Diluar restoran Elma menghentak kedua kakinya, meluapkan seluruh emosi dengan gesture tubuh tanpa kenal tempat. Dia mendengus kesal karena ini adalah kali pertama dia bertengkar hebat dengan ayahnya. Biasanya pria itu sangat mudah dinego, apalagi kalau Elma sudah merengek dan terang-terangan menolak. Namun malam ini, sikapnya tidak seperti ayahnya yang dia kenal. Memangnya sepenting apa sih menikah itu? Ibu dan ayahnya saja bercerai dulu, lantas kenapa Elma perlu menjalin hubungan yang bisa retak kapan saja macam itu? Elma tidak akan mau menikah, apalagi kalau mempelai prianya adalah Arash Elvander. Kakak dari mantan pacarnya.
“Elma!”
“Mau apa kau kemari? Tinggalkan aku sendiri. Aku sudah sangat muak sekarang,” sahut Elma penuh emosi. Dia mengeluarkan sebatang rokok dari tas tangannya dan menghisap benda itu sambil menarik napas dalam-dalam. Arash hanya menyaksikan tingkah polah sang nona besar, dan kemudian memandang wajah wanita itu lekat-lekat.
“Kau mau pergi kesuatu tempat kan? kau tidak bawa mobil, jadi biarkan aku mengantarkanmu kesana,” bujuk Arash yang mencoba untuk bersikap lebih tenang dan sabar pada Elma.
Tetapi bukannya mau menurut, mendengar saja Elma sudah tidak sudi. Bahkan wanita itu malah berjalan menjauh dari Arash untuk mencoba menghentikan taksi. “Bawa aku ke bar,” ujar Elma pada satu taksi yang melintas. Tetapi Arash dengan sigap langsung menghadang dan menjegal tangan sang nona manja.
“Kau pikir minum-minum akan menyelesaikan masalah ini? kau baru saja menyiram minyak ke dalam api yang berkobar Elma,” tutur Arash dengan serius, dia memandang sang supir taksi yang tak juga pergi di detik berikutnya dengan cara yang menyeramkan sehingga sang supir taksi langsung tancap gas dan meninggalkan mereka dengan ekspresi ketakutan.
“Apa yang kau lakukan? Kau mengusir taksi yang mau aku naiki. Kau brengsek Arash!”
“Bukan itu masalahnya! Kau membuat situasi ini jadi semakin pelik, Elma.”
“Memangnya kenapa? Biar saja, Arash. Biar saja ayahmu melihat kelakuan burukku. Biar dia paham dan melihat langsung kalau aku tidak cocok menjadi menantunya. Kenapa pula aku harus menurut saja saat aku tidak suka? Memangnya kau tidak bisa cari istri sendiri sampai kau tidak menentang mereka? kau lupa aku ini mantan kekasih adikmu! Memangnya kau bisa nyaman dengan situasi itu? kau ini payah, Arash. Padahal dengan tampang dan uangmu kau bisa dengan mudah mendapatkan wanita mana pun yang kau mau!”
“Aku tidak peduli..”
“A—Apa?” kedua mata Elma terbeliak. Apa yang baru saja dia dengar?
“Apa maksudmu dengan itu? kau sadar kan dengan apa yang kau katakan?” ulang Elma tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Arash.
Pria itu mengedikan bahu. “Menurutmu ada tidak perempuan yang mau membagi suaminya dengan orang lain atau seorang perempuan yang bisa menerima jenis hubungan polyamore tanpa merasa cemburu? Bagiku kau bisa melakukan itu karena pada dasarnya kau tidak menyukaiku.”
Mulut Elma langsung menganga, terlalu banyak plot twist dihidupnya hari ini. Tetapi yang paling besar adalah pengakuan sang kakak sulung mantan pacarnya ini. “Hah … ini Gila.”
Ternyata oh ternyata the most eligible bachelor ini bukan tipe pria yang suka dengan hubungan monogami. Lantas bagaimana dia bisa berpikir bahwa Elma akan dengan senang hati berbagi?
Arash Elvander memang pria yang bersih dan jauh dari skandal apapun. Dia selalu pandai menjaga image diri sebagai pria alim yang jauh dari seks bebas, hingar bingar pesta, dan juga hedonisme. Sebelum tahu faktanya Elma juga berpendapat kalau dia pria yang sangat sempurna. Tetapi ternyata, justru dia sama saja dengan Elma. Hanya saja Arash bermain rapi dan pintar menutupi, sementara Elma justru lebih suka mengumbar kegilaannya.
“Ya.”
“Kau tahu, aku jadi punya alasan lain untuk tidak menikah denganmu.”
“Karena pandanganku soal pernikahan?”
“Bukan.”
“Lantas?”
