Bhista melihat ke arah Satria yang tampak sangat kesal. Pria itu berkali-kali melayangkan pandangan sinis pada ibunya. Berulang kali dia sudah mencoba mengutarakan sesuatu. Tapi selalu saja kalah dengan suara ibunya.
"Hentikan, Ibu! Hentikan semuanya! Apa yang Ibu katakan? Ibu menyakiti Bistha dan menodai pernikahan kami. Aku tak akan menikah lagi dengan siapa pun. Jangan gegabah dan jangan membuat keadaan semakin sulit!" bentak Satria.
"Tapi, Nak, dia sakit," mohon Nyonya Winata.
“Bagaimana bisa Ibu sampai berurai air mata seperti itu? Dia pasti sangat mencintai Arsy, hingga tega melakukan ini semua padaku,” batin Bhista.
Pernikahan Bhista dengan Satria baru berjalan delapan hari, tapi mengapa badai ini sudah membuatnya ingin berhenti? Saat Bhista mati-matian berusaha membuka hatinya, tapi keadaan justru berbalik seperti ini. Hatinya memang masih terlalu kaku untuk Satria. Namun, pernikahan ini adalah komitmen terbesar dalam hidupnya yang harus dia jaga sampai maut menjemput.
"Ibu, apa ini semua karena aku tak bisa menjadi istri yang baik untuk putramu? Apa karena aku mementingkan pekerjaan dari pada menjadi istri yang berada di rumah dan melayani suamiku setiap saat?" tanya Bhista.
"Maafkan Ibu tentang itu, Nak. Sungguh bukan karena itu. Ini semua karena janji Ibu pada mendiang Ibu Arsy. Hanya itu," jelas Nyonya Winata.
Hati Bhista sudah hampir meledak. Dia benar-benar dibuat marah dengan keinginan tak lazim ibu mertuanya.
"Janji? Semata demi sebuah janji?" lirih Bhista.
Nada bicara Bhista terdengar lembut dan juga halus. Sangat berbeda dengan hatinya yang berkecamuk luar biasa. Bhista berpindah dari hadapan ibu mertuanya itu.
"Ingkari saja janji itu, Ibu. Lagi pula Ibu Arsy sudah meninggal. Kurasa tak ada gunanya memikirkan orang yang sudah meninggal. Kita harus memikirkan yang terbaik dari pada membuat keadaan semakin keruh," jawab Bhista pada akhirnya. Dia tak bisa menahan diri lagi.
Nyonya Winata membelalakan matanya mendengar perkataan Bhista yang menurutnya kasar dan arogan. Satria pun tampak sangat kaget isrtinya bisa berbicara setegas dan setajam itu.
"Sayang," ujar Satria meredam emosi istrinya.
"Akal sehat Ibu sudah hilang. Bagaimana bisa Ibu menghancurkan rumah tangga putra Ibu sendiri dengan permintaan seperti itu?" sebut Bhista.
"Ibu berjanji ini tak akan lama, usianya tak lama lagi. Dan Ibu mohon kalian mengerti," jelas Nyonya Winata.
"Apa sekarang Ibu sudah menjadi Tuhan yang bisa menentukan usia seseorang?" cecar Bhista dengan menahan emosinya.
"Jangan bertele-tele lagi. Ini semua semata demi hidup Arsy. Apa kalian akan merelakan sisa usianya untuk menderita? Apa tak bisa bersandiwara sebentar saja dan menikah dengan dia?" hardik Nyonya Winata.
"Aku tak akan menikahinya, Ibu, aku hanya mencintai istriku," sahut Satria dengan nada tinggi dan tegas.
Bhista tersenyum menang mendengar penolakan suaminya. Dia menyilangkan tangannya di dada dan tanpa sengaja pandangan matanya bertemu dengan sang ibu mertua.
"Kau tak hanya wanita yang buruk, kau juga sangat kejam," bentak Nyonya Winata sembari menunjuk wajah menantunya itu.
Nyonya Winata berjalan keluar kamar Satria dengan hati yang penuh emosi dan pikiran kalut. Bhista melengguh keras, hatinya semakin berkecamuk. Bagaimana bisa dia berbagi suami dengan alasan kesehatan gadis itu. Walau dia belum mencintai Satria, tapi bukan berarti dia akan dengan mudah merelakan suaminya menjadi milik orang lain selain dirinya.
