Hanum tidak tahu mengapa Husna sangat membencinya. Saat mereka masih kecil, Hanum berpikir … Husna hanya belum dewasa. Kehadirannya yang tiba-tiba dalam hidup Husna pasti mengganggu. Namun, seiring berjalannya waktu dan mereka telah dewasa sekarang. Hanum mulai menyadari bahwa Kakaknya ini hanya tidak suka padanya. Dia hanya tidak suka Hanum hidup dan bernapas seperti perkataannya. Karena itu, rasanya jika Hanum balik membenci Husna pun tidak salah. Husna benar-benar sudah keterlaluan padanya. Plak!"Jaga ucapan kamu, Husna Thana! Kamu pikir, karena siapa aku jadi kayak gini?" Hanum membentak Husna setelah dia melayangkan tamparan. Dia cepat-cepat memperbaiki blazer dan kerudungnya. "Siapa yang ngilangin uang, siapa juga yang tanggung jawab? Kalau kamu emang masih punya nurani, lebih baik kamu diem! Kecuali kamu bisa ngembaliin kehormatanku lagi."Detik itu juga Husna yang tadi akan meledak setelah ditampar kini tercengang. Akan tetapi, tak lama dia malah mendengus tawa. "Ha, jad
"Masuk!"Hajin menyahuti ucapan Hanum dengan cepat. Saat dia sampai di ruangannya, Hajin tidak membalikkan kursinya seperti biasa. Dia sudah menghadap kedepan lengkap dengan beberapa lembar kertas di meja. Itu adalah kertas-kertas yang muncul dari fax mail."Kenapa lama sekali? Aku sudah nyuruh Wina untuk memanggilmu sejak tadi. Kamu ke mana? Jangan-jangan kamu keluyuran lagi pas jam kerja?!" Hajin menatapnya curiga. Hanum sedikit tercengang atas tuduhan Hajin. Jika soal pekerjaan, pria itu jadi sangat menyebalkan. "Tidak, Pak. Mana berani saya begitu. Saya cuma ke toilet tadi. Bukan salah saya juga kan saya jadi lama?" Mendengar jawaban Hanum, Hajin menyentuh pangkal hidungnya seakan sedang pusing."Baiklah. Kemari ..."Hajin memundurkan tempat duduknya sedikit dan mengambil salah satu lembar kertas di mejanya dengan tangan kiri. Hanum mendekat ke depan meja sesuai perintah. Namun, Hajin menyuruhnya untuk lebih dekat. "Mendekatlah ..."Hanum bergerak dari depan meja ke samping.
Pukul 12.30, jam istirahat sudah berlalu 30 menit, tapi tak ada tanda-tanda Hajin akan beranjak dari kursinya untuk keluar. Hanum jadi heran, apa setiap hari Haji seperti itu? Hanya kerja? Kerja? Dan kerja? Hanum sungguh tidak paham dengan pikiran orang-orang kaya yang gila kerja. Mereka sudah kaya, tapi karena sifat gila kerjanya itu mereka terus bertambah kaya, sedang orang-orang yang seperti dirinya justru inginnya cepat-cepat rebahan saja. Huh, yang salah memang hanya kebiasaannya. Meski begitu, mana bisa terus bekerja tanpa makan?"Pak ..." Hanum pun memanggil Hajin. Pria itu berdehem karena sedang mengetik di komputernya. "Bapak gak istirahat? Setidaknya, makan?" "Bilang aja kamu yang lapar dan pengen istirahat Hanum," balas Hajin tanpa menatapnya. Dia lantas menghidupkan ponsel pribadinya untuk menelfon seseorang."Na? Udah dapat makanannya belum?"Suara berisik udara luar langsung terdengar. Hajin me-loud speaker panggilan itu hingga Hanum ikut mendengarkan. Hanum memainka
Hanum merutuki kebodohannya sembari menatap ponsel di tangan. Dia baru sadar bahwa dia tidak memiliki nomor pribadi Hajin. Padahal, hari ini dia akan mengambil barangnya dari rumah. Sementara Hajin tidak kembali ke ruangannya bahkan setelah jam pulang kantor. Helaan napas berat terus menemani Hanum sepanjang perjalanannya menaiki bus. Sekarang, dia hanya bisa berdoa semoga Husna tidak langsung pulang ke rumah. Semoga Husna nongkrong sampai malam sehingga mereka tidak perlu bertemu. Jadi, Hanum bisa keluar dari rumah dengan tenang. Sayangnya, harapan dan keinginan selalu saja tak sama dengan kenyataan. Ketika baru saja melangkah dari pintu, suara Husna sudah langsung terdengar. "Nah, datang juga anaknya, Yah! Cepat hukum dia! Dia tidur sama atasan dan mau jadi simpanannya. Malu-maluin keluarga aja."Husna mengadu pada Thana. Pria paruh baya itu masih mengenakan jas formalnya, terlihat dia juga baru saja datang. Husna pun masih memakai rok mini meskipun blazernya telah dia lepas.
