Share

Bab 3

Author: SanASya
last update Last Updated: 2025-10-13 22:21:15

Udara malam Desa San Felice menusuk kulit Bella, dingin terasa semakin pekat karena keringat yang bercampur dengan ketakutan. Dengan susah payah, ia menahan tubuh pria asing itu yang beratnya jauh melebihi tenaganya.

Nafasnya tersengal, kakinya hampir menyeret, namun entah dari mana kekuatan itu muncul, ia berhasil membawa pria tersebut melewati jalanan sempit menuju rumah kecilnya di sudut blok.

Begitu pintu kayu rumah terbuka, Bella segera memapahnya masuk. Bunyi langkah beradu dengan lantai kayu terdengar berulang, tubuh besar itu ia baringkan di atas ranjangnya sendiri.

"Ha... Ha... Ha..." Bella mengatur nafasnya yang tersengal-sengal akibat kelelahan.

Napas pria itu masih tersendat, dadanya naik-turun, darahnya merembes menodai sprei putih yang baru kemarin ia ganti. Bella menatap pemandangan itu dengan jantung terus berdetak cepat, antara takut dan kelelahan, sekaligus rasa iba yang makin dalam.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pelan, suaranya bergetar.

Ia tahu luka sebesar itu bukan sesuatu yang bisa ia tangani sendiri. Dengan tangan gemetar, Bella melepas jas luarnya yang penuh bercak darah. Gaunnya yang sederhana juga ternoda merah, membuatnya tampak seolah baru keluar dari mimpi buruk.

Ia tidak tahu tentang medis, tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat menuju rumah tetangganya.

Rumah sebelah dihuni oleh sahabatnya yang berprofesi sebagai dokter, Adrian Moretti, seorang dokter muda yang sering ia andalkan jika anak-anak TK sakit atau dirinya butuh bantuan medis ringan. Tangannya mengetuk keras pintu kayu rumah itu.

Dak! Dak! Dak!

"Adrian! Adrian!"

Pintu terbuka dengan cepat. Adrian berdiri di ambang pintu dengan wajah jutek, tapi wajahnya langsung pucat ketika melihat penampilan Bella.

"Bella?! Astaga, kau berdarah! Apa yang terjadi?!" suaranya panik, tangannya terulur hendak memeriksa bahu dan lengannya. Ia mengira Bella habis kecelakaan.

Bella buru-buru menggeleng cepat, menepis tangan sahabatnya. "Ini bukan darahku, Adrian! Aku baik-baik saja… ini darah orang lain."

Adrian tertegun, menatap Bella dengan mata penuh tanya. "Apa maksudmu? Jangan bilang—"

"Tidak ada waktu menjelaskan!" Bella memotong cepat, suaranya nyaris pecah dengan kepanikan yang sudah meningkat. Ia meraih pergelangan tangan Adrian, menariknya ke luar. "Aku menolong seseorang yang terluka parah, Adrian. Aku… aku tak bisa membiarkannya mati begitu saja."

Adrian menahan langkahnya sesaat. Ia ingin kembali bertanya, tapi tatapan Bella begitu sungguh-sungguh, matanya basah menahan rasa panik dan cemas. Akhirnya ia mengangguk. "Baik. Tunjukkan padaku."

"Tunggu sebentar, aku ambil kotak medisku dulu." Adrian bergerak cepat ke ruang prakteknya diikuti Bella.

Keduanya bergegas kembali ke rumah Bella dengan Adrian membawa kotak obat. Didalamnya berisi obat-obatan untuk merawat luka sesuai kebutuhan menurut laporan Bella tentang luka yang dialami orang itu.

Suasana malam semakin sunyi, hanya suara langkah mereka dan desiran angin yang terdengar. Dalam hati Bella berdoa, semoga keputusan nekatnya kali ini tidak akan berakhir menjadi penyesalan.

