LOGINBella duduk di kursi makan dan merenung. Benar kata Adrian, dirinya agak ceroboh membawa pria itu kerumahnya. Walau terluka dan tidak sadarkan diri, ia tidak mengenalnya.
Siapa yang melukainya? Luka separah itu jika ia tidak melihatnya pasti tidak akan selamat sampai esok hari. 'Apakah pelakunya sudah pergi?' sebuah pertanyaan terlintas. Ia menutup mata dan berdoa, "semoga pelaku itu sudah pergi dan tidak melihatku menolong pria itu." Bella hanya bisa menghela nafas berat, yang penting sekarang ia berharap pria itu selamat dan malam ini berlalu dengan tenang. Setelah beberapa saat, Adrian selesai mengobati pria itu, luka-lukanya sudah dibersihkan dan diperban. Dia keluar dari kamar Bella dan menutup pintu pelan. Bella yang menunggu di ruang makan segera berdiri dan mendekat, "Bagaimana dengan pria itu? Apakah selamat?" Adrian menatapnya sejenak, bahunya turun seolah baru saja menurunkan beban berat, lalu berkata, "Pria itu selamat untuk saat ini, dia memiliki dua luka. Satu luka tembak di bahu dan satu luka tusukan di perut, luka di bahu tidak terlalu parah karena pelurunya sudah diambil, apa kau yang mengeluarkan peluru itu?" Bella mengernyit dan segera membantah, "Tidak, aku sama sekali tidak menyentuh luka-lukanya. Mungkin dia yang mengeluarkan peluru itu sendiri." Adrian mengangguk, "Luka yang paling parah adalah diperutnya, cukup dalam dan hampir mengenai titik vital hidupnya yang menyebabkan pendarahan. Untungnya aku segera bertindak menghentikan pendarahan itu, selamat atau tidaknya dia besok, tergantung semangat hidupnya sendiri." Bella mengangguk, diam-diam menghela nafas. Ia sudah berusaha dan tidak sia-sia menolongnya. "Terima kasih Adrian, aku panik sekali tadi karena pria itu hampir tidak bernafas saat aku membaringkannya di ranjang." Suaranya penuh kelegaan. Adrian menyahut santai, "sudah tugasku, sebaiknya kamu membersihkan diri dan beristirahat. Kamu lembur lagi di sekolah?" "Ya, akan ada acara di TK dan aku harus mendekorasi kelas tadi." "Kau melakukannya sendirian?" Bella menggeleng, "Aku hanya melakukan bagianku, selain itu tadi aku menemani satu murid yang belum dijemput orangtuanya. Sekalian menyelesaikan pekerjaan, jadi ya... Aku pulang terlambat dan menemukan pria itu." Adrian mengerutkan dahi, "Kamu sungguh baik hati, tidak salah menolong seseorang yang terluka. Tapi kamu seharusnya lebih berhati-hati lagi lain kali, lihat situasi dan kondisi. Kau tahu luka pria ini tidak ringan?" Bella mengalihkan pandangan, merasa bersalah dan mengangguk ringan. Ia mendengarkan dengan baik nasihat dari sahabatnya. "Kau harus jaga diri, apa yang akan terjadi jika ayahmu tahu kau terluka karena menolong orang asing dan terlibat masalah?" ucapan Adrian terselip sedikit ancaman. Mendengar kata ayahnya disebut, Bella membela diri. "Oh ayolah, aku juga tidak ingin terlibat dengan masalah orang lain, tapi dia terluka parah dan tidak ada orang disekitar. Aku tidak mungkin mengabaikan orang yang sedang butuh bantuan." Adrian membantah, "kau bisa hubungi kepolisian daripada turun tangan langsung menolongnya. Selain itu, kenapa kamu tidak membawanya langsung ke rumahku? Aku punya satu ruangan khusus untuk memeriksa pasien, kenapa malah membawanya pulang?" "Kau tahu, aku panik." Bella menjawab seadanya. Tatapan Adrian