LOGIN"Astaga… semoga bukan sesuatu yang buruk." Gumamnya pelan.
Untuk penerangan lebih jelas, ia mengeluarkan ponsel dari tas, jari-jarinya gemetar saat menyalakan senter. Cahaya putih menembus kegelapan, menguak bayangan tembok bata yang lembap. Dan di sanalah ia melihatnya. "Hhh... hhh..." Seorang pria bersandar di dinding, duduk separuh terkulai. Nafasnya berat dan terputus-putus, dada naik turun tak teratur. Dari jauh saja sudah terlihat betapa lemahnya tubuh itu, seperti hanya bergantung pada dinding untuk tetap tegak. Yakin itu manusia, Bella memberanikan diri lebih dekat dengan cahaya senter kini menyinari tubuhnya. Seketika darahnya membeku. Kemeja putih di balik jas hitam pria itu sudah berwarna merah gelap, penuh noda darah yang masih basah di beberapa bagian. Perut dan sisi tubuhnya tampak paling parah, menandakan pendarahan hebat. Ada bekas sobekan kasar, entah karena pisau atau peluru. "Hhh...!" Hampir saja jeritan lolos dari bibirnya. Bella buru-buru menutup mulut dengan satu tangannya. Lututnya melemas, ia mundur dua langkah, tapi matanya tetap terpaku pada sosok itu. Pria itu… masih hidup. Nafasnya masih terdengar meski lemah, suara erangan lirih keluar di sela-sela bibirnya yang pucat. Bella menggigit bibirnya, rasa takut menekan dadanya. Namun pada saat yang sama ada rasa iba yang menahan langkahnya untuk kabur. "Ya Tuhan… Apa yang harus kulakukan?" Bisiknya gemetar, mata melebar penuh ketidakpercayaan. Ia berdiri dengan lutut gemetar, cahaya senter ikut bergetar di tangannya, memantulkan bayangan pria itu ke dinding yang dingin. "Aku harus cari bantuan." Untuk sesaat ia memalingkan pandangan dari pria itu, menoleh ke sekeliling gang sempit. Gelap. Sepi. Matanya menyapu setiap sudut, tong sampah berderet, dinding bata lembap, genangan air tipis yang memantulkan cahaya ponselnya. Tidak ada siapa-siapa. Tapi justru itulah yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Sebuah pemikiran baru muncul. "Apa… orang yang melukai dia masih di sini?" Bisiknya pelan, justru ini yang ia khawatirkan saat akan menolong pria ini. Memikirkan masih ada pelaku yang mengintai, tengkuknya dingin dan bulu kuduk berdiri. Bayangan apa pun yang bergerak terasa mencurigakan. Ia menoleh cepat ke arah belakang, lalu ke ujung gang lain yang tertutup tembok. Jalan buntu. Tidak ada tanda-tanda orang lewat disekitar. Bahkan bagian atas tak lepas dari pencariannya. Tangannya yang bebas menggenggam erat tas selempangnya, seakan benda kecil itu bisa melindunginya. Sepertinya tidak ada orang lain selain dirinya disini. Bella ragu ditempat. Hatinya berteriak agar segera lari, kembali ke jalan utama, berpura-pura tidak pernah melihat apa pun. Tapi matanya kembali menatap pria yang bersandar di dinding, tubuhnya yang terluka, darah masih mengalir pelan dari sisi perut. Napasnya tercekat, ia jadi gelisah. "Kalau aku pergi begitu saja… dia bisa mati di sini." Perasaan dan pikirannya terombang-ambing antara takut dan iba. Rasanya lebih aman jika ia segera berlari ke jalan utama dan menghubungi polisi. Tapi... "Polisi akan datang terlambat, aku tidak tahu apakah pria ini akan tetap bernafas sampai mereka datang." Luka di tubuh pria itu jelas bukan luka biasa, tubuhnya semakin lemah. Ia memiliki keraguan kalau mencoba menolongnya, mungkin justru dirinya yang akan terjebak masalah besar. Bella menarik napas dalam, meneguhkan hati untuk pergi. Kakinya bergerak selangkah ke belakang, siap meninggalkan gang