***
Hari hampir gelap, tapi Bhista baru saja merampungkan pekerjaannya. Dia pun bergegas keluar pulang, dan akhirnya baru sampai di rumah saat makan malam tengah dipersiapkan.
"Menantuku yang sibuk ini sudah pulang. Ganti bajumu dan cobalah menyiapkan makan malam untuk suamimu. Percuma kau pandai mencari uang, tapi kau tak pandai melayani suami," kata Nyonya Winata ketus begitu Bhista menginjak pintu masuk rumah."Baiklah, Ibu," jawab Bhista sedikit menundukkan kepalanya. Bhista kemudian segera naik menuju kamar untuk mengganti baju. Setelah itu, dia langsung menuju dapur dan mencari-cari apa yang bisa ia kerjakan. Dia ingin mencoba menjadi istri yang baik untuk suaminya sesuai keinginan Nyonya Winata. Namun, Bhista sangat bingung karena tak melihat satu hal pun yang bisa dikerjakannya. Dia merasa sangat payah. Dia memang wanita karir yang sukses, tapi dia tak memiliki keahlian untuk menjadi istri dan menantu yang baik. "Aish, kau terlalu bodoh, Bhista! Mati saja kau!" rutuk Bhista pada dirinya sendiri. Nyonya Winata menatap Bhista penuh intimidasi, karena menantunya itu tak bisa melakukan apa pun di dapur. Jangankan memasak, membersihkan sayuran saja dia banyak melakukan kesalahan. Beberapa kali juga Bibi Sum menegur bentuk potongan wortelnya."Dia benar-benar tak berguna!" gerutu Nyonya Winata. Ting! Tong!Bel pintu utama berbunyi, mengintrupsi kesibukan di dapur. Salah satu pembantu akhirnya berlari kecil menuju ke depan untuk segera membuka pintu. "Selamat malam, Nona. Anda datang berkunjung? Sudah lama tak berjumpa," sapa pembantu itu pada seorang gadis cantik berambut hitam legam yang wajahnya tampak pucat. "Terima kasih Bibi. Kau masih mengingatku?" balas perempuan itu. "Tentu saja, Nona. Anda gadis yang sangat baik dan sangat ramah pada kami. Mana mungkin kami lupa," jawab si pembantu. "Apa Bibi Winata di rumah?" tanya perempuan yang dipanggil Nona itu lirih. "Beliau sedang di ruang tengah Nona, masuklah!" kata si pembantu dengan lembut. Bhista merasa penasaran siapa tamu yang berkunjung di jam makan malam seperti ini. Dia lain sisi dia berharap bahwa itu Satria, karena dia merasa tak nyaman menghadapi ibu mertuanya sendiri. Ya, meski tidak mungkin Satria pulang dan menekan bel hanya untuk masuk ke rumahnya sendiri. Namun saat Bhista mencoba untuk melihat ke depan, tamu itu sedang berjalan menuju dapur dan menemui ibu mertuanya. "Bibi, aku datang," sapa gadis manis itu. "Arsy?” Nyonya Winata tampak terkejut. “Astaga, Bibi sangat merindukanmu, Nak," sambutnya kemudian dengan sangat hangat. Bhista bisa merasakan perbedaan perlakuan sang ibu mertua saat menyambut dirinya dan gadis itu. Dia jadi sangat iri. Namun di balik rasa irinya, Bhista penasaran siapa sebenarnya gadis yang bisa begitu dekat dengan ibu mertuanya itu. Arsy kemudian melewati Bhista, dan berjalan menuju kesibukan di dapur. Dia segera membaur bersama dua pembantu yang sedang sibuk menyiapkan makan malam di sana. Dia juga segera memasang apron dan membantu memasak. "Sempurna," batin Bhista sambil menatap gadis bernama Arsy itu. Bhista yang merasa diabaikan dan tak berguna di ruangan itu, akhirnya memutuskan kembali ke kamar sambil menunggu suaminya kembali.***
"Kapan kau kembali? Mengapa baru datang?" tanya Nyonya Winata pada Arsy.
