Share

Part 7 Sandi Ponsel

Beberapa menit kemudian, bukan sebuah alamat yang dikirim oleh Arga. Isi pesan dari sahabatnya itu adalah pesan yang diteruskan dari Yuna. Yuna meminta untuk tidak menemuinya, kecuali Bian setuju dengan syarat yang diajukannya.

Hanya geraman dan umpatan yang bersahutan dalam mobil Bian. Laki-laki itu tidak menyangka jika sikap Yuna padanya bisa berubah sedrastis ini. Isi pesan itu begitu kaku dan terkesan tegas.

Bian tak kehabisan akal. Ia mampir ke sebuah outlet dan membeli kartu baru untuk menghubungi Yuna. Sedikit lega karena gadis itu menanggapinya. Walau tanggapannya tidak sebaik yang diharapkan Bian.

“Kak Bian nggak perlu ke sini. Menemani tunangan ke salon itu hanya buang-buang waktu, bukan?” ucap Yuna kembali menyindir telak Bian yang selama ini sering mengatakan hal itu.

“Tapi Yun, kena-”

Klik!

Bian menghembuskan napas lewat mulut. Kedua pipinya sampai menggembung maksimal. Ia bahkan menggaruk kepalanya frustasi.

“Yuna habis makan apa? Atau jangan-jangan ... dia kerasukan?” gumam Bian. Sejak gadis itu pulang liburan, dia semakin aneh.

Yuna bahkan mengirim pesan dan mengingatkan batas waktu yang berikannya. Besok siang Bian harus memutuskan untuk menerima atau menolak syarat darinya. Begitu juga peringatan jika tersisa kurang dari seminggu waktu untuk enam bulan hubungan mereka harus berakhir.

Pulang ke rumah tentu hanya akan membuat Bian jadi bahan tertawaan mamanya. Datang ke rumah Arga dan menunggu Yuna pulang hanya akan mengundang kecurigaan orang tua mereka. Ke apartemen saudara kembarnya hanya akan dianggap perusuh. Bian bingung dan merasa jadi serba salah. 

Menatap kontak ponsel Yuna, Bian masih ragu untuk kembali menghubunginya. Pikirnya, gadis itu akan semakin besar kepala. Bian sadar jika gadis itu sepertinya sedang bermain tarik ulur dengannya.

“Telpon saja Bian, jangan sampai kamu menyesal,” batin Bian menekan hold hijau dan menunggu Yuna menjawab panggilannya.

“Halo?” sapa seseorang yang tidak mungkin suara Yuna.

Deg!

Bian menatap layar ponselnya dan yakin tidak salah kontak. “Kenapa yang jawab laki-laki?” batin Bian dengan perasaan yang tak karuan.

Setelah kesekian kalinya mengumpat, Bian akhirnya bisa terbebas dari kemacetan jalan. Sembari menekan pedal gas, ia melirik jam tangannya. Ia ingin membuktikan ucapan pria yang menjawab telponnya tadi.

Bian tiba di kafe yang dikatakan pria tak dikenal yang katanya menemukan ponsel itu di kolong mejanya. Dengan tak sabaran, Bian mengedarkan pandangan saat kembali menghubungi ponsel Yuna.  

Karyawan kafe menghampiri Bian. “Maaf Kak, tadi yang nemu udah pamit duluan. Dianya lagi buru-buru, jadi titip sama saya,” ujar pemuda itu mengulurkan ponsel yang dibawanya.  

“Terima kasih,” balas Bian kemudian memesan secangkir kopi.

Setelah memilih meja sudut, Bian mencoba membuka ponsel Yuna. Akan tetapi, ia tidak tahu sandinya. Berkali-kali ia mencoba tapi gagal.

“Jangan bilang …,” gumam Bian mencoba menekan tanggal lahirnya sendiri.

Berhasil. Bian tercengang.

Baru sekali jempolnya mengusap layar ponsel, wallpaper ponsel gadis itu membuat Bian tertegun. Bukan foto sang pemilik ponsel, melainkan foto dirinya yang dibalut kemeja hitam dan vest abu-abu saat duduk di kursi kerjanya. Foto yang entah kapan diambil Yuna. Yang pasti, dari potret itu ia menyadari bahwa dirinya mengabaikan gadis itu saat berkunjung ke kantornya.

Kedua alis Bian nyaris bertaut kala melihat notifikasi pengingat yang muncul. Seharusnya sore ini Yuna mengajaknya nonton film di bioskop. Kali ini bukan film romansa kesukaan Yuna, melainkan film genre action kesukaan Bian.

“Aku bahkan tidak tahu kalau aktor idolaku merilis film baru,” batin Bian yang mengakui jika belakangan ini ia memang sibuk. Mengepakkan sayap bisnis ke negri tetangga bukanlah semudah yang dibayangkannya selama ini.

Kalau saja Yuna tidak mengabaikannya, gadis itu pasti sudah datang ke kantor. Kemudian mengajaknya ke bioskop dengan antusias. Namun, semua itu tak terjadi mengingat Yuna sengaja memblokir nomornya.

Jari Bian sibuk menggulir layar ponsel. Ketika ia menemukan satu folder galeri dengan namanya, rasa penasaran Bian semakin membuncah. Berkali-kali ia mencoba sandi untuk membuka folder itu sampai kepalanya mau pecah.

“Gadis ini, kenapa suka sekali bikin aku sakit kepala?! Sial!” umpat Bian yang akhirnya menyerah karena sandi terakhir yang dicobanya masih saja tidak tepat.

Tak ingin pulang dengan dicecar oleh kedua orang tuanya, Bian putuskan untuk datang ke rumah Yuna. Ia bisa beralasan untuk membawakan ponsel itu sehingga orang tua Yuna tidak akan curiga. Setelah berkendara kurang lebih setengah jam, Bian tiba di rumah dengan desain bergaya aristekstur Eropa itu.

“Adek lo belum pulang?” tanya Bian ketika mendapati sahabatnya yang membukakan pintu.

Pria yang baru saja selesai mandi itu mengangguk tak bersemangat. Bian masuk dan menyusul langkah Arga ke kamar. Rumah besar itu tampak sepi seperti kuburan. Asisten rumah tangga tak satu pun terlihat.

“Om sama tante ke mana, Ar?”

“Kata Bibi lagi keluar kota, ada kolega yang adain resepsi.”

Bian hanya mengangguk hingga langkahnya berhenti di depan pintu kamar Yuna yang bersebelahan dengan kamar Arga. Seingatnya, terakhir kali masuk ke dalam kamar gadis itu, saat ia masih SMA.

Tanpa Bian duga, Arga justru membuka pintu kamar itu. Ternyata Arga hendak mencari charger ponsel. Saat itulah Bian melihat tampilan kamar itu sudah jauh berbeda. Nuansa kamarnya disominasi putih dan kuning.

Keningnya berkerut mendapati frame berisi fotonya yang tertidur menelungkupkan badan di meja kerjanya. Dari background, Bian menebak mungkin foto itu diambil setahun yang lalu saat masih awal dirinya bekerja di perusahaan papanya.

“Yuna itu kalau udah sayang, pakai banget. Tapi, kalau udah benci, ujungnya bodo amat,” kata Arga menarik lengan Bian agar kembali keluar. “Lo bikin masalah apa sama adek gue?”

Deg!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status