Semalam Candra benar-benar tidak pulang. Padahal Mitha menunggu kedatangan suaminya semalaman. Bahkan dia sampai harus tertidur di ruang tamu.Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kini akhirnya Candra pulang ke rumah dengan masih memakai pakaian yang sama seperti semalam. “Sudah pulang, Mas?” sapa Mitha. Dia berusaha untuk bersikap normal. Mitha tidak ingin mengungkit kembali kejadian semalam. Sudah cukup sakit rasanya dia berdebat dengan suaminya. Sebenernya pertengkaran rumah tangga ini sudah berlangsung hampir satu tahun. Mereka sering kali meributkan hal yang sepele. “Iya.” Candra menjawab dengan sangat singkat. “Sudah sarapan? Aku sudah buatkan tumis cumi kemangi kesukaannya Mas.”“Nanti, aku mandi dulu,” jawabnya. Kemudian dia segera masuk ke kamar. Mitha tersenyum simpul. Kemudian dia kembali dengan pekerjaan rumahnya. Tidak lama Candra keluar dari kamar mandi. Kemudian segera menuju ruang makan. Mitha yang melihat suaminya sudah bersiap untuk makan, langsung sigap m
Kondisi Mitha dan Candra masih dalam mode perang dingin. Padahal sudah hampir satu minggu berlalu. Di rumah, mereka berdua tak banyak bertegur sapa. Bahkan Candra terkesan menghindar dari Mitha. Namun, siang ini tiba-tiba ponsel Mitha berdering. Wanita yang kini sedang menatap layar komputernya, mau tidak mau mengalihkan pandangannya. “Mas Candra?” gumam Mitha, saat layar ponselnya menampilkan kontak sang suami. Tanpa berpikir panjang, Mitha langsung mengangkat panggilan itu. “Halo, Mas. Ada apa?” tanya Mitha. “Kamu pulang jam berapa?” Tanpa berbasa-basi Candra langsung balik melemparkan pertanyaan. Mitha melirik ke arah jam digital yang ada di meja kerjanya, “Satu jam lagi,” jawabnya.“Nggak akan telat pulang, kan?” tanya Candra lagi.Tidak biasanya Candra menanyakan jam kepulangan Mitha. Bahkan sampai bertanya seperti itu. Hal itu sukses membuat Mitha tersenyum simpul. “Tidak, Mas. Ada apa? Mas pengin aku masakin sesuatu?” tebak Mitha. “Bukan. Cakra mau ke rumah,” jawabnya d
“Jadi malam ini ditraktir Anisa?” tanya seorang perempuan berambut panjang bergelombang, dia adalah Dina.“Iya. Tapi aku pengin semuanya datang, ya. Males kalau ada yang absen, terus minta traktiran terpisah,” timpal Anisa.“Mas mas bagimana? Bisa, kan?” tanya Dina, sambil menoleh ke belakang bertanya kepada para pria yang ada di ruangan itu. “Aku absen dulu sekarang. Adikku datang,” kata Candra, yang sedang sibuk merapikan berkas dan memasukan pada tas hitamnya. Semua orang di sana kompak berdecak.“Adik doang, kan? Emangnya adikmu itu masih bocah sampai harus disambut masnya?” cibir Faisal.“Bukannya di rumah ada istrimu, Mas?” tanya Anisa. Candra mengangguk.“Ya sudah, adikmu itu biar jadi urusan istrimu saja. Lagi pula kita tidak akan sampai tengah malam, kok. Menolak rezeki itu tidak baik, Mas Candra,” imbuh Anisa. Candra terdiam, dia mencoba menimbang. Kemudian dia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Terdapat pesan dari Mitha, yang memberi tahu kalau Cakra sudah ada di r
Akhirnya pertanyaan yang sebelumnya hanya Mitha pertanyakan pada dirinya sendiri, kini bisa ia lontarkan pada suaminya.“Apakah ada rasa cinta untukku, Mas? Rasanya selama empat tahun kita menikah, kamu terlihat tidak peduli padaku. Bahkan untuk menyentuhku saja, sepertinya kamu terkesan anti sekali,” cerocos Mitha. Walau begitu, terdengar getaran dari setiap kata yang terucap dari bibirnya. Candra hanya merespon dengan sebuah decakan. Dirinya nampak tidak peduli dengan pertanyaan yang baru saja diajukan oleh istrinya.“Mas, jawab!” kata Mitha dengan sedikit meninggikan intonasi suaranya. “Apa, sih, Mith?” Candra merasa gerah dan kesal dengan pertanyaan dari istrinya. “Jawab, Mas!” Mitha menuntut, bahkan sekarang matanya sudah berkaca. “Pertanyaanmu itu tidak penting untuk aku jawab,” sangkal Candra.Seakan pria itu menghindar untuk menjawab pertanyaan istirnya. “Penting! Itu penting untukku, Mas!” paksa Mitha.Selama empat tahun Mitha merasa kalau hanya dirinya saja yang mencinta