"Aku langsung datang kemari setelah menyembuhkan jetlag-ku Bibi," jawab Arsy. "Bagaimana keadaanmu, Sayang? Bukankah kau sudah sembuh?” tanya Nyonya Winata. “Dua tahun kau pergi, dan Bibi berharap kau sudah benar-benar sembuh." "Sudah lebih baik, Bibi," jawab Arsy singkat. Di tengah obrolan Nyonya Winata dan Arsy, suara mobil Satria menyela keduannya. Mereka berhenti berbincang dan menyambut Satria yang baru saja kembali dari kantor. Satria yang baru turun dari mobil seketika terbelalak saat melihat Arsy berada di rumahnya dan sedang berdiri bersama sang ibu. Satria tak menyangka gadis yang dua tahun meninggalkannya tanpa pesan itu muncul kembali di hadapannya. "Satria, bagaimana kabarmu? Apa kau sudah benar-benar melupakan aku?" tanya Arsy. Satria tak menjawab sama sekali. Dia tertegun mendengar pertanyaan gadis yang selama ini membuatnya terluka sendiri. Arsy meninggalkannya tanpa sepatah kata pun, dan kini kembali seolah tak pernah terjadi apa-apa setelah membuat luka yang begitu dalam di hatinya.Di tengah malam yang dingin, Bhista teringat jika dia berjanji akan ke kamar Satria setelah Arsy tidur. Dia segera turun dari ranjang perlahan agar tak membangunkan gadis manis yang sudah tertidur lelap itu."Aku akan ke sana sekarang," batin Bhisat.Dengan langkah kaki yang pelan dan hampir tak terdengar, Bhista menuju pintu berwarna putih itu. Dia membukanya secara perlahan dan segera keluar tanpa suara. Setelah sampai di luar dia menghela napas kasarnya."Aku beruntung, Arsy sangat lelap hingga dia tak terbangun." Bhista mengoceh sendiri.Baru saja dia akan melangkah, seseorang menepuk pundaknya. Dia merasa begitu kaget hingga hampir saja meninju orang itu."Lama sekali, aku hampir mati menunggumu," omelnya.Satria segera menarik Bhista menuju kamarnya. Suara pintu yang terkunci menandakan mereka berdua sudah masuk dan tak ingin diganggu.Bisa duduk di tepi ranjang besar kamar itu. Dia begitu rindu dengan hangatnya ranjang yang sel
Arsy selesai makan dan membuka pintu kamar Bhista. Dia melihat teman sekamarnya itu masih sibuk dengan pekerjaan kantornya."Sambil makan ini, Bhis. Biar tak terlalu tegang," kata Arsy sembari memberikan sebuah wadah plastik berisi potongan buah melon."Ah, terima kasih," jawab Bhista menerima wadah itu dan meletakan di mejanya."Kau membawa pekerjaan pulang. Apa terlalu sibuk di kantor?" tanya Arsy."Ada beberapa hal yang harus kupersiapkan untuk meeting besok," jawab Bhista."Satria ada meeting besok?" desak Arsy lagi.Bhista lupa jika Arsy tak tahu dia memegang perusahaan sendiri."Ah, bukan. Ini meeting staf," bohong Bhista beralasan."Kau pasti repot menjadi sekretaris Satria. Dia pria yang perfeksionis walau terlihat lembut. Dahulu Lucky sering mengeluh padaku," kenang Arsy."Benarkah, sekarang mungkin masih sama seperti itu," kata Bhista berpura-pura tanggap.&n
Bhista berjalan menuju kamarnya dengan langkah lemah. Hatinya begitu dipenuhi perasaan khawatir hanya saja dia tak boleh lemah. Ini adalah bagian dari rencananya sehingga dia harus bersikap dengan baik."Ayolah, Bhis. Jangan membuat hal kecil menjadi besar. Kau harus mulai terbiasa." Bhista bergumam dalam hati.Baru saja ia rebahkan tubuhnya, Arsy datang dengan membawa barangnya. Dia pindah dari kamar Satria."Bhis, boleh kuletakkan di sini?" tanyanya."Hm, letakkan saja. Aku akan pergi mandi," jawab Bhista dan segera mandi.Arsy menata beberapa bajunya di lemari Bhista dan beberapa barangnya di meja rias juga."Kau ternyata pecinta make-up, Bhis. Banyak sekali peralatan make-up yang kau miliki," lirih Arsy seraya tersenyum.Dia kembali membereskan segalanya. Setelah selesai dia menyimpan kopernya. Tak berselang lama Bhista keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah.
