Share

7. Ingkari Saja

Bhista melihat ke arah Satria yang tampak sangat kesal. Pria itu berkali-kali melayangkan pandangan sinis pada ibunya. Berulang kali dia sudah mencoba mengutarakan sesuatu. Tapi selalu saja kalah dengan suara ibunya. 

"Hentikan, Ibu! Hentikan semuanya! Apa yang Ibu katakan? Ibu menyakiti Bistha dan menodai pernikahan kami. Aku tak akan menikah lagi dengan siapa pun. Jangan gegabah dan jangan membuat keadaan semakin sulit!" bentak Satria. 

"Tapi, Nak, dia sakit," mohon Nyonya Winata. 

“Bagaimana bisa Ibu sampai berurai air mata seperti itu? Dia pasti sangat mencintai Arsy, hingga tega melakukan ini semua padaku,” batin Bhista.

Pernikahan Bhista dengan Satria baru berjalan delapan hari, tapi mengapa badai ini sudah membuatnya ingin berhenti? Saat Bhista mati-matian berusaha membuka hatinya, tapi keadaan justru berbalik seperti ini. Hatinya memang masih terlalu kaku untuk Satria. Namun, pernikahan ini adalah komitmen terbesar dalam hidupnya yang harus dia jaga sampai maut menjemput. 

"Ibu, apa ini semua karena aku tak bisa menjadi istri yang baik untuk putramu? Apa karena aku mementingkan pekerjaan dari pada menjadi istri yang berada di rumah dan melayani suamiku setiap saat?" tanya Bhista. 

"Maafkan Ibu tentang itu, Nak. Sungguh bukan karena itu. Ini semua karena janji Ibu pada mendiang Ibu Arsy. Hanya itu," jelas Nyonya Winata. 

Hati Bhista sudah hampir meledak. Dia benar-benar dibuat marah dengan keinginan tak lazim ibu mertuanya. 

"Janji? Semata demi sebuah janji?" lirih Bhista. 

Nada bicara Bhista terdengar lembut dan juga halus. Sangat berbeda dengan hatinya yang berkecamuk luar biasa. Bhista berpindah dari hadapan ibu mertuanya itu. 

"Ingkari saja janji itu, Ibu. Lagi pula Ibu Arsy sudah meninggal. Kurasa tak ada gunanya memikirkan orang yang sudah meninggal. Kita harus memikirkan yang terbaik dari pada membuat keadaan semakin keruh," jawab Bhista pada akhirnya. Dia tak bisa menahan diri lagi.  

Nyonya Winata membelalakan matanya mendengar perkataan Bhista yang menurutnya kasar dan arogan. Satria pun tampak sangat kaget isrtinya bisa berbicara setegas dan setajam itu. 

"Sayang," ujar Satria meredam emosi istrinya. 

"Akal sehat Ibu sudah hilang. Bagaimana bisa Ibu menghancurkan rumah tangga putra Ibu sendiri dengan permintaan seperti itu?" sebut Bhista. 

"Ibu berjanji ini tak akan lama, usianya tak lama lagi. Dan Ibu mohon kalian mengerti," jelas Nyonya Winata. 

"Apa sekarang Ibu sudah menjadi Tuhan yang bisa menentukan usia seseorang?" cecar Bhista dengan menahan emosinya. 

"Jangan bertele-tele lagi. Ini semua semata demi hidup Arsy. Apa kalian akan merelakan sisa usianya untuk menderita? Apa tak bisa bersandiwara sebentar saja dan menikah dengan dia?" hardik Nyonya Winata. 

"Aku tak akan menikahinya, Ibu, aku hanya mencintai istriku," sahut Satria dengan nada tinggi dan tegas. 

Bhista tersenyum menang mendengar penolakan suaminya. Dia menyilangkan tangannya di dada dan tanpa sengaja pandangan matanya bertemu dengan sang ibu mertua. 

"Kau tak hanya wanita yang buruk, kau juga sangat kejam," bentak Nyonya Winata sembari menunjuk wajah menantunya itu. 

Nyonya Winata berjalan keluar kamar Satria dengan hati yang penuh emosi dan pikiran kalut. Bhista melengguh keras, hatinya semakin berkecamuk. Bagaimana bisa dia berbagi suami dengan alasan kesehatan gadis itu. Walau dia belum mencintai Satria, tapi bukan berarti dia akan dengan mudah merelakan suaminya menjadi milik orang lain selain dirinya. 

Satria mendekati istrinya dan mulai membelai lembut punggungnya. Dia merasa harus menjelaskan sesuatu pada Bhista.

"Tenangkan dirimu setelah itu kita bicara," katanya lembut.

"Bicara? Apa ada yang perlu dibicarakan?" desak Bhista. 

Satria menatap sendu wanita yang baru delapan hari dia nikahi itu. Rasa cinta pria itu begitu besar pada Bhista. Dia tak pernah berpikir untuk pergi sedikitpun walau Bhista belum mencintainya sekalipun. 

"Menurutmu?" tanya Satria. 

"Tidak ada jika tentang wanita itu," jawab Bhista. 

"Bukan tentang itu. Tentang keberangkatanku esok," kata Satria. 

Bhista terpana, dia tak menyangka suaminya begitu pandai membalikkan suasana hatinya. Satria sengaja mengganti topik agar istrinya itu tak banyak berpikir tentang permintaan konyol Nyonya Winata. 

"Semua keperluanmu sudah aku masukan koper. Visa dan paspor juga sudah ku siapkan di nakas. Hanya perlu memasukan pada dompetmu agar tak tercecer," jelas Bhista. 

Satria mengangguk, bagaimana pun dia merasa sangat bersalah atas apa yang ibunya katakan pada Bhista. Satria berusaha membuat istrinya melupakan perkataan ibunya dengan mengajak keluar menikmati udara malam. 

"Ingin keluar sebentar? Udara malam terkadang bisa membuat hati lebih tenang," ajak Satria.

Bhista mengiyakan ajakannya karena ia juga butuh penghiburan. Namun tiba-tiba Bhista berpikir jika Satria melakukan semua ini untuk membuat suasana tenang sebelum badai. Ketakutan yang amat membuat hatinya sedikit bergidik. 

"Jangan katakan kau melakukan ini karena kau akan setuju dengan keinginan konyol Ibu itu," hardik Bhista. 

Satria tersenyum mendengar kecurigaan istrinya. Senyumnya begitu pasi mengisyaratkan sebuah teka-teki. 

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status