Share

6. Permintaan Konyol

Author: Pena Ryndu
last update Huling Na-update: 2022-01-18 09:08:32

Suasana begitu canggung tak terhindarkan di antara Nyonya Winata, Arsy dan juga Satria. Semuanya terdiam tanpa mengucapkan apapun. Sampai akhirnya Satria memecah keheningan. “Di mana Bhista, Bu?” tanyanya. 

"Kenapa kau mencarinya, Sayang? Jangan biarkan Arsy menunggu lagi. Dia sudah memasak banyak sekali makanan untuk menunggumu makan malam. Jangan kecewakan dia," kata Nyonya Winata. 

"Bhista? Siapa dia?" tanya Arsy. 

"Dia is ...," sahut Satria, tapi segera dipotong oleh Nyonya Winata. 

"Sekretaris barunya. Abistha adalah sekretaris baru Satria. Ayo kita ke ruang makan. Ibu sudah sangat lapar," ajak Nyonya Winata mengalihkan pembicaraan. 

Arsy tak merasa curiga sama sekali dengan gelagat dusta Nyonya Winata itu. Dia justru semakin bersemangat karena merasa senang bertemu lagi dengan pria yang hingga kini masih sangat dia cintai. 

Satria tak diberi kesempatan untuk berbicara sama sekali. Dia merasa kesal dan sedang mencoba untuk pergi dari kecanggungan ini untuk mencari sang istri. Namun, tatapan ibunya membuatnya mengalah. Dia menerima keadaan itu dan mengikuti keinginan ibunya untuk tinggal. 

"Bagaimana kabarmu, Satria?" tanya Arsy. 

"Seperti yang kau lihat, aku baik," sahut Satria sinis. 

"Ayolah, mengapa kau bersikap seperti itu? Apa kau tak merindukanku?" tanya Arsy. 

"Astaga, tentu saja dia merindukanmu, Sayang. Dia berkali-kali merasa frustrasi karena kau meninggalkannya," imbuh Nyonya Winata. 

"Dia masih sama seperti dulu, Bibi. Dia selalu malu menyatakan perasaannya," jawab Arsy sembari tersenyum manis. 

Satria semakin tak mengerti apa yang ibunya inginkan saat ini. Satria hanya larut dalam pembicaraan sang ibu yang penuh kepalsuan hingga makan malam selesai. Ia baru menyadari jika Bhista belum juga menampakan diri. 

"Aku akan naik ke kamar. Minta Paman Jono untuk mengantarmu kembali," kata Satria dan membuat Arsy menjadi semakin merasa diperhatikan. 

"Baiklah, selamat istirahat. Aku akan kembali esok, dan membawakan sandwich kesukaanmu," jawab Arsy. 

"Aku akan ke Jerman besok. Kau tak perlu datang," tolak Satria 

"Bersama Lucky atau sekretaris barumu?" tanya Arsy. 

"Tentu saja dengan Lucky," jawab Nyonya Winata. 

"Syukurlah. Akan terlalu berisiko jika dia pergi sendiri. Mengingat kau akan sibuk, pasti kau akan melupakan makan jika Lucky tak pergi bersamamu," kata Arsy penuh perhatian. 

"Astaga, Sayang, kau memang sangat perhatian pada putra Bibi," puji Nyonya Winata. 

Satria berlalu menuju kamar setelah meneguk habis isi gelasnya. Dia mencari keberadaan sang istri. Saat itulah dia menemukan Bhista sedang berada di balkon kamar menikmati udara malam. 

"Rasanya sudah seperti anak tiri saja, bahkan makan pun tak di tawari," gumam Bhista. 

Satria tersenyum sambil melepas jasnya. Dia kemudian menuju arah balkon. Bhista tidak menyadari kedatangan Satria, karena pikirannya memang sedang menerawang jauh entah ke mana. 

"Terlalu dingin di luar, ayo masuk," ajak Satria. 

Bhista tersentak pelan, lalu melirik Satria yang tahu-tahu sudah berdiri di sebelahnya. "Aku masih ingin di sini. Masuklah!" balas Bhista sedikit kesal. 

Bhista sebenarnya melihat kedatangan mobil suaminya tadi melalui Balkon. Dia menunggu Satria naik ke kamar untuk mengajaknya makan, tapi harapannya tak terjadi hingga saat ini. 

"Ayolah," ajak Satria. 

"Aku akan keluar malam ini. Aku sangat lapar," jawab Bhista ketus. 

"Kau belum makan? Tapi Ibu mengatakan jika ...," sahut Satria. 

"Apa yang ibu katakan?" tanya Bhista memotong ucapan Satria dengan tak sabar. Dia memang punya kecurigaan. 

"Ibu mengatakan kau akan melewatkan makan malam karena tak lapar," jelas Satria. 

Bhista sangat bingung. Ditawari saja tidak, tapi ibu mengatakan jika dia akan melewatkan makan malam?

Tok! Tok! Tok! 