"Selamat datang, Sayang," sambut Nyonya Winata."Terima kasih, Ibu," jawab Satria.Dengan langkah ragu dan terpaksa, Satria masuk dan melinguk kesana kemari. Hatinya terasa tak tenang."Tunggu, Nak," kata Nyonya Winata.Satria menghentikan langkahnya dan memandang ibunya."Arsy tinggal di kamarmu, Ibu membawanya atas keputusan bersama dengan Bhista. Terimalah ini semua, demi Arsy," jelas Nyonya Winata."Di kamarku? Lalu, di mana Bhista tidur?" tanya Satria."Dia berada di kamar tamu sebelah kamarmu, Nak. Ini yang terbaik, karena memang keadaannya begitu rumit," elak Nyonya Winata.Satria tak mampu berkilah. Bisa bahkan tak memberi tahu jika Arsy menempati kamarnya."Kau sudah gila, Bhis. Kau membuat pernikahan kita benar-benar ternodai," batin Satria dengan kesal."Sat, biarkan Arsy sembuh dan membaik dahulu," ujar Nyonya Winata.Belum juga Satria menjawab, Bhista sudah datang dengan langkah panjangnya.
"Hanya kau yang bisa membujuk Arsy. Kita coba dahulu," paksa Bhista."Siapa yang menjemputnya untuk tinggal? Apakah ibuku?" desak Satria."Aku. Dia juga tak tahu jika aku istrimu. Aku berada di sana sebagai sekretarismu dan kumohon jangan buat aku dalam keadaan sulit. Aku akan bertahan," jelas Bhista."Kau benar-benar sudah gila, Bhis. Kau membuat keadaan pernikahan kita seperti neraka. Ini baru dua minggu. Bahkan kita belum bulan madu. Kau sudah menyusupkan wanita itu dalam rumah tangga kita." Satria mencecar Bhista dengan berbagai hal."Tak ada jalan lain lagi," kata Bhista."Ayo hentikan, Bhis. Kita akan segera pulang dan menghentikan semua kesalahan ini," ajak Satria."Bukan hanya aku yang menginginkan hal ini. Ibu juga tampak lebih baik setelah Arsy tinggal di rumah kita, dia lega setiap saat bisa melihat Arsy," jelas Bhista."Omong kosong. Aku tak peduli dengan apapun pendapatmu," sahut Satria.Air mata Bhista menitik lag
Waktu berlalu, hari ini Satria mendarat dari Jerman. Kerinduannya yang mendalam pada Bhista harus ditunda beberapa jam karena Lucky terlanjur membuat janji dengan seseorang di sebuah restoran."Apa ini lebih penting dari istriku?" tanya Satria."Entahlah," jawab Lucky.Hati Lucky merasa sangat tak enak. Dia hanya melakukan apa yang dia bisa lakukan. Bhista meminta Lucky membawa Satria mampir sebelum sampai rumah. Ini adalah cara agar Satria bisa bekerja sama demi Arsy."Aku tak yakin Satria mau mengerti, tapi setidaknya Satria bisa membuat keputusan yang tepat sebelum dia benar-benar menghadapi apa yang ada di rumahnya," batin Lucky.Mobil melaju ke restoran tempat di mana janji bertemu dibuat Bhista sudah duduk dengan segala kerinduan dan kegelisahannya. Dia tak yakin bisa mengatakan apa yang bisa dia katakan. Hanya saja tak ada jalan lain, ini adalah keputusan penting.Bhista terus mengelus lengannya pelan. Tampak sekali dia sedang sangat