Share

6. Permintaan Konyol

Suasana begitu canggung tak terhindarkan di antara Nyonya Winata, Arsy dan juga Satria. Semuanya terdiam tanpa mengucapkan apapun. Sampai akhirnya Satria memecah keheningan. “Di mana Bhista, Bu?” tanyanya. 

"Kenapa kau mencarinya, Sayang? Jangan biarkan Arsy menunggu lagi. Dia sudah memasak banyak sekali makanan untuk menunggumu makan malam. Jangan kecewakan dia," kata Nyonya Winata. 

"Bhista? Siapa dia?" tanya Arsy. 

"Dia is ...," sahut Satria, tapi segera dipotong oleh Nyonya Winata. 

"Sekretaris barunya. Abistha adalah sekretaris baru Satria. Ayo kita ke ruang makan. Ibu sudah sangat lapar," ajak Nyonya Winata mengalihkan pembicaraan. 

Arsy tak merasa curiga sama sekali dengan gelagat dusta Nyonya Winata itu. Dia justru semakin bersemangat karena merasa senang bertemu lagi dengan pria yang hingga kini masih sangat dia cintai. 

Satria tak diberi kesempatan untuk berbicara sama sekali. Dia merasa kesal dan sedang mencoba untuk pergi dari kecanggungan ini untuk mencari sang istri. Namun, tatapan ibunya membuatnya mengalah. Dia menerima keadaan itu dan mengikuti keinginan ibunya untuk tinggal. 

"Bagaimana kabarmu, Satria?" tanya Arsy. 

"Seperti yang kau lihat, aku baik," sahut Satria sinis. 

"Ayolah, mengapa kau bersikap seperti itu? Apa kau tak merindukanku?" tanya Arsy. 

"Astaga, tentu saja dia merindukanmu, Sayang. Dia berkali-kali merasa frustrasi karena kau meninggalkannya," imbuh Nyonya Winata. 

"Dia masih sama seperti dulu, Bibi. Dia selalu malu menyatakan perasaannya," jawab Arsy sembari tersenyum manis. 

Satria semakin tak mengerti apa yang ibunya inginkan saat ini. Satria hanya larut dalam pembicaraan sang ibu yang penuh kepalsuan hingga makan malam selesai. Ia baru menyadari jika Bhista belum juga menampakan diri. 

"Aku akan naik ke kamar. Minta Paman Jono untuk mengantarmu kembali," kata Satria dan membuat Arsy menjadi semakin merasa diperhatikan. 

"Baiklah, selamat istirahat. Aku akan kembali esok, dan membawakan sandwich kesukaanmu," jawab Arsy. 

"Aku akan ke Jerman besok. Kau tak perlu datang," tolak Satria 

"Bersama Lucky atau sekretaris barumu?" tanya Arsy. 

"Tentu saja dengan Lucky," jawab Nyonya Winata. 

"Syukurlah. Akan terlalu berisiko jika dia pergi sendiri. Mengingat kau akan sibuk, pasti kau akan melupakan makan jika Lucky tak pergi bersamamu," kata Arsy penuh perhatian. 

"Astaga, Sayang, kau memang sangat perhatian pada putra Bibi," puji Nyonya Winata. 

Satria berlalu menuju kamar setelah meneguk habis isi gelasnya. Dia mencari keberadaan sang istri. Saat itulah dia menemukan Bhista sedang berada di balkon kamar menikmati udara malam. 

"Rasanya sudah seperti anak tiri saja, bahkan makan pun tak di tawari," gumam Bhista. 

Satria tersenyum sambil melepas jasnya. Dia kemudian menuju arah balkon. Bhista tidak menyadari kedatangan Satria, karena pikirannya memang sedang menerawang jauh entah ke mana. 

"Terlalu dingin di luar, ayo masuk," ajak Satria. 

Bhista tersentak pelan, lalu melirik Satria yang tahu-tahu sudah berdiri di sebelahnya. "Aku masih ingin di sini. Masuklah!" balas Bhista sedikit kesal. 

Bhista sebenarnya melihat kedatangan mobil suaminya tadi melalui Balkon. Dia menunggu Satria naik ke kamar untuk mengajaknya makan, tapi harapannya tak terjadi hingga saat ini. 

"Ayolah," ajak Satria. 

"Aku akan keluar malam ini. Aku sangat lapar," jawab Bhista ketus. 

"Kau belum makan? Tapi Ibu mengatakan jika ...," sahut Satria. 

"Apa yang ibu katakan?" tanya Bhista memotong ucapan Satria dengan tak sabar. Dia memang punya kecurigaan. 

"Ibu mengatakan kau akan melewatkan makan malam karena tak lapar," jelas Satria. 

Bhista sangat bingung. Ditawari saja tidak, tapi ibu mengatakan jika dia akan melewatkan makan malam?

Tok! Tok! Tok! 

Suara ketukan akhirnya membuat Satria meninggalkan balkon untuk membuka pintu. Ternyata Nyonya Winata yang tengah berdiri di sana. 

"Bolehkah aku berbicara pada Bistha?" tanya Nyonya Winata. 

Bhista mendengar suara ibu mertuanya, dan segera melangkahkan kakinya mendekat. 

"Apa yang ingin Ibu katakan?" tanya Bhista lembut. 

Ibu meminta Bhista duduk di tepi ranjang. Pertama kalinya bagi Bhista melihat ibu mertuanya bersikap seperti ini. Pandangan mata yang biasanya sangat tajam kini menjadi sendu, urat tangan yang biasanya terlihat tegas kini tampak lunglai. 

"Aku ingin kau mengabulkan satu permintaanku," kata Nyonya Winata sambil mengenggam erat tangan menantunya. 

Hati Bhista terasa sesak. Untuk pertama kalinya, sang ibu mertua memohon seperti ini padanya. Dan kali ini dia tak ingin membuat perempuan itu kecewa. Dia berjanji akan mengabulkan apa pun yang ibu mertuanya minta. Dia ingin menjadi putri keluarga Winata seutuhnya, karena Satria telah memperlakukan keluarganya dengan sangat-sangat-sangat baik.  

"Apa, Bu? Apa yang bisa kulakukan untukmu?" tanya Bhista dengan nada lembut. 

"Arsy sedang sakit. Dia menderita kanker darah stadium akhir," kata Nyonya Winata memulai pembicaraan. 

Perasaan Bhista berubah menjadi tak enak. Dia mengendorkan genggaman tangannya. 

"Arsy? Gadis yang berada di bawah tadi?" tanya Bhista.

"Ibu, apa yang kau inginkan? Bhista tak ada hubungannya dengan Arsy," sela Satria. Dia merasakan sesuatu yang tak beres dengan sikap ibunya saat ini.

"Hidup Arsy tak akan lama lagi. Dia sangat menderita saat ini. Ibu sudah terlanjur berjanji pada mendiang ibunya, jika Arsy akan menikah dengan Satria. Ibu mohon, izinkan Satria membagi hatinya untuk Arsy. Ini tak akan lama, hidupnya hanya tersisa beberapa bulan saja," jelas Nyonya Winata dengan berurai air mata. 

Bhista memandang kesal pada Ibu mertuanya. Bagaimana bisa seorang ibu menghancurkan pernikahan putranya yang baru berjalan delapan hari. 

"Berbagi hati? Semudah itu memintaku untuk berbagi hati?" ucap Bhista. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status