Suara ketukan akhirnya membuat Satria meninggalkan balkon untuk membuka pintu. Ternyata Nyonya Winata yang tengah berdiri di sana. 

"Bolehkah aku berbicara pada Bistha?" tanya Nyonya Winata. 

Bhista mendengar suara ibu mertuanya, dan segera melangkahkan kakinya mendekat. 

"Apa yang ingin Ibu katakan?" tanya Bhista lembut. 

Ibu meminta Bhista duduk di tepi ranjang. Pertama kalinya bagi Bhista melihat ibu mertuanya bersikap seperti ini. Pandangan mata yang biasanya sangat tajam kini menjadi sendu, urat tangan yang biasanya terlihat tegas kini tampak lunglai. 

"Aku ingin kau mengabulkan satu permintaanku," kata Nyonya Winata sambil mengenggam erat tangan menantunya. 

Hati Bhista terasa sesak. Untuk pertama kalinya, sang ibu mertua memohon seperti ini padanya. Dan kali ini dia tak ingin membuat perempuan itu kecewa. Dia berjanji akan mengabulkan apa pun yang ibu mertuanya minta. Dia ingin menjadi putri keluarga Winata seutuhnya, karena Satria telah memperlakukan keluarganya dengan sangat-sangat-sangat baik.  

"Apa, Bu? Apa yang bisa kulakukan untukmu?" tanya Bhista dengan nada lembut. 

"Arsy sedang sakit. Dia menderita kanker darah stadium akhir," kata Nyonya Winata memulai pembicaraan. 

Perasaan Bhista berubah menjadi tak enak. Dia mengendorkan genggaman tangannya. 

"Arsy? Gadis yang berada di bawah tadi?" tanya Bhista.

"Ibu, apa yang kau inginkan? Bhista tak ada hubungannya dengan Arsy," sela Satria. Dia merasakan sesuatu yang tak beres dengan sikap ibunya saat ini.

"Hidup Arsy tak akan lama lagi. Dia sangat menderita saat ini. Ibu sudah terlanjur berjanji pada mendiang ibunya, jika Arsy akan menikah dengan Satria. Ibu mohon, izinkan Satria membagi hatinya untuk Arsy. Ini tak akan lama, hidupnya hanya tersisa beberapa bulan saja," jelas Nyonya Winata dengan berurai air mata. 

Bhista memandang kesal pada Ibu mertuanya. Bagaimana bisa seorang ibu menghancurkan pernikahan putranya yang baru berjalan delapan hari. 

"Berbagi hati? Semudah itu memintaku untuk berbagi hati?" ucap Bhista. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Noktah Hari Kedelapan Perkawinan   26. Malam Penuh Rasa

    Di tengah malam yang dingin, Bhista teringat jika dia berjanji akan ke kamar Satria setelah Arsy tidur. Dia segera turun dari ranjang perlahan agar tak membangunkan gadis manis yang sudah tertidur lelap itu."Aku akan ke sana sekarang," batin Bhisat.Dengan langkah kaki yang pelan dan hampir tak terdengar, Bhista menuju pintu berwarna putih itu. Dia membukanya secara perlahan dan segera keluar tanpa suara. Setelah sampai di luar dia menghela napas kasarnya."Aku beruntung, Arsy sangat lelap hingga dia tak terbangun." Bhista mengoceh sendiri.Baru saja dia akan melangkah, seseorang menepuk pundaknya. Dia merasa begitu kaget hingga hampir saja meninju orang itu."Lama sekali, aku hampir mati menunggumu," omelnya.Satria segera menarik Bhista menuju kamarnya. Suara pintu yang terkunci menandakan mereka berdua sudah masuk dan tak ingin diganggu.Bisa duduk di tepi ranjang besar kamar itu. Dia begitu rindu dengan hangatnya ranjang yang sel

  • Noktah Hari Kedelapan Perkawinan   25. Perasaan Arsy

    Arsy selesai makan dan membuka pintu kamar Bhista. Dia melihat teman sekamarnya itu masih sibuk dengan pekerjaan kantornya."Sambil makan ini, Bhis. Biar tak terlalu tegang," kata Arsy sembari memberikan sebuah wadah plastik berisi potongan buah melon."Ah, terima kasih," jawab Bhista menerima wadah itu dan meletakan di mejanya."Kau membawa pekerjaan pulang. Apa terlalu sibuk di kantor?" tanya Arsy."Ada beberapa hal yang harus kupersiapkan untuk meeting besok," jawab Bhista."Satria ada meeting besok?" desak Arsy lagi.Bhista lupa jika Arsy tak tahu dia memegang perusahaan sendiri."Ah, bukan. Ini meeting staf," bohong Bhista beralasan."Kau pasti repot menjadi sekretaris Satria. Dia pria yang perfeksionis walau terlihat lembut. Dahulu Lucky sering mengeluh padaku," kenang Arsy."Benarkah, sekarang mungkin masih sama seperti itu," kata Bhista berpura-pura tanggap.&n