itu. Namun... "...Ah." Sebuah desahan lirih membuat langkahnya terhenti. Bella menoleh cepat tatapannya jatuh pada mata pria itu yang terbuka, samar-samar hanya separuh, menatapnya seakan dari jauh. Tatapan yang sayu, lemah, dan ada sedikit harapan, seolah memohon tanpa suara. Waktu terasa melambat. Cahaya ponselnya menangkap sekilas sorot mata gelap itu sebelum kembali tertutup perlahan. "Tidak mungkin… Aku meninggalkannya begitu saja." Bisik Bella, dadanya terasa sesak. Jantungnya berdetak makin kencang. Ia tahu, jika ia benar-benar meninggalkan pria ini, belum tentu dia bisa bertahan sampai bantuan datang. Rasanya seperti membiarkan seseorang sekarat di depan matanya. Tangannya gemetar, "apa yang harus aku lakukan…?" Gumamnya mencari jawaban pada diri sendiri. Ia berdiri kaku, rasa takut dan iba bercampur, membuatnya sulit berpikir jernih. Hingga detik semakin berlalu membuatnya mengambil keputusan.Para pengawal itu berdiri di samping mobil depan dan belakang, mengawasi sekitar. Sedangkan yang mengikuti Shin ke mobil ditengah adalah dua orang kepercayaannya, Rico dan Vito.Rico membukakan pintu untuk Shin. Para pengawal baru masuk setelah memastikan pemimpin mereka sudah duduk nyaman.Di dalam mobil, Shin sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih yang dibawakan Rico. Duduk bersandar dengan wajah tenang namun penuh perhitungan. Jari-jarinya mengetuk pelan sandaran tangan mengikuti melodi musik kesukaannya yang selalu diputar selama perjalanan.Matanya menatap keluar jendela, menembus gelapnya kota, memikirkan langkah yang akan ia ambil untuk masalah ini. Mobil melaju dengan mulus keluar kota Whitesand, tanpa halangan apapun memasuki kota Blackstone.Dikenal sebagai jantung kehidupan modern di benua Eropa. Dari kejauhan, bayangan gedung-gedung megah tampak berbaur dengan menara katedral tua, seakan masa lalu dan masa kini saling berdampingan.Jalan-jalan utamanya lebar dan
Pintu kamar Bella terbuka tanpa suara, seorang pria tinggi dengan pakaian acak-acakan penuh darah muncul dibaliknya. Pencahayaan minim tidak membuatnya sulit melihat keseluruhan ruangan itu.'Ini tidak seperti rumah Walikota,' pikirnya.Rumah walikota yang berada di pusat kota tentu sangat besar dan luas. Sedangkan rumah ini sangat sederhana, lingkungannya juga sepi, tidak seperti keramaian di tengah kota.Kakinya melangkah keluar kamar, di sofa panjang ada seseorang yang tidur dengan selimut dan bantal. Pria itu langsung mengenalinya sebagai pria muda berkacamata yang ada di foto.Tatapannya tertuju ke pintu kamar disamping kamar yang ia tempati sebelumnya. Ia membuka pintu itu pelan, sebuah kamar dengan ukuran yang lebih kecil. Ada meja belajar, rak dengan segala benda berwarna, lemari putih, ranjang singgel bed dengan sprei putih. Disana terbaring seorang perempuan yang tertidur dengan ekspresi polos.Piyama putih dan rambutnya yang tergerai di atas bantal, tanpa riasan, bibir mera
Bella bergegas berdiri dan masuk ke kamar kerja yang akan dia tempati malam ini. Ini adalah kamar kecil dengan singgel bed dan meja kerja, tersimpan juga benda-benda yang ia butuhkan untuk mengajar murid TK. Bahan-bahan yang ia butuhkan untuk prakarya setengah jadi sudah siap dan tangan ramping Bella segera bekerja.Adrian mengikuti dibelakangnya dan masuk, "Mau aku bantu buat?"Bella berkata tanpa menoleh, "Kau bisa?""Nona DeLuca, apa kamu meremahkan kemampuanku?""Tentu saja tidak, tapi kamu harus punya tangan yang terampil untuk membuat ini dan juga kesabaran.""Hm, berapa banyak yang perlu dibuat?""Dua puluh."Adrian diam memperhatikan bagaimana Bella membuat kerajinan tangan, lalu mengambil alat dan bahan yang sama dan mulai membuat. Tidak perlu banyak kata, dia langsung membuktikan.Tidak mendengar adanya balasan dari Adrian, Bella melirik dan menemukannya sudah sibuk duduk di karpet lantai. Bella tidak terlalu berharap kerjaan Adrian akan cepat selesai dan rapi, keduanya teng
