“Hanya demam biasa ya Nek. Mungkin Nona Isyana kecapekan. Maklum habis perjalanan jauh ya? Sejauh apa?”
Dokter Ardi mengedipkan sebelah matanya di arah Isyana. Dia begitu genit terhadap pasien perempuan yang mampir ke kliniknya. Maklum saja, sudah lima bulan ditinggal selingkuh sang istri, hingga kini belum menemukan tambatan hati.
“Sejauh mata memandang Dok. Cucu Nenek memang jago. Jago buat orang panik.”
Yang menjawab justru Nenek Asma. Yang mana membuat Dokter Ardi tersenyum kecut. Tapi demi etika kesopanan, dia tertawa juga. Meksi tawanya seperti orang yang tengah menahan kentut. Terpaksa sekali.
“Ya ampun Nek. Kalau ada yang demam lagi di keluarga atau orang terdekat, coba cek suhunya dahulu. Pastikan pakaian yang dikenakan berbahan tipis dan bisa menyerap keringat. Jika memiliki persediaan obat, boleh diminumkan dengan dosis yang tertera di label obat. Atau jika tidak, boleh mengompres di area leher, untuk menurunkan demamnya.”
Nenek Asma manggut-manggut mendengar pernyataan yang dilontarkan dokter. Jika ke-empat hal tadi sih nenek sudah hatam benar. Yang belum hatam, yaitu rasa panik yang duluan menyebar. Bukannya memastikan suhu atau memberi obat, yang ada nenek senewen duluan.
“Ya sudah ada lagi yang perlu ditanyakan?” tanya dokter Ardi dengan ramah.
“Udah itu aja dok. Ayo Isyana kita pulang.”
Cucunya yang masih merasakan lemas itu hanya mengangguk-anggukan kepala. Dia lebih dulu bangkit dan meniggalkan sang nenek yang masih ingin berjabat tangan dengan Dokter Ardi.
“Dok, permisi dahulu ya. Terima kasih bantuannya. Ini bayarannya.”
Nenek Asma menyelipkan amplop putih ke tangan dokter Ardi. Sudah menjadi kebiasaan di desa itu, jika berobat akan membayar dengan cara menyelipkan uang di dalam amplop. Nilainya bervariasi antara dua puluh ribu sampai seratus ribu. Tergantung kerelaan pasien. Tapi jika di atas seratus ribu, asisten dokter Ardi akan menggetok tarif sebelum adegan selip-selipan amplop tersebut dimulai.
“Ah iya, terima kasih banyak Nek Asma. Semoga cucunya cepat sembuh ya.”
Nenek Asma mengangguk sembari tersenyum manis. Yang mana membuat dokter Ardi salah tingkah dibuatnya.
Sebenarnya nenek Asma masih terlihat cantik di usianya yang sudah sepuh. Tidak heran dia memiliki cucu yang begitu cantik. Hanya saja, dokter Ardi tetap berharap yang memberikan senyum manis itu, Isyana. Harapannya terputus saat sejak awal memeriksa, nenek Asma lah yang paling aktif berbicara.
“Ya sudah kalau begitu nenek pulang dulu ya. Hati-hati jaga kliniknya. Assalamualaikum ....”
“Walaikumsalam warohmatullahi wabarakatu.”
Nenek Asma segera meninggalkan ruangan praktik dokter Ardi. Meski sebenarnya dia juga betah lama-lama berada di dalam sana. Karena ruangan dokter Ardi begitu sejuk, telah dipasang pendingin ruangan, atau yang dikenal dengan singkatan AC.
Nenek mencari keberadaan Isyana yang ternyata sudah masuk ke dalam mobil. Pintunya masih dibuka, dengan Asher yang berdiri di depannya. Sudah mirip bodyguard saja, pemuda yang satu itu.
“Isyana. Masih lemas ya?” tanya Nenek dengan begitu perhatian.
“Iya nih Nek. Jadi pengin mendoan anget, makan pakai cabe rawit. Seger pasti.”
“Ye, itumah kedemenan kau. Ya udah buruan pulang yuk. Biar cepetan makan. Nanti nenek buatin bubur plus topping mendoan. Biar kau semangat makannya.”
