnya, anak yang kini berusia lima bulan tumbuh sehat, dan setiap tendangannya mengingatkan Jessica akan kehidupan baru yang menanti. Tapi di hatinya, bayang-bayang Candra masih sesekali muncul, meski kini hanya seperti angin lalu.Di sudut lain vila, Andy sedang mempersiapkan diri. Pria itu mengenakan beskap putih yang serasi dengan kebaya Jessica, wajahnya tenang tapi matanya penuh harap. Ia memandang ke arah sawah, mengingat percakapan panjangnya dengan Jessica tiga bulan lalu, saat ia tiba di Bali dengan hati penuh keberanian. Andy tak pernah membayangkan bahwa Jessica, wanita yang selama
Langit Bali di pagi hari menyapa Jessica dengan lembut. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah jendela vila kecil di Ubud, menggambar garis-garis emas di lantai kayu. Jessica duduk di teras, memegang cangkir teh jahe yang masih mengepul, menatap hamparan sawah yang berkilau oleh embun. Udara segar mengisi paru-parunya, dan untuk sesaat, ia merasa damai. Tapi di balik ketenangan itu, pikirannya masih bergulat dengan bayang-bayang Candra, Anjani, dan anak yang kini tumbuh di rahimnya. Ia menyentuh perutnya, berbisik pelan, โKita bakal baik-baik aja, ya, Nak.โDi Jakarta, suasana berbeda menyelimuti Andy. Pria berusia 40 tahun itu duduk di kantornya yang sederhana, dikelilingi tumpukan dokumen ekspor-impor. Layar laptopnya menampilkan laporan keuangan, tapi matanya kosong, pikirannya melayang ke Jessica. Sudah dua hari sejak pesan singkatnya ke Jessica, dan balasan โMakasih, Andy. Aku bakal kabarinโ masih terngiang di kepalanya. Ia tahu Jessica sedang terluka, dan meski ia hanya
Pagi di apartemen Jessica dan Candra terasa seperti ruang tanpa udara. Aroma kopi yang biasanya mengisi ruang tamu kini hilang, digantikan hawa dingin dan sunyi. Jessica duduk di sudut sofa, matanya sembab, menatap koper yang sudah ia siapkan semalam. Keputusannya bulat: ia akan pergi ke Bali, meninggalkan Jakarta, Candra, dan semua luka yang kini menggerogoti hatinya. Di tangannya, ia memegang tiket pesawat yang dipesan secara impulsif tengah malam, ketika air matanya tak lagi bisa dibendung.Berita tentang kehamilan Anjani, ditambah foto kebersamaan Candra dan Anjani yang dikirim Gendis, masih menghantui pikirannya. Jessica mencoba mengalihkan perhatian dengan memeriksa email terkait bisnis ekspor-impornya, tapi setiap kata di layar ponselnya terasa kabur. Pikirannya terus kembali ke Candraโpria yang ia pikir akan menjadi suaminya, tapi kini hanya menyisakan rasa sakit. Yang lebih membebani, Jessica baru saja mengetahui dirinya hamil. Anak Candra. Tapi ia memutuskan untuk merahasiak
Bab 4: Pertengkaran Jessica dan CandraMalam telah larut, tapi apartemen Jessica dan Candra masih dipenuhi ketegangan yang tak kunjung reda. Cahaya lampu di ruang tamu menyala redup, mencerminkan suasana hati Jessica yang kacau. Ia duduk di sofa, menatap kotak cincin pertunangan di meja dengan mata kosong. Setiap kilau berlian itu kini terasa seperti pengingat akan janji yang telah dilanggar. Di kamar tamu, Candra masih terjaga, berjalan mondar-mandir dengan ponsel di tangan, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan semua kekacauan ini. Ia tahu, ia tak bisa terus bersembunyi. Malam ini, ia harus menghadapi Jessica.Dengan langkah ragu, Candra keluar dari kamar tamu dan menuju ruang tamu. โJess,โ panggilnya pelan, berdiri di ambang pintu. Jessica tak menjawab, hanya melirik sekilas dengan mata penuh luka sebelum kembali menatap kotak cincin itu. Candra mendesah, lalu melangkah masuk dan duduk di kursi di depannya. โAku tahu aku salah. Aku cuma minta kesempatan buat jelasin semuany
Pagi itu, apartemen Jessica dan Candra masih diselimuti kesunyian yang menusuk. Aroma kopi yang biasanya mengisi udara pagi kini tak tercium, digantikan oleh ketegangan yang hampir bisa diraba. Jessica, berusia 30 tahun, duduk di meja makan, menatap ponselnya dengan wajah pucat. Foto yang dikirim Gendis semalam masih terpampang di layar, menggambarkan Candra dan Anjani dalam keakraban yang tak bisa ia abaikan. Setiap kali ia mencoba menutup aplikasi, gambar itu seolah membakar pikirannya, mengingatkannya pada janji-janji Candra yang kini terasa seperti dusta.Jessica menggenggam ponselnya erat, jari-jarinya gemetar. Sebelum foto itu sampai ke tangannya, Candra bersumpah bahwa hubungannya dengan Anjani hanyalah profesional, bagian dari dunia syuting yang penuh rumor. โJess, percaya aku, itu cuma kerja,โ katanya berulang-ulang, dengan mata yang tampak tulus. Tapi foto ituโdan pesan Gendisโmengoyak semua kepercayaan yang tersisa. Jessica merasa dadanya sesak, seolah dunia yang ia bangun
Keesokan pagi, apartemen Candra dan Jessica yang biasanya dipenuhi aroma kopi dan tawa ringan kini terasa dingin. Jessica duduk di sofa ruang tamu, menatap ponselnya dengan mata sembab. Berita tentang skandal Candra dan Anjani masih bergema di kepalanya, dan setiap notifikasi baru dari media sosial terasa seperti tusukan. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, mengurusi dokumen ekspor-impor yang menumpuk, tapi pikirannya terus kembali ke pengkhianatan Candra. Di sisi lain, Candra, yang baru pulang dari syuting pagi, masuk dengan langkah ragu. Ia tahu Jessica sudah menunggunya, dan konfrontasi tak bisa dihindari.โJess,โ panggil Candra pelan, berdiri di ambang pintu ruang tamu. Jessica tidak menjawab, hanya melirik sekilas sebelum kembali menatap ponselnya. Candra mendesah, lalu duduk di kursi di depannya. โAku tahu aku salah. Aku cuma minta kesempatan buat jelasin semuanya.โโJelasin apa, Can?โ tanya Jessica, suaranya dingin. โSemua udah jelas. Foto kamu sama Anjani ada di mana-mana. Ber