Sesuai dengan keinginan Asher, dirinya memang bekerja dengan benar. Pukul delapan berangkat dan baru pulang pukul lima sore.
Yang jadi masalah, dia hanya mengendarai kendaraan tanpa arah dan tujuan. Lebih tepatnya setelah pulang dari belanja di mall tadi.
Bosnya terus menerima telepon yang seakan tidak ada henti. Yang mana menyebabkan Isyana mingsuh-mingsuh sendiri.
“Nah turun di sini aja, Asher. Bener Lo, cerdas. Gak salah lulusan Toronto.”
Isyana menepuk pundak Asher. Yang mana membuat laki-laki itu seperti tersengat aliran listrik ribuan voltase.
“Eh iya Nona. Kalau tidak lulus, nanti diminta balik uangnya.”
Isyana yang sudah membuka seatbelt menoleh lagi. Dia merasa banyak sekali rahasia yang bisa dikulik dari si sopir barunya.
“Maksud Lo apa sih Ash? Kok gue ngerasa asing bener sama Lo ya?” ucap Isyana yang merasa begitu heran.
“Baru beberapa hari bertemu, Nona. Masih panjang waktu untuk kita penjajakan.”
Isyana justru bergidik saat mendengar kalimat itu. Bisa-bisanya Asher berkata semacam itu.
“Aneh-aneh aja lo. Udah gue masuk dulu. Lo parkir yang bener mobilnya. Awas lecet!”
Isyana meneruskan langkahnya. Dia membuka pintu dan menoleh berjalan ke depan. Tapi sebelum benar-benar masuk ke rumah, dirinya kembali lagi ke mobil.
“Asher. Barang belanjaan bawa masuk ya.”
Terlihat Asher mengangguk sepakat. Lantas setelahnya, Isyana masuk dahulu ke dalam rumah. Mendekati waktu Maghrib memang Nenek dan Kakeknya pergi ke surau terdekat. Mereka terbiasa melakukan hal itu. Sementara Isyana memilih beribadah di rumah saja.
“Belanjaannya taruh di mana, Nona?”
Baru saja mendudukkan pantatnya, suara Asher sudah terdengar lagi. Isyana memandang pria bule itu dan menunjuk ke meja kosong di hadapannya.
“Taruh di sini aja. Oh ya, baju buat Lo dan nyokap lo ambil juga gih.”
“Nyokap?” Asher garuk-garuk kepala dengan perkataan Isyana tadi.
“Mommy Lo. Astaga, Asher. Lo juga harus update bahasa gih.”
Isyana geleng-geleng kepala melihat tingkah sopirnya yang sama sekali tidak tahu mengenai bahasa gaul yang seharusnya mereka gunakan sehari-hari.
“Em, bukan itu Nona. Maksud saya, Nona membelikan Mommy saya baju. Apa tidak berlebihan?”
Isyana tentu menggelengkan kepala. Dia berpikir apa yang salah untuk selembar pakaian saja.
“Ambil ya. Gue mandi. Tutup pintunya kalau udah keluar.”
Asher mengangguk. Dia menepis sudut matanya dengan jari telunjuknya. Untung saja Isyana sudah berlalu dari hadapannya.
Bagaimana tidak haru. Selama ini, Asher yang memimpikan membelikan Ibunya baju. Ini kerja pertamanya yang akan mendapatkan gaji tetap.
Sudah jauh-jauh hari dirinya berniat membelikan ibunya baju. Karena biar bagaimanapun, pakaian yang dibawa dari Kanada, tidak banyak yang cocok dipakai di negara tropis seperti Indonesia ini.
Niatnya malah keduluan oleh bos besarnya. Tapi Asher bersyukur akan hal ini. Dia jadi bisa menilai selain pintar, bosnya juga memiliki hati. Ditambah cantik juga.
Untuk yang terakhir itu, Asher menggelengkan kepala. Dia tidak sampai hati untuk naksir bosnya sendiri.
“Terima kasih Nona bajunya. Saya akan bekerja lebih rajin lagi.”
Asher berteriak di dalam rumah. Meski tidak ada sahutan dari Isyana, dia tahu gadis itu mendengarkannya.
Tidak masalah, Asher pergi dengan membawa tentengan paper bag dengan hati yang begitu riang.
