Share

Noktah Hari Kedelapan Perkawinan
Noktah Hari Kedelapan Perkawinan
Penulis: Pena Ryndu

1. Penolakan

"Aku sudah memikirkan hal itu. Dan aku sudah memutuskan sesaat setelah membaca tulisan tangan Ayah. Aku bersedia menikah dengan Satria," jelas Bhista menerima perjodohan itu. 

Adit—kakak Bhista—mengalihkan pandangan pada adiknya. Jelas sekali suara berat Bhista mengisyaratkan jika dia terpaksa melakukan itu. Dia mengenyitkan dahinya, merasa heran dengan apa yang adiknya katakan. 

"Baiklah, aku akan segera mengurus persiapan pernikahan kita jika kau sudah setuju, Bhista," kata Satria.

"Katakan jika kau butuh bantuanku, aku akan membantu sebisaku," jelas Bhista. 

Satria tersenyum dan merasa semua berjalan sesuai keinginannya. Dia pamit undur diri untuk segera pulang. 

Tak berapa lama setelah deru mobil Satria terdengar meninggalkan halaman rumah Bhista, Adit kembali menatap Bhista dengan tatapan tajam. 

"Apa kau sudah gila? Kau melakukan hal itu hanya karena Ayah menginginkannya?" cecar Adit. 

Bhista hanya diam. Dia tak ingin menyulut keributan. Ada ibunya di sana, sehingga dia memilih diam. 

"Katakan, Bhista. Apa kau benar-benar akan mengorbankan masa depanmu untuk pria yang tak kau cintai?" desak Adit. 

"Kak, ini bukan saatnya lagi untuk mengatakan pengorbanan. Ini tentang sebuah wasiat. Ini adalah cara terakhir bagiku untuk membuktikan pada Ayah jika aku sangat mencintainya," jelas Bhista. 

"Kau terlalu naif. Semua tahu jika kau mencintai Ayah. Kami semua tahu, Bhista!" bentak Adit. 

"Cukup, Kak. Aku sudah memutuskan. Jangan membuat keadaan semakin sulit," bantah Bhista. 

"Lalu sekarang apa yang akan kau katakan pada Pandu? Kau mencintainya, tapi kau justru membuatnya terluka," cecar Adit. 

"Aku akan segera menyelesaikan hubunganku dengan Pandu. Ini adalah permintaan terakhir Ayah. Aku tak bisa mengabaikannya dan bersikap egois," jawab Bhista, kemudian berlalu menuju kamarnya. 

Nyonya Sintya terlihat meremas dadanya. Kedua anaknya terlihat silang pendapat yang membuatnya merasa bersalah. Wasiat mendiang suaminya justru membuat keadaan semakin sulit. 

* * * 

"Kita harus berakhir, maafkan aku." Bhista harus mengakhiri hubungannya dengan seorang pria yang enam tahun menjadi tambatan hatinya. 

Pertemuan yang Bhista rancang untuk mengakhiri hubungannya dengan Pandu itu berlangsung penuh emosi. Pandu dengan tegas tak ingin melepaskan Bhista untuk bersama pria lain, sehingga perdebatan panjang terjadi di antara mereka. Hatinya tak henti terasa nyeri karena pada akhirnya dia harus memilih perjodohan itu. 

"Tidak, Bhista. Aku tak bisa melepasmu begitu saja." Pandu menolak berpisah dari Bhista. 

"Mengertilah, ini adalah keputusan terbaik. Aku hanya akan menyakitimu dan keluargaku jika terlalu memaksakan untuk bertahan," ujar Bhista. 

"Bhista, kumohon," pinta Pandu. 

"Ini memang pilihan sulit. Hubungan kita selama ini sangat baik-baik saja. Kita memiliki segalanya dan semua terasa mudah saat aku bersamamu. Tapi mungkin karena kita memang bukan jodoh, sehingga kita harus berakhir seperti ini," jelas Bhista. 

"Ini bukan akhir, Bhista. Aku bisa menikahimu, tapi tunggu sebentar. Sebentar saja. Tunggu aku benar-benar bisa memberikanmu hidup yang layak," bujuk Pandu. 

Bhista dengan sekuat tenaga menahan air mata yang sudah hampir berderai. Dia kembali teringat akan keinginan Pandu untuk bisa menghidupi Bhista dari pekerjaannya sebagai seorang manager keuangan perusahaan dan tak bergantung pada jabatan serta penghasilan Bhista sebagai pewaris perusahaan keluarganya. 

Bhista tahu benar jika Pandu bukan putra keluarga konglomerat. Namun karena ketulusan dan kasih sayangnya, membuat Bhista dan keluarganya bisa menerima Pandu hingga saat ini.

"Bhista, kita bersama selama enam tahun. Dan tak pernah ada masalah serius. Aku, kau, ibumu, kakakmu bahkan keluarga dekatmu, kita semua baik hingga saat ini," lanjut Pandu dengan nada yang menurun. 

"Pandu, kumohon jangan membuat situasiku semakin sulit. Keputusan ini sudah final dan tak ada lagi yang bisa aku lakukan," jawab Bhista. 

