Share

Bab 6

Beberapa menit melalui jalanan komplek perumahan tempat tinggalnya, mobil Arga mulai memasuki jalan raya. Saat itu jalanan masih agak padat. Mungkin banyak orang-orang yang baru pulang kerja, dan hampir semua dari kendaraan bermesin itu saling berebut celah sehingga menambah kemacetan lalulintas. Ada beberapa orang yang tidak sabar kemudian membunyikan klakson terus menerus. Belum lagi kendaraan umum yang mengambil dan menurunkan penumpang seenaknya, semua menambah kekacauan. Ada juga yang agak emosi dan selalu berdecak kesal. Mungkin karena mereka sudah lelah dengan pekerjaan kantor, ditambah lagi masalah-masalah di kantor yang bikin stres. Sungguh pemandangan yang tidak menyenangkan.

Tapi berbanding terbalik dengan yang terjadi di hati Niki. Dia tidak mengerti dengan perasaannya. Kenapa dia merasa tenang dan nyaman berada di dalam mobil Arga. Apa mungkin karena mobilnya nyaman dan ber-AC sehingga membuat dia tidak terganggu dengan keadaan di jalan saat itu? Hatinya berusaha mencari-cari penyebab ketenangan yang dia rasakan saat itu. Tapi sepertinya bukan seperti itu kenyataannya. Biasanya juga dia suka naik mobil yang lebih bagus dari mobil Arga tapi rasanya tidak senyaman ini. Hati Niki terus berbicara. Sepertinya ada rasa lain yang dia rasakan berada berduaan dengan Arga di dalam satu mobil. Apakah rasa yang dulu dia rasakan masih ada? Huh! Buang jauh-jauh Rasa itu, Niki. Rasa itu tidak boleh ada lagi sekarang, karena Arga sudah menjadi suami Anggi. Jantung Niki terus berdetak kencang dan iramanya tidak teratur. Dia berusaha mengalihkan pikirannya ke jalan yang masih ramai. Dia tidak mau kalau perasaannya makin ngelantur kemana-mana.

"Kok ngelamun?" Pertanyaan Arga membuat Niki terkejut dan membuyarkan lamunannya.

"Nggak kok mas, lagi menikmati lagu yang mas putar." Niki menjawab spontan sekenanya saja.

"Menikmati lagu sih sampai ngelamun?" goda Arga sambil tersenyum "Mikirin pacar ya?"

"Nggak mas, aku nggak punya pacar. Nggak ada yang mau," canda Niki sambil tertawa.

"Ah, kamu bisa aja. Pasti banyaklah yang mau sama gadis secantik dan sebaik kamu."

Rasanya Niki mau menari-nari mendengar pujian dari Arga.

"Ah, mas Arga bisa aja," jawab Niki dengan malu, dan rasanya kini tengah ada rona merah di wajah Niki akibat perasaan senangnya saat itu.

Niki berusaha membuang pandangannya keluar jendela mobil untuk mengalihkan pikirannya.

"Anggi juga cantik," balas Niki salah tingkah.

"Ya, Anggi cantik, sangat cantik. Dia baik, lembut, rajin dan dia seorang istri yang sangat pengertian. Buktinya sekarang, dia mengijinkan suaminya mengantarkan perempuan lain pulang malam-malam tanpa dia merasa curiga sedikitpun. Makanya aku sangat mencintainya."

Niki bingung mendengar jawaban Arga. Kok jauh berbeda dengan cerita Anggi? Anggi bercerita kalau suaminya membencinya, tapi jawaban Arga tadi berbanding terbalik dengan cerita Anggi. Niki jadi penasaran. Sepertinya aku harus lebih banyak mengorek cerita dari kedua pasangan ini. Gumam Niki dalam hati. Walau ada sedikit rasa cemburu di hatinya mendengar kata-kata Arga tadi, tapi rasa penasarannya menutupi rasa cemburunya itu.

"Tuh kan, melamun lagi. Kenapa? Nggak suka ya ngobrol sama saya?"

"Oh, maaf mas. Bukan begitu mas, aku cuma lagi konsentrasi liat jalan, takut kelewat jalan rumahku."

"Memang masih jauh rumahmu?"

"Itu di depan mas, di dekat jembatan belok kanan. Itu rumahku udah keliatan, yang cat hijau."

"Oh, disini rumahmu? Nyaman juga lingkungannya. Kamu tinggal berdua sama ibumu?"

"Iya mas, ayo mampir mas, biar ku kenalkan sama mama."

"Terimakasih, lain kali aja, udah malam."

"Nggak mau nyobain teh buatanku? Kebetulan juga tadi pagi mama bikin kue."

"Terimakasih, kapan-kapan aja aku main kesini," tolak Arga sopan. "Salam aja sama mamamu."

"Baik mas, nanti aku sampaikan. Terimakasih ya mas, udah nganterin aku, salam sama Anggi."

"Ok!"

"Hati-hati di jalan, mas."

"Yups, selamat istirahat."

Mobil Arga perlahan meninggalkan Niki yang masih berdiri di depan rumahnya. Ada rasa bahagia yang berbeda di hati Niki. Niki masih berdiri di depan rumah sambil senyum-senyum sendiri, dia tidak menyadari mamanya sudah berdiri  di sampingnya. Sentuhan tangan mama di pundaknya mengejutkannya.

"Mama!" Pekiknya terkejut.

"Kamu ngapain berdiri disini sambil senyum-senyum?" Mama melihat wajah Niki dengan pandangan menyelidik.

"Siapa yang mengantarmu tadi? Pacarmu?"

"Ah mama, ngeledek ya? aku kan nggak punya pacar." Niki bergelayut manja di bahu mamanya sambil mengajak mamanya masuk ke dalam rumah.

"Habis mama liat kamu senyum-senyum  sendiri, jadi mama pikir itu pacar kamu."

"Bukan ma, itu mas Arga, suaminya Anggi. Tadi aku pulang kemalaman, jadi Anggi menyuruh suaminya untuk mengantarkan aku."

"Hati-hati jalan dengan suami orang, nanti mendatangkan fitnah." Mama mengelus pipi Niki dengan penuh rasa sayang.

"Iya ma, Niki tau batasan kok. Lagian mas Arga itu kan suami sahabat Niki, mana mungkin Niki macem-macem."

"Jangan meremehkan cinta. Cinta bisa datang kapan saja dan pada siapa saja."

"Iya ma, tapi aku janji nggak akan ada apa-apa antara aku sama Mas Arga. Kami sama-sama bisa jaga diri."

"Mama cuma ingatkan satu hal, jangan pernah main api, karena kamu pasti terbakar nanti!"

"Iya, mamaku sayang, percaya deh sama anakmu yang cantik ini." Niki tersenyum dan bergelayut manja kepada mamanya.

"Mama percaya sama bidadari kecil mama yang paling cantik sedunia ini. Ya sudah bersih-bersih sana, sudah malam.  Mama hangatkan makan malam untuk kamu ya!" Mama tersenyum lembut.

"Nggak usah ma, aku udah makan tadi. Aku mau istirahat aja."

"Ya sudah istirahat sana. Besok kan kamu harus kerja."

***

Malam itu sepertinya Niki akan mimpi indah. Ah, hari yang menyenangkan. Senyum Niki mengantarkan tidurnya malam itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status