Share

5. Dia Kembali

Pernikahan Bhista dengan Satria sudah berjalan seminggu. Hari ini mereka harus kembali pada aktivitas sebagai seorang penanggung jawab perusahaan masing-masing. 

Bhista turun dari kamar dan menuju meja makan untuk sarapan. Ayah dan ibu mertuanya sudah lebih dahulu duduk di sana. Pagi ini dia memang sedikit terlambat. Berkas yang ia butuhkan terlupa belum dicetak, sehingga membuatnya harus mencetak dahulu sebelum turun untuk sarapan. 

"Di mana suamimu?" tanya Nyonya Winata. 

"Dia akan segera turun, Ibu. Dia sedang menerima telepon," jawab Bhista 

"Selamat pagi Paman, Bibi, dan Bhista," sapa Lucky—sekretaris Satria—yang juga baru datang ke ruang makan. 

"Selamat pagi, Nak," jawab Nyonya Winata lembut.

"Selamat pagi, Lucky," jawab Bhista singkat. 

"Satria mendapat telepon dari Jerman tentang proyek besar itu Paman. Semoga saja minggu ini kita bisa terbang ke Jerman untuk tanda tangan kontrak kerja sama besar ini," jelas Lucky. 

Tuan Winata tersenyum bangga atas pencapaian putranya. Begitu juga dengan Nyonya Winata yang tersenyum lebar mendengar penjelasan Lucky mengenai keberhasilan Satria. 

"Terima kasih atas bantuanmu. Kau mendampingi putraku selama ini, dan membantunya mencetak sejarah baru di perusahaan yang hampir 35 tahun kukembangkan sendiri. Tak salah memang mendidik Satria dengan keras selama ini. Sekarang dia bisa menjadi pebisnis handal yang tersohor," kata Tuan Winata bangga. 

"Tentu saja. Dia putra kebanggan kita, Sayang," sahut Nyonya Winata. 

Tak berapa lama, Satria turun dan segera duduk di kursi sebelah istrinya. Bhista dengan cekatan membuka piring dan menyiapkan sarapan untuk Satria. Hal seperti ini sudah terjadi selama satu minggu pernikahan mereka, tapi Satria masih selalu tersenyum saat sang istri meletakan piring berisi makanan yang penuh di hadapannya.  

"Kau ingin membuatku makan banyak pagi ini?" canda Satria. 

Bhista membalas dengan senyuman. 

"Duduklah, Sayang. Makan bersamaku dari piring ini. Aku tak bisa menghabiskan ini sendiri," kata Satria, berusaha menciptakan suasana intim di sarapan kali ini. 

Tuan Winata tersenyum melihat putranya begitu manis pada menantunya. Tak hanya itu, Lucky juga terlihat bahagia melihat Satria dan Bhista sedekat itu. 

"Kau membuatku ingin segera menikahi kekasihku saja," canda Lucky. 

"Cepatlah menikah. Kau sudah 27 tahun, dan kurasa sudah sangat pas untuk menikah," kata Tuan Winata.

"Apa maksud Ayah aku terlambat menikah satu tahun? Bukankah usiaku hanya beda satu tahun dengan Lucky?" sahut Satria yang tersinggung. 

"Astaga, putra Ayah merajuk rupanya. Lihat suamimu, Bhista. Dia masih seperti anak kecil jika kami membandingkannya dengan Lucky," timpal Tuan Winata. 

Semua tertawa pagi itu. Suasana jauh lebih nyaman, walau Bhista masih sering mendapat kritik tajam dan pandangan sinis dari Nyonya Winata. Ibu mertuanya itu benar-benar menginginkan menantu yang bisa memasak dan mengurus segalanya sendiri. Sementara mulai hari ini, Bhista sudah akan sibuk bekerja sebagai Abistha Cintya Candra, wakil direktur utama perusahaan. 

"Kau berangkat sendiri saja. Aku akan mengatar istriku sebelum ke perusahaan," kata Satria. 

"Baiklah, hati-hati mengemudi. Kau sering lengah kalau sudah mengobrol," pesan Lucky penuh makna.

"Kau tenang saja, aku membawa Tuan Putri hidupku. Mana mungkin aku akan lengah?" sahut Satria. 

"Astaga, kau membual lagi. Aku sungguh muak dengan hal seperti ini," ujar Bhista pelan, yang hanya dibalas Satria dengan senyum di wajahnya. 

Setelah berpamitan pada Tuan dan Nyonya Winata, Satria dan Bhista segera berangkat. Arah perusahaan mereka memang berlawanan, tapi dengan setia Satria mengantar Bhista hingga pintu masuk lobi. Dengan semangat, dia juga melambaikan tangannya sembari mengucapkan selamat tinggal sebelum berangkat menuju perusahaannya. 

***

Hari hampir gelap, tapi Bhista baru saja merampungkan pekerjaannya. Dia pun bergegas keluar pulang, dan akhirnya baru sampai di rumah saat makan malam tengah dipersiapkan. 