“Nona baik sekali. Mommy pasti suka. Sudah lama tidak memiliki baju baru.”
Sementara Isyana yang mendengar teriakan Asher barusan, berusaha menata jantungnya. Dia tahu bola mata Asher basah saat dia mengatakan membelikan baju untuk mommy-nya. Tapi tidak menyangka jika pria bule itu akan menangis haru.
“Duh apaan sih tuh bule. Perkara baju doang. Udah lagaknya kek menang togel lima M.”
Isyana menggelengkan kepala. Dia menyambar handuk dan berniat untuk mandi saja.
Meski niat mandinya juga digagalkan oleh jeritan ponsel pintar yang menyala-nyala sejak tadi.
Ternyata dari ibunya— Sukma.
Isyana : “Sendikodawuh Kanjeng Ratu. Ada yang bisa saya bantu?”
Isyana mengatakan dengan nada yang penuh ejekan. Benar saja, ejekan berhasil membuat napas seseorang sampai terdengar di ujung telepon.
Sukma : “Isyana! Bagaimana sama jodohmu? Kau sudah pergi ke mana saja? Alun-alun kota sudah?”
Isyana memutar bola matanya. Ibunya ini bukannya menanyakan kabarnya terlebih dahulu, malah justru menanyakan perihal jodoh terus menerus.
Isyana : “Ya kali Ma, nyari jodoh kek nyari singkong. Ketemu kebun langsung cabut.”
Tidak peduli sekali jika Sukma kesal dengan petuah tidak jelasnya itu.
Sukma : “Lo anak bener-bener ya! Jangan macam-macam loh. Pakai singkong punya orang juga mau Lo cabut. Mending Lo jual aset sebiji, Isyana. Mama gak ajari Lo buat nyuri. Istighfar Nak.”
Isyana garuk-garuk kepala. Ini ibunya kesambet setan di mana kah? Masa perumpamaan saja tidak dimengerti olehnya. Benar-benar keterlaluan.
Isyana : “Terserah Mama deh. Berbincang beda generasi memang rawan sekali bertengkar. Hamba mengalah saja. Maafkan Nyai. Maafkan diriku ini.”
Sukma melihat ke arah Isyana dengan begitu malas. Dia sebenarnya lelah sekali jika harus meladeni kelakuan anaknya yang super ajaib ini.
Sukma : “Isyana ingat ya waktu kau cuma tiga bulan.”
Isyana yang tadinya cengengesan mendengar apa yang dikatakan ibunya, seketika membulatkan mata. Apanya yang tiga bulan? Dia tidak paham dengan yang ibunya katakan.
Isyana : “Maksud Mama apa sih? Isyana tidak mengerti Ma. Yang benar saja kalau berucap. Maksudnya Mama mau pisah atau bagaimana sih ini?”
Sukma sebenarnya kesal memiliki anak gadis macam Isyana. Kalau urusan bisnis, anaknya memang tidak diragukan. Tapi mengenai kehidupan sehari-hari dan bergaul, Sukma sering kali harus mengelus dada.
Sukma : “Waktu cari jodohnya. Kau kan tidak bisa lama-lama meninggalkan kantor. Mama tidak sangguplah pegang sebanyak itu, Isyana.”
Isyana beroh ria mendengar jawaban Mamanya. Sebenarnya dia tidak yakin akan mendapatkan jodoh secepat itu. Mengingat wajah laki-laki yang dia temui saja baru Asher— yang mana sopirnya sendiri.
Isyana : “Iya Mama tenang saja. Isyana bakal cari jodoh yang tampan, rupawan, hartawan, solehwan. Is number one.”
Sukma mengacungkan jempolnya ke arah kamera. Dia juga memberikan semangat kepada anaknya. Semoga saja cita-cita anak tercapai kali ini.
Suara adzan Maghrib memutus panggilan antara ibu dan anak itu. Isyana yang berniat mandi, melanjutkan keinginannya itu. Paling tidak sebelum Kakek dan neneknya pulang, tiga rakaat harus sudah dia tunaikan.
***
“Isyana ...!”
Suara teriakan neneknya membuat Isyana yang baru saja menoleh salam kedua, buru-buru melepas mukenanya. Dia keluar dari kamar dan mendapati neneknya sedang mengintip apa-apa yang ada di dalam paper bag tersebut.