Satria mendekati istrinya dan mulai membelai lembut punggungnya. Dia merasa harus menjelaskan sesuatu pada Bhista.
"Tenangkan dirimu setelah itu kita bicara," katanya lembut.
"Bicara? Apa ada yang perlu dibicarakan?" desak Bhista.
Satria menatap sendu wanita yang baru delapan hari dia nikahi itu. Rasa cinta pria itu begitu besar pada Bhista. Dia tak pernah berpikir untuk pergi sedikitpun walau Bhista belum mencintainya sekalipun.
"Menurutmu?" tanya Satria.
"Tidak ada jika tentang wanita itu," jawab Bhista.
"Bukan tentang itu. Tentang keberangkatanku esok," kata Satria.
Bhista terpana, dia tak menyangka suaminya begitu pandai membalikkan suasana hatinya. Satria sengaja mengganti topik agar istrinya itu tak banyak berpikir tentang permintaan konyol Nyonya Winata.
"Semua keperluanmu sudah aku masukan koper. Visa dan paspor juga sudah ku siapkan di nakas. Hanya perlu memasukan pada dompetmu agar tak tercecer," jelas Bhista.
Satria mengangguk, bagaimana pun dia merasa sangat bersalah atas apa yang ibunya katakan pada Bhista. Satria berusaha membuat istrinya melupakan perkataan ibunya dengan mengajak keluar menikmati udara malam.
"Ingin keluar sebentar? Udara malam terkadang bisa membuat hati lebih tenang," ajak Satria.
Bhista mengiyakan ajakannya karena ia juga butuh penghiburan. Namun tiba-tiba Bhista berpikir jika Satria melakukan semua ini untuk membuat suasana tenang sebelum badai. Ketakutan yang amat membuat hatinya sedikit bergidik.
"Jangan katakan kau melakukan ini karena kau akan setuju dengan keinginan konyol Ibu itu," hardik Bhista.
Satria tersenyum mendengar kecurigaan istrinya. Senyumnya begitu pasi mengisyaratkan sebuah teka-teki.
* * *Di tengah malam yang dingin, Bhista teringat jika dia berjanji akan ke kamar Satria setelah Arsy tidur. Dia segera turun dari ranjang perlahan agar tak membangunkan gadis manis yang sudah tertidur lelap itu."Aku akan ke sana sekarang," batin Bhisat.Dengan langkah kaki yang pelan dan hampir tak terdengar, Bhista menuju pintu berwarna putih itu. Dia membukanya secara perlahan dan segera keluar tanpa suara. Setelah sampai di luar dia menghela napas kasarnya."Aku beruntung, Arsy sangat lelap hingga dia tak terbangun." Bhista mengoceh sendiri.Baru saja dia akan melangkah, seseorang menepuk pundaknya. Dia merasa begitu kaget hingga hampir saja meninju orang itu."Lama sekali, aku hampir mati menunggumu," omelnya.Satria segera menarik Bhista menuju kamarnya. Suara pintu yang terkunci menandakan mereka berdua sudah masuk dan tak ingin diganggu.Bisa duduk di tepi ranjang besar kamar itu. Dia begitu rindu dengan hangatnya ranjang yang sel
Arsy selesai makan dan membuka pintu kamar Bhista. Dia melihat teman sekamarnya itu masih sibuk dengan pekerjaan kantornya."Sambil makan ini, Bhis. Biar tak terlalu tegang," kata Arsy sembari memberikan sebuah wadah plastik berisi potongan buah melon."Ah, terima kasih," jawab Bhista menerima wadah itu dan meletakan di mejanya."Kau membawa pekerjaan pulang. Apa terlalu sibuk di kantor?" tanya Arsy."Ada beberapa hal yang harus kupersiapkan untuk meeting besok," jawab Bhista."Satria ada meeting besok?" desak Arsy lagi.Bhista lupa jika Arsy tak tahu dia memegang perusahaan sendiri."Ah, bukan. Ini meeting staf," bohong Bhista beralasan."Kau pasti repot menjadi sekretaris Satria. Dia pria yang perfeksionis walau terlihat lembut. Dahulu Lucky sering mengeluh padaku," kenang Arsy."Benarkah, sekarang mungkin masih sama seperti itu," kata Bhista berpura-pura tanggap.&n
Bhista berjalan menuju kamarnya dengan langkah lemah. Hatinya begitu dipenuhi perasaan khawatir hanya saja dia tak boleh lemah. Ini adalah bagian dari rencananya sehingga dia harus bersikap dengan baik."Ayolah, Bhis. Jangan membuat hal kecil menjadi besar. Kau harus mulai terbiasa." Bhista bergumam dalam hati.Baru saja ia rebahkan tubuhnya, Arsy datang dengan membawa barangnya. Dia pindah dari kamar Satria."Bhis, boleh kuletakkan di sini?" tanyanya."Hm, letakkan saja. Aku akan pergi mandi," jawab Bhista dan segera mandi.Arsy menata beberapa bajunya di lemari Bhista dan beberapa barangnya di meja rias juga."Kau ternyata pecinta make-up, Bhis. Banyak sekali peralatan make-up yang kau miliki," lirih Arsy seraya tersenyum.Dia kembali membereskan segalanya. Setelah selesai dia menyimpan kopernya. Tak berselang lama Bhista keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah.