  • Noktah Hari Kedelapan Perkawinan   24. Menerobos Masuk

    Bhista berjalan menuju kamarnya dengan langkah lemah. Hatinya begitu dipenuhi perasaan khawatir hanya saja dia tak boleh lemah. Ini adalah bagian dari rencananya sehingga dia harus bersikap dengan baik."Ayolah, Bhis. Jangan membuat hal kecil menjadi besar. Kau harus mulai terbiasa." Bhista bergumam dalam hati.Baru saja ia rebahkan tubuhnya, Arsy datang dengan membawa barangnya. Dia pindah dari kamar Satria."Bhis, boleh kuletakkan di sini?" tanyanya."Hm, letakkan saja. Aku akan pergi mandi," jawab Bhista dan segera mandi.Arsy menata beberapa bajunya di lemari Bhista dan beberapa barangnya di meja rias juga."Kau ternyata pecinta make-up, Bhis. Banyak sekali peralatan make-up yang kau miliki," lirih Arsy seraya tersenyum.Dia kembali membereskan segalanya. Setelah selesai dia menyimpan kopernya. Tak berselang lama Bhista keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah.

  • Noktah Hari Kedelapan Perkawinan   23. Kamar Satria

    "Selamat datang, Sayang," sambut Nyonya Winata."Terima kasih, Ibu," jawab Satria.Dengan langkah ragu dan terpaksa, Satria masuk dan melinguk kesana kemari. Hatinya terasa tak tenang."Tunggu, Nak," kata Nyonya Winata.Satria menghentikan langkahnya dan memandang ibunya."Arsy tinggal di kamarmu, Ibu membawanya atas keputusan bersama dengan Bhista. Terimalah ini semua, demi Arsy," jelas Nyonya Winata."Di kamarku? Lalu, di mana Bhista tidur?" tanya Satria."Dia berada di kamar tamu sebelah kamarmu, Nak. Ini yang terbaik, karena memang keadaannya begitu rumit," elak Nyonya Winata.Satria tak mampu berkilah. Bisa bahkan tak memberi tahu jika Arsy menempati kamarnya."Kau sudah gila, Bhis. Kau membuat pernikahan kita benar-benar ternodai," batin Satria dengan kesal."Sat, biarkan Arsy sembuh dan membaik dahulu," ujar Nyonya Winata.Belum juga Satria menjawab, Bhista sudah datang dengan langkah panjangnya.

  • Noktah Hari Kedelapan Perkawinan   22. Mencoba

    "Hanya kau yang bisa membujuk Arsy. Kita coba dahulu," paksa Bhista."Siapa yang menjemputnya untuk tinggal? Apakah ibuku?" desak Satria."Aku. Dia juga tak tahu jika aku istrimu. Aku berada di sana sebagai sekretarismu dan kumohon jangan buat aku dalam keadaan sulit. Aku akan bertahan," jelas Bhista."Kau benar-benar sudah gila, Bhis. Kau membuat keadaan pernikahan kita seperti neraka. Ini baru dua minggu. Bahkan kita belum bulan madu. Kau sudah menyusupkan wanita itu dalam rumah tangga kita." Satria mencecar Bhista dengan berbagai hal."Tak ada jalan lain lagi," kata Bhista."Ayo hentikan, Bhis. Kita akan segera pulang dan menghentikan semua kesalahan ini," ajak Satria."Bukan hanya aku yang menginginkan hal ini. Ibu juga tampak lebih baik setelah Arsy tinggal di rumah kita, dia lega setiap saat bisa melihat Arsy," jelas Bhista."Omong kosong. Aku tak peduli dengan apapun pendapatmu," sahut Satria.Air mata Bhista menitik lag

  • Noktah Hari Kedelapan Perkawinan   21. Pulang

    Waktu berlalu, hari ini Satria mendarat dari Jerman. Kerinduannya yang mendalam pada Bhista harus ditunda beberapa jam karena Lucky terlanjur membuat janji dengan seseorang di sebuah restoran."Apa ini lebih penting dari istriku?" tanya Satria."Entahlah," jawab Lucky.Hati Lucky merasa sangat tak enak. Dia hanya melakukan apa yang dia bisa lakukan. Bhista meminta Lucky membawa Satria mampir sebelum sampai rumah. Ini adalah cara agar Satria bisa bekerja sama demi Arsy."Aku tak yakin Satria mau mengerti, tapi setidaknya Satria bisa membuat keputusan yang tepat sebelum dia benar-benar menghadapi apa yang ada di rumahnya," batin Lucky.Mobil melaju ke restoran tempat di mana janji bertemu dibuat Bhista sudah duduk dengan segala kerinduan dan kegelisahannya. Dia tak yakin bisa mengatakan apa yang bisa dia katakan. Hanya saja tak ada jalan lain, ini adalah keputusan penting.Bhista terus mengelus lengannya pelan. Tampak sekali dia sedang sangat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status