Asher dengan sigap membukakan pintu untuk nenek Asma. Awalnya nenek merasa heran dengan kelakuan Asher. Tapi dia hanya nyengir saat melihat bule kampung itu juga tersenyum ke arahnya.
“Makasih ya Ash.”
“Sama-sama Nek.”
Asher menutup pintu mobil. Dia berlari memutar arah. Menutup pintu untuk Isyana lantas dilanjutkan masuk dan duduk di belakang kemudi.
Dari gayanya, Asher memang sudah sangat siap untuk menjadi sopir pribadi Isyana.
“Nek, ini kenapa anak ini lebay banget sih. Pakai buka tutup pintu segala. Memangnya nenek bayar dia berapa?” bisik Isyana di telinga neneknya.
“Loh kok nenek yang bayar sih. Kan kau yang minta sopir. Mungkin dia merasa sedang mendalami peran kalau keterima jadi sopir,” ucap nenek Asma dengan raut yang begitu yakin.
“Hah, maksudnya?” tanya Isyana yang sama sekali tidak mengerti perihal apa yang dikatakan nenek Asma.
“Loh, kok pakai tanya lagi. Bukannya kau yang undang Ash ke rumah buat wawancara? Ini anak pagi-pagi sudah rajin loh. Terima saja Isyana. Mayan disopiri bule cakep. Kapan lagi ya kan?” sahut Nenek Asma yang terdengar seperti supporter Asher.
Lagi pula bukan tanpa alasan nenek mendukung Asher untuk menjadi sopir pribadi Isyana. Pemuda itu selain tampan juga rajin. Dia juga begitu sayang dengan sang ibu. Nenek Asma tahu, jika Asher belum bekerja, lantaran tidak tega meninggalkan ibunya terlalu lama.
Dia mengerjakan apa saja yang dia bisa. Sampai berlatih naik sepeda motor segala. Dengan adanya Isyana yang jika mau menerimanya, itu berarti Asher akan memiliki pekerjaan, dan juga waktu yang tidak terlalu sibuk untuk bisa memperhatikan ibunya.
“Lah tapikan aku enggak lagi cari sopir Nek. Aku bisa sendiri kok—”
“Eh ini anak. Kau kagak lihat seperti anak ayam yang kehilangan induknya tadi. Gara-gara apa coba? Gara-gara kau nekad setir mobil sendiri sampai sini. Sudah tahu jaraknya jauh. Pokoknya nenek tidak mau tahu, kau harus terima Ash sebagai sopir, titik.”
Isyana menggelengkan kepala. Jika Neneknya sudah berkata seperti ini, dia bisa apa. Walau sebenarnya Isyana juga tidak perlu sekali untuk memilki sopir.
Bekerja di Ibu kota yang jadwalnya padat saja dia bisa menghandel sendiri mobilnya. Masa yang di desa yang notabene dia ingin santai-santai malah butuh sopir. Dia pikir neneknya memang sudah tidak seencer dulu otaknya.
“Ya sudahlah. Tidak apa. Kau boleh bekerja denganku,” ucap Isyana sambil memandang lurus ke depan.
Asher bersorak dalam hati. Dia begitu senang dengan kabar ini. Akhirnya setelah sekian purnama menunggu. Ada juga pekerja yang bisa dia lakoni tanpa menjadi bunglon. Ke sana ke sini menunggu keinginan pasar.
“Benar nih Nona? Terima kasih ya. Akhirnya saya mendapatkan pekerjaan juga,” ucap Asher dengan senangnya.
“Ya ... ya ... ya.”
Isyana hanya menjawab santai. Memang benar efek demam begitu menakutkan baginya. Buktinya dia mau-mau saja menerima sopir pribadi. Tapi tidak apa, itung-itung sopir ini bisa menemaninya mencari jodoh ke sela-sela penjuru kota kecil ini.
“Nah gitu dong. Nenek ikut senang dengarnya Ash. Semoga betah ya.”