Langkah keduanya cepat dan penuh rasa cemas. Memasuki rumah Bella yang biasanya memiliki aroma manis dan bunga, kini bercampur bau anyir darah yang membuat Adrian sampai mengernyit. Ia membatin, separah apa luka pasien itu sampai bau darahnya begitu pekat. Baru saja pintu kamar Bella terbuka, matanya langsung membelalak.

Seorang pria tinggi dengan wajah pucat bersimbah darah terbaring di atas ranjang Bella. Aroma besi darah semakin pekat di ruangan itu, membuat Adrian refleks menoleh ke Bella.

"Bella… apa yang kau lakukan?! Kenapa di kamarmu?" suaranya tercekat, antara khawatir dan kesal.

Bella menunduk, jari-jarinya saling menggenggam erat di depan perutnya. "Aku… tidak punya pilihan lain, Adrian. Kalau kubiarkan dia di luar, dia mungkin sudah mati sekarang. Bukankah tidak cocok kalau aku baringkan di sofa."

Adrian menghela napas berat, tak ada waktu untuk marah. Ia hanya menggeleng kecil sambil membuka kemeja pria itu dengan hati-hati. Kain putih yang dulu mungkin bersih, kini lengket merah pekat, menempel di kulit. Begitu terbuka, jelas terlihat dua luka besar satu luka tembakan di bahu, dan satu tusukan di perut. alis Adrian berkerut, rahangnya menegang, tangannya sedikit bergetar meski ia berusaha tampak tenang.

"Ya Tuhan…" gumam Adrian lirih, lalu segera mengeluarkan gunting medis, kapas, dan antiseptik. Tangannya cekatan, tapi wajahnya serius penuh beban. "Luka tusukan ini cukup dalam. Dan darah di bahunya sudah terlalu banyak keluar. Dia beruntung masih bisa bernapas."

Bella hanya bisa berdiri di sisi ranjang, kedua tangannya gemetar sambil menatap pria asing itu. Ia ingat kembali pandangan sayu mata pria itu ketika menatapnya di gang. Pandangan yang seolah meminta pertolongan terakhir.

Mendengar betapa serius lukanya, Bella tidak bisa menahan rasa gugup. "Dia... tidak akan mati 'kan?"

Adrian sempat melirik sekilas, lalu bertanya dengan nada lembut, "aku akan berusaha mengobatinya. Kau menemukannya di mana, Bella?"

Dengan suara pelan, Bella menjawab, "Di gang dekat jalan pulang. Awalnya aku ingin menelepon polisi… tapi dia membuka matanya, menatapku begitu lemah… aku, aku tidak sanggup meninggalkannya begitu saja." Suaranya bergetar di akhir kalimat, matanya memanas menahan air mata.

Adrian terdiam sejenak, lalu kembali fokus pada perban yang mulai ia lilitkan. "Kau ini terlalu baik… kadang sampai ceroboh. Bagaimana kalau orang yang melukainya tahu kau menyembunyikan dia? Bagaimana kalau…" ia berhenti, menatap wajah Bella yang pucat.

Bella tahu maksudnya, hanya menggeleng, suaranya lirih, "Aku sempat berpikir seperti itu dan ingin meninggalkannya. Tapi dia menatapku langsung pada saat itu. Aku hanya… tidak ingin dia mati di jalan. Aku akan merasa sangat bersalah jika dia mati keesokan harinya."

Adrian menatap Bella lama, kemudian menurunkan suaranya, lembut, penuh pengertian. "Baiklah. Sekarang yang terpenting adalah membuatnya bertahan hidup. Untuk urusan lain… kita pikirkan nanti."

Tangannya kembali bergerak cepat, menyeka darah, menjahit perlahan luka di perut pria itu. Bella menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan sesak di dada melihat pemandangan didepannya. Luka-lukanya sangat menyakitkan, ia ikut meringis meski hanya melihat.

Di dalam hati, ia tanpa henti berdoa lirih. Semoga lelaki ini bisa melewati malam ini.