"Menantuku yang sibuk ini sudah pulang. Ganti bajumu dan cobalah menyiapkan makan malam untuk suamimu. Percuma kau pandai mencari uang, tapi kau tak pandai melayani suami," kata Nyonya Winata ketus begitu Bhista menginjak pintu masuk rumah.

"Baiklah, Ibu," jawab Bhista sedikit menundukkan kepalanya. 

Bhista kemudian segera naik menuju kamar untuk mengganti baju. Setelah itu, dia langsung menuju dapur dan mencari-cari apa yang bisa ia kerjakan. Dia ingin mencoba menjadi istri yang baik untuk suaminya sesuai keinginan Nyonya Winata. 

Namun, Bhista sangat bingung karena tak melihat satu hal pun yang bisa dikerjakannya. Dia merasa sangat payah. Dia memang wanita karir yang sukses, tapi dia tak memiliki keahlian untuk menjadi istri dan menantu yang baik. 

"Aish, kau terlalu bodoh, Bhista! Mati saja kau!" rutuk Bhista pada dirinya sendiri. 

Nyonya Winata menatap Bhista penuh intimidasi, karena menantunya itu tak bisa melakukan apa pun di dapur. Jangankan memasak, membersihkan sayuran saja dia banyak melakukan kesalahan. Beberapa kali juga Bibi Sum menegur bentuk potongan wortelnya.

"Dia benar-benar tak berguna!" gerutu Nyonya Winata. 

Ting! Tong!

Bel pintu utama berbunyi, mengintrupsi kesibukan di dapur. Salah satu pembantu akhirnya berlari kecil menuju ke depan untuk segera membuka pintu. 

"Selamat malam, Nona. Anda datang berkunjung? Sudah lama tak berjumpa," sapa pembantu itu pada seorang gadis cantik berambut hitam legam yang wajahnya tampak pucat. 

"Terima kasih Bibi. Kau masih mengingatku?" balas perempuan itu. 

"Tentu saja, Nona. Anda gadis yang sangat baik dan sangat ramah pada kami. Mana mungkin kami lupa," jawab si pembantu. 

"Apa Bibi Winata di rumah?" tanya perempuan yang dipanggil Nona itu lirih. 

"Beliau sedang di ruang tengah Nona, masuklah!" kata si pembantu dengan lembut. 

Bhista merasa penasaran siapa tamu yang berkunjung di jam makan malam seperti ini. Dia lain sisi dia berharap bahwa itu Satria, karena dia merasa tak nyaman menghadapi ibu mertuanya sendiri. Ya, meski tidak mungkin Satria pulang dan menekan bel hanya untuk masuk ke rumahnya sendiri. Namun saat Bhista mencoba untuk melihat ke depan, tamu itu sedang berjalan menuju dapur dan menemui ibu mertuanya. 

"Bibi, aku datang," sapa gadis manis itu. 

"Arsy?” Nyonya Winata tampak terkejut. “Astaga, Bibi sangat merindukanmu, Nak," sambutnya kemudian dengan sangat hangat. 

Bhista bisa merasakan perbedaan perlakuan sang ibu mertua saat menyambut dirinya dan gadis itu. Dia jadi sangat iri. Namun di balik rasa irinya, Bhista penasaran siapa sebenarnya gadis yang bisa begitu dekat dengan ibu mertuanya itu. 

Arsy kemudian melewati Bhista, dan berjalan menuju kesibukan di dapur. Dia segera membaur bersama dua pembantu yang sedang sibuk menyiapkan makan malam di sana. Dia juga segera memasang apron dan membantu memasak. 

"Sempurna," batin Bhista sambil menatap gadis bernama Arsy itu. 

Bhista yang merasa diabaikan dan tak berguna di ruangan itu, akhirnya memutuskan kembali ke kamar sambil menunggu suaminya kembali. 

***

"Kapan kau kembali? Mengapa baru datang?" tanya Nyonya Winata pada Arsy. 

"Aku langsung datang kemari setelah menyembuhkan jetlag-ku Bibi," jawab Arsy. 

"Bagaimana keadaanmu, Sayang? Bukankah kau sudah sembuh?” tanya Nyonya Winata. “Dua tahun kau pergi, dan Bibi berharap kau sudah benar-benar sembuh." 

"Sudah lebih baik, Bibi," jawab Arsy singkat. 

Di tengah obrolan Nyonya Winata dan Arsy, suara mobil Satria menyela keduannya. Mereka berhenti berbincang dan menyambut Satria yang baru saja kembali dari kantor. 

Satria yang baru turun dari mobil seketika terbelalak saat melihat Arsy berada di rumahnya dan sedang berdiri bersama sang ibu. Satria tak menyangka gadis yang dua tahun meninggalkannya tanpa pesan itu muncul kembali di hadapannya. 

"Satria, bagaimana kabarmu? Apa kau sudah benar-benar melupakan aku?" tanya Arsy. 

Satria tak menjawab sama sekali. Dia tertegun mendengar pertanyaan gadis yang selama ini membuatnya terluka sendiri. Arsy meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, dan kini kembali seolah tak pernah terjadi apa-apa setelah membuat luka yang begitu dalam di hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status