Suasana begitu canggung tak terhindarkan di antara Nyonya Winata, Arsy dan juga Satria. Semuanya terdiam tanpa mengucapkan apapun. Sampai akhirnya Satria memecah keheningan. “Di mana Bhista, Bu?” tanyanya.
"Kenapa kau mencarinya, Sayang? Jangan biarkan Arsy menunggu lagi. Dia sudah memasak banyak sekali makanan untuk menunggumu makan malam. Jangan kecewakan dia," kata Nyonya Winata.
"Bhista? Siapa dia?" tanya Arsy.
"Dia is ...," sahut Satria, tapi segera dipotong oleh Nyonya Winata.
"Sekretaris barunya. Abistha adalah sekretaris baru Satria. Ayo kita ke ruang makan. Ibu sudah sangat lapar," ajak Nyonya Winata mengalihkan pembicaraan.
Arsy tak merasa curiga sama sekali dengan gelagat dusta Nyonya Winata itu. Dia justru semakin bersemangat karena merasa senang bertemu lagi dengan pria yang hingga kini masih sangat dia cintai.
Satria tak diberi kesempatan untuk berbicara sama sekali. Dia merasa kesal dan sedang mencoba untuk pergi dari kecanggungan ini untuk mencari sang istri. Namun, tatapan ibunya membuatnya mengalah. Dia menerima keadaan itu dan mengikuti keinginan ibunya untuk tinggal.
"Bagaimana kabarmu, Satria?" tanya Arsy.
"Seperti yang kau lihat, aku baik," sahut Satria sinis.
"Ayolah, mengapa kau bersikap seperti itu? Apa kau tak merindukanku?" tanya Arsy.
"Astaga, tentu saja dia merindukanmu, Sayang. Dia berkali-kali merasa frustrasi karena kau meninggalkannya," imbuh Nyonya Winata.
"Dia masih sama seperti dulu, Bibi. Dia selalu malu menyatakan perasaannya," jawab Arsy sembari tersenyum manis.
Satria semakin tak mengerti apa yang ibunya inginkan saat ini. Satria hanya larut dalam pembicaraan sang ibu yang penuh kepalsuan hingga makan malam selesai. Ia baru menyadari jika Bhista belum juga menampakan diri.
"Aku akan naik ke kamar. Minta Paman Jono untuk mengantarmu kembali," kata Satria dan membuat Arsy menjadi semakin merasa diperhatikan.
"Baiklah, selamat istirahat. Aku akan kembali esok, dan membawakan sandwich kesukaanmu," jawab Arsy.
"Aku akan ke Jerman besok. Kau tak perlu datang," tolak Satria
"Bersama Lucky atau sekretaris barumu?" tanya Arsy.
"Tentu saja dengan Lucky," jawab Nyonya Winata.
"Syukurlah. Akan terlalu berisiko jika dia pergi sendiri. Mengingat kau akan sibuk, pasti kau akan melupakan makan jika Lucky tak pergi bersamamu," kata Arsy penuh perhatian.
"Astaga, Sayang, kau memang sangat perhatian pada putra Bibi," puji Nyonya Winata.
Satria berlalu menuju kamar setelah meneguk habis isi gelasnya. Dia mencari keberadaan sang istri. Saat itulah dia menemukan Bhista sedang berada di balkon kamar menikmati udara malam.
"Rasanya sudah seperti anak tiri saja, bahkan makan pun tak di tawari," gumam Bhista.
Satria tersenyum sambil melepas jasnya. Dia kemudian menuju arah balkon. Bhista tidak menyadari kedatangan Satria, karena pikirannya memang sedang menerawang jauh entah ke mana.
"Terlalu dingin di luar, ayo masuk," ajak Satria.
Bhista tersentak pelan, lalu melirik Satria yang tahu-tahu sudah berdiri di sebelahnya. "Aku masih ingin di sini. Masuklah!" balas Bhista sedikit kesal.
Bhista sebenarnya melihat kedatangan mobil suaminya tadi melalui Balkon. Dia menunggu Satria naik ke kamar untuk mengajaknya makan, tapi harapannya tak terjadi hingga saat ini.
