Share

Bab 4

Author: Aida Ayu
last update Last Updated: 2021-09-01 17:13:47

Wira Adi Winata, seorang pengusaha kaya yang tinggal di Bandung. Badan tegapnya masih terlihat di usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Senyumnya ramah. Tapi sorot matanya terlihat tajam mencerminkan kalau dia seorang yang tegas dan berwibawa. Sosok dan pembawaannya sangat mirip dengan Arga. Sedangkan istrinya Lusiana Andita, seorang wanita keibuan. Tutur katanya lemah lembut. Senyumnya semakin manis dengan lesung pipi di kedua pipinya. Anggi sangat mengagumi mama mertuanya itu. Dia ingin jadi istri dan seorang ibu seperti mama Lusi.

Anggi bergegas keluar menyambut kedua mertuanya. Dia langsung mencium tangan papa dan mamanya. Dan Bu Lusi pun langsung memeluk menantu kesayangannya itu.

"Mama kangen sama kamu, sayang," bisik mama di telinga Anggi.

"Aku juga kangen banget sama mama, maaf ya ma, aku udah lama nggak nengokin mama sama papa," balas Anggi masih dalam pelukan mama mertuanya.

"Tidak apa-apa, sayang. Yang penting kalian berdua sehat."

"Ayo masuk, pa, ma," ajak Anggi segera.

Mereka ngobrol di ruang keluarga sambil menikmati teh dan beberapa potong kue yang Anggi beli di toko kue pagi tadi.

Tidak terasa sudah masuk waktunya makan siang. Anggi mengajak suami dan mertuanya untuk menikmati hidangan yang sudah dia siapkan tadi.

***

Rencananya papa dan mama mertuanya itu mau menginap selama seminggu. Anggi senang karena hari-harinya sekarang jadi ramai. Apalagi Anggi dan mama memiliki hobi yang sama yaitu, memasak. Setiap hari mereka memasak bersama sambil berbincang tentang apa saja. Tentang Arga waktu kecil, tentang keadaan dunia saat ini, tentang bencana alam yang sedang terjadi di mana-mana. Dan tentang apa saja yang kebetulan mereka ingat. Terkadang mereka membicarakan hal yang serius dengan selingi beberapa perbincangan ringan yang mengundang canda dan tawa, Anggi bahagia sekali. Mama adalah teman bicara yang menyenangkan. Dan yang paling membuat Anggi bahagia selama ada mertuanya dirumah, yaitu sikap Arga jadi baik kepadanya. Walaupun itu cuma kalau didepan papa dan mama saja. Kalau di dalam kamar sikap Arga kembali dingin dan sinis. Kadang Anggi mau berontak, kadang Anggi mau pergi dari rumah itu. Tapi itu berarti dia akan membuka aibnya sendiri. Biarlah hatinya disakiti, tapi selama Arga tidak menyakitinya secara fisik Anggi akan terus bertahan. Toh semua ini salahku, pikirnya.

***

Siang itu Anggi dan mama sedang duduk-duduk di halaman belakang. Tiba-tiba mama menanyakan sesuatu yang cukup menusuk hati Anggi.

"Kapan rencananya kalian punya anak? Cobalah kalian konsultasikan ke dokter ahli kandungan, mungkin ada masalah dalam diri kalian. Biar cepat di atasi masalahnya. Mumpung kalian masih muda."

'Bagaimana aku bisa hamil kalau Mas Arga tidak pernah menyentuhku,' batin Anggi. "Nantilah, ma. Mas Arga-nya masih sibuk dengan restorannya. Takutnya nanti malah mengganggu konsentrasinya."

"Iya sih, tapi jangan kelamaan juga. Nanti kalian keburu tua malah akan lebih susah buat mengatasinya kalau memang ada masalah."

"Iya, ma, nanti aku bicarakan dengan Mas Arga," jawab Anggi sekenanya. Padahal tidak mungkin Anggi membicarakan masalah ini ke Arga. Jawabannya pasti menyakitkan. "Jijik aku menyentuhmu!" itu jawaban yang akan Anggi terima dan akhirnya hanya akan membuat hatinya terluka dan menangis.