datar, antara menerima dan tidak untuk alasan ini. Seolah mendapat ide, Bella memberi usulan. "Bagaimana jika kita papah dia dan tinggal sementara di klinik mu?" Adrian menggeleng, "sekarang tidak bisa, lukanya baru dijahit, jika banyak bergerak takutnya akan membuatnya kembali pendarahan dan lukanya menjadi serius. Mau tidak mau, dia harus tetap ditempatnya sampai lukanya membaik. Aku akan memeriksanya kembali besok." Ia menggendong kotak obatnya. "Kau mau pulang?" Adrian melotot melihatnya, "oh... aku pulang dan meninggalkan mu berdua dengan pria asing? Bagaimana tanggapan ayahmu jika dia tahu? Aku mau memeriksa rumah dan kembali kesini. Aku akan tidur disini, menjagamu." Bella mengerutkan bibirnya, "Aku hanya bertanya, kenapa kamu membicarakan tanggapan ayahku? Aku tidak melakukan hal yang salah." Adrian mengangguk setuju. "Ya, aku juga tidak menyalahkan tindakan mu menolong orang. Tapi jika ayahmu tahu dengan detail tentang hal ini, aku yakin beliau akan menetapkan kembali penjaga disekitar mu." Merasa kebebasannya terancam, Bella memprotes. "Adrian Moretti, jangan ceritakan pada ayahku! Kau tahu aku tidak nyaman jika ada pengawal yang menjagaku. Meski mereka tidak melakukannya dengan jelas, aku tetap merasa tidak bebas." "Aku tidak akan mengadukan ini, tapi aku tidak akan tutup mulut jika ayahmu bertanya." Adrian berujar santai. "Maka jangan beritahu, kalau kau katakan..." Bella tersenyum misterius, "aku akan mengadukan mu pada Chiara. Aku akan bilang kalau kau menindasku disini." Kata-katanya menyiratkan ancaman, sorot matanya penuh tantangan meski wajahnya pucat. Bayangan seorang perempuan tomboy yang tidak lain juga sahabatnya, membuat Adrian bergidik. Ia pernah dipukul Chiara gara-gara pernah menunjukkan seekor katak dihadapan Bella yang membuat gadis menangis histeris. Itu terjadi ketika mereka berumur tiga belas tahun. Pipinya berkedut, seakan kembali merasa nyeri di wajahnya dulu. "Oke, oke, ini sudah malam, ayo akhiri perdebatan ini. Lebih baik kamu mandi, kamu sangat kotor. Aku tidak tahu kenapa kamu begitu nyaman dalam keadaan seperti itu." Adrian yang kalah, berkata sambil berlalu keluar, kembali ke rumahnya sendiri. Bella melihat pakaiannya yang bernoda darah, ugh... kenapa baru sekarang dia mencium bau amis darah. Ia harus mandi sekarang dan mencuci pakaiannya. Bella pelan-pelan membuka pintu kamarnya, ada aroma obat dari Adrian bercampur dengan bau anyir darah yang masih tertinggal di udara. Ia melihat pria itu sudah bersih wajahnya dari noda darah. Masih terbaring menutup mata dengan selimut menutupi setengah tubuhnya yang telanjang, wajahnya masih pucat tapi nafasnya sudah stabil. Bella mengangguk pelan, rasa tertekan menunggunya diobati sudah berkurang. Setumpuk pakaian kotor tergeletak di samping pojok ranjang, kemeja dan jasnya hampir seluruhnya terkena darah. Sempat terpikir untuk membersihkan pakaiannya, tapi ia segera menghapus pemikiran itu, ia tidak mau bertindak terlalu jauh. "Pria tampan, kenapa kamu bisa mengalami luka parah seperti ini?" Bella tidak ragu berbicara seperti itu dihadapannya. Ia tahu pria ini masih pingsan, jadi tidak akan mendengar pertanyaannya. "Istirahat yang baik dan lekas sembuh." Ucapan itu tulus, sesuai dengan niat Bella yang ingin menyelamatkan pria itu. Bella tidak lama