"Selamat datang, Sayang," sambut Nyonya Winata."Terima kasih, Ibu," jawab Satria.Dengan langkah ragu dan terpaksa, Satria masuk dan melinguk kesana kemari. Hatinya terasa tak tenang."Tunggu, Nak," kata Nyonya Winata.Satria menghentikan langkahnya dan memandang ibunya."Arsy tinggal di kamarmu, Ibu membawanya atas keputusan bersama dengan Bhista. Terimalah ini semua, demi Arsy," jelas Nyonya Winata."Di kamarku? Lalu, di mana Bhista tidur?" tanya Satria."Dia berada di kamar tamu sebelah kamarmu, Nak. Ini yang terbaik, karena memang keadaannya begitu rumit," elak Nyonya Winata.Satria tak mampu berkilah. Bisa bahkan tak memberi tahu jika Arsy menempati kamarnya."Kau sudah gila, Bhis. Kau membuat pernikahan kita benar-benar ternodai," batin Satria dengan kesal."Sat, biarkan Arsy sembuh dan membaik dahulu," ujar Nyonya Winata.Belum juga Satria menjawab, Bhista sudah datang dengan langkah panjangnya.
"Hanya kau yang bisa membujuk Arsy. Kita coba dahulu," paksa Bhista."Siapa yang menjemputnya untuk tinggal? Apakah ibuku?" desak Satria."Aku. Dia juga tak tahu jika aku istrimu. Aku berada di sana sebagai sekretarismu dan kumohon jangan buat aku dalam keadaan sulit. Aku akan bertahan," jelas Bhista."Kau benar-benar sudah gila, Bhis. Kau membuat keadaan pernikahan kita seperti neraka. Ini baru dua minggu. Bahkan kita belum bulan madu. Kau sudah menyusupkan wanita itu dalam rumah tangga kita." Satria mencecar Bhista dengan berbagai hal."Tak ada jalan lain lagi," kata Bhista."Ayo hentikan, Bhis. Kita akan segera pulang dan menghentikan semua kesalahan ini," ajak Satria."Bukan hanya aku yang menginginkan hal ini. Ibu juga tampak lebih baik setelah Arsy tinggal di rumah kita, dia lega setiap saat bisa melihat Arsy," jelas Bhista."Omong kosong. Aku tak peduli dengan apapun pendapatmu," sahut Satria.Air mata Bhista menitik lag
Waktu berlalu, hari ini Satria mendarat dari Jerman. Kerinduannya yang mendalam pada Bhista harus ditunda beberapa jam karena Lucky terlanjur membuat janji dengan seseorang di sebuah restoran."Apa ini lebih penting dari istriku?" tanya Satria."Entahlah," jawab Lucky.Hati Lucky merasa sangat tak enak. Dia hanya melakukan apa yang dia bisa lakukan. Bhista meminta Lucky membawa Satria mampir sebelum sampai rumah. Ini adalah cara agar Satria bisa bekerja sama demi Arsy."Aku tak yakin Satria mau mengerti, tapi setidaknya Satria bisa membuat keputusan yang tepat sebelum dia benar-benar menghadapi apa yang ada di rumahnya," batin Lucky.Mobil melaju ke restoran tempat di mana janji bertemu dibuat Bhista sudah duduk dengan segala kerinduan dan kegelisahannya. Dia tak yakin bisa mengatakan apa yang bisa dia katakan. Hanya saja tak ada jalan lain, ini adalah keputusan penting.Bhista terus mengelus lengannya pelan. Tampak sekali dia sedang sangat