Bella keluar dari kamar mandi dan melihat Adrian sibuk di dapur. Rambutnya tergerai masih setengah basah, matanya menatap senang pada Adrian yang datang membawakan makanan untuknya. Kebetulan Bella lapar, dia tidak perlu masak."Aku tadi buat minestrone, kamu pasti belum makan malam, makanlah." Adrian meletakkan beberapa mangkuk di meja makan.Aroma sayur dan basil membuat perut Bella keroncongan. Ditambah aroma roti hangat."Kebetulan, aku sempat berpikir untuk membuat mie instan karena aku kelaparan. Terima kasih."Bella menarik kursi dan menatap berbinar pada dua makanan didepannya, tangannya yang dingin meraba mangkuk dan merasakan panasnya keramik menyentuh kulit."Masih hangat?"Adrian sudah duduk di kursi lain, matanya yang sibuk menatap ponsel melirik Bella, "Mm, aku memanaskannya di dapurmu tadi. Ini focaccia keju dari nenek Sofia, kebetulan baru diantar saat aku pulang tadi. Punyamu sekalian ku bawakan."Bella mengangguk, "Nenek Sofia baik sekali sering membagi makanan ke ki
Bella duduk di kursi makan dan merenung. Benar kata Adrian, dirinya agak ceroboh membawa pria itu kerumahnya. Walau terluka dan tidak sadarkan diri, ia tidak mengenalnya.Siapa yang melukainya? Luka separah itu jika ia tidak melihatnya pasti tidak akan selamat sampai esok hari.'Apakah pelakunya sudah pergi?' sebuah pertanyaan terlintas.Ia menutup mata dan berdoa, "semoga pelaku itu sudah pergi dan tidak melihatku menolong pria itu."Bella hanya bisa menghela nafas berat, yang penting sekarang ia berharap pria itu selamat dan malam ini berlalu dengan tenang.Setelah beberapa saat, Adrian selesai mengobati pria itu, luka-lukanya sudah dibersihkan dan diperban. Dia keluar dari kamar Bella dan menutup pintu pelan.Bella yang menunggu di ruang makan segera berdiri dan mendekat, "Bagaimana dengan pria itu? Apakah selamat?"Adrian menatapnya sejenak, bahunya turun seolah baru saja menurunkan beban berat, lalu berkata, "Pria itu selamat untuk saat ini, dia memiliki dua luka. Satu luka temba
Udara malam Desa San Felice menusuk kulit Bella, dingin terasa semakin pekat karena keringat yang bercampur dengan ketakutan. Dengan susah payah, ia menahan tubuh pria asing itu yang beratnya jauh melebihi tenaganya.Nafasnya tersengal, kakinya hampir menyeret, namun entah dari mana kekuatan itu muncul, ia berhasil membawa pria tersebut melewati jalanan sempit menuju rumah kecilnya di sudut blok.Begitu pintu kayu rumah terbuka, Bella segera memapahnya masuk. Bunyi langkah beradu dengan lantai kayu terdengar berulang, tubuh besar itu ia baringkan di atas ranjangnya sendiri."Ha... Ha... Ha..." Bella mengatur nafasnya yang tersengal-sengal akibat kelelahan.Napas pria itu masih tersendat, dadanya naik-turun, darahnya merembes menodai sprei putih yang baru kemarin ia ganti. Bella menatap pemandangan itu dengan jantung terus berdetak cepat, antara takut dan kelelahan, sekaligus rasa iba yang makin dalam."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pelan, suaranya bergetar.Ia tahu lu