Mas Arga memang tidak pernah memukulku, tapi kata-katanya yang tenang sering membuat hatiku seperti di pukul dengan gada yang sangat besar, sering membuat hatiku seperti di sayat-sayat seribu pisau. Sedikit kata-kata, tapi menyakitkan. Mungkin dia berpikir itu hukuman yang pantas buatku, buat seorang perempuan yang tidak bisa menjaga kesuciannya.

"Ada apa, Anggi?" Panggil mama membuyarkan lamunan Anggi. "Kok, tiba-tiba kamu melamun?"

"Ah, nggak kok, ma. Nggak ada apa-apa."

"Tapi kok sepertinya wajah kamu jadi sedih seperti itu? Apa kata-kata mama menyinggung perasaan kamu?" tanya mama dengan perasaan bersalah.

"Nggak kok, ma. Aku nggak apa-apa," jawab Anggi dengan gugup.

"Ya sudah, mama minta maaf. Kita bicara masalah yang lain saja ya?"

"Nggak apa-apa, ma. Mama nggak salah kok."

Setelah itu ibu mertunya langsung mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Lama mereka mengobrol berdua, sampai akhirnya mereka menyadari hari sudah menjelang sore. Mereka pun segera mandi dan menyiapkan makan malam.

Tidak banyak yang dibicarakan saat makan malam. Hanya obrolan-obrolan ringan saja. Mungkin ibu mertuanya itu takut  ada kata-kata yang menyinggung perasaan menantunya. Ibu mertuanya takut seperti tadi siang. Ibu mertuanya melihat perubahan di wajah Anggi saat dia menyinggung soal anak.

***

Di kamar malam itu Anggi berusaha mengajak Arga untuk mengobrol.

"Mas, tadi siang mama membicarakan masalah anak sama aku. Mama bertanya kapan kita merencanakan punya momongan." Arga yang sudah berbaring di sofa langsung bangun dan melihat ke arah Anggi dengan tatapan dingin.

"Mama menyarankan kita Konsul ke dokter kandungan. Kata mama mumpung kita masih muda, masih banyak kesempatan."

"Jangan memulai pembicaraan yang akan menyakiti dirimu sendiri," jawab Arga dingin dan kaku.

"Aku cuma menyampaikan kata-kata mama tadi siang, mas."

"Nggak perlu kamu sampaikan, kamu udah tau jawabannya, dan itu akan membuat kamu menangis. Cengeng!"

"Apa udah nggak ada maaf untukku, mas? Udah beratus-ratus kali aku minta maaf. Aku benar-benar nggak sengaja."

"Tapi kenapa kamu nggak cerita sejak awal? Kamu sengaja mau menipuku?"

"Nggak ada sedikitpun niat aku menipu kamu, mas. Aku udah coba untuk menolak, tapi mas yang terus memaksa."

"Karena aku nggak tau keadaanmu. Kalau aku tau mana mungkin aku mau dengan perempuan yang tidak bisa menjaga kesuciannya, jijik aku!"

Perlahan air mata mulai menetes dari sudut-sudut mata Anggi. Sakit sekali mendengar kata-kata suaminya itu. Hatinya benar-benar hancur. Dia jadi ingat Bimo. Andai Bimo masih ada. Ah, Anggi berusaha menepis bayang-bayang Bimo, karena itu akan lebih menyakitkan dan membuat hatinya makin hancur.

"Aku nggak tau siapa aja yang udah menyentuhmu, aku nggak tau siapa aja yang udah menidurimu."

"Mas! Tega kamu bicara seperti itu sama istrimu sendiri. Aku udah ceritakan apa yang udah terjadi sama aku. Cuma kekasihku Bimo yang udah menyentuhku, itupun nggak disengaja."

"Itukan cerita kamu, aku nggak tau kebenarannya."

"Aku berani bersumpah. Cerita aku itu semua benar. Aku udah jujur sama kamu."

"Udah jangan diteruskan pembicaraan ini. Udah aku bilang jangan nangis. Nanti matamu bengkak. Aku nggak mau orangtuaku bertanya-tanya. Nanti mereka sangka aku udah jahat sama kamu, padahal kenyataannya kamu yang udah berbuat jahat sama aku!"

"Udah tidur sana, jangan nangis terus. Aku benci perempuan cengeng. Bisanya cuma nangis. Air mata dijadikan senjata untuk dikasihani," lanjut Arga melihat Anggi diam saja dan terus menangis.

Akhirnya Anggi memutuskan untuk menghentikan pembicaraan tersebut. Karena dia juga tidak mau mertuanya melihat matanya bengkak karena menangis semalaman.