“Apa sih Nek. Ngagetin aja tahu gak?” ucap Isyana yang agak dongkol dengan tingkah laku sang nenek.
“Isyana kau habis belanja rupanya ini?” ucap Asma yang matanya tidak lepas dari paper bag di atas meja.
“Iya. Isyana kan juga butuh healing, Nek.”
“Hah? Kau butuh giling? Giling apa? Giling padi. Tuh Pak RT yang punya.”
Isyana justru hanya mengangkat bahunya tidak acuh. Dia pikir untuk meladeninya Neneknya membutuhkan waktu yang lama. Hingga dia mengangkat saja paper bag miliknya untuk dibawa ke kamar.
“Itu buat nenek dan kakek. Jangan berebut ya. Semua kebagian porsinya masing-masing kok,” sahut Isyana.
Sementara itu nenek Asma hanya terbengong saja. Dia menantap tumpukan paper bag yang ada di hadapannya. Sambil mulutnya komat-kamit seperti sedang melafalkan mantra.
“Tahu Isyana pergi, tahu gitu nitip gorden tadi,” ucap Nenek Asma dengan wajah begitu menyesal.
***
Suara gemericik air seperti soundtrack alami dalam hubungan asmara kedua insan yang baru saja bergejolak. Tetesan demi tetesan yang memercik, menambah rasa hangat dalam setiap keadaan. Permulaan yang tidak bagus, namun berakhir dengan baik. Di sini Asher yang menjadi pemimpin. Tidak hanya mampu membuat Isyana bergetar hebat. Dia sanggup membuat gadis itu seperti kehilangan kesadaran. Puncaknya saat keduanya menyatu dalam gairah yang sama. Asher buru-buru memboyong Isyana untuk berpindah ke kamar mereka. "Eh kenapa?" Isyana sedikit terkejut dengan gerakan Asher yang membopongnya tiba-tiba. Ada rasa kecewa, berpikir Asher tidak menginginkan lebih lanjut. "Jangan di kamar mandi. Banyak yang mengintip." Asher mengatakan singkat. Tanpa sungkan membanting tubuh Isyana di atas ranjang. Kemudian disusul olehnya yang naik dengan tergesa-gesa. "Ck, santai saja. Tergesa-gesa juga tidak bagus. Itu kelakuan setan." Wajah Asher yang sudah sampai dada Isyana terpaksa menunduk. Senyumnya ter
"Kompensasi apa yang kau maksud?"Tadinya Asher tidak ingin menceritakan pada Isyana. Biar bagaimanapun, ini juga diluar dari peranannya sebagai menantu. Tapi wajah memelas istrinya, membuat Asher tidak ingin membuatnya kecewa."Mama Sukma, memberikan setengah saham yang dimiliki untuk Bapak.""Apa!"Sudah diduga, Isyana akan syok mendengar hal seperti ini. Ada rasa kecewa yang sangat dalam. Dia tidak tahu menahu perkara ini. Jika dirunut, ini semua juga ada salahnya."Mama Sukma menyelamatkan Nona. Seorang ibu akan melakukan apa pun demi buah hatinya. Tadinya aku juga tidak tahu. Tapi Grandmom membocorkannya tadi.""Grandmom?""Grandmom mewakili Granddad membeli saham hotel ini. Jadi total keseluruhan, saham yang keluarga Miller miliki sebanyak sepuluh persen."Isyana mendadak linglung. Menatap ke arah Asher yang begitu tenang, tiba-tiba hatinya merasa miris. Ternyata Isyana sama sekali tidak paham apa-apa dengan suaminya. Apa lagi keluarganya. Asher datang sebagai sopir, tidak tahu
"Jadi kalian yang udah nyuruh pria itu buat nikah sama gue?"Siapa yang tidak kesal jika dalang dari penghancur kehidupan ada di depan mata. Kalau saja dia tidak melihat CCTV di area depan, ingin sekali menerjunkan Helen dan juga Cakra ke kolam renang paling dalam."Eh gak gitu ya. Kita aja baru tahu tadi pas rapat. Pak Manto kesal banget karena gak bisa nikah sama Lo."Helen membela diri. Dia saja baru tahu kalau investor papinya mendadak menarik diri dari rencana ini. Siapa juga yang ingin kehilangan uang banyak. Alasan mereka menemui Isyana, untuk meminta penjelasan. Menjadi anggota dewan membutuhkan uang yang banyak untuk proses kampanye. Orang tua Cakra dan juga Helen, memilih membuka usaha juga, andai di periode berikutnya tidak terpilih, keuangan mereka masih aman."Lah terus Lo tahu dari mana, gua gagal dinikahi sama pria tua itu.""Jadi kan kita rapat. Terus Pak Manto tanya kita foto Lo."Helen memilih menjawab jujur. "Lagian Syan, ngapa Lo nolak sih. Duit si Pak Manto itu g