memperhatikannya, membuka pintu lemari. Mengambil piyama, pakaian dalam dan pakaian kerja yang akan ia pakai untuk besok. Juga mengambil kotak makeup dan kotak skincare, ia membawa semua barang-barang itu ke kamar samping yang ukurannya lebih kecil. Tidak tahu kapan pria itu sadar, maka dari itu ia membawa perlengkapan yang dibutuhkan besok agar tidak bolak-balik masuk kamarnya. Jika pria itu masih tidak sadarkan diri sampai besok, Bella mungkin akan meminta bantuan Adrian untuk menjaganya. Bella berpikir sambil membereskan peralatannya lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan.Para pengawal itu berdiri di samping mobil depan dan belakang, mengawasi sekitar. Sedangkan yang mengikuti Shin ke mobil ditengah adalah dua orang kepercayaannya, Rico dan Vito.Rico membukakan pintu untuk Shin. Para pengawal baru masuk setelah memastikan pemimpin mereka sudah duduk nyaman.Di dalam mobil, Shin sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih yang dibawakan Rico. Duduk bersandar dengan wajah tenang namun penuh perhitungan. Jari-jarinya mengetuk pelan sandaran tangan mengikuti melodi musik kesukaannya yang selalu diputar selama perjalanan.Matanya menatap keluar jendela, menembus gelapnya kota, memikirkan langkah yang akan ia ambil untuk masalah ini. Mobil melaju dengan mulus keluar kota Whitesand, tanpa halangan apapun memasuki kota Blackstone.Dikenal sebagai jantung kehidupan modern di benua Eropa. Dari kejauhan, bayangan gedung-gedung megah tampak berbaur dengan menara katedral tua, seakan masa lalu dan masa kini saling berdampingan.Jalan-jalan utamanya lebar dan
Pintu kamar Bella terbuka tanpa suara, seorang pria tinggi dengan pakaian acak-acakan penuh darah muncul dibaliknya. Pencahayaan minim tidak membuatnya sulit melihat keseluruhan ruangan itu.'Ini tidak seperti rumah Walikota,' pikirnya.Rumah walikota yang berada di pusat kota tentu sangat besar dan luas. Sedangkan rumah ini sangat sederhana, lingkungannya juga sepi, tidak seperti keramaian di tengah kota.Kakinya melangkah keluar kamar, di sofa panjang ada seseorang yang tidur dengan selimut dan bantal. Pria itu langsung mengenalinya sebagai pria muda berkacamata yang ada di foto.Tatapannya tertuju ke pintu kamar disamping kamar yang ia tempati sebelumnya. Ia membuka pintu itu pelan, sebuah kamar dengan ukuran yang lebih kecil. Ada meja belajar, rak dengan segala benda berwarna, lemari putih, ranjang singgel bed dengan sprei putih. Disana terbaring seorang perempuan yang tertidur dengan ekspresi polos.Piyama putih dan rambutnya yang tergerai di atas bantal, tanpa riasan, bibir mera
Bella bergegas berdiri dan masuk ke kamar kerja yang akan dia tempati malam ini. Ini adalah kamar kecil dengan singgel bed dan meja kerja, tersimpan juga benda-benda yang ia butuhkan untuk mengajar murid TK. Bahan-bahan yang ia butuhkan untuk prakarya setengah jadi sudah siap dan tangan ramping Bella segera bekerja.Adrian mengikuti dibelakangnya dan masuk, "Mau aku bantu buat?"Bella berkata tanpa menoleh, "Kau bisa?""Nona DeLuca, apa kamu meremahkan kemampuanku?""Tentu saja tidak, tapi kamu harus punya tangan yang terampil untuk membuat ini dan juga kesabaran.""Hm, berapa banyak yang perlu dibuat?""Dua puluh."Adrian diam memperhatikan bagaimana Bella membuat kerajinan tangan, lalu mengambil alat dan bahan yang sama dan mulai membuat. Tidak perlu banyak kata, dia langsung membuktikan.Tidak mendengar adanya balasan dari Adrian, Bella melirik dan menemukannya sudah sibuk duduk di karpet lantai. Bella tidak terlalu berharap kerjaan Adrian akan cepat selesai dan rapi, keduanya teng