"Aku mengerti, tapi tak bisakah semua ini ditawar?" tanya Pandu. 

"Kepada siapa kita akan menawar? Ayahku sudah meninggal, dan ini keinginan terakhirnya. Haruskah aku menjadi putri yang ingkar untuk keinginan terakhir ayahku ini?" sahut Bhista. 

Air mata Pandu luruh begitu saja mengenang nasib percintaannya yang sudah terjalin hampir enam tahun itu.

"Apapun yang terjadi aku tak akan membiarkan pria manapun menikahimu," ujar Pandu. 

"Kumohon, jangan siksa aku dengan sikap yang seperti ini," pinta Bhista. 

"Tidak, Bhista. Aku mencintaimu lebih dari apa pun. Dan aku hanya memintamu sedikit menunggu, agar aku bisa memberimu yang terbaik," balas Pandu. 

Pandu beranjak dari kursinya dan meninggalkan gadis yang tengah terisak itu sendiri di sana. Dia memutuskan untuk menemui Satria Winata untuk memberikan peringatan. 

Pandu sudah sangat gila dengan perasaannya. Cintanya yang tulus dan dalam adalah alasan utamanya untuk mempertahankan hubungannya dengan Bhista. Langkah kakinya membawa pria itu menghilang dari pandangan Bhista. 

"Aku harus menemui pria itu, tak ada jalan lain," gumamnya sembari menginjak pedal gas mobilnya menuju perusahaan Satria. 

* * *

Di sisi lain Satria tengah menjamu ibunya yang datang berkunjung. Nyonya Winata itu sedang memaki putranya karena dia tak setuju jika Satria menikah dengan Bhista. 

"Dia wanita karir. Ibu hanya akan tetap kesepian jika kau menikah dengannya. Dia pasti akan sibuk dengan setumpuk dokumennya daripada menjadi menantuku," protes Nyonya Winata. 

"Ibu, dia pejabat penting di perusahaan. Jadi jangan membuat alasan murahan untuk merengek," jelas Satria dengan lembut. 

"Kau putraku satu-satunya, apa tak bisa mencari istri yang bisa juga menjadi menantu yang baik untuk Ibu?" desak Nyonya Winata. 

"Ibu, kau belum mengenal Bhista. Tapi kau sudah menilainya tak akan menjadi menantu yang baik," tukas Satria. 

Nyonya Winata tak bisa menyanggah lagi ucapan putranya. Dia terpaksa mengalah dan beranjak dari ruangan Satria. Wajahnya yang terlihat kesal itu membuat Satria tersenyum.

Saat keluar ruangan, Nyonya Winata berpapasan dengan Pandu di depan pintu ruangan Satria. Dia mengabaikan sapaan dari pemuda itu, dan lanjut berjalan menuju lobi. 

Sementara itu, Pandu hanya mengernyit ketika sapaannya diabaikan. Dia kemudian melanjutkan tujuannya untuk bertemu Satria. Diketuknya pintu kantor lelaki yang dijodohkan dengan kekasihnya itu. 

"Ah, ada yang bisa kubantu? Resepsionis menelepon, katanya Anda adalah seorang utusan dari perusahaan Candra. Silakan duduk." Satria menyapa dengan ramah. 

Pandu duduk dengan gagah. Dia menunjukan sisi tegasnya. Terpaksa dia berbohong jika dia adalah utusan perusahaan agar bisa menemui Satria. 

"Aku Pandu. Dan aku datang untuk bicara denganmu sebagai seorang lelaki," jawab Pandu. 

Satria tersenyum. Dia mendekat dan duduk di kursi seberang tamunya itu. 

"Bicara sebagai seorang lelaki? Apa maksud Anda?" tanya Satria dengan nada santai. 

"Bhista. Abhista Sintya. Dia kekasihku," jawab Pandu. 

Satria tak merasa kaget. Pasalnya selama dekat dengan calon ibu mertuanya, Satria sudah tahu jika Bhista memiliki kekasih bernama Pandu. 

"Ibunya menceritakan semua tentangmu. Kau pria yang baik. Kau juga sangat membangun Bhista," ujar Satria. 

Pandu menjadi bingung. Pria ini membuatnya kagum. Bukan makian, tapi justru pujian yang Satria lontarkan setelah Pandu mengaku dia adalah kekasih Bhista. 

"Kau datang untuk memintaku membatalkan perjodohan kami?" tebak Satria. 

"Benar. Kami saling mencintai. Kami akan segera menikah setelah aku selesai mempersiapkan rumah kami." Pandu menjelaskan. 

"Semua keputusan ada di tangan Bhista. Aku tak bisa katakan apa pun jika bukan Bhista yang katakan," sahut Satria. 

Pandu mengepalkan tangannya. Darahnya mendidih karena pria ini membuatnya semakin gelisah dengan sikap santainya. 

"Jangan katakan kau mencintai kekasihku, dan memaksanya untuk menuruti wasiat ayahnya itu?" tanya Pandu dengan sorot mata tajam. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status