Anggi berusaha untuk tidak menangis dan dia juga berusaha untuk tidur, karena besok ibu mertuanya akan mengajaknya untuk menemani belanja ke mal. Ada beberapa barang yang mau ibu mertuanya itu beli. Anggi tidak mau kalau matanya bengkak dan badannya lemas karena kurang tidur. Tapi sekeras apapun dia berusaha untuk tidur, matanya sulit sekali terpejam. Kata- kata  Arga terngiang terus dipikirannya. Menyakitkan mendengar tuduhannya kalau ada beberapa laki-laki yang sudah tidur dengannya. Akhirnya sudah hampir subuh barulah ia bisa tertidur.

***

Tidak terasa seminggu sudah kedua mertuanya itu menginap di rumahnya. Sekarang tiba saatnya mereka pulang ke Bandung. Akhirnya Anggi kembali kekehidupannya semula. Sepi. Cuma berdua suaminya yang selalu bersikap dingin dan selalu menyakitkan disetiap kata-katanya. Sampai kapan ini akan berlangsung? Apa akan selamanya rumah tangganya akan seperti ini? Ataukah akan terjadi perpisahan nantinya? Anggi ingin rumah tangga yang normal, seperti orang lain. Seperti teman-temannya yang bahkan sudah banyak yang memiliki momongan. 'Akankah aku kuat untuk bertahan?' Batinnya sedih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Noda Di Awal Pernikahan   Bab 22

    Arga dan Pak Wira terus asyik ngobrol sambil menunggu Anggi dan Bu Lusi berbelanja. Berbagai macam topik obrolan mereka bahas. Sampai akhirnya Pak Wira menanyakan sesuatu yang membuat Arga agak terkejut."Ada sesuatu yang ingin papa tanyakan sama kamu," tanya Pak Wira dengan wajah serius. Hingga membuat Arga deg-degan. Dan Arga bisa menebak ke arah mana pembicaraan papanya."Tanya soal apa, pa?" tanya Arga dengan wajah polos. Otaknya berpikir keras untuk menyiapkan jawaban apa yang akan dia berikan untuk papanya."Maaf kalau papa tanyakan soal ini ke kamu. Papa harap kamu nggak tersinggung. lebih baik papa tanyakan ke kamu daripada nanti mama yang menanyakan kepada Anggi," lanjut Pak Wira hati-hati."Nggak apa-apa, pa. Tanyakan aja. Aku nggak akan tersinggung." Arga berusaha menahan gemuruh di dadanya."Kapan kamu dan istrimu merencanakan untuk punya momongan? Udah cukup waktu untuk kalian

  • Noda Di Awal Pernikahan   Bab 21

    Keesokan paginya, mereka di bangunkan oleh kicau burung di halaman belakang. Ya, karena kamar Arga letaknya dekat dengan halaman belakang. Bahkan jendela kamar Arga menghadap ke arah sana. Anggi segera bangkit dan membuka gorden jendela kamar. Sinar matahari lembut menembus masuk lewat jendela. Lalu Anggi membuka jendela kamar lebar-lebar. Harum wangi bunga menyeruak masuk. Harum rerumputan yang di basahi embun pagi menambah segar udara di pagi itu. Kabut masih sangat tebal. Menambah segar dan damai suasana pagi itu. Tidak lama kemudian aroma harum kue dari dapur menyusul masuk ke dalam kamar. 'itu pasti mama sedang membuat kue dan menyiapkan sarapan.' batin Anggi.Matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri. Sinarnya yang lembut menyentuh kelopak mata Arga. Arga terbangun dan membuka matanya. Dia melihat istrinya sedang berdiri di depan jendela kamar sambil memandangi keindahan halaman belakang rumah."Selamat pagi, sayang," sap