Nenek Asma mengacung tangan ke arah Asher. Pemuda itu menyambutnya dengan wajah yang begitu sumringah. Dia juga tidak menyangka akan secepat ini diterima. Ini semua juga berkat campur tangan nenek Asma untuk meyakinkan cucunya.
“Tapi ya, namamu siapa tadi?” ucap Isyana yang lupa dengan nama sopirnya sendiri.
“Asher Kalandra Miller, Nona.”
“Oke, Asher. Kau bisa menyetir kan ya? Kenapa kita dari tadi tidak jalan-jalan. Kok malah berhenti di sini?”
Nenek Asma juga turut memandang ke arah sekitar. Dia menyadari tengah berada di jalanan kampung yang cukup sepi, karena jarang dilalui warga.
“Eh itu Nona. Sepertinya ban belakang kempes,” sahut Asher dengan wajah polosnya.
“Apa?”
“Ada ban cadangan tidak? Biar saya pasang.”
***
Suara gemericik air seperti soundtrack alami dalam hubungan asmara kedua insan yang baru saja bergejolak. Tetesan demi tetesan yang memercik, menambah rasa hangat dalam setiap keadaan. Permulaan yang tidak bagus, namun berakhir dengan baik. Di sini Asher yang menjadi pemimpin. Tidak hanya mampu membuat Isyana bergetar hebat. Dia sanggup membuat gadis itu seperti kehilangan kesadaran. Puncaknya saat keduanya menyatu dalam gairah yang sama. Asher buru-buru memboyong Isyana untuk berpindah ke kamar mereka. "Eh kenapa?" Isyana sedikit terkejut dengan gerakan Asher yang membopongnya tiba-tiba. Ada rasa kecewa, berpikir Asher tidak menginginkan lebih lanjut. "Jangan di kamar mandi. Banyak yang mengintip." Asher mengatakan singkat. Tanpa sungkan membanting tubuh Isyana di atas ranjang. Kemudian disusul olehnya yang naik dengan tergesa-gesa. "Ck, santai saja. Tergesa-gesa juga tidak bagus. Itu kelakuan setan." Wajah Asher yang sudah sampai dada Isyana terpaksa menunduk. Senyumnya ter
"Kompensasi apa yang kau maksud?"Tadinya Asher tidak ingin menceritakan pada Isyana. Biar bagaimanapun, ini juga diluar dari peranannya sebagai menantu. Tapi wajah memelas istrinya, membuat Asher tidak ingin membuatnya kecewa."Mama Sukma, memberikan setengah saham yang dimiliki untuk Bapak.""Apa!"Sudah diduga, Isyana akan syok mendengar hal seperti ini. Ada rasa kecewa yang sangat dalam. Dia tidak tahu menahu perkara ini. Jika dirunut, ini semua juga ada salahnya."Mama Sukma menyelamatkan Nona. Seorang ibu akan melakukan apa pun demi buah hatinya. Tadinya aku juga tidak tahu. Tapi Grandmom membocorkannya tadi.""Grandmom?""Grandmom mewakili Granddad membeli saham hotel ini. Jadi total keseluruhan, saham yang keluarga Miller miliki sebanyak sepuluh persen."Isyana mendadak linglung. Menatap ke arah Asher yang begitu tenang, tiba-tiba hatinya merasa miris. Ternyata Isyana sama sekali tidak paham apa-apa dengan suaminya. Apa lagi keluarganya. Asher datang sebagai sopir, tidak tahu
"Jadi kalian yang udah nyuruh pria itu buat nikah sama gue?"Siapa yang tidak kesal jika dalang dari penghancur kehidupan ada di depan mata. Kalau saja dia tidak melihat CCTV di area depan, ingin sekali menerjunkan Helen dan juga Cakra ke kolam renang paling dalam."Eh gak gitu ya. Kita aja baru tahu tadi pas rapat. Pak Manto kesal banget karena gak bisa nikah sama Lo."Helen membela diri. Dia saja baru tahu kalau investor papinya mendadak menarik diri dari rencana ini. Siapa juga yang ingin kehilangan uang banyak. Alasan mereka menemui Isyana, untuk meminta penjelasan. Menjadi anggota dewan membutuhkan uang yang banyak untuk proses kampanye. Orang tua Cakra dan juga Helen, memilih membuka usaha juga, andai di periode berikutnya tidak terpilih, keuangan mereka masih aman."Lah terus Lo tahu dari mana, gua gagal dinikahi sama pria tua itu.""Jadi kan kita rapat. Terus Pak Manto tanya kita foto Lo."Helen memilih menjawab jujur. "Lagian Syan, ngapa Lo nolak sih. Duit si Pak Manto itu g