"Ayolah," ajak Satria.
"Aku akan keluar malam ini. Aku sangat lapar," jawab Bhista ketus.
"Kau belum makan? Tapi Ibu mengatakan jika ...," sahut Satria.
"Apa yang ibu katakan?" tanya Bhista memotong ucapan Satria dengan tak sabar. Dia memang punya kecurigaan.
"Ibu mengatakan kau akan melewatkan makan malam karena tak lapar," jelas Satria.
Bhista sangat bingung. Ditawari saja tidak, tapi ibu mengatakan jika dia akan melewatkan makan malam?
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan akhirnya membuat Satria meninggalkan balkon untuk membuka pintu. Ternyata Nyonya Winata yang tengah berdiri di sana.
"Bolehkah aku berbicara pada Bistha?" tanya Nyonya Winata.
Bhista mendengar suara ibu mertuanya, dan segera melangkahkan kakinya mendekat.
"Apa yang ingin Ibu katakan?" tanya Bhista lembut.
Ibu meminta Bhista duduk di tepi ranjang. Pertama kalinya bagi Bhista melihat ibu mertuanya bersikap seperti ini. Pandangan mata yang biasanya sangat tajam kini menjadi sendu, urat tangan yang biasanya terlihat tegas kini tampak lunglai.
"Aku ingin kau mengabulkan satu permintaanku," kata Nyonya Winata sambil mengenggam erat tangan menantunya.
Hati Bhista terasa sesak. Untuk pertama kalinya, sang ibu mertua memohon seperti ini padanya. Dan kali ini dia tak ingin membuat perempuan itu kecewa. Dia berjanji akan mengabulkan apa pun yang ibu mertuanya minta. Dia ingin menjadi putri keluarga Winata seutuhnya, karena Satria telah memperlakukan keluarganya dengan sangat-sangat-sangat baik.
"Apa, Bu? Apa yang bisa kulakukan untukmu?" tanya Bhista dengan nada lembut.
"Arsy sedang sakit. Dia menderita kanker darah stadium akhir," kata Nyonya Winata memulai pembicaraan.
Perasaan Bhista berubah menjadi tak enak. Dia mengendorkan genggaman tangannya.
"Arsy? Gadis yang berada di bawah tadi?" tanya Bhista.
"Ibu, apa yang kau inginkan? Bhista tak ada hubungannya dengan Arsy," sela Satria. Dia merasakan sesuatu yang tak beres dengan sikap ibunya saat ini.
"Hidup Arsy tak akan lama lagi. Dia sangat menderita saat ini. Ibu sudah terlanjur berjanji pada mendiang ibunya, jika Arsy akan menikah dengan Satria. Ibu mohon, izinkan Satria membagi hatinya untuk Arsy. Ini tak akan lama, hidupnya hanya tersisa beberapa bulan saja," jelas Nyonya Winata dengan berurai air mata.
Bhista memandang kesal pada Ibu mertuanya. Bagaimana bisa seorang ibu menghancurkan pernikahan putranya yang baru berjalan delapan hari.
"Berbagi hati? Semudah itu memintaku untuk berbagi hati?" ucap Bhista.