“Aku benci manusia munafik yang menggunakan topeng alim untuk menyembunyikan kebusukannya, kau membuatku muak, Arash!”
***
Elma melangkahkan kakinya menuju ke meja bar. Kala itu belum terlalu malam, jadinya bukan hingar bingar musik yang memekakan telinga melainkan hanya alunan musik jazz semata. Aroma tembakau melambung di udara, sedikit lebih tenang dibandingkan dengan malam minggu tetapi Elma lumayan suka juga dengan atmosfer seperti ini.
Ketika telah memposisikan dirinya duduk pada salah satu kursi, Elma menatap sang bartender yang sedang membersihkan gelas martini.
“Bartender, aku mau gin,” ujar Elma, rasa kesal gara-gara kejadian tadi membuat emosinya makin meletup-letup. Elma harap dia cukup beruntung untuk menemukan seseorang yang menarik untuk diajak have fun. Dia sudah cukup stress dengan semua hal yang terjadi barusan.
“Segera, Gorgeous,” sahut sang bartender sambil tersenyum.
Elma yang frustasi tiba-tiba terkesima dengan senyum yang pria itu berikan. Mulai dari situlah dia mengamati sang bartender yang mulai bekerja menyiapkan minuman pesanannya. Kalau dilihat-lihat pria itu lumayan mendekati seleranya, dia tampan dengan rambut dan mata sewarna langit malam dilengkapi kulit yang kecoklatan dengan kumis dan janggut tipis. Dan yang terpenting dari itu semua tubuhnya bagus. Elma bisa merasakan adanya aura yang sedikit gelap terpancar dari kedua sorot matanya walaupun pria itu bersikap ramah. Ya, lebih seperti he is faking it.
Elma rasa inilah saatnya dia berburu mangsa untuk menghangatkan tubuhnya kalau beruntung laki-laki ini pun akan dia tundukan untuk menipu ayahnya.
“Sampai jam berapa kau bekerja?” tanya Elma lagi ketika sang bartender menyodorkan gelas berisi gin yang dia pesan berikut bill-nya.
Sesaat sang bartender menatap Elma agak lama sebelum memberikan jawaban. Menurut pengamatannya, si wanita asing yang berada dihadapannya sekarang terlihat sangat seksi dengan balutan pakaian kerja formalnya. Sorot matanya yang tajam dibingkai dengan eyeliner hitam, dia bisa menebak kalau si wanita pasti cukup jeli ketika proses mengaplikasikannya sebab hasilnya begitu presisi. Ya, singkatnya dia sangat cantik dengan rambut brunette yang terikat asal dan sedikit acak-acakan dan fakta lainnya dia datang sendirian. Membuat pria itu punya asumsi sendiri, sebab si wanita memancarkan aura dark feminim yang misterius.
“Apa kau freelancer?” tanya bartender tersebut yang membuat si wanita agak terkesiap. Dia tahu terkadang sikapnya yang terlalu ceplas ceplos sedikit membahayakan, tetapi apa yang terucap jelas tidak bisa ditarik kembali. Jadi pria itu memutuskan untuk mengambil resikonya kalau wanita ini akan tersinggung dan marah. Lagipula diia memang cukup dibuat penasaran oleh tingkah polah si wanita, meskipun praduganya bisa saja salah karena bagi dia penampilan wanita itu terlalu elegan dan berkelas untuk sekadar menjadi seorang wanita penjaja surga.
“Kau menganggapku sebagai pelacur baru yang menggodamu ya?” sahut Elma kemudian setelah dia berhasil mengembalikan ekspresinya yang sempat terkejut lalu terkekeh dan meneguk gin-nya dengan cara yang anggun. Tidak hanya itu, Elma juga mengeluarkan sebatang rokok dari tas tangannya yang membuat sang bartender tergugah untuk menawarkan api kepadanya yang langsung disambut baik oleh Elma.
Sang bartender menggelengkan kepala lalu kembali memberikan Elma senyuman terbaiknya. “Sejujurnya saya selesai jam tiga pagi,” sahut sang bartender yang kemudian memilih mengalihkan topik dengan jawaban dari pertanyaan Elma sebelumnya dibanding menjawab pertanyaan baru.
Menyadari bahwa tampaknya si pria memilih jalur aman, Elma malah tertantang untuk semakin menggodanya. “Aku akan menganggap kau tidak pernah bertanya soal pekerjaanku kalau begitu,” katanya sambil terkekeh lalu kemudian menempatkan dagunya pada salah satu tangan yang bertumpu di atas meja dan mengerling nakal pada sang bartender. “Aku jadi penasaran jam berapa kau bangun keesokan paginya.”