Isyana tidak bisa ikut masuk. Hanya Asher yang diijinkan, lantaran dia termasuk pembeli saham. Menyikapi ini, hal yang bisa dilakukan Isyana agar tidak bosan, adalah berjalan di sekitar hotel. Area pertemuan, satu lantai dengan kolam renang pertama di hotel ini. Memang dari segi bintang, hotel ini masih di bawah yang ada di ibu kota atau kota besar lain. Tapi di kota ini, hotel milik keluarga Basel yang paling terbesar dengan segala fasilitas yang ada.Baru menginjakkan kaki di area kolam, pemandangan di dalam begitu membuat kesal. Terlihat orang seusianya yang paling dihindari selama hidupnya."Wah ada Nona dari Jakarta nih."Tampang Helen begitu mengejek. Dia menurunkan kacamata sampai di pangkal hidung. Memperlihatkan matanya yang sedang mengamati Isyana."Syan, kok kau di sini? Lagi sama siapa?"Cakra sudah menerobos tubuh Helen, bahkan sampai menyenggol bahunya. Hal ini membuat gadis itu tidak nyaman. "Eh Cakra."Cakra tidak peduli. Menurutnya melihat Isyana sudah cukup membuat
"Abdul."Asher menyalami pria berhidung mancung di depannya. Di sampingnya masih ada Isyana yang setia dia seret. Tidak pergi atau pun banyak protes."Langsung saja. Oh ya, selamat atas pernikahan kalian. Ditunggu undangannya."Abdul melirik ke arah Isyana. Tersenyum kecil sebagai bentuk kesopanan. Isyana juga melakukan hal yang sama. Tidak menyangka akan bertemu kenalan Asher di sini."Ya tentu. Setelah ini beres, kita akan urus pesta. Kami pergi dulu, sebelumnya kenalkan ini Isyana, istriku.""Ah salam kenal."Abdul mengangguk. Dengan sopan menyatukan tangan di depan dada. Berkenalan tanpa ingin bersentuhan. Seketika Isyana tampak sungkan. Untung saja dia tidak sembarang menyodorkan tangan seperti biasanya."Katakan apa yang kalian inginkan sebagai hadiah." "Ck, terserah kau saja. Kami permisi dulu."Abdul mengangguk, tidak menghalangi langkah kaki mereka. Masalah hadiah, dia juga akan memikirkan nanti. Setelahnya, dia berbalik badan menjauh."Kau kenal dengan pengusaha Indonesia.
Meja makan sudah penuh dengan anggota keluarga Isyana dan juga Asher. Ini juga termasuk Danu yang saat ini lahap memakan masakan ala rumahan tersebut. Dia tidak pernah sungkan dalam melahap setiap masakan yang disendok ke dalam mulutnya. Orang ini memang berjiwa bebal tanpa kenal rasa malu.Pandangan Isyana langsung menyapu ke sekitar. Perlu bertanya langsung kepada ibunya, mengapa peristiwa semalam dan juga pagi ini terjadi. Bapaknya bukan pria yang mudah untuk dibujuk. Terlebih pagi ini dia begitu lahap tidak memudulikan apapun lagi."Isyana, kata Asher dia sudah membeli rumah untuk kalian tinggal. Apa itu berarti kau akan tinggal di kota ini?"Isyana menoleh ke arah suaminya. Mereka belum sempat membicarakan hal ini. Semalam dilalui dengan sangat canggung, masing-masing terlelap tanpa membahas lebih jauh mengenai apa rencana ke depan.Jadi untuk pertanyaan Sukma kali ini, belum memiliki jawaban."Belum tahu, Ma. Kalau sudah suami istri kan memang harus ikut suami. Jadi tergantung