Isyana tidak bisa ikut masuk. Hanya Asher yang diijinkan, lantaran dia termasuk pembeli saham. Menyikapi ini, hal yang bisa dilakukan Isyana agar tidak bosan, adalah berjalan di sekitar hotel. Area pertemuan, satu lantai dengan kolam renang pertama di hotel ini. Memang dari segi bintang, hotel ini masih di bawah yang ada di ibu kota atau kota besar lain. Tapi di kota ini, hotel milik keluarga Basel yang paling terbesar dengan segala fasilitas yang ada.Baru menginjakkan kaki di area kolam, pemandangan di dalam begitu membuat kesal. Terlihat orang seusianya yang paling dihindari selama hidupnya."Wah ada Nona dari Jakarta nih."Tampang Helen begitu mengejek. Dia menurunkan kacamata sampai di pangkal hidung. Memperlihatkan matanya yang sedang mengamati Isyana."Syan, kok kau di sini? Lagi sama siapa?"Cakra sudah menerobos tubuh Helen, bahkan sampai menyenggol bahunya. Hal ini membuat gadis itu tidak nyaman. "Eh Cakra."Cakra tidak peduli. Menurutnya melihat Isyana sudah cukup membuat
"Abdul."Asher menyalami pria berhidung mancung di depannya. Di sampingnya masih ada Isyana yang setia dia seret. Tidak pergi atau pun banyak protes."Langsung saja. Oh ya, selamat atas pernikahan kalian. Ditunggu undangannya."Abdul melirik ke arah Isyana. Tersenyum kecil sebagai bentuk kesopanan. Isyana juga melakukan hal yang sama. Tidak menyangka akan bertemu kenalan Asher di sini."Ya tentu. Setelah ini beres, kita akan urus pesta. Kami pergi dulu, sebelumnya kenalkan ini Isyana, istriku.""Ah salam kenal."Abdul mengangguk. Dengan sopan menyatukan tangan di depan dada. Berkenalan tanpa ingin bersentuhan. Seketika Isyana tampak sungkan. Untung saja dia tidak sembarang menyodorkan tangan seperti biasanya."Katakan apa yang kalian inginkan sebagai hadiah." "Ck, terserah kau saja. Kami permisi dulu."Abdul mengangguk, tidak menghalangi langkah kaki mereka. Masalah hadiah, dia juga akan memikirkan nanti. Setelahnya, dia berbalik badan menjauh."Kau kenal dengan pengusaha Indonesia.
Meja makan sudah penuh dengan anggota keluarga Isyana dan juga Asher. Ini juga termasuk Danu yang saat ini lahap memakan masakan ala rumahan tersebut. Dia tidak pernah sungkan dalam melahap setiap masakan yang disendok ke dalam mulutnya. Orang ini memang berjiwa bebal tanpa kenal rasa malu.Pandangan Isyana langsung menyapu ke sekitar. Perlu bertanya langsung kepada ibunya, mengapa peristiwa semalam dan juga pagi ini terjadi. Bapaknya bukan pria yang mudah untuk dibujuk. Terlebih pagi ini dia begitu lahap tidak memudulikan apapun lagi."Isyana, kata Asher dia sudah membeli rumah untuk kalian tinggal. Apa itu berarti kau akan tinggal di kota ini?"Isyana menoleh ke arah suaminya. Mereka belum sempat membicarakan hal ini. Semalam dilalui dengan sangat canggung, masing-masing terlelap tanpa membahas lebih jauh mengenai apa rencana ke depan.Jadi untuk pertanyaan Sukma kali ini, belum memiliki jawaban."Belum tahu, Ma. Kalau sudah suami istri kan memang harus ikut suami. Jadi tergantung