Bhista melihat ke arah Satria yang tampak sangat kesal. Pria itu berkali-kali melayangkan pandangan sinis pada ibunya. Berulang kali dia sudah mencoba mengutarakan sesuatu. Tapi selalu saja kalah dengan suara ibunya."Hentikan, Ibu! Hentikan semuanya! Apa yang Ibu katakan? Ibu menyakiti Bistha dan menodai pernikahan kami. Aku tak akan menikah lagi dengan siapa pun. Jangan gegabah dan jangan membuat keadaan semakin sulit!" bentak Satria."Tapi, Nak, dia sakit," mohon Nyonya Winata.“Bagaimana bisa Ibu sampai berurai air mata seperti itu? Dia pasti sangat mencintai Arsy, hingga tega melakukan ini semua padaku,” batin Bhista.Pernikahan Bhista dengan Satria baru berjalan delapan hari, tapi mengapa badai ini sudah membuatnya ingin berhenti? Saat Bhista mati-matian berusaha membuka hatinya, tapi keadaan justru berbalik seperti ini. Hatinya memang masih terlalu kaku untuk Satria. Namun, pernikahan ini adalah komitmen terbesar dalam
"Aku akan pergi esok, bukankah kau akan merinduku?" seloroh Satria. "Aish," jawab Bhista. Pria ini selalu berhasil membuat Bhist merasa lebih baik setelah dihantam masalah besar. Satria membuatnya lupa akan permintaan ibu mertuanya itu. Tak hanya itu, Satria juga meyakinkan Bhista jika dia tak akan pernah menikah dengan siapapun apapun alasannya. Dan seperti biasanya Bhista pun percaya padanya. "Aku tak akan memaksa kau percaya apapun. Aku tahu semua sangat sulit. Kau menghadapi ibu yang begitu menekanmu untuk berbagai situasi," kata Satria. "Kau benar, situasi sulit yang ku hadapi tak seberapa. Aku merasa sangat hangat dan tenang saat berada di sisimu. Kita memiliki banyak sekali jarak sebelum ini. Bahkan kau tahu, hatiku masih sangat kaku untuk membuka hatiku untukmu," jelas Bhista. "Aku mengerti, kita menikah dengan kondisi yang seadanya. Dan aku juga tahu benar, kau menerimaku karena wasiat ayahmu," jawab Satr
Malam itu Bhista membuat pengakuan yang sungguh mengejutkan bagi seorang Satria Winata. Pria itu tampak begitu bahagia. Saat prahara datang dan Satria merasa di persimpangan yang sulit, istrinya mengatakan jika dia mulai bisa membalas cintanya."Terima kasih kau sudah mencobanya, Sayang," ucap Satria."Aku banyak berpikir saat aku mulai bekerja kemarin, aku merasakan waktu yang kita lewatkan bersama membuatku merasa hampa dan sendiri. Aku merasa mulai terbiasa dengan kehadiranmu di sisiku." Bhista menyadari akan segala hal yang Satria berikan."Ah, sungguh?" tandas Satria."Terima kasih sudah membuatku merasa berarti dan merasa dinantikan," ucap Bhista."Baiklah, pengakuanmu sudah cukup membuatku yakin untuk melakukannya malam ini, Nyonya Satria," canda Satria."Aish," lirih Bhista sedikit malu. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan tanpa sengaja Bhista melihat Pandu yang tengah turun dari mobil untuk
Penerbangan Satria ditunda hingga sore karena cuaca buruk. Saat ini dia tengah menyetak beberapa dokumen yang ia revisi dari Lucky. Bhista sengaja tak masuk bekerja untuk membantunya menyiapkan keperluannya."Ah, maafkan aku, Sayang. Kau sampai tak masuk bekerja," kata Satria."Bukan masalah, aku sudah menelpon Kak Adit dan dia bisa mengerti," jelas Bhista."Terima kasih, Sayang," ujar Satria"Apa kau butuh dasi cadangan? Hanya ada dua dasi di kopermu," tanya Bhista lembut."Aku butuh kau ikut denganku, Sayang, bisakah kau masuk koper itu dan turut dalam perjalananku?" canda Satria."Curang sekali, kenapa tak membelikan aku tiket tapi memintaku masuk koper untuk kau bawa?" balasnya."Sungguh kau akan ikut jika aku membelikanmu tiket?" tanya Satria serius."Perjalananmu hanya dua hari, kurasa terlalu merepotkan jika aku ikut. Aku akan menunggumu sampai kembali," jelas Bhista.
