Aku tengah duduk di balkon kamar, sembari memandangi langit malam yang terlihat kelam. Tidak bintang yang biasa bertabur mewarnai angkasa. Gelap itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan suasana saat ini, seperti masalah yang terjadi padaku akhir-akhir ini menguras tenaga dan pikiran yang terasa semakin kusut, jalan pun terasa buntu.Pandanganku beralih pada benda pipih berukuran 5 inci yang sejak tadi kupegang, menatap foto usang yang sengaja kembali kupotret dan simpan dalam galeri foto. Andai saja Mama ada di sini, ingin rasanya aku memeluk tubuhnya dan menceritakan segala beban yang tengah menimpa. Aku tidak pernah tau bagaimana rasanya disayang oleh seseorang yang dipanggil, Mama!Ah, Mama! Air mataku seketika mengembang. Lalu, detik berikutnya luruh membasahi kedua pipi. Sejak ia pergi bersama lelaki itu aku tidak lagi pernah melihatnya. Inikah yang dirasakan Papa saat itu, ketika mengetahui Mama berselingkuh di belakangnya? Mengingat itu membuat dada ini kembali sesak."Ai,
Aku masih terpaku di depan pintu utama, sembari memandangi perempuan tersebut dengan rasa penasaran, dan berniat memanggilnya."Ma-" Kalimatku terpotong, manakala Mama mertua menyadari keberadaanku."Aini, kamu sudah datang, Nak? Ayo masuk kenapa hanya diam disitu? Mana Arya?" Mama bertanya panjang lebar begitu melihat kedatanganku, dan tak melihat Mas Arya bersamaku.Aku pun melangkah masuk dengan perasaan yang tak menentu. Entah apalagi yang direncanakan Anita, wanita licik itu."Ayo, Nak duduklah! Ini Wati Mamanya Anita," Mama memperkenalakan perempuan itu, yang kutanggapi sekedarnya. Lalu duduk di sebelah kiri Mama.Papa duduk di pojok kursi samping kanan Mama, dan Mbak Elma memilih duduk di kursi dekat Papa. Ia menatapku tak suka, sepertinya gara-gara kemarin aku enggan meminjamkan uang kepadanya. Dasar, Mbak Elma baru sekali kutolak sudah berlagak songong. Aku hanya menyeringai membalas tatapannya, membuat wajahnya semakin terlihat gusar.Sementara Anita dan perempuan itu duduk
Pergi dari rumah Mama, aku melajukan kendaraan dengan pelan. Memoryku kembali memutar ulang kejadian yang barusan terjadi. Ah, Anita kau sungguh ular berbisa sepertinya aku memang harus lebih hati-hati.Aku harus mengambil tindakan lebih cepat, senyumku mengembang kala terpikir sebuah ide untuk mengerjai perempuan tidak tahu malu itu, aku memutar mobil kembali ke rumah."Lho, Non kok pulang lagi?" tanya Bi Jana heran saat melihatku sudah berada di dapur."Hari ini, Anita akan pindah ke sini, Bi!" ucapku santai tanpa ada beban.Mendengar itu Bi Jana begitu terkejut, matanya terbelalak tak percaya."Non, Aini serius?" tanyanya dengan nada tak percaya."Iya, Bi," jawabku tertunduk lesu pura-pura sedih. Lalu kemudian tersenyum."Lho kok, Non sepertinya tidak keberetan?" Bi Jana semakin penasaran melihat ekpresi yang kuperlihatkan.Aku mendekat ke arah Bi Jana lalu membisikkan sesuatu rencana untuk mengerjai perempuan itu, Bi Jana pun manggut-manggut dan langsung tersenyum. Lalu, mengacung
"Nit, kamu kenapa?" tanya Mas Arya panik saat melihat Anita mulai menggaruk-garuk tubuhnya, dengan wajah meringis menahan rasa gatal yang luar biasa."Gak tau, Mas badan aku gatal-gatal semua, aku alergi seafood," jawab Anita sambil terus menggaruk tubuhnya yang mulai memerah.Seperti yang dibilang Mamanya Anita alergi seafood, setelah memakan seafood, tidak perlu menunggu lama tubuhnya langsung terasa gatal. Maaf ya Nit! Habisnya kamu ngeyel sih."Mas, tubuhku gatal semua, Mas," teriaknya, wajahnya terlihat seperti mau menangis. Dalam hati kasian juga, tetapi mau bagaimana lagi aku harus sedikit lebih tega agar dia kapok."Kok, kamu gak ngomong kalau, kamu alergi seafood," ucapku pura-pura tidak tahu dengan ekpresi yang sengaja kubuat-buat agar terlihat panik, dan bersalah. Dalam hati aku tertawa.Ia tidak menanggapi dan masih terus sibuk menggaruk tubuhnya.Saat tengah memperhatikan Anita tiba-tiba ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari Hani, aku sengaja janjian sama Hani. Saa