Bella keluar dari kamar mandi dan melihat Adrian sibuk di dapur. Rambutnya tergerai masih setengah basah, matanya menatap senang pada Adrian yang datang membawakan makanan untuknya. Kebetulan Bella lapar, dia tidak perlu masak."Aku tadi buat minestrone, kamu pasti belum makan malam, makanlah." Adrian meletakkan beberapa mangkuk di meja makan.Aroma sayur dan basil membuat perut Bella keroncongan. Ditambah aroma roti hangat."Kebetulan, aku sempat berpikir untuk membuat mie instan karena aku kelaparan. Terima kasih."Bella menarik kursi dan menatap berbinar pada dua makanan didepannya, tangannya yang dingin meraba mangkuk dan merasakan panasnya keramik menyentuh kulit."Masih hangat?"Adrian sudah duduk di kursi lain, matanya yang sibuk menatap ponsel melirik Bella, "Mm, aku memanaskannya di dapurmu tadi. Ini focaccia keju dari nenek Sofia, kebetulan baru diantar saat aku pulang tadi. Punyamu sekalian ku bawakan."Bella mengangguk, "Nenek Sofia baik sekali sering membagi makanan ke ki
Bella duduk di kursi makan dan merenung. Benar kata Adrian, dirinya agak ceroboh membawa pria itu kerumahnya. Walau terluka dan tidak sadarkan diri, ia tidak mengenalnya.Siapa yang melukainya? Luka separah itu jika ia tidak melihatnya pasti tidak akan selamat sampai esok hari.'Apakah pelakunya sudah pergi?' sebuah pertanyaan terlintas.Ia menutup mata dan berdoa, "semoga pelaku itu sudah pergi dan tidak melihatku menolong pria itu."Bella hanya bisa menghela nafas berat, yang penting sekarang ia berharap pria itu selamat dan malam ini berlalu dengan tenang.Setelah beberapa saat, Adrian selesai mengobati pria itu, luka-lukanya sudah dibersihkan dan diperban. Dia keluar dari kamar Bella dan menutup pintu pelan.Bella yang menunggu di ruang makan segera berdiri dan mendekat, "Bagaimana dengan pria itu? Apakah selamat?"Adrian menatapnya sejenak, bahunya turun seolah baru saja menurunkan beban berat, lalu berkata, "Pria itu selamat untuk saat ini, dia memiliki dua luka. Satu luka temba
Udara malam Desa San Felice menusuk kulit Bella, dingin terasa semakin pekat karena keringat yang bercampur dengan ketakutan. Dengan susah payah, ia menahan tubuh pria asing itu yang beratnya jauh melebihi tenaganya.Nafasnya tersengal, kakinya hampir menyeret, namun entah dari mana kekuatan itu muncul, ia berhasil membawa pria tersebut melewati jalanan sempit menuju rumah kecilnya di sudut blok.Begitu pintu kayu rumah terbuka, Bella segera memapahnya masuk. Bunyi langkah beradu dengan lantai kayu terdengar berulang, tubuh besar itu ia baringkan di atas ranjangnya sendiri."Ha... Ha... Ha..." Bella mengatur nafasnya yang tersengal-sengal akibat kelelahan.Napas pria itu masih tersendat, dadanya naik-turun, darahnya merembes menodai sprei putih yang baru kemarin ia ganti. Bella menatap pemandangan itu dengan jantung terus berdetak cepat, antara takut dan kelelahan, sekaligus rasa iba yang makin dalam."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pelan, suaranya bergetar.Ia tahu lu







