Berawal dari niat hanya ingin menolong, tetapi malah terjebak dalam perangkap Anita. Malam itu kebetulan aku lembur, kulihat Anita juga belum pulang. Karena merasa kasian akhirnya aku mengantarnya pulang."Mampir dulu, Mas!" ajak Anita sambil tersenyum saat kami tiba di apartemennya."Gak usah, aku masih ada urusan," kilahku."Sebentar saja, kran air saya mati. Tolong bantu benerin Mas!"Akhirnya aku turun dari mobil dan mengecek kran air yang disebutkan Anita. Setelah selesai aku buru-buru pamit."Minum dulu, Mas! Mas pasti capek."Aku ingin menolak, tetapi Anita malah menyodorkannya ya sudahlah cuma air putih. Aku pun meneguknya. Tidak berapa lama kepalaku terasa pusing dan pandanganku terasa gelap. Setelah itu aku tidak lagi ingat apa-apa.Menjelang subuh, aku terbangun. Betapa terkejutnya aku, melihat Anita terisak. Pintu depan di gedor seperti akan lepas dari engselnya. Anita beranjak membukakan pintu, setelahnya lelaki yang tak kukenal tiba-tiba memukulku. Sementara yang kuyaki
Saat tengah mengangkat telpon, aku begitu kaget melihat mobil Aini terparkir di depan gedung kantor. kupikir saat ini ia pasti tengah menuju ruanganku. Panik bercampur cemas seketika memenuhi kepala, bagaimana tidak sementara di dalam sana ada Anita.Aku pun buru-buru menyudahi sambungan telpon dan segera kembali ke ruangan. Tiba disana aku tidak mendapati Aini berada di sana, syukurlah. Tapi, kenapa Anita menangis? Anita bahkan terlihat seperti orang yang sedang ketakutan. Begitu melihatku datang ia langsung menghambur ke dalam pelukan, dan menceritakan hal yang baru saja terjadi."Apa kamu mengenalinya?" tanyaku saat Anita mulai tenang, ia hanya menggeleng. Karena Anita bilang orang tersebut menggunakan masker dan menutupi kepalanya dengan topi baju. Aku sangat yakin kalau itu adalah Aini. 'Gawat' batinku.Ternyata benar setelah pulang dari kantor sikap Aini begitu dingin ia tidak menyambut kepulanganku seperti biasanya.Bahkan saat tengah makan malam pun ia masih tetap memilih di
Setelah Bi Jana pergi, aku mencoba berbicara dengan Aini. Memberi perhatian seperti biasanya. Tetapi, Aini masih bergeming tidak menanggapi. Ia kembali berbaring, sambil membelakangiku. Rasanya aku hampir putus asa melihat Aini diam seperti itu."Maafkan, Mas, Ai. Apa yang harus, Mas lakukan agar kamu mau memaafkan, Mas?" tanyaku sedih. "Maafkan, Mas telah mengkhianati pernikahan kita, dan menyakiti hatimu." Aku kembali berucap, mataku terasa berkaca-kaca. Aini tergugu, membuatku semakin bersalah.Aku pun menceritakan panjang lebar pada Aini kenapa aku sampai bisa menikah dengan Anita. Semua karena kebodohanku. Hanya isak yang semakin jelas terdengar dari bibir Aini. Akhirnya ia berkata lirih dan ingin minta cerai. Seketika aku memeluk tubuhnya dari belakang, air mataku jatuh mengenai wajahnya. Tidak! Aku tidak ingin bercerai darinya sampai kapanpun dia tetap Ainiku. Kami pun menangis bersama dalam guguan yang semakin pilu.***Aini kembali tertidur, mungkin ia kelelahan karena terlal
"Sekarang pilih, aku atau wanita itu," ucapku dengan penuh emosi, Mas Arya hanya tertunduk lesu, bibirnya bungkam."Hem ... Sudah kuduga, kamu gak bisa milihkan, Mas?" Sergahku, lalu aku pun pergi meninggalkan Mas Arya dalam kebisuan.Entah apa yang ada dalam pikiran Mas Arya aku pun tak tau, dan apa alasannya ingin tetap mempertahankan semuanya, apakah Mas Arya punya rencana lain? Ah entahlah, yang jelas aku tidak boleh lengah.Aku memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju butik. Selama di perjalanan pikiranku kembali memutar memory bersama Mas Arya sebelum badai menghantam nahkodah rumah tangga kami. Mataku kembali berkaca-kaca, aku segera menghapusnya dengan kasar sebelum benar-benar jatuh membasahi kedua pipiku.Sampai di butik aku memarkirkan mobil, menatap arloji pada pergelangan tangan pukul menunjukkan 07 lebih 45. Sebelum membuka butik aku menyempatkan ke Indo*aret di seberang jalan. Tadi sarapanku sempat terganggu karena tamu tak diundang. Aku ingin mencari cemilan ringan.