Menjelang pagi aku sudah siap untuk berangkat ke kantor dengan menggunakan setelan cardigan warna mustard yang kupadukan dengan baju kaos lengan panjang warna hitam menjadi dalamannya. Tak lupa high hils hitam melengkapi penampilan hari ini.Aku mematut diri di depan cermin memoles bedak dan lipstik dengan tipis. Setelah memastikan penampilan sempurna aku menyambar tas yang ada di atas kasur. Lalu, berjalan menuruni tangga.Hari ini akan menjadi kejutan berikutnya untuk perempuan itu, aku sudah tak sabar melihat ekpresi dari wajah ayunya. ya kuakui Anita memang cantik. Tapi, entah mengapa dia malah menyukai pria beristri. Padahal aku yakin perempuan sepertinya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih dari Mas Arya.Hari ini, juga tidak ada acara masak-masak, Bi Jana sudah sepakat dengan rencana yang akan kulakukan. Saat kaki ini tinggal tiga langkah lagi menuruni tangga menuju lantai bawah, terdengar ribut-ribut di ruang tamu. Entah apa yang terjadi?aku pun bergegas menuju ruang tamu, t
Aku mulai melajukan mobil dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah menuju jalan raya. "Bi, kita cari sarapan dulu ya," ucapku seraya membelokan mobil menuju bubur ayam langganan yang terletak di perempatan jalan lampu merah."Baik, Non. Bibi ngikut aja!" balas Bi Jana.Sesampainya di sana aku segera memarkirkan mobil, selain tempatnya yang bersih bubur ayam di sini lapangan parkirnya juga luas, banyak pengunjung yang suka datang ke sini, bubur ayamnya juga enak.Aku dan Bi Jana pun keluar dari dalam mobil memesan dua mangkuk bubur ayam plus dua gelas teh manis panas. Setelah memesan makanan aku dan Bi Jana mengambil meja yang dekat ke pintu luar, tidak lama pesanan pun datang pelayan laki-laki yang sekitar berusia 18 tahun itu tersenyum ramah."Enak ya, Non buburnya," ucap Bi Jana setelah mencicipi buburnya."Iya, Bi," balasku."Aini, kamu Ainikan?" tiba-tiba seorang lelaki dengan setelan jas hitam datang dan menyebut namaku."Suka makan bubur ayam di sini juga?" tanya tiba-tiba me
Tubuhku terlonjak kaget manakala Mas Arya membanting pintu kamar dengan begitu kuat. Ia benar-benar marah karena kartu ATM dan kreditnya kublokir. Entah apa yang diminta perempuan itu hingga Mas Arya begitu marah saat ia tak bisa memenuhinya.Darah ini sungguh terasa mengalir semua ke kepala, geram bukan main atas prilaku Mas Arya yang sok berkuasa dan berani membentakku demi perempuan itu.Aku bangkit dari kursi berniat menyusul Mas Arya ke dalam kamar dan memakinya habis-habisan, kalau mau bercerai malam ini juga, ayo! Aku sudah siap menjada dari pada hidup bersama, tetapi tidak ada kebahagian. Tanganku sudah terkepal, ingin rasanya kutinju wajah Mas Arya yang mengesalkan itu.Saat langkah ini sudah hampir tiba di depan pintu, Anita pun keluar dengan wajah kesal."Mbak apa-apaan, memblokir kartu Mas Arya segala?" ucapnya emosi."Kalian yang apa-apaan, tinggal di rumahku tapi seenaknya, dasar benalu." Keluar sudah muntab dalam hati ini.Anita tersenyum sinis dan menyilangkan tanganny
Pagi-pagi sekali Anita sudah ribut karena mendapati Mas Arya pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan, sepertinya Mas Arya mabuk. Aku yang lagi duduk santai di teras depan pura-pura tidak melihat, dan terus sibuk membaca koran, melihat berita yang di muat hari ini.Mas Arya berjalan sempoyongan, aroma alkohol mengusik indra penciumanku. Tiba di depan pintu, tubuh Mas Arya terjatuh dan tak sadarkan diri, Anita pun kaget."Mbak, tolongin, Mas Arya!" teriaknya gelagapan, seperti melihat orang yang mati saja."Ya tinggal diangkat, Nit," ucapku santai, pandangan mataku tetap fokus pada koran yang kupegang. "Jangan mau enaknya saja! Giliran Mas Arya kayak gitu gak mau ngurusnya," cicitku yang masih tetap fokus membolak-balik koran yang kupegang.Aku tidak peduli ekpresi apa yang akan ditunjukkannya, dan aku juga tidak peduli Mas Arya mau pingsan ataupun mati sekalian. Hatiku begitu sakit menerima perlakuan kasarnya kemarin sore. Lelaki lemah lembut dan penuh perhatian itu kini sudah ber