Candra terlihat terkejut, saat mendapati sosok adiknya berjalan dengan bergegas menghampiri dirinya. Cakrawala, kini berdiri tepat di hadapan Candra. Mencoba berdiri di antara Candra dan Mitha. “Apa yang kamu lakukan pada Mitha?” todong Cakra. Jelas, di dalam kamar Cakra bisa mendengar pertengkaran rumah tangga kakaknya. Awalnya Cakra merasa tidak peduli dan tak ingin ikut campur. Karena dia sendiri merasa bersalah pada kakaknya. Namun, ketika Candra mulai meninggikan suara dan sampai berbuat kekerasan fisik pada Mitha. Sebagai laki-laki tentu saja Cakra tidak bisa tinggal diam.“Cih! Aku lupa kalau ada orang yang menumpang,” cibir Candra, “sudah anggap saja kamu tidak mendengarkan apa-apa. Dan jangan sekali-kali kamu mengadukan ini pada Mama,” ancam Candra.Mendengar perkataan sang kakak, yang terdengar angkuh dan tidak ada sedikit pun terdengar nada bersalah dari perkataannya. Membuat Cakra harus mendengus dan menggelengkan kepalanya. “Mana bisa aku diam saja. Mas, melakukan keke
Dada Mitha bergemuruh, saat mendengar pernyataan Cakra yang terkesan tidak sopan.“Kenapa aku harus menggugat suamiku?” tanya Mitha dengan tatapan membulat.Namun, reaksi Cakra nampak terkejut sekaligus bingung, dengan pertanyaan dari Mitha. “Lho? Bukankah semalam kamu meminta diceraikan pada Mas Candra? Kenapa sekarang kamu malah melemparkan pertanyaan seperti itu?” kata Cakra tak terima. Semalam Cakra mendengar dengan jelas pertengkaran mereka berdua. Cakra juga kini mengetahui alasan kenapa kakak iparnya itu belum terjamah oleh suaminya. “Kamu tidak tahu bagaiman sifat perempuan, ya. Mereka akan bertindak sebelum berpikir panjang,” ucap Mitha. Kalimat yang keluar dari mulutnya itu terasa dingin. Cakra hanya bisa mengerutkan kedua alisnya. “Sudahlah, Cak anggap saja semalam tidak terjadi apa-apa. Aku dan Mas Candra juga sudah baikan. Dia sudah minta maaf padaku dan begitupun sebaliknya,” papar Mitha. Alih-alih ingin menenangkan Cakra, agar dia tidak berpikir macam-macam tentan
“Mas, kamu tahu, hari Senin aku ada kerja paruh waktu di mana?”Seorang wanita bersurai panjang berwarna golden brown, sedang membelai perut lawan jenisnya dengan sangat nakal. Mereka sedang bersantai di sofa sambil menonton tayangan televisi. “Di mana?” sahut pria yang ternyata adalah Candra.“Aurora Foto Produk,” jawabnya sambil mengerlingkan pandangan pada pria yang ada di sampingnya. Seperti sedang menantikan respon orang yang ada di sampingnya. Untuk sesaat, Candra menghentikan aktivitasnya yang sedang memakan buah pemberian dari wanita itu. Kemudian dia menoleh dengan tatapan membulat. “Ngapain kamu kerja di sana?” tanyanya dengan nada bicara yang sedikit meninggi.“Aku menggantikan model yang seharusnya foto di sana. Lumayan, Mas duitnya. Satu jam aku dibayar 200.000 rupiah.” Candra langsung menarik punggungnya dari sandaran sofa. “Tidak usah. Memangnya uang yang aku berikan padamu kurang? Untuk apa juga kamu bekerja paruh waktu di sana, Keyza?”Intonasi bicara Candra sedi
“Halo, Ma?” sapa Mitha pada Rifah—ibu mertuanya.“Halo, Sayang. Apa kabar?” tanya Rifah dengan suara yang sangat terdengar ceria.Mitha tersenyum, ibu mertuanya ini memiliki aura positif yang seketika bisa menular pada dirinya. “Baik, Ma. Mama sendiri?” “Baik juga, Sayang. Kemarin katanya Cakra ke rumah? Maaf, ya adik iparmu merepotkan kalian di sana,” terang Rifah.Senyuman Mitha tiba-tiba menjadi kaku. Otaknya kembali memutar kenangan kelam antara Mitha dengan Cakra, yang kini sudah bisa ia ingat dengan jelas. Bahkan sensasi di malam itu juga masih membekas bagi Mitha. “I-iya, Ma. Tidak, kok, tidak merepotkan,” timpal Mitha. “Terima kasih, ya. Oh iya, kemarin Mama dapat arisan airfryer. Cuman kata koordinator arisannya, barang itu dikirim dari Jakarta.”Mitha mengangguk. Ibu mertuanya memang sering sekali mengikuti kegiatan arisan.“Nah, Mama emang niat kalau dapat arisan barang ini. Mama pengen kasih ke kamu. Soalnya kamu pasti butuh,” papar Rifah.Mata Mitha membulat, dia lang