Tiba di rumah, aku melihat Mas Arya tengah duduk di atas sofa ruang tamu. Rasanya malas sekali bertemu dengannya. Sementara Mas Arya begitu melihat kedatanganku ia segera bangkit, dan tersenyum. Ah, kenapa hari ini dua manusia mengesalkan itu selalu muncul dihadapanku, sepertinya aku harus mulai berpura-pura dan bermain cantik.Tanpa menghiraukannya, aku melangkah begitu saja, menuju kamar yang terletak di lantai dua. Tak mau menyerah Mas Arya pun berjalan mengekor dari belakang.Aku sedang tidak ingin berbicara apalagi berdebat, capek rasanya membahas sesuatu yang tidak berkesudahan. Aku menekan handle pintu, lalu masuk ke dalam kamar."Ai ...," sapa Mas Arya saat kami telah masuk ke dalam kamar.Aku hanya melambaikan tangan tanpa menoleh ke arahnya dan masuk ke kamar mandi. Aku butuh sesuatu yang membuat pikiran tenang bukan sesuatu yang membuat pikiran semakin ruwet, dan kacau.Berendam dalam bathup dengan aroma bunga mawar seperti yang sering kulakukan membuat pikiran sedikit tena
Aku tengah duduk di balkon kamar, sembari memandangi langit malam yang terlihat kelam. Tidak bintang yang biasa bertabur mewarnai angkasa. Gelap itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan suasana saat ini, seperti masalah yang terjadi padaku akhir-akhir ini menguras tenaga dan pikiran yang terasa semakin kusut, jalan pun terasa buntu.Pandanganku beralih pada benda pipih berukuran 5 inci yang sejak tadi kupegang, menatap foto usang yang sengaja kembali kupotret dan simpan dalam galeri foto. Andai saja Mama ada di sini, ingin rasanya aku memeluk tubuhnya dan menceritakan segala beban yang tengah menimpa. Aku tidak pernah tau bagaimana rasanya disayang oleh seseorang yang dipanggil, Mama!Ah, Mama! Air mataku seketika mengembang. Lalu, detik berikutnya luruh membasahi kedua pipi. Sejak ia pergi bersama lelaki itu aku tidak lagi pernah melihatnya. Inikah yang dirasakan Papa saat itu, ketika mengetahui Mama berselingkuh di belakangnya? Mengingat itu membuat dada ini kembali sesak."Ai,
Aku masih terpaku di depan pintu utama, sembari memandangi perempuan tersebut dengan rasa penasaran, dan berniat memanggilnya."Ma-" Kalimatku terpotong, manakala Mama mertua menyadari keberadaanku."Aini, kamu sudah datang, Nak? Ayo masuk kenapa hanya diam disitu? Mana Arya?" Mama bertanya panjang lebar begitu melihat kedatanganku, dan tak melihat Mas Arya bersamaku.Aku pun melangkah masuk dengan perasaan yang tak menentu. Entah apalagi yang direncanakan Anita, wanita licik itu."Ayo, Nak duduklah! Ini Wati Mamanya Anita," Mama memperkenalakan perempuan itu, yang kutanggapi sekedarnya. Lalu duduk di sebelah kiri Mama.Papa duduk di pojok kursi samping kanan Mama, dan Mbak Elma memilih duduk di kursi dekat Papa. Ia menatapku tak suka, sepertinya gara-gara kemarin aku enggan meminjamkan uang kepadanya. Dasar, Mbak Elma baru sekali kutolak sudah berlagak songong. Aku hanya menyeringai membalas tatapannya, membuat wajahnya semakin terlihat gusar.Sementara Anita dan perempuan itu duduk
Pergi dari rumah Mama, aku melajukan kendaraan dengan pelan. Memoryku kembali memutar ulang kejadian yang barusan terjadi. Ah, Anita kau sungguh ular berbisa sepertinya aku memang harus lebih hati-hati.Aku harus mengambil tindakan lebih cepat, senyumku mengembang kala terpikir sebuah ide untuk mengerjai perempuan tidak tahu malu itu, aku memutar mobil kembali ke rumah."Lho, Non kok pulang lagi?" tanya Bi Jana heran saat melihatku sudah berada di dapur."Hari ini, Anita akan pindah ke sini, Bi!" ucapku santai tanpa ada beban.Mendengar itu Bi Jana begitu terkejut, matanya terbelalak tak percaya."Non, Aini serius?" tanyanya dengan nada tak percaya."Iya, Bi," jawabku tertunduk lesu pura-pura sedih. Lalu kemudian tersenyum."Lho kok, Non sepertinya tidak keberetan?" Bi Jana semakin penasaran melihat ekpresi yang kuperlihatkan.Aku mendekat ke arah Bi Jana lalu membisikkan sesuatu rencana untuk mengerjai perempuan itu, Bi Jana pun manggut-manggut dan langsung tersenyum. Lalu, mengacung