Pria itu sadar bahwa sekarang dia punya kesempatan untuk menggoda balik pelanggannya yang cantik jelita. “Kalau kau cukup penasaran dengan itu, kenapa kau tidak mencoba tidur dengan saya?”
Sebelah alis Elma terangkat, untuk beberapa alasan pria ini cukup berterus terang. Dia bukan pria polos, dan sejak awal Elma juga menyadari hal tersebut. “Bagaimana ya, aku tidak suka tidur dengan pria yang tidak aku ketahui namanya.”
“Kai.”
“Tapi, apa untungnya tidur denganmu?”
“Kau bisa menjawab rasa penasaranmu dan mungkin saya bisa memberikan pelayanan ekstra dan sedikit bonus.”
Elma tersenyum. “Kalau begitu akan aku pikirkan.”
“Baiklah kalau kau berminat, cari saja saya setelah jam kerja berakhir.” Pria itu mengedipkan mata dan melanjutkan melayani pelanggan lain yang menepi ke barnya. Memberi mereka senyuman yang sama dan bersikap ramah seperti yang dia lakukan kepada Elma.
Elma merasakan adanya sedikit adrenalin mengalir kuat di dalam raga, berikut pula rasa kepuasan di dalam hatinya. Itu kesan pertama yang cukup kuat dan menarik dari seorang pria, dan Elma akan menunggu apa yang akan pria itu berikan sebagai ganti dari penawarannya yang berani kepadanya.
Namun segala ketertarikan itu memudar tatkala beberapa pria mulai mendekat padanya dan mengajak berkenalan. Elma sendiri menerima mereka semua dengan tangan terbuka. Bersikap friendly dan bahkan sesekali flirting dengan mereka. Bahkan tidak sampai disitu, Elma juga menerima ajak mereka untuk menari di lantai dansa. Ya, mereka semua memang tampan dan sesuai dengan standar-nya, tetapi sayang sekali tidak ada yang semenarik Kai. Sang bartender tampan yang bisa jadi menjadi tangkapan besarnya malam ini.
Dari posisinya sekarang, Elma mendapati tatapan Kai terarah hanya padanya. Saat itulah Elma memberikannya sebuah kedipan mata menggoda yang membuat lelaki itu jadi salah tingkah di tempatnya bekerja.
“Kena kau.”
Waktu berlalu begitu saja, dan kini Elma sudah mulai terbiasa hidup tanpa kedua kakinya. Bekas luka bakar yang sebelumnya terlihat mengerikan sudah mulai memudar. Elma bahkan kembali bekerja sebagai pemimpin perusahaan keluarganya. Mengingat hanya dia saja sang pewaris tunggal perusahaan itu. Dia tidak bisa membiarkan hasil usaha kedua orang tuanya sia-sia begitu saja. Oleh sebab itu meski dengan keterbatasan yang ada, Elma tetap maju dan menjadi seorang wanita karir yang sukses. Kekurangan yang dia miliki tidak cukup menjadi penghambatnya. Bahkan disela-sela kesibukannya, Elma juga kadang kerap mengunjungi beberapa panti asuhan atau badan amal untuk melakukan kegiatan sosial. Terutama di tempat rehabilitasi yang memiliki beberapa pasien yang serupa dengan dirinya.Terlepas dari itu, Elma dan Kai juga sudah semakin dekat satu sama lain. Bahkan pria itu sendiri memindahkan Elma ke kediamannya. Dia enggan berpisah mengingat apa yang pernah terjadi di masa lalu. Walaupun Elma sendiri men
Kai dengan tergesa segera mendatangi kediaman Enderson begitu dia mendapatkan telepon dari suster yang merawat Elma. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya menjadi nyata. Keringat dingin membanjiri tubuh pria itu, hatinya pilu. Meski dia mencoba untuk tenang dan tidak panik, tetap saja dia tidak bisa memungkiri pikirannya sendiri.Ambulan datang bertepatan dengan kedatangannya, dan mereka segera melakukan tindakan. Sementara Elma berada dalam penanganan, Kai menunggu dengan rasa bersalah yang menggantung di lehernya. Mengapa dia tidak bisa berada disisi wanita itu? Bagaimana dia bisa menyadarkan Elma bahwa hidupnya layak untuk dijalani?Kai merasa tidak bisa menanggung beban ini sendirian. Dia tidak punya kawan, tidak punya keluarga yang bisa dia ajak bicara untuk mengungkap rasa frustasinya atas peristiwa ini. Tanpa sadar tangannya menekan tombol panggilan begitu saja.“Ada apa meneleponku, Kai?” suara pria disebrang sana menerima panggilannya, dan untuk beberapa alasan Kai merasa leg