"Husna, hentikan!"Hampir saja ujung gunting itu melukai wajah Hanum jika Thana tidak sampai tepat waktu. Dia memang berniat menyusul Hanum ke kamarnya, tetapi karena sakit kepala, dia baru beranjak setelah mendengar bunyi benda dibanting. Saat sampai di depan pintu, Thana terkejut karena Husna memegang gunting. Thana segera menghampiri Husna dan merebut guntingnya."Apa yang kamu lakukan, Husna? Kamu ingin melukai Adikmu? Apa kamu hilang akal? Dan kenapa tangan Hanum berdarah?"Sakit kepala seketika menyerang Thana lagi. Dia memegang kepalanya sebentar kemudian berteriak. "Sudah, cukup, kalian! Ayah sakit kepala sekarang. Jadi, kita bicarain ini lain waktu. Husna kembali ke kamar! Dan Hanum ... obati tanganmu."Saat itu Husna yang masih kesal, ingin protes. Namun, Thana langsung menyentaknya."Kembali ke kamarmu, Husna! Jangan buat ayah bicara 2 kali."Alih-alih langsung kembali ke kamarnya, Husna masih tidak juga beranjak. Dia masih menatap Hanum dengan penuh kebencian. Sementa
"Lukanya tidak dalam, jadi gak perlu dijahit. Jangan kena air dulu ya dan 2 hari lagi, bisa kontrol ke rumah sakit buat bersihin lukanya supaya gak membekas."Dokter mengatakan itu setelah mengobati punggung tangan Hanum. Wanita itu mengiyakan nasehat dokter dan berterima kasih. Setelah itu, dia kembali ke rumah bersama Hajin. Sesampainya di rumah, Karimah-asisten rumah tangga Hajin yang menyambut, langsung terkejut melihat tangan Hanum. "Ya Allah, Nyonya ... kenapa tangannya? Apa ini ulah Tuan?" Karimah lantas menatap dengan menyelidik pada Hajin. Karena sudah merawat Hajin bertahun-tahun, Karimah sudah seperti Bibi sendiri untuk Hajin. "Bukan aku! Memangnya apa yang bisa aku lakuin sampe bikin tangannya kayak gitu, Bi?!"Hajin mengelak. Karimah menghela napas."Ya, siapa yang tahu? Tuan dan nyonya muda kan pengantin baru dan masih semangat-semangatnya. Tuan bisa saja kelewatan.""Astaga! Yang benar saja! Aku tidak sebringas itu, Bi!" ujar Hajin menegaskan."Tolong, siapkan maka
Hanum tidur dengan tidak nyaman karena tangannya yang sakit. Dia juga belum terbiasa tidur bersama orang lain meskipun dia dan Hajin sudah pernah melakukan hal yang lebih. Melihat Hanum yang terus terjaga, Hajin ikut tidak bisa tidur. "Sakit?"Hajin bertanya dengan satu kalimat. Hanum menoleh ke samping. Dia jadi ingat pertanyaan Hajin sebelumnya, tepatnya ketika mereka selesai berhubungan untuk pertama kali. "Bapak selalu tanya begitu. Pas malam pertama, Bapak juga menanyaiku seperti itu. Apa saat menahan sakit, wajahku terlihat jelas?" Hanum basa-basi. Entah kenapa dia berharap bisa mengobrol lebih banyak dengan Hajin malam ini dan melupakan hal-hal yang sudah terjadi."Kalau gak tanya, gimana aku bisa tahu? Aku gak manusia super yang bisa tahu isi hati orang, Hanum. Jadi, kamu harus katakan kalau memang sakit atau apa pun yang kamu rasakan. Biar aku juga bisa ngambil langkah yang tepat. Sama aja kayak bisnis."Hajin menjeda ucapannya. Pria itu mulai membelai rambut Hanum dan men
Husna sudah memantau kedatangan Hanum sejak tadi. Dia memperhatikan dari jendela lantai atas dan melihat Hanum tidak berangkat bersama Hajin. Husna jadi curiga, apa benar, laki-laki yang di rumahnya kemarin adalah Hajin?Jika iya, kenapa Hanum tidak berangkat bersamanya? Untuk mencegah gosip di kantor? Hhh, omong kosong.Husna lalu kembali ke tempat duduknya. Dia kemudian memutar kursi dan menghadap ke meja Salsa. "Eh, Sal ... Pak Hajin tuh ganteng ya? Aku denger dari kenalanku, dia gak kayak yang dibicarain di kantor selama ini."Husna mencoba untuk menggali informasi. Karena selain pengkoleksi barang KW, Salsa adalah tukang gosip nomor satu di kantor ini. "Entahlah, dulu salah satu sekretaris Pak Hajin ada yang bilang dia ganteng banget. Tapi, gak lama sekretaris itu dipecat dengan alasan yang gak pasti. Setelah itu gak ada yang bicarain masalah Pak Hajin lagi. Bapak juga gak pernah nongol di acara resmi kantor. Jadi, perempuan-perempuan kantor mulai ngomong kalau Pak Hajin mungki