Hati Bhista seperti dirutuki mendengar suara ibu mertuanya yang begitu menyedihkan. Bhista yakin hati Nyonya Winata benar-benar tengah gundah. Terlebih dia juga sangat menyayangi Arsy. Pikiran Bhista sekilas melayang membayangkan apa yang bisa ia lakukan demi meringankan beban yang ibu mertuanya pikul saat ini."Haruskah aku berbicara pada Satria demi ibu atau aku tetap harus bersikap seperti semalam yang menolak keras keinginan ibu itu?" batinnya berulang-ulang.Suasana begitu canggung. Nyonya Winata menatap Bhista seperti memaksa menantunya itu mengatakan sesuatu."Ayah, aku sangat bingung. Apa yang harus ku lakukan. Satu sisi aku tak ingin berbagi suami, disisi lain aku sangat sakit melihat ibu begitu kecewa," tanya Bhista pada ayah mertuanya.Dia bertanya karena saat ini hanya Tuan Winata lah yang dalam posisi netral."Kau tahu aku sangat kecewa padamu, tapi mengapa kau tetap bersikeras tak bisa membagi suamimu? Ta
Tok ... Tok ... Tok ...Seseorang mengedor pintu kamar dan membuat dua insan yang hampir berciuman itu terkejut."Aish, siapa yang datang?" omel Satria.Dia segera bangkit dan membuka pintu."Mobil sudah siap, Kak. Ayo segera turun. Kita akan segera ke bandara," kata Lucky."Hyak, apa tak bisa datangnya nanti setelah istriku memberiku kecupan manis dibibirku?" omel Satria.Suara tawa Lucky memecah keheningan."Oke.Masuk dan lanjutkan ciuman itu. Kuberi waktu sepuluh menit. Setelah itu aku akan datang lagi untuk membawa kopermu turun," kata Lucky dengan santai.Satria menutup pintu dan menghampiri istrinya yang sedang duduk di tepi ranjang itu. Tanpa aba-aba suami Bhista itu menyerang istrinya dengan brutal."Kita hanya punya waktu sepuluh menit sebelum si brengsek itu kembali, ayo manfaatkan," bisik Satria.Mereka merengkuh nikmatnya ciuman dan sentuhan dalam waktu sep
Mobil Bhista memasuki halaman kediaman Winata yang tak lain adalah rumah suaminya sendiri. Saat dia melangkah masuk terasa ada yang aneh. Setelah dia amati, ibu mertuanya menyimpan semua foto pernikahannya dengan Satria. Belum ada lima hari foto-foto itu di gantung kini sudah harus diturunkan."Baru beberapa hari yang lalu, orang studio mengantarnya. Sudah harus diturunkan," batin Bhista menyayat hati.Dia berjalan masuk dan tiba-tiba ibunya menghentikan langkahnya."Kau tidurlah di kamar sebelah kamar Satria, agar Arsy tak curiga," bisik ibu mertua Bhista.Dia tak bisa menolak, "Baiklah, Ibu."Setelah beberapa hari lalu Bhista terabaikan, kini dia telah terusir dari kamarnya sendiri. Bhista membawa beberapa berkas yang harus ia kerjakan. Bhista juga membawa alat cetak dokumen dari kamar Satria ke kamar barunya. Batin Bhista sedikit perih, tapi dia mencoba menepis segalanya demi kewarasannya sendiri."Ini keputu
Saat hendak berangkat ke perusahaan ponsel Bhista berdering. Siapa lagi kalau bukan Satria yang menelponnya. Bhista sengaja mengabaikannya karena dia masih berada di sekitar rumah. Dia terlalu takut Arsy melihatnya bertelepon mesra bersama suaminya sendiri. "Siapa yang menelpon? Mengapa diabaikan?" tanya Arsy. "Bukan siapa-siapa, hanya orang perusahaan. Bisa ku jawab nanti," dusta Bhista. "Pasti Satria yang menghubunginya," batin Nyonya Winata. Ibu mertua Bhista itu sengaja meraih ponselnya. "Bukankah, Satria sudah sampai? Aku akan menelponnya," ujar Nyonya Winata. Bhista menghentikan kunyahan makanannya. Dia melirik sadis ke arah ibu mertuanya itu. "Aku sudah selesai, ada beberapa hal yang harus segera aku tangani. Aku berangkat sekarang," pamit Bhista. Bhista melajukan mobilnya menuju perusahaan sembari menghubungi Satria lagi. Beberapa kali tak terhubung, mungkin karena dia sedang dalam panggilan bersama ibunya. Saat