Mendengar namanya dipanggil, Kai lantas langsung menoleh pada sumber suara. Di depannya telah berdiri Arash Elvander dengan raut muka yang begitu tenang seperti biasa. Memang pada dasarnya Kai pribadi agak kesulitan mengenali emosi pria ini, sebab dia dan Arash punya keahlian yang sama dalam menyembunyikan perasaan.Kai berdiri dari posisinya lalu mendekati Arash yang memanggilnya. “Bagaimana kondisi Elma sekarang?”“Kau bisa tanyakan pada dia sendiri, memangnya kau tidak mau menemui dia langsung?”“Sejujurnya aku tidak bermaksud untuk mengintip kalian. Tapi tadi aku sempat melihat Elma menangis di bahumu. Jadi aku putuskan untuk menunggu percakapan diantara kalian berdua berakhir,” ungkap Kai dengan jujur.Arash menarik napas sebelum memberi tanggapan. “Aku harap kau bisa membuatnya bahagia, Kai. Elma saat ini betul-betul sangat terpuruk,” katanya dengan suara yang di dalamnya terdapat rasa sakit yang begitu kentara ketika pria itu menepuk pundak Kai. “Kurasa yang paling dibutuhkan E
Arash mampir ke rumah sakit keesokan harinya dan dia mendapati Elma sedang dibantu oleh seorang perawat untuk duduk di ranjangnya. Wanita itu tampak sedikit kesulitan hanya untuk sekadar menjaga posisinya. Seolah seluruh ototnya tidak kuat untuk menopang tubuh. Namun dengan sedikit pengaturan, akhirnya Elma bisa diposisikan duduk dengan bantal sebagai penopang yang diletakan di belakang punggung. Saat dia telah cukup nyaman, Elma lantas melirik dan menatap Arash yang mengunjunginya.Arash tertegun ketika kedua mata mereka saling menatap satu sama lain. Kedua manik indah yang biasanya penuh dengan gairah hidup kini memandang dirinya tanpa perasaan apa-apa. Dia tampak lebih seperti sebuah cangkang kosong tanpa isi yang masih bernapas dan diberi nyawa. Melihat kondisi Elma yang seperti ini sungguh mengiris hatinya. Sungguh… tidak pernah terbayang sedikit pun kalau wanita yang kerap menghabiskan sebagian waktunya dengan perdebatan dan kekeras kepalaan yang lucu sekarang berada disini deng
Elma tergolek lemas di ruang perawatan. Sendirian. Begini pun karena memang permintaannya sendiri. Otaknya terlalu lelah menerima banyak informasi dalam satu waktu, dan lagi semua itu banyak memuat hal-hal yang terlalu menekan dirinya. Jadi, Elma memejamkan matanya sendiri dan mencoba untuk menyelami alam mimpi. Berharap ketika dia terbangun nanti semua hal yang dia alami sekarang hanyalah sekadar mimpi buruk belaka.Sebuah kecelakaan yang merenggut segala hal dari hidupnya. Orangtuanya, dan juga dirinya sendiri. Sekarang, bagaimana bisa Elma melanjutkan hidupnya bila kondisinya jadi begini? Tidak ada lagi yang bisa dia banggakan. Sosok Elma Enderson yang cantik, kaya dan rupawan saat ini telah berubah. Hanya sekadar menjadi wanita beruntung yang berhasil selamat dari maut tetapi harus mempertaruhkan tubuhnya sendiri. Wajahnya rusak karena luka bakar, dan kakinya pun lumpuh. Dunia mungkin sekarang menertawakannya karena dia dahulu terlalu congkak.Rangkaian bunga tulip dalam vas menar
Kai yang berdiri duduk di tepi ranjang hanya bisa terdiam ketika dokter selesai menjelaskan situasi dan kondisi Elma secara menyeluruh. Kai bisa melihat ekspresi wajah Elma yang tampak sangat terkejut, tetapi setelah ditenangkan pada akhirnya wanita itu hanya bisa menghela napas dengan air mata yang jatuh membasahi pipi begitu dokter meninggalkan mereka berdua saja.Elma terbaring menatap langit-langit, mengabaikan keberadaan Kai yang sesaat lalu juga ikut mendengarkan penuturan dokter mengenai situasinya. “Kau dengar kata dokter ‘kan, Kai?” Suara Elma terdengar kering dan serak.Kai menganggukan kepala. “Terlepas dari semua itu, semuanya akan segera membaik. Kau akan segera pulih dan sembuh seperti sedia kala,” ujar Kai terdengar sangat optimis.“Bukankah justru situasinya akan lebih baik kalau aku ikut mati saja bersama kedua orangtuaku dari pada menjadi cacat seumur hidup?”“Elma, please… jangan berkecil hati seperti itu. Banyak orang yang tidak ingin kehilanganmu, termasuk aku. Ak