  • Noda Di Awal Pernikahan   Bab 20

    Selesai makan dan berbincang sebentar di ruang tengah, Arga dan Anggi pamit untuk istirahat. Mereka berdua segera bersih-bersih dan berganti pakaian dengan baju tidur. Anggi telah menyiapkan baju tidur kesayangannya. Sebuah gaun tidur tipis berwarna ungu, yang menampakkan keindahan tubuh Anggi yang langsing semampai. Membuat jantung Arga berdebar tak beraturan. Arga memandangi istrinya itu tanpa berkedip, seakan dia baru menyadari kalau istrinya itu sangat cantik dan seksi.Perlahan Anggi naik ke tempat tidur. Dia menghampiri suaminya yang sudah menunggunya disana. Anggi langsung masuk kedalam pelukan Arga. Mereka saling berpelukan mesra. Arga mengecup wajah istrinya itu. Lalu turun ke leher dan seterusnya ke seluruh bagian tubuh Anggi. Anggi menikmatinya. Dia mulai mendesah pelan. Akhirnya bibir mereka berpagut pelan dan lama kelamaan mulai dipenuhi nafsu. Mereka pun bersatu dalam nafsu yang sudah tidak bisa mereka kendalikan. Saling memberi dan men

  • Noda Di Awal Pernikahan   Bab 19

    Arga dan Anggi tiba di rumah orangtuanya sudah hampir jam makan siang. Pak Wira dan Bu Lusi senang sekali menyambut kedatangan mereka. Bu Lusi langsung memeluk anak dan menantunya itu secara bergantian. Sangat jelas terlihat rasa kangen di hatinya."Kok, lama sekali baru sampai? Mamamu tuh udah nggak sabar dari tadi. Sebentar-sebentar melihat keluar. Udah seperti nunggu pacar aja," ledek Pak Wira kepada istrinya."Papa! Ngeledek mama aja. Wajar kan mama kangen sama anak-anak kesayangan mama," jawab Bu Lusi sambil tersenyum malu."Iya, ma. Tadi kami jalannya santai. Sambil menikmati suasana pagi di jalan. Aku dan Anggi juga tadi berhenti di rest area untuk sarapan dan ngopi." Arga menjawab pertanyaan mamanya."Apa kabar kalian berdua?" Tanya Pak Wira kepada Arga dan Anggi."Alhamdulillah baik, Pa." Jawab Arga sambil bergayut manja di bahu mamanya.

  • Noda Di Awal Pernikahan   Bab 18

    Jalanan masih belum terlalu ramai oleh kendaraan yang lalulalang. Mungkin karena hari masih sangat pagi. Matahari pun belum menampakan wajahnya. Masih malu-malu mengintip di balik awan. Udara pagi masih sangat dingin. Embun masih bergulir di atas dedaunan. Damainya suasana di pagi hari. Sejuk.Anggi menikmati suasana pagi dari dalam mobil. Dia duduk tenang sambil menikmati pemandangan di jalan raya. Di sampingnya duduk Arga yang sedang mengendarai mobilnya dengan santai, karena jalan masih sepi, belum ramai oleh kendaraan. Sengaja mereka berangkat pagi-pagi sekali. Untuk menghindari kemacetan.Saat ini mereka hendak pergi liburan ke rumah orangtua Arga di Bandung. Mereka pergi menggunakan kendaraan pribadi, karena mereka hendak menikmati perjalanan liburan mereka. Mereka ingin berhenti di mana mereka mau. Mereka bisa belanja dan makan dimana saja mereka mau. Sedangkan kalau naik kereta atau bis tidak bisa seperti itu.Untuk Arga dan Anggi ini perjala

  • Noda Di Awal Pernikahan   Bab 17

    Jam di dinding rumah Arga sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat dia pulang. Arga masuk menggunakan kunci cadangan yang dia bawa. Sengaja dia tidak memencet bel karena takut mengganggu tidur istrinya. Setelah masuk ke dalam rumah, Arga melihat istrinya yang tertidur di sofa, sedangkan televisi masih menyala.Arga memandangi wajah istrinya dengan perasaan bersalah. Rasanya ingin dia menangis di pangkuan istrinya dan meminta maaf atas semua kesalahannya. Tapi itu tidak mungkin dia lakukannya. Arga mengecup kening istrinya itu sehingga istrinya itu terbangun."Mas Arga, udah pulang?" Anggi kaget, dia memandangi suaminya sambil mengerjapkan matanya. Penglihatannya masih buram karena baru saja terbangun dari tidurnya."Maaf mas, aku nggak denger mas pulang." Masih terhuyung-huyung Anggi bergegas ke ruang makan hendak menyiapkan makan malam untuk suaminya."Aku panaskan dulu makanannya ya, mas. Pasti udah dingin. Aku tadi udah siapin makanan kesukaan mas Ar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status