Melihat Bella hanya berdiri dengan ekspresi ngeri naik turun. Adrian kemudian mengusir Bella keluar kamar, karena pemandangan saat ini terlihat mengerikan untuk orang awam. Berbeda dengan Adrian yang sudah berkali-kali berurusan dengan luka dan darah.

Bella menurut, ia keluar dan berjalan kearah dapur yang satu ruangan dengan ruang makan dan ruang tamu. Menuangkan air putih kedalam gelas, ia merasa tenang setelah segelas air putih mengalir di tenggorokannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nona Incaran Ketua Mafia   Bab 8

    Para pengawal itu berdiri di samping mobil depan dan belakang, mengawasi sekitar. Sedangkan yang mengikuti Shin ke mobil ditengah adalah dua orang kepercayaannya, Rico dan Vito.Rico membukakan pintu untuk Shin. Para pengawal baru masuk setelah memastikan pemimpin mereka sudah duduk nyaman.Di dalam mobil, Shin sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih yang dibawakan Rico. Duduk bersandar dengan wajah tenang namun penuh perhitungan. Jari-jarinya mengetuk pelan sandaran tangan mengikuti melodi musik kesukaannya yang selalu diputar selama perjalanan.Matanya menatap keluar jendela, menembus gelapnya kota, memikirkan langkah yang akan ia ambil untuk masalah ini. Mobil melaju dengan mulus keluar kota Whitesand, tanpa halangan apapun memasuki kota Blackstone.Dikenal sebagai jantung kehidupan modern di benua Eropa. Dari kejauhan, bayangan gedung-gedung megah tampak berbaur dengan menara katedral tua, seakan masa lalu dan masa kini saling berdampingan.Jalan-jalan utamanya lebar dan

  • Nona Incaran Ketua Mafia   Bab 7

    Pintu kamar Bella terbuka tanpa suara, seorang pria tinggi dengan pakaian acak-acakan penuh darah muncul dibaliknya. Pencahayaan minim tidak membuatnya sulit melihat keseluruhan ruangan itu.'Ini tidak seperti rumah Walikota,' pikirnya.Rumah walikota yang berada di pusat kota tentu sangat besar dan luas. Sedangkan rumah ini sangat sederhana, lingkungannya juga sepi, tidak seperti keramaian di tengah kota.Kakinya melangkah keluar kamar, di sofa panjang ada seseorang yang tidur dengan selimut dan bantal. Pria itu langsung mengenalinya sebagai pria muda berkacamata yang ada di foto.Tatapannya tertuju ke pintu kamar disamping kamar yang ia tempati sebelumnya. Ia membuka pintu itu pelan, sebuah kamar dengan ukuran yang lebih kecil. Ada meja belajar, rak dengan segala benda berwarna, lemari putih, ranjang singgel bed dengan sprei putih. Disana terbaring seorang perempuan yang tertidur dengan ekspresi polos.Piyama putih dan rambutnya yang tergerai di atas bantal, tanpa riasan, bibir mera

  • Nona Incaran Ketua Mafia   Bab 6

    Bella bergegas berdiri dan masuk ke kamar kerja yang akan dia tempati malam ini. Ini adalah kamar kecil dengan singgel bed dan meja kerja, tersimpan juga benda-benda yang ia butuhkan untuk mengajar murid TK. Bahan-bahan yang ia butuhkan untuk prakarya setengah jadi sudah siap dan tangan ramping Bella segera bekerja.Adrian mengikuti dibelakangnya dan masuk, "Mau aku bantu buat?"Bella berkata tanpa menoleh, "Kau bisa?""Nona DeLuca, apa kamu meremahkan kemampuanku?""Tentu saja tidak, tapi kamu harus punya tangan yang terampil untuk membuat ini dan juga kesabaran.""Hm, berapa banyak yang perlu dibuat?""Dua puluh."Adrian diam memperhatikan bagaimana Bella membuat kerajinan tangan, lalu mengambil alat dan bahan yang sama dan mulai membuat. Tidak perlu banyak kata, dia langsung membuktikan.Tidak mendengar adanya balasan dari Adrian, Bella melirik dan menemukannya sudah sibuk duduk di karpet lantai. Bella tidak terlalu berharap kerjaan Adrian akan cepat selesai dan rapi, keduanya teng

  • Nona Incaran Ketua Mafia   Bab 5

    Bella keluar dari kamar mandi dan melihat Adrian sibuk di dapur. Rambutnya tergerai masih setengah basah, matanya menatap senang pada Adrian yang datang membawakan makanan untuknya. Kebetulan Bella lapar, dia tidak perlu masak."Aku tadi buat minestrone, kamu pasti belum makan malam, makanlah." Adrian meletakkan beberapa mangkuk di meja makan.Aroma sayur dan basil membuat perut Bella keroncongan. Ditambah aroma roti hangat."Kebetulan, aku sempat berpikir untuk membuat mie instan karena aku kelaparan. Terima kasih."Bella menarik kursi dan menatap berbinar pada dua makanan didepannya, tangannya yang dingin meraba mangkuk dan merasakan panasnya keramik menyentuh kulit."Masih hangat?"Adrian sudah duduk di kursi lain, matanya yang sibuk menatap ponsel melirik Bella, "Mm, aku memanaskannya di dapurmu tadi. Ini focaccia keju dari nenek Sofia, kebetulan baru diantar saat aku pulang tadi. Punyamu sekalian ku bawakan."Bella mengangguk, "Nenek Sofia baik sekali sering membagi makanan ke ki

  • Nona Incaran Ketua Mafia   Bab 4

    Bella duduk di kursi makan dan merenung. Benar kata Adrian, dirinya agak ceroboh membawa pria itu kerumahnya. Walau terluka dan tidak sadarkan diri, ia tidak mengenalnya.Siapa yang melukainya? Luka separah itu jika ia tidak melihatnya pasti tidak akan selamat sampai esok hari.'Apakah pelakunya sudah pergi?' sebuah pertanyaan terlintas.Ia menutup mata dan berdoa, "semoga pelaku itu sudah pergi dan tidak melihatku menolong pria itu."Bella hanya bisa menghela nafas berat, yang penting sekarang ia berharap pria itu selamat dan malam ini berlalu dengan tenang.Setelah beberapa saat, Adrian selesai mengobati pria itu, luka-lukanya sudah dibersihkan dan diperban. Dia keluar dari kamar Bella dan menutup pintu pelan.Bella yang menunggu di ruang makan segera berdiri dan mendekat, "Bagaimana dengan pria itu? Apakah selamat?"Adrian menatapnya sejenak, bahunya turun seolah baru saja menurunkan beban berat, lalu berkata, "Pria itu selamat untuk saat ini, dia memiliki dua luka. Satu luka temba

  • Nona Incaran Ketua Mafia   Bab 3

    Udara malam Desa San Felice menusuk kulit Bella, dingin terasa semakin pekat karena keringat yang bercampur dengan ketakutan. Dengan susah payah, ia menahan tubuh pria asing itu yang beratnya jauh melebihi tenaganya.Nafasnya tersengal, kakinya hampir menyeret, namun entah dari mana kekuatan itu muncul, ia berhasil membawa pria tersebut melewati jalanan sempit menuju rumah kecilnya di sudut blok.Begitu pintu kayu rumah terbuka, Bella segera memapahnya masuk. Bunyi langkah beradu dengan lantai kayu terdengar berulang, tubuh besar itu ia baringkan di atas ranjangnya sendiri."Ha... Ha... Ha..." Bella mengatur nafasnya yang tersengal-sengal akibat kelelahan.Napas pria itu masih tersendat, dadanya naik-turun, darahnya merembes menodai sprei putih yang baru kemarin ia ganti. Bella menatap pemandangan itu dengan jantung terus berdetak cepat, antara takut dan kelelahan, sekaligus rasa iba yang makin dalam."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pelan, suaranya